Kamis, 18 Desember 2008

29

Baya masih tertegun bersandar di bale-bale yang menjadi saksi sejarah perselingkuhannya dengan lelaki Bugis itu. Seperti pertunjukan teater, Baya juga menyelesaikan prosesinya di atas bale-bale itu. Bau tubuh lelaki bertubuh gembur itu sempat dinikmatinya sesaat. Mungkin tetap tersimpan dalam kamar birahinya. Sebagaimana ketika pertama kali ia mengenali tubuh suaminya.
Pandangan Baya menerawang. Ia tidak mengerti peristiwa yang berlangsung sangat cepat itu. Ia tidak menyangka mampu melakukan prosesi itu begitu tenang dan wajar. Baya hanya merasakan apa yang dikerjakannya merupakan bagian dari pekerjaan rutin sehari-hari, seperti memasak dan mencuci. Baya membunuh dalam kesadaran nyata bukan fiksi atau mimpi. Baya pun melakukannya dengan senyuman.
Baya membunuh begitu sempurna. Sesempurna ketika Boni menggauli dirinya dan Lina. Baya tidak tahu apakah ia membunuh dalam kesadaran harga diri, atau karena begitu banyak yang ia korbankan untuk memuaskan nafsu bejat sang majikan.
Sejak pergi menuju rumah Boni, Baya sudah bertekad menebus pengorbanannya dengan membunuh lelaki itu. Kesempatan pun muncul, ketika Lastri dan Umar berangkat ke Lembang, dua hari lalu.
Kepedihan Baya mencapai puncak. Lina hamil akibat perbuatan Boni. Lina mengaku diperkosa Boni saat bermain ke rumahnya. Lina bercerita rinci, awal ia dirayu dijanjikan akan dikuliahkan, kemudian diberi uang banyak, sampai akhirnya dipaksa melayani Boni.
Lina tak kuasa menolak ketika harus membuka bajunya dan melayani Boni di atas bale-bale kayu beranda tengah, tempat dimana Baya pertama kali menyerahkan tubuhnya kepada Boni..
Dengan gamblang Lina bercerita kejadian itu dilakukan berulang-ulang. Tidak hanya di rumah Boni, tetapi juga di dalam mobil, di hotel, di pinggir pantai daerah Lempasing, serta sejumlah tempat penginapan di Bandar Lampung. Lina melakukan itu setiap Boni menjemputnya pulang dari sekolah.
Lina mengaku tak mampu menolak, karena segan dan takut dengan ancaman Boni. “Ia mengancam memecat Bapak, Bu!” ungkap Lina sambil menahan isak tangisnya. Lina mengaku, diberi uang setiap habis melayaninya.
Hati Baya semakin teriris. Karena apa yang dilakukan Boni kepada Lina, sama yang dialaminya. Butiran air mata menetes dari wajah Baya. Ia menangis bukan karena sedih. Tetapi karena menahan gumpalan demi gumpalan kemarahan yang tak tertahankan.
“Hubungan kami berlanjut sampai Lina kuliah, Bu,” lanjut Lina. “Sesuai janjinya, ia membantu biaya masuk kuliah. Tetapi, Ibu tidak tahu, kalau imbalannya aku harus selalu bersedia melayaninya.”
“Meski hamil, aku menolak dikawini lelaki itu, Bu,” ujar Lina. “Biarlah bayi ini aku pelihara sendiri,” tegasnya dengan menampakkan wajah sedih.
Baya tersenyum mengenang pengakuan putrinya. Ia merasa telah melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Baya puas membantai Boni. Memotong lehernya. Menyembelih kemaluannya. Dan merasakan bau amis darahnya. Baya menoleh ke tubuh Boni yang sudah mengeras berlumur darah. Ia tertawa-tawa sendiri.
Baya bangkit dari lantai papan rumah panggung itu. Ia tak mampu menghentikan tertawa. Seperti sebuah kemenangan. Baya lalu membenamkan potongan kemaluan Boni ke mulut lelaki yang masih menganga itu. Lagi-lagi Baya tertawa terpingkal-pingkal sendiri. Tubuh lelaki di atas bale-bale itu terlihat tumbuh menjadi metafora dari kehidupan dan kematian sejarah dirinya sendiri.
Dengan tubuh telanjang, Baya terus memuaskan tertawa sembari memungut pakaian di lantai. Pergi menemui sejarah pada ruang yang lain.
“Hei! Perempuan tak tahu adat! Hentikan tawamu!” bentak Denok, rekan sesama penghuni kamar sel itu. “Dasar perempuan binal! gila!” teriak yang lainnya.
“Mbak! teman-teman kita terganggu,” ujar Hesti sembari memegang pundak Baya. Baya berhenti tertawa. Kedua tangannya memegang tiang jeruji terali. Matanya menatap kosong ke lorong blok penjara Rajabasa itu. Hesti lalu menepuk halus pundak Baya. Ia mengerti tekanan batin yang dialami perempuan itu.
“Kita lupakan masa lalu,” bisik Hesti ke telinga Baya memberi semangat.
Baya tertegun di sela-sela terali besi kaku dan dingin itu. Tatapannya kosong. Wajahnya terbingkai rambut yang semakin panjang.
“Biarkan saya sendiri,” pinta Baya.
“Istirahatlah,” jawab Hesti.
“Kenapa mereka tak pernah lagi kemari. Oh, Gofur anakku. Lina, putriku yang malang. Dan cucuku, cucuku, kau pasti sudah pandai tertawa. Berdiri, berlari. Ah, kau pasti lucu. Lihatlah aku.. perempuan tua yang kotor dan sia-sia..” ucap Baya tanpa ekspresi.
“Seminggu ini mereka pasti datang.”
“Saya rindu sekali.”
“Mereka juga pasti rindu,” sahut Hesti menjinakkan kerinduan Baya.
“Tidak! Mereka tidak akan kemari lagi! Mereka malu punya Ibu dan Nenek seorang pembunuh! Mereka malu..! Mereka malu..! Ibunya biadab! Ibunya biadab!” Baya menguncang-guncangkan tubuhnya ke jeruji besi penjara.
“Hei! Perempuan sialan! Berhentilah berteriak-teriak!” bentak Denok lagi.
“Brisik, tahu!” sambung penghuni sel lainnya.
Baya mendadak berhenti berteriak. Ia berbalik menatap ke Denok dan tahanan lainnya. Raut mukanya terlihat memendam kemarahan. Denok dan tiga rekannya membuang muka acuh tak acuh.
“Maafkan. Saya mengganggu ketenangan kalian,” ujar Baya.
Ia lalu mendekati Denok dan tahanan lain.
“Seharusnya kalian tinggalkan aku sendiri di kamar sel ini,” ujar Baya sembari berjalan ke WC meninggalkan Hesti, Denok dan ketiga kawannya yang menunggu-nunggu kalau ada ucapan lain terlempar dari mulut Baya.

Tidak ada komentar: