Jumat, 12 Desember 2008

23

Melihat altar depan Vihara Thay Hin Bio ini, Along teringat masa kecil di Klenteng Lebong Siarang, di kampungnya Musi Banyuasian. Tradisi peringatan Hari Raya Imlek atau Yinli Xinnian, di kampung dulu cukup meriah.

VIHARA Thay Hin Bio hari itu, cukup semarak di antara ratusan batang lilin merah tertata rapi. Cahaya lampion terbungkus kertas merah, semakin memancarkan energi lain ke sudut-sudut kelenteng tua itu. Dua kepala Barongsai tergeletak di atas meja besar tepat di trap tengah vihara.
Seorang lelaki tua mengitari bagian dalam vihara. Pelan-pelan ia menyalahkan satu demi satu ratusan lilin yang sudah disusun sejak sore kemarin. Lelaki tua itu bukanlah bikhu Vihara Thay Hin Bio. Karena sejak wafatnya Bikhu Sek Wang Beng, tahun 1985 lalu, hingga sekarang vihara ini sudah tidak lagi dipimpin seorang bikhu.
Selama tinggal di kawasan vihara Jalan Ikan Kakap, Telukbetung, baru hari itu Along masuk ke tempat peribadatan umat Budha dan Khong Hu Cu itu. Padahal berada tepat di mulut gang paviliun kontrakan yang baru sebulan ditinggalkan Along ke rumah barunya di Kota Karang. Meskipun setiap hari Along melintasi kelenteng itu, namun belum sempat mampir sembahyang atau dharma bersama umat Khong Hu Cu atau Budha di vihara itu.
Melihat altar depan Vihara Thay Hin Bio ini, Along teringat masa kecil di Klenteng Lebong Siarang, di kampungnya Musi Banyuasian. Tradisi peringatan Hari Raya Imlek atau Yinli Xinnian, di kampung dulu cukup meriah.
Ia dan saudaranya berpakaian baru dan rapi, memberikan hormat dengan cara Tionghoa, bai atau pei kepada kedua orang tuanya. Kemudian didoakan dan mendapat nasehat agar rajin belajar, pandai, dan murah rejeki. Setelah itu Along dan sau-daranya diberi angpau atau hong bau. Tetapi prosesi ibadah Khong Hu Cu itu hanya dilakukan secara internal, mengingat rezim Orde Baru saat itu tidak mengakui keberadaan Khong Hu Cu sebagai agama. Peminggiran umat Khong Hu Cu ini, dipersulit juga dengan pengurusan administrasi seperti KTP, akta nikah, dan lain-lain.
“Vihara ini terlihat sudah ratusan tahun umurnya,” tanya Along kepada Ayung.
“Menurut cerita engkong saya, vihara ini sudah ada sejak jaman Belanda dulu.”
“Bangunan klenteng ini pasti sudah dipugar.”
“Dulu namanya Vihara Kuan Im Thing.”
Vihara Thay Hin Bio adalah nama baru Vihara Kuan Im Thing yang dibangun Tahun 1927 lampau. Menurut cerita, kehidupan umat beragama di Lampung saat itu sudah berjalan normal, dimana penduduk kawasan pecinaan telah merasakan manfaat kasih Budha.
Mereka menyebutnya Cen Fa Ming Julai yang dikenal Kuan Im Pho Sat atau sebutan lain Dewi Avalokestesvara. Masyarakat Budha saat itu menyakini Kuan Im Pho Sat maha pengasih dan penyayang yang akan menolong semua makhluk hidup. Maka Kuan Im Pho Sat menduduki bagian Bodhisatva. Di mana-mana ia mencari suara orang yang menderita, dan menolongnya. “Kuan Im” diartikan, ia menjawab jerit tangis dunia.
Sebagian masyarakat Tionghoa yang sudah lama bermukim di Lampung, merasakan perlindungan dan berkah dari Kuan Im Pho Sat. Tidak mengherankan jika pada masa itu, mereka membuat altar di rumah masing-masing, mengadakan persembahan pada Kuan Im Pho Sat.
Pada tahun 1850, ada seorang sau-dagar rempah-rempah yang bernama Po Heng berasal dari Tiongkok. Tepatnya dari Hokkian Haiting membawa patung Rupang Kuan Pho Sat. Masyarakt gempar dan banyak yang merasa simpatik Mereka berbondong-bondong datang untuk melihat. Atas kesepakatan warga diusulkan supaya didirikan Cetya Avalokestesvara atau Kuan Im Tong—tempat ibadah untuk pemeluk Budha—di Gudang Agen.
Sejak itu, kehidupan beragama masyarakat Tionghoa terasa lebih khusuk dan bergairah. Tetapi kembali terhapus ketika datangnya musibah meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883. Banjir besar akibat letusan Krakatau ini menenggelamkan sebagian kawasan Telukbetung selama kurang lebih tiga hari tiga malam. Keluarga Po Heng yang menempati rumah tinggal di Cetya mengungsi ke tempat lebih tinggi, dan sempat menyelamatkan patung Kuan Im Pho Sat.
Pada tahun 1896 atas usulan masyarakat di kampung China atau pecinan, didirikanlah Vihara Kuan Im Thing. Tahun 1927, pada masa Bikhu Sek Te Thi dari Shaolin Kong Hwa, Tiongkok, vihara ini direnovasi, diperluas sekaligus diganti namanya menjadi Vihara Thay Hin Bio artinya Mohopati.
Pada masa Bikhu Sek Guan Lin vihara ini kembali direnovasi dan selesai pada tahun1967. Setelah Bikhu Sek Guan Lin wafat, vihara Thay Hin Bio tidak memiliki lagi Biksu. Lalu dikirimlah Bikhu dari Bandung, Sek Tek Yong. Masa Bikhu Sek Tek Yong inilah didirikan krematorium atau tempat pembakaran mayat di Lempasing. Tahun 1979 Biksu Sek Tek Yong wafat. Kemudian atas permintaan Yayasan Thay Hin Bio. Setahun berikutnya Sangha Agung Indonesia mengutus Bikhu Sek Wan Beng atau nama lain Jina Surya, ke vihara ini.
Lima tahun setelah itu, Bikhu Sek Wan Beng wafat karena sakit dan usia lanjut. Tidak ada lagi bikhu yang memimpin Vihara Thay Hin Bio. Kemudian Yayasan Vihara Thay Hin Bio menunjuk Romo Pandita Adi Surya nama aslinya Coa Kee Soen untuk mengurus dan menjalankan keagamaan sampai sekarang ini.
Along kambali mengitari bagian depan vihara. Ia seperti mendapatkan kesegaran baru. Emosi dirinya mulai stabil, sejak beberapa hari ini, ia banyak menghadapi masalah dari bisnisnya. Ia teringat pesta kembang api dan atraksi Barongsai pada perayaan tahun baru Imlek yang pertama secara nasional 12 Februari 2002, atau bertepatan Imlek ke 2553 di kotanya, Palembang.
Along duduk di altar samping vihara, sembari menghidupkan rokoknya. Ayung mendekat duduk di sebelahnya. Sementara di pintu depan vihara terlihat beberapa orang mendatangi vihara. Di pojok sebelah utara, terlihat dua orang wartawan dan fotografer tengah mewawancarai Romo Pandita Adi Surya, berkenaan hari raya Imlek.
“Mengapa kita begitu antusias merayakan Imlek?” tanya Along.
“Entahlah. Barangkali ini bagian dari proklamasi berakhirnya penindasan Orde Baru. Akhir penindasan kebebasan masyarakat Tionghoa berekspresi!” kata Ayung.
“Sebelum tahun 1965, Imlek serta ucapan selamat hari raya Imlek; Gong xi fa cai, berlangsung lancar-lancar saja. Tetapi sejak Soeharto dan Orde Barunya berkuasa Tahun 1966, Imlek dilarang dirayakan.”
“Sebetulnya, imlek itu milik siapa?” tanya Along.
“Ya, dari pandangan umum, Imlek itu milik orang-orang China.”
“Kalau yang dimaksud China itu negara atau bangsa RRC, jelas Imlek itu tak perlu dirayakan bangsa lain. Tetapi jika “China” yang dimaksud adalah kelompok etnis termasuk yang sudah menjadi bangsa Indonesia, mengapa tidak ada hari raya nasional untuk orang India atau Arab, atau 300-an etnis lainnya di negeri ini?”
“Sebetulnya, Imlek bagian dari tradisi atau kepercayaan pemeluk Budha. Penetapan sebagai hari raya nasional, itu keputusan politik negara.”
“Betul. Tetapi bukankah di kalangan etnis Tionghoa, tidak semuanya Budha, lagi pula banyak pemeluk Budha non Tionghoa ikut merayakannya.”
“Jika dilihat dari situ memang ada kebingungan. Tetapi paling tidak dari situ, ada keterbukaan bahwa Imlek itu bisa dirayakan siapa saja. Mirip seperti “Valentine Day”, siapa saja bisa mengirimkan ucapan, “selamat Valentine” atau “selamat Imlek” kepada siapa saja.”
Along serius mendengarkan penjelasan Ayung, sembari menghembuskan asap rokoknya ke arah wajah Ayung. Ayung sempat mengibaskan telapak tangannya menepis asap rokok kretek itu.
Sepertinya banyak pertanyaan di benaknya soal tata kehidupan beragama etnis Tionghoa di Indonesia. Along tidak begitu paham jika etnisitas itu bukanlah kebangsaan. Tetapi keputusan politik penguasa negara.
Sebetulnya di kalangan warga negara yang digolongkan “etnis China”, persentase yang tidak merayakan Imlek cukup besar. Dan mereka yang merayakan Imlek juga ikut merayakan Natal atau Idul Fitri, atau Velentine. Selama belum jelas benar Imlek itu milik siapa, keputusan negara untuk merayakan Imlek sebagai hari besar nasional bukanlah suatu hal yang luar biasa, sebagai “pembebasan” warga Tionghoa dari penindasan rezim Orde Baru.
“Saya pikir, libur Imlek itu bukanlah keputusan luar biasa,” tanggap Along.
Ayung hanya menatap ke arah wajah Along. Ia tidak tahu mengapa Along berargumentasi seperti itu. Ayung pun tak punya pemikiran lain untuk mempersoalkan pandangan Along yang belum dapat diterimanya itu.
Sepengetahuanya, hari raya Imlek dirayakan oleh masyarakat Tionghoa tanpa membedakan agama dan kepercayaan, karena mempunyai makna pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan pada tahun yang lalu. Sekaligus permohonan berkat dan pertolongan Tuhan pada tahun yang akan datang. Maka Imlek disebut sebagai “Hari Pengucapan Syukur” atau “Thanksgiving Day”.
Along dan Ayung kemudian meninggalkan Vihara Thay Hin Bio. Sementara orang-orang semakin ramai mengunjungi kelenteng itu. Mereka datang dari berbagai tempat. Along sore nanti ada janji bertemu Lina. Ia menyuruh Ayung sendirian mengantarkan pesanan obat ke stokis atau agen di Kota Metro.

Tidak ada komentar: