Selasa, 02 Desember 2008

13

Kini suasana sangat berbeda. Perahu kecilnya terpaksa ditambat di dermaga, karena tak ada lagi pantai di sekitar Ujungboom, tempat Umar biasa berlabuh. Umar harus bertahan di atas perahu kecil miliknya dari hantaman gelombang kapal-kapal besar yang melintas.

Hari itu, air laut berubah coklat penuh logam industri. Elang laut tak pernah lagi singgah di atas cangkang. Mengapa pelaku industri meracuni laut? Mengapa nelayan kecil meledakkan terumbuh karang. Bom ikan dari belerang. Air limbah mengalir. Laut dipaksa menghirup racun dari permukaan sampai ke dasarnya. Ikan-ikan tangkapan nelayan berangsur pergi mencari wilayah baru. Tongkol dan Selar berubah sisik menjadi perak logam. Persis deformasi ikan-ikan animasi di televisi.
Sementara tubuh puluhan bukit di daratan terus digerus sampai ke kaki-kakinya. Tanahnya dibawa ke laut menimbun pantai. Bukit Kunyit, Bukit Camang, tinggal meranggaskan sebuah kekalahan. Dan proses ini berjalan secara alami. Biasa saja. Tidak ada kegelisahan. Semua berlangsung legal. Pemda kota dan parlemen mendukung perusakan itu dengan ratusan lembar ijin penambangan dan pengurukan. Suara sejumlah aktivis lingkungan hanya sekejap terdengar, kemudian hilang dibawa angin laut.
“Mengapa semua orang suka merampok alam?” tanya Umar kepada dirinya. Pertanyaan itu tak pernah terjawab oleh Umar, si buruh nelayan itu. Kalangan akademisi di kota itu pun, tak pernah bersungguh-sungguh menjelaskan moralitas nenek moyang mereka. Mungkinkah ada identitas sejarah disembunyikan? Sehingga tidak pernah ada tesis atau jawaban bahwa tradisi merampok tersebut adalah warisan sejati nenek moyang.
“Akademisi sekelas profesor, doktor, siapa pun orangnya yang diletakkan di proyek Teluk Lampung, selalu saja menjadi perampok,” ucap seorang aktivis lingkungan. Anak muda itu baru saja membuka buku hasil pemetaan Proyek Pesisir Teluk Lampung.
“Berkacalah di air laut, begitu sulit membedakan wajah orang suci dengan wajah penjahat,” kata Pak Husein, seorang nelayan tua di Cungkeng. Mungkin ada kaitannya dengan sejarah Telukbetung. Dermaga ini menjadi tempat berlabuh para pedagang bersenjata. Mereka datang dari Banten, Tionghoa, Melayu, dan Belanda.
Walau pun sulit menghubungkan kerja merampok, menjarah, dan merusak, dengan sejarah masuknya Belanda dan Inggris di Telukbetung, tetapi ada beberapa penandaan dan simbol-simbol budaya terbacakan.
Banyak dosa dan kesalahan yang semestinya dipertanyakan kembali. Sejatinya pantai dan pohon mangrove sudah ada dari masa lalu sebelum masuknya para pendatang baik melalui program pemerintah yakni masyarakat Jawa, maupun kelompok petani nomaden yang kebanyakan berasal dari Sumatera Selatan. Keutuhan pantai dan mangrove juga sudah ada jauh sebelum masuknya pengusaha dengan investasi pertanian, perikanan, dan perdagangan.
Semisal penghijauan pantai di Teluk Lampung sekarang nyaris punah akibat penebangan liar pohon mangrove dan petambak tradisional. Ya, sebagian besar pelakunya rata-rata para pendatang. Penimbunan pantai juga oleh pelaku bisnis para pendatang untuk kegiatan industrinya.
Kekuasaan ekonomi di kawasan Telukbetung sekarang didominasi kaum pendatang terutama etnis Tionghoa. Sebagian lagi investor dari Malaysia dan Korea. Ini dapat terlihat bertenggernya raksasa perdagangan di sana seperti, Bumi Waras-Sinar Budi Group, serta sejumlah perusahaan besar lainnya. Sukses warga Tionghoa ini tentunya dimulai dari usaha kerja keras mereka.
Telukbetung sejak dulu sudah menjadi bandar perdagangan di Bandar Lampung, selain Tanjungkarang. Mulai dari kawasan Panjang hingga Telukbetung, semua bisnis jasa dari industri perdagangan, pariwisata, dan transportasi laut dan daratan, dikuasai Bumi Waras. Ratusan ruko, gudang, restoran, pabrik, dermaga, super market, hotel, dan tempat hiburan, di kawasan Telukbetung itu, sebagian besar milik pengusaha Tionghoa. Selebihnya milik pengusaha lokal serta investor asing seperti pengusaha Korea, Malaysia, dan pengusaha dari Jawa.
Areal tempat bisnis mereka ada di pinggir laut. Mereka terus meluaskan lahan tempat usahanya dengan menguruk pantai hingga beratus-ratus meter menjorok ke laut. Areal reklamasi tersebut seakan hendak melahap habis pesisir hingga ke tengah laut. Tidak ada lagi pantai untuk nelayan kecil menambat perahu. Pemda kota dan parlemen menganggap tidak begitu perlu memikirkan perusakan itu. Mereka hanya berpikir lima tahun saja, sesuai masa jabatannya. Mereka membiarkan kekayaan sejati milik leluhur untuk dijarah, direjam, dan dimusnahkan demi kebutuhan sesaat.
“Mengapa orang semakin hebat merusak alam?” Umar sering mengulang-ulang pertanyaan itu kepada Pak Lurah atau kerabat sekampung. Umar teringat petuah leluhur. Bapaknya pernah berpesan, “Jangan merusak alam, karena ia memberimu hidup.” Bapaknya juga berpesan, karena begitu banyak alam memberimu kehidupan, maka berilah apa yang bisa kau berikan untuk alam, walaupun hanya menancapkan sebatang pohon duku atau durian. “Kamu telah memberikan sesuatu yang tak ternilai bagi kehidupan anak cucumu,” pesan bapak itu masih diingat Umar.
Umar teringat bagaimana tradisi menghargai alam oleh tetuanya itu masih terlihat di kawasan hutan damar di Krui, Lampung Barat. Repong damar tersebut menjadi contoh dunia, bagaimana orang-orang dulu menanam damar, mengambil getahnya untuk kehidupan mereka, tetapi juga memberikan kehidupan bagi alam. Sementara pohonnya berfungsi penyangga air dan penahan longsor. Repong damar mata kucing tersebut merupakan maha karya leluhur yang memberikan sumber kehidupan bagi alam dan anak cucu sampai sekarang ini.
Kebijakan dan kearifan leluhur terhadap alam tinggal kenangan. Saat usia kanak-kanak Umar masih merasakan angin laut setiap hari menampar tubuhnya. Kakinya selalu berendam ke pasir pantai.
Kini suasana sangat berbeda. Perahu kecilnya terpaksa ditambat di dermaga, karena tak ada lagi pantai di sekitar Ujungboom, tempat Umar biasa berlabuh. Umar harus bertahan di atas perahu kecil miliknya dari hantaman gelombang kapal-kapal besar yang melintas, setiap akan menuju bagan ikan tempatnya bekerja. Umar harus sigap menjaga keseimbangan perahunya acap kali berlintasan kapal-kapal besar yang lalu lalang di perairan Teluk Lampung.
Hanya perahu kecil terbuat dari kayu mentru itulah, sisa-sisa kebanggaan dimiliki Umar atas riwayat nelayan masa lampau. Perahu tanpa motor itu dibuatnya sendiri ketika ia ikut kerja dengan Aziz, warga Ujungboom asal Kota Agung.
“Hai, Mar, kemana saja kau. Betah ikut juragan Boni?” sapa Aziz saat disinggahi Umar di tempatnya bekerja.
“Ya..betah Daeng.”
Umar biasa memanggil Aziz dengan ucapan Daeng mengikuti panggilan di keluarga Aziz yang berasal dari Bugis itu.
“Bagaimana usaha Daeng?”
“Sulit, Mar. Tahun kemarin hanya tiga kapal motor jaring bisa kita kerjakan, karena terbentur bahan baku,” kata Aziz sambil mengomandoi anak buahnya menyambung potongan papan di bagian kepala kapal motor pesanan yang tengah dikerjakan.
“Maksud Daeng, bahan baku kayu mentru.” Tanya Umar.
“Ya...kayu mentru, kayu langitan, juga sulit didapat. Kapal ini terpaksa saya buat dengan kayu jati. Tapi tak apalah, meski bobot beratnya bertambah, tetapi daya tahannya sekelas dengan mentru atau langitan,” kata Aziz menunjuk kapal yang dipesan Haji Rasyid, salah seorang pengusaha ikan di kampung itu.
“Tapi harganya apa tak lebih mahal?”
“Tentu saja. Habis bagaimana lagi. Pak Haji Rasyid sudah berupaya ikut mencarikan, tetapi tidak ketemu juga. Semua jalur dari mulai panglong, sawmil, sampai pengusaha pemilik HPH yang ditemuinya, tetap nihil.”
“Sudah coba kontak Pak Alim di Palembang?”
“Sudah, tahun kemarin masih ada kayu langitan sepanjang 10 meter dari Palembang. Tapi harganya justeru lebih mahal dari kayu jati,” jelas Daeng sembari mengepulkan rokok kreteknya.
Beberapa tahun lalu, ketika Umar masih ikut kerja dengan Aziz, bahan baku kayu Mentru dan Langitan untuk membuat kapal motor, masih bisa didapat dari pulau-pulau sekitar perairan Teluk Lampung. Namun sekarang sudah tidak ada lagi. Padahal hanya beberapa tahun saja.
Bahan baku kayu yang digunakan untuk ukuran kapal dengan panjang 12 meter, lebar 2,80 Meter, dan tinggi 1,8 Meter, sekitar dua kubik balok dan empat kubik papan.
Aziz menggeluti usaha membuat kapal motor jaring sejak 12 tahun lalu. Keteram-pilan membuat perahu ini didapat dari orangtuanya di Kota Agung yang juga pembuat perahu. Sejak memulai usahanya dari Kota Agung ke Telukboom, Umar sudah ikut Aziz. Ketika Umar pindah kerja menunggu bagan ikan Boni, usaha Aziz sempat berhenti. Kemudian bangkit lagi dan hingga sekarang mulai ada kemajuan. Saat ini ia dibantu tiga orang pekerja harian. Mereka dibayar setiap akhir pekan.
Dengan tenaga tiga pekerja itu, satu kapal jaring dapat diselesaikan dalam waktu tiga bulan. Biaya pembuatan satu kapal motor jaring 25 juta rupiah. Dijual ke pemesan 30 juta rupiah. Selain mengerjakan pesanan, kadangkala Aziz membuat lebih dulu kapal tangkap ikan dari modal orang lain dengan sistim bagi hasil.
Matahari mulai merayap sepenggala tingginya. Ketika Umar mau pamit pulang, isteri Aziz mencegatnya. Ia menyodorkan kopi dan gorengan. Umar terpaksa menunda pergi, karena tak enak sama isteri Aziz.

Tidak ada komentar: