Minggu, 21 Desember 2008

34

“Dasar perempuan binal! Lonte! Mampus saja kamu!” umpat Lastri di depan Umar.
“Hei! Ingat ya! Aku tidak mau kamu menjenguk perempuan gila itu! Biarkan saja! Biarkan ia sekarat sampai mati! Dasar perempuan tak tahu diuntung!”
“Ia butuh bantuan. Saya masih suaminya, Mbak.”
“Terserah! Kalau kau tidak mau mendengar perintahku, silahkan pergi! Dan ingat, kamu jangan menginjak rumah ini! Saya tidak butuh kamu lagi!”
Umar hanya diam. Wajahnya terlihat tegang. Ia balikkan pandangannya ke luar rumah. Ia takut memandang wajah majikannya itu.
“Hei! Lelaki bodoh! Kamu dengar enggak omonganku?”
Umar tidak menjawab. Ia berjalan mendekati jendela. Pandangannya kosong ke arah laut. Dengan luapan marah Lastri mendekati Umar. Lalu dengan kasar tangannya mencolek telinga buruh nelayan itu.
“Kamu tuli, ya?”
“De..de..dengar. Mbak. Tapi tolong, tolonglah, Mbak.”
“Apa? Tolong? Hahahaaa...! Umar...Umar, aku sudah banyak menolong keluargamu. Setiap kalian kesusahan selalu larinya ke rumah ini. Sementara apa yang sudah kalian berikan? Tidak ada! Nol..! Hanya menyusahkan!”
Lastri diam sesaat. Ia menatap dari belakang tubuh kekar di jendela itu. Kemudian menyalip ke depan jendela dan berbalik menghadap Umar. Matanya menatap dalam ke wajah Umar. Kedua tangannya lalu merangkul pundak Umar. Buruh nelayan ini tidak bergeming. Ia melihat tatapan mata majikannya yang berubah asing. Perempuan itu lalu merapatkan tubuhnya ke Umar.
“Saya lupa, Mar. Ada, ada yang kau berikan kepadaku,” ucap Lastri pelanber lagak mesra. Umar Tak tahan menatap lama-lama mata Lastri. Ia mencoba menghindar dengan membuang tatapannya ke luar jendela. Tetapi Lastri lebih sigat. Kedua tangannya membalikkan kembali wajah Umar ke hadapannya.
“Ya...ini, benda ini, yang kamu berikan kepadaku, Mar. Cuma benda ini, Mar,” bisik Lastri pelan ke telinga Umar, sembari tangan kirinya menyentuh selangkangan celana panjang Umar, menggenggam kemaluan lelaki ini. Umar tetap diam.
“Dan Aku....tidak lagi membutuhkannya!” bisik Lastri sambil tersenyum lepas.
Umar tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Ia menatap laut. Melihat bagan dan perahu nelayan, juga kapal motor angkutan air yang menyeberangkan penumpang dari Pulau Pasaran menuju dermaga Ujungboom.
Lastri kembali berbisik. “Kau dengar lelaki bodoh...Aku tidak butuh lagi benda ini.” Lastri belum melepaskan dekapannya ke tubuh Umar. Tangannya masih menggenggam kemaluan Umar.
“Sekarang singkirkan benda ini dari rumah ini. Artinya, kamu harus pergi, alias kembali ke gubukmu. Menjadi buruh kasar yang menjijikkan. Ayo, lelaki bodoh! Sekarang juga kemasi barang-barangmu..” bisik Lastri pelan tanpa beban.
“Dan ingat, jangan bawa anakmu. Begitu pula Lina dan Gofur. Mereka sudah milikku. Aku yang membiayai hidupnya.”
Umar tidak bereaksi apa-apa ketika Lastri pergi menistakan seperti sampah. Ia berdiri tegap kaku, bagai patung semen yang tidak memiliki jiwa dan amarah. Umar tetap menatap laut. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Ia bahkan tidak ingat apa yang baru saja diucapkan Lastri kepadanya.
Sejak kematian Boni, Umar bersama Lina dan anak bungsunya Gofur tinggal satu rumah dengan Lastri. Ditambah bayi Lina dan bayi Lastri. Meski tidak menikah, namun Umar dan Lastri hidup layaknya suami isteri.
Keduanya tidur satu kamar. Namun ketika bayi hasil hubungan Umar dan Lastri usia 10 bulan, ada perubahan di diri Lastri. Ia mengusir Umar dari kamarnya. Ia sendiri tidur satu kamar dengan Lina. Sejak itu Lastri acuh tak acuh terhadap Umar. Ia memperlakukan Umar tidak sekedar buruh nelayan, tetapi persis seperti jongos.
Meski ada pembantu, Umar sering diperintah Lastri membersihkan rumah, mencuci piring, bahkan membuatkan minuman untuk tamu Lastri. Lina tahu kelakuan Lastri terhadap bapaknya. Tetapi ia terkesan tak peduli. Bahkan Lina pun sering meminta bapaknya belanja sayur.
Sejak pisah kamar, hanya beberapa kali dalam satu bulan Lastri mengajak Umar tidur. Umar merasakan hubungan seksnya dengan majikannya ini berubah aneh. Kadangkala ia harus menanggung perih tubuhnya akibat luka memar dari kelakuan kasar Lastri kepadanya. Tetapi Umar tidak menolak atau melawan. Ia ikuti saja apa keinginan Lastri. Bahkan yang tidak bisa diterimanya, ketika suatu malam Lastri mengajak Umar masuk ke kamar ia dan Lina.
Di kamar itu, Umar dipaksa menyaksikan Lastri dan Lina berhubungan seks. Bahkan Lastri memaksanya ikut bermain seks bersama Lina. Umar merasa harga dirinya betul-betul diinjak-injak Lastri. Tetapi anehnya ia tidak punya keberanian menolak apa lagi melawan kehendak sang majikan. Perilaku aneh itu beberapa kali berulang.
Umar beranjak dari jendela dan menarik kursi, lalu duduk menghadap kembali ke laut. Suara beduk Dzuhur menyadarkan ia dari lamunannya. Umar teringat Baya. Kemarin, ia mendapat kabar dari petugas Lapas Rajabasa, Baya mengamuk di penjara.
Petugas Rajabasa mengabarkan pula, Baya dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Abdul Muluk. Kondisinya cukup kritis. Umar sangat terpukul. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menyesal. Sudah tak terhitung kesalahan dan dosa yang diperbuatnya terhadap isterinya.
Umar tak sanggup bertemu Baya. Ia tidak mau menambah beban penderitaannya. Sejak isterinya dipenjara, Umar hanya satu kali menjenguk, ketika mengantarnya dari sidang terakhir di Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Setelah itu ia tak pernah lagi datang, karena selalu dihalangi Lastri. Sementara Lina dan Gofur pernah beberapa kali menjenguk, tetapi tidak bisa bertemu karena Baya menolak ditemui kedua anaknya, dengan alasan tak tega dan takut membuat kesedihan yang lebih dalam lagi terhadap kedua anaknya.
Umar masuk ke kamarnya mengemasi pakaian dan barang pribadinya. Sebelum pergi ia mampir ke kamar Gofur. Ia melihat wajah Gofur di pigura yang tercantel di sebelah tempat tidurnya. Sementara di atas nakas di samping tempat tidurnya, ada gambar perahu dibingkai kaca dipajang di sana. Umar menoleh kembali ke foto Gofur. “Wajah itu begitu polos,” ujar pelan. Beberapa saat Umar tertegun menatap foto itu. Tiba-tiba mata lelaki itu berair.
“Nak, Bapak pamit. Teruslah menggambar, Nak. Kemarin, Bapak lihat gambar perahumu. Bagus sekali! Kamu pintar...” ucap Umar kepada foto itu.
“Bapak pamit...Nanti kita bertemu lagi, berkumpul bersama Ibu. Kita bisa berperahu lagi. Menjelajah laut dan pulau-pulau. Itu pasti. Bapak janji...” bisik Umar pelan sembari menyeka air matanya.
Sebentar lagi Gofur pulang sekolah. Umar buru-buru meninggalkan kamar bersama wajah polos yang terbingkai pigura itu. Ia tak mau sampai ketemu Gofur. Sementara dari kamar belakang terdengar tangisan dua orang Bayi bersahut-sahutan. Umar sempat menoleh ke arah suara itu. Ia sempat tersenyum kecil, lalu pergi.

Tidak ada komentar: