Patung perak itu masih terpaku menatap Lastri.
Di wajah angkuh perempuan itu seakan muncul bangunan pabrik
berisi ribuan buruh yang menjadi tawanan industri.
Umar menekan puntung rokok ke asbak porselin di atas nakas samping tempat tidur. Ia kembali menghabisi segelas bir. Ia mememorisasikan minuman beralkohol rendah itu ke masa remaja. Sekuntum mawar dan kapak kecil, samar tapi masih terlihat di lengan kiri dekat ketiaknya. Ia raba gumpalan daging bekas menutup tato itu. Ia teringat putrinya Lina yang melingkarkan tato mawar di lengan kiri. “Masa remaja memang penuh mimpi dan keliaran,” pikirnya sambil menghisap dalam-dalam rokok yang baru dinyalakan.
Setelah menenggak lagi bir, Umar lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Tidak lama ia muncul dengan tubuh basah tertutup handuk. Ia melihat perempuan itu masih terbaring di tempat tidur. Umar sudah berulang-ulang melihat lukisan di hadapannya. Hanya sebuah reproduksi dari peristiwa yang sama. Seperti ia melihat aktifitas kotanya hari itu. Sebetulnya ia menginginkan sesuatu yang baru dari sebelumnya.
Umar mondar-mandir di kamar lantai tiga hotel berbintang itu sambil berpikir apa yang akan dilakukan. Ia mengintip keluar melalui celah gorden jendela kamar tidur, matahari panas-panasnya memanggang kota. Dari atas ia melihat kendaraan dan pejalan kaki hilir mudik di bawah sengatan matahari. Di benak Umar, terlintas pertanyaan yang selalu tak bisa dijawab.
Buruh nelayan itu sulit menjelaskan kehidupan baru bersama Lastri. Tubuhnya berubah dari kedinginan angin laut di bagan ikan, menjadi kedinginan mekanik di kamar hotel. Dari kehangatan matahari di atas perahu, menjadi kehangatan birahi di atas tubuh sang majikan. Ia tak punya keberanian menyikapi hidupnya sendiri.
Umar membangunkan perempuan itu. Ia berdiri tepat di sisi tempat tidur. Tangannya menarik seprei putih yang dijadikan selimut menutupi tubuh Lastri. Umar tersenyum ketika tubuh telanjang itu terjaga dan menoleh kepadanya. Ia paham, sebelum terkulai di tempat tidur, tubuh mulus itu sudah menghabiskan dua gelas minuman ringan impor.
Umar melirik ke buah dada dan benjolan berwarna gelap di tengahnya. Umar sadar anatomi buah dada dan puting yang angkuh itu bukan lahir dari perut keraton atau kaum borjuis Jawa. Tetapi lahir dari persetubuhan kaum proletar Jawa atau rakyat jelata.
Semasa muda Umar banyak mengenali anatomi tubuh perempuan Jawa di sebuah lokalisasi prostitusi di kotanya. Pelukis Cakra, kawan akrabnya, banyak melukis tubuh telanjang perempuan Jawa. Dari cerita Cakra, Umar cukup paham latar sejarah tubuh majikannya itu. Pinggul, pantat, hingga ke bentuk kemaluan Lastri, menunjukkan bahwa perempuan tersebut lahir dari golongan masyarakat biasa, bahkan cenderung jelata.
Umar yang dulunya lahir dari keluarga bangsawan pesisir itu, jadi tersenyum jika melihat kelakuan Lastri melebihi perilaku kaum borjuis Jawa.
Lastri balik membalas senyum Umar. “Kau sudah lama bangun,” sapanya. Sekali lagi Umar membalas senyum. Umar menghendaki kali ini ia yang harus menguasai sang majikan. Lelaki itu sengaja membiarkan handuknya terlepas jatuh ke lantai.
Ia tetap berdiri di sisi tempat tidur menghadap ke perempuan itu. Tatapan Lastri seperti dipaku mati ke tubuh lelaki tanpa sehelai kain penutup yang berdiri angkuh di hadapannya.
Lastri memiringkan tubuhnya yang masih terbaring ke arah Umar. “Ayo!” perintah Lastri. “Ayo! Kemarilah!” tegas Lastri sambil membuka lipatan pahanya. Umar tidak bereaksi. Ia berdiri tegar. Ia bertekad kali ini hatinya tak akan goyah oleh permainan yang dikuasai majikannya. Umar bersepakat dengan pikirannya bahwa perempuan sombong itu harus bertekuk lutut. Tunduk di bawah kekuasaannya.
Mata Lastri memerah melihat lekukan otot tubuh lelaki yang berjarak setangan di hadapannya itu. Ia tahu bahwa tubuh kekar itu adalah tubuh seorang buruh kasar yang menggantungkan hidup anak dan isterinya dari upah yang diberinya.
Lastri tidak habis pikir jika tubuh yang telah berhasil dikuasainya, hari itu melakukan perlawanan. Membantah dan menolak perintah. Lastri beberapa saat terpaku. Imajinasinya berkeliaran. Benaknya berkata, ”permainan apa lagi ini. apakah lelaki goblok ini tidak membutuhkan saya lagi,” bisiknya dalam hati.
Sementara Umar, seperti seonggok patung seni rupa. Sisa butiran air yang masih lekat di tubuh telanjang itu seakan berganti tetesan cat perak yang mengkilapkan pandangan mata. Kucuran cat perak yang membungkus patung tembaga berurat-urat itu, mengubah status fungsional seluruh jasad yang ada di kamar hotel itu. Umar yakin pertarungan antara buruh dengan majikan, akan berakhir dengan kemenangan di pihak buruh.
Patung perak itu masih terpaku menatap Lastri. Di wajah angkuh perempuan itu seakan muncul bangunan pabrik berisi ribuan buruh yang menjadi tawanan industri. Umar membangun realismenya ke pasca kolonial untuk memperkuat pijakan sosialisme buruh ketika berhadapan tubuh mekanik pemilik modal, bertelanjang dan menawarkan kenikmatan di hadapannya.
Lastri tak hilang akal menghadapi lelaki gagah yang mendekonstruksi tubuhnya menjadi patung perak. Lastri paham jika patung kaku itu masih bernyawa. Memiliki nafsu dan kebutuhan seksual. Lastri mencoba mendamaikan kegusaran terhadap Umar.
“Aku tahu, kamu pasti punya masalah. Mungkin Baya butuh uang untuk membayar listrik atau uang sekolah kedua anak kalian,” pancing Lastri. “Atau mungkin, Aku, aku, terlalu kasar kepadamu,” pancingnya lagi.
Patung perak tetap berdiri angkuh tak bergeming. Umar yakin Lastri betul-betul takluk dengan kesombongan yang ditampilkannya. Ia ingin seisi kamar mendengar suara seorang perempuan sombong menghiba-hiba, mengharap belas kenikmatan dari seorang buruh kasar. Suara itu adalah suara Lastri, sang majikan.
“Maafkan aku, Mar.” Lastri mencoba memainkan kesedihannya sambil beringsut mendekati tubuh patung yang begitu membangkitkan birahinya. Lastri mencoba mengatur nafas untuk dua peran yang mulai dimainkannya. Ia merapatkan jarak ke tubuh Umar. Ia mencoba membangun imajinasi seks dengan suasana lain. Lastri mulai menangis.
“Maaf, Mar. Aku telah membebankan kesedihan. Aku tidak punya sahabat. Hanya kamu yang bisa mengerti dan mengobati luka ini,” ungkapnya sambil terisak-isak. Lastri mulai menyentuh patung perak itu. Tangannya menelusuri lekukan otot-otot tubuh patung yang gagah itu. Merayap melintasi jalan berkelok. Kadang menanjak. Kadang menurun. Wajah Lastri tepat berada di ujung persimpangan dua tonggak penyangga tubuh patung perak yang tetap membatu.
Umar menguatkan hatinya. Ia membuang tatapan ke langit-langit kamar hotel. Umar melihat ada gumpalan awan berjalan dan berputar-putar. Patung itu bergetar menahan keliaran Lastri di tubuhnya. Umar mengatur nafas. Gumpalan awan mulai menebal di kamar itu. Gerimis jatuh meneteskan cat berwarna perak mengkilap ke tubuh patung yang mulai bergetar.
Butiran keringat mengguyuri sekujur tubuh patung yang gemetar. Lastri semakin yakin dengan keliarannya. Sebentar lagi buruh nelayan itu kembali dalam kekuasaannya. Umar berusaha menggeser posisi tubuh dari sisi tempat tidur untuk menjauhi keliaran Lastri. Tetapi kedua tangan Lastri lebih sigap mencengkram. Menarik kembali kedua paha patung perak itu ke hadapannya. Umar tak mampu menjinakkan kelelakiannya yang timbul tenggelam dalam gumaman birahi sang majikan.
Beberapa saat setelah itu, patung perak itu mengejang seperti tersengat arus listrik bertegangan tinggi. Ribuan buruh kembali ditaklukkan. Patung perak lalu mencair menjadi air mata hujan menguyuri jutaan buruh-buruh lain di penjuru dunia.
Beberapa saat kamar hotel berbintang tiga itu sepi membatu. Seperti tak pernah ada keributan atau pergolakan kelas. Umar kembali dikuasai Lastri. Ia tak sanggup lagi membedakan kelas majikan dan buruh ketika segala kebutuhannya diborjuasi kenikmatan biologis dari sang majikan.
Umar malu kepada dirinya, hasrat dan nafsu seorang buruh ternyata lebih rakus dari sang majikan. Umar berulang-ulang melahap tubuh majikannya. Sementara Lastri, tersenyum penuh kemenangan. Di atas tubuh kekar buruh nelayan itu, Lastri mengerang, seakan berseru sinis; “mampuslah buruh-buruh sedunia!”
Jumat, 05 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar