Minggu, 21 Desember 2008

36

Jendela rumah terbuka. Seorang perempuan tua menguak lebar gordennya. Ia rapikan buku dan kertas gambar yang berserakan di meja tepi jendela. Juga peralatan sekolah di atas bale-bale rumah panggung itu.
Gofur masih tertidur. Kepalanya rebah berbantal tangan di atas meja. Angin dan cahaya matahari pagi menerobos masuk di antara jeruji kayu jendela.
Sambil bersenandung pelan perempuan tua terus memberesi bale-bale. Sebuah meja kecil yang tersandar di dinding, diletakkan kembali ke tempatnya semula. Ia rapikan taplak mejanya. Meletakkan vas bunga yang tergeletak di lantai ke atas meja kecil itu. Perempuan tua terus bebersihan. Menyapu dan mengepel lantai rumah.
Gofur terbangun. Suara tangis bayi terdengar nyaring. Perempuan tua menunda pekerjaannya. Ia bergegas turun menuju kamar bayi.
Di kamar lain, Lastri dan Lina masih tertidur lelap.
Kemul tebal tidak lagi membungkus tubuh mereka. Keduanya masih berdekapan telanjang. Pakaian tidur berserakan di lantai. Hujan lebat dan udara dingin tadi malam melelahkan petualangan mereka.
Suasana pagi tampak sepi.
Matahari belum terbuka lebar menyiramkan cahayanya ke pemukiman kumuh nelayan di kawasan Teluk Lampung.
Setengah malas, Gofur bangkit dari kursi. Berjalan mendekati jendela. Ia memandang laut dari jendela yang ikut membangunkan tidurnya. Di atas meja beberapa kertas bergambar perahu, belum selesai diwarnai.
Gofur mengosok kedua matanya yang masih belekan. Matanya terbelalak menatap bagan-bagan tancap yang roboh. Perahu-perahu katiran tertelungkup mengapung. Ia mengeluarkan setengah kepalanya ke luar jendela, sambil menoleh ke arah barat. Kapal-kapal ikan yang bersandar di dermaga Ujungboom, banyak yang karam. Sekitar 50 meter sebelum dermaga Ujungboom, terlihat sebuah perahu kecil terdampar di bibir timbunan pantai.
Gofur tertegun.
“Semalam ada badai,” ujar perempuan tua pelan, yang kembali menghampiri meja tulis, menyusun kertas-kertas gambar serta buku pelajaran Gofur yang berantakan.
“Ya, Mbok. Badai besar.”
Gofur kembali menoleh perahu kecil yang terdampar. Ia menghampiri meja. Menarik kertas gambar. Lalu kembali ke jendela. Pandangannya bolak balik antara perahu kecil yang terdampar kepada perahu dalam kertas gambarnya. Gofur tersenyum kecil. Ia merasa sebelumnya pernah menggambar perahu itu bersama bapaknya. Gofur sekilas merasakan wajah lelaki itu muncul di sela-sela kertas gambar itu. “Bapak pamit. Teruslah menggambar, Nak. Kemarin, Bapak lihat gambar perahumu. Bagus sekali! Kamu pintar...”, ucapan itu seakan muncul dari mulut lelaki di kertas gambar itu. “Bapak pamit...Nanti kita bertemu lagi, berkumpul bersama Ibu. Kita bisa berperahu lagi. Menjelajah laut dan pulau-pulau. Itu pasti. Bapak janji...” bisik lelaki itu seperti ditujukan kepada Gofur.
Tanpa berpikir apa-apa, Gofur kembali ke meja. Menggoreskan krayon ke kertas gambar. Ia selesaikan mewarnai perahu. Tangis dua bayi di kamar rumah panggung itu, semakin nyaring bersahut-sahutan.

Selesai

Tidak ada komentar: