Senin, 08 Desember 2008

19

Pagar dari andang-andang sengaja dilobangi untuk keluar masuknya udara. Kendati hanya sepetak kecil, rumah Umar masih menyisakan karakter rumah tradisional Lampung.

Minggu pagi. Baya mengajak Lina dan Gofur berlanja ke Tanjungkarang. Baya ingin membelikan tas sekolah dan peralatan menggambar Gofur. Lina juga minta dibelikan sepatu. Kemarin sore Umar memberi uang lebih, di luar gaji mingguan kepada Baya.
“Uang bonus ikan, Bu,” jelas Umar.
“Gofur sudah merengek-rengek minta dibelikan tas baru. Tasnya sudah sobek.”
“Ya,” sahut Umar.
“Lina juga minta dibelikan sepatu. Ia tak punya sepatu untuk pergi-pergi ke acara temannya.”
Sepeninggal Baya dan kedua anaknya, Boni dan Lastri, datang ke rumah Umar. Lastri terlihat segar dan ceria. Begitu juga Boni. Umar sedikit kaget atas kedatangan kedua majikannya itu.
“Eh, Pak Boni. Bu Lastri,” sambut Umar sembari mempersilahkan masuk.
“Tak usah repot. Saya hanya mengantar Lastri. Ia mau mengajak anakmu belanja ke pasar,” jawab Boni masih berdiri di depan pintu rumah Umar.
“Oya. Baya ke mana, Mar?” tanya Lastri sedikit gugup menoleh ke Umar.
“Eh, maaf, Mbak. Barusan saja pergi dengan anak-anak. Katanya mau belanja ke Tanjungkarang,” jawab Umar yang berusaha menampakkan kewajaran di hadapan Boni.
“Ya, sudah. Kami terus saja, Mar,” potong Boni sembari mengajak Lastri pergi.
“Sampaikan salamku untuk Baya dan anak-anakmu,” serga Lastri sambil memberi beberapa lembar uang 50 ribu rupiah yang dilipat kecil ke tangan Umar.
“Untuk…anak-anakmu,” tambah Lastri sedikit terbatah.
“Terima kasih Mbak.”
Umar memandangi kedua majikan itu berjalan menyusuri jalan papan menuju mobilnya yang di parkir di ujung gang. Melihat kemesraan keduanya, Umar seperti tidak percaya jika mereka menyimpan masalah besar. Umar tidak berkedip memandang tubuh Lastri hingga hilang di ujung gang. Ia seakan menghapal kembali satu demi satu penadaan di balik tubuh yang dibalut ketat T-Shirt dan celana jeans itu.
Umar meneruskan menjemur jaring ikan dengan sebatang bambu di depan rumahnya. Beberapa perempuan tetangganya terlihat berkumpul sambil menganyam kembali tali-tali jaring ikan yang rusak. Sementara yang lain merendam ikan yang hendak diasini ke dalam drum pendek yang sudah dipotong. Para isteri buruh nelayan ini sudah empat hari ditinggal suaminya melaut.
“Ora ke bagan, Mar?” tegur Ngadi tetangga yang juga bekerja dengan Boni di kios es balok dermaga Ujungboom. Umar menoleh ke arah suara itu.
“Ah, kau Di. Saya kerja malam,” jawab Umar.
“Wislah, Aku ke kios dulu, Mar. Nuwun...” sapa Ngadi sambil mengalungkan handuk kecilnya ke leher.
Umar kenal Ngadi sebelum ikut kerja dengan Boni. Duda ini, dulunya kuli panggul ikan di Gudang Lelang. Ia cepat akrab dengan Ngadi karena anak Cirebon, Jawa Tengah itu, dikenal sangat disiplin dengan waktu kerja. Ngadi juga dikenal sosial dan suka membantu kawan sesama buruh. Ia kadangkala tidak sayang meminjamkan separuh upah hariannya kepada sesama buruh yang ditimpa musibah atau kesulitan uang.
Orang-orang di Gudang Lelang yang tahu kisah keluarga Ngadi banyak bersimpati dengan duda ini. Ngadi ditinggal mendiang isterinya, Darsih, yang tewas membakar dirinya bersama kedua anak mereka yang sedang sakit. Darsih mengakhiri hidup bersama kedua anak yang dicintainya. Ia tidak sanggup melihat penderitaan anak sulungnya terserang tumor ganas di bagian kepala. Ia juga tidak sanggup melihat Ngadi, kuli angkut pelabuhan itu, kehabisan akal membiayai berobat anaknya.
Dari beranda depan, Umar masuk ke dalam rumah, lalu keluar lagi dengan membawa cangkir kopi dan rokok. Ia letakkan cangkir kopi di atas bangku kayu, beranda depan yang dipagar andang-andang setinggi pinggang.
Pagar teras atau tepas kayu yang ditata pola gambar organik yang diulang-ulang ini, menunjukkan ornamen khas Lampung. Ada bermotif binatang, tumbuhan, orang, bahkan ada yang tidak punya makna hanya sekedar ornamen saja. Pagar dari andang-andang ini sengaja dilobangi untuk keluar masuknya udara. Kendati hanya sepetak kecil, rumah Umar masih menyisakan karakter rumah tradisional Lampung.
Sambil menghidupkan rokok, Umar membereskan kaleng benang layang-layang Gofur yang terlihat berantakan di lantai papan beranda rumahnya. Ia gantungkan dua buah layang-layang ke paku yang menancap di tiang kayu penyangga teras seng rumahnya. Begitu juga bekas kaleng susu yang digunakan Gofur untuk menggulung benang layangannya.
Di pojok beranda terlihat beberapa lembar kertas gambar milik Gofur berserakan di lantai. Umar memunguti satu-satu kertas bergambar perahu itu. Ada perahu besar ada perahu kecil. Umar memandangi salah satu perahu yang mirip dengan perahu miliknya. Di sebelah kiri perahu ada orang sedang berdiri. Umar tersenyum melihat gambar lucu itu. Ia tidak menyangka jika Gofur diam-diam memperhatikan apa yang dikerjakannya sehari-hari. Tetapi di balik senyumannya, kening Umar sempat mengerenyut. Entah apa yang melintas di benaknya. Ia tatap seksama gambar perahu berwarna-warni itu. Asap rokoknya mengepul ke udara.

Tidak ada komentar: