Angin Timur bertiup kencang melemparkan ombak laut, menghantam hingga ke paha bagan dan kapal ikan. Tidak ada nelayan melaut hari itu. Sejak pekan lalu, badai di Teluk Lampung cukup kencang terutama pada malam hari.
Seorang lelaki tertegun di bibir jembatan menuju dermaga Ujungboom. Rumah-rumah kumuh nelayan di sekitar dermaga terlihat samar tertutup kabut. Jalanan menuju Gudang Lelang tampak lengang.
Di perempatan gang, sepetak rumah panggung kecil nampak semakin reyot dan tua. Lelaki itu tersenyum kecil. Ia teringat bapak dan ibunya. Rumah yang ia tempati bersama isteri dan kedua anaknya itu, adalah sisa warisan kedua orang tuanya.
Lelaki itu lalu berjalan menyisiri jembatan. Tidak ada orang hilir mudik mengangkut ikan dan kebutuhan nelayan. Kondisi alam menghentikan aktivitas mereka.
Dari ujung dermaga lelaki itu memandang hamparan lahan reklamasi yang dibiarkan kosong dan terlantar. Hanya ada satu bangunan gardu pos yang dipasang portal besi tempat petugas keamanan proyek berjaga.
Kemudian pandangan lelaki itu kembali ke sekitar dermaga. Ia menoleh ke arah perahu kecil yang tertambat di pinggir dermaga. Perahu itu bertahun-tahun menjadi sahabat setianya di laut. Sembari melangkah ke arah perahu, ia sempat berpikir. Teringat anak lelakinya yang sering menggambar perahu itu.
Angin kencang di pinggir dermaga Ujungboom terus menampar kampung pesisir. Langit mendung. Lelaki itu terus menatap ke sekeliling dermaga. Rambutnya yang mulai beruban berantakan diterpa angin.
Suasana di pesisir Teluk Lampung, sore itu, terasa sangat asing. Perahu katiran dan kapal penangkap ikan yang bersandar di dermaga saling berbenturan diterjang ombak. Di media massa, Badan Meteorologi dan Geofisika memprediksi tinggi gelombang di perairan Teluk Lampung masih normal, karena di bawah satu meter. Meski pun menurut nelayan ketinggian gelombang sudah mencapai 1,5 Meter.
Kilat bersambut petir menyalak. Hujan perlahan turun. Lelaki itu tidak berusaha berlindung. Ia biarkan tubuhnya diguyur hujan. Wajahnya mulai terlihat pucat dan kedinginan. Giginya menggeretak. Hujan semakin deras. Seakan tidak memberi kesempatan lelaki itu mengenali kembali indentitas kampungnya.
Hanya sepintas wajah orang-orang tercinta terlihat di antara garis hujan. Mereka pergi semakin jauh. Wajah lelaki tersebut semakin tua dan pucat. Ia berusaha menemukan wajah terkasih di antara jeruji hujan yang kian lebat. Tetapi hanya kedinginan yang mulai membekukan tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari mulut lelaki.
“Baya..! Akulah pendosa! Lelaki sial yang bodoh!”
Entah apa maksud teriakan Umar warga pesisir itu. Terlihat tangannya merogoh saku celananya. Ada seutas potongan kain sabuk kecil dikebatkannya ke kepalanya. Kemudian seperti aktor tengah bermain drama, lelaki itu bertolak pinggang wajahnya menghadap ke laut.
“Baya...! bertahanlah, Bu! Kita lawan mereka! Kita lawan mereka!” pekiknya.
Tubuh lelaki itu terlihat mengeras geram. Seakan hendak memecahkan kedinginan. Ia menatap laut dengan sorot mata penuh kemarahan. Sementara gerimis semakin tajam menusuk wajahnya.
Sembari menahan gigil, lelaki itu menuju perahu. Melepaskan tali tambang. Lalu mendayung penuh dendam. Melawan hantaman ombak dan badai.
Ia terus mendayung. Meninggalkan dermaga. Meninggalkan kampung. Melintasi pulau, kapal-kapal, bagan-bagan ikan, serta kecerian sore di pesisir Teluk Lampung.
Langit kelam! Kedinginan yang membungkus tubuhnya seakan hendak membekukan kemarahannya. Umar terus melawan dingin yang terasa menusuk tulang sumsum. Ia terus mendayung penuh dendam. Terus mendayung melawan ombak.
Sementara di atas kepalanya, camar laut berteriak-teriak menakikkan kemarahan kepada ombak yang sombong. Lenggak-lenggok badai yang selalu bersiasat.
“Hai! Kalian warga pesisir Teluk!” teriak Umar memecah kesunyian sore itu.
“Akulah, raja lautan!”
“Aku menjemput dewa-dewi muncul dari pertapaannya! Aku mau kawin!” Umar mengoceh sendiri. Ia merasa tinggal sendiri. Baya dipenjara. Harta berharga miliknya, Lina dan Gofur, dirampas Lastri.
Ia tak tahu kemana harus meminta keadilan.
Lelaki pesisir, buruh nelayan.
Umar tumpahkan kemarahannya ke laut. Dendam dan kekalahan bergumul di antara keringat dingin yang mulai membilas kelembaban hujan di tubuhnya.
Buruh nelayan itu terus mendayung dengan sisa-sisa tenaga dan keberaniannya. Meninggalkan segala penandaan di Teluk Lampung. Beberapa saat setelah itu petir kembali menyalak. Seperti hendak menebas kepalanya. Umar terus mempercepat mendayung perahunya yang turun naik dimainkan ombak.
Ia terus melaju berkejar-kejaran dengan kilatan petir yang membentuk garis lurus di permukaan laut. Lelaki pesisir itu semakin terlihat kecil. Sementara petir semakin dekat menjilati air laut. Badai terus membesar. Seakan hendak menyapuh bersih kapal, bagan, dan pulau-pulau di Teluk Lampung.
Sore itu, petir dan badai menjadi monster yang siap memangsa dan melumat Teluk Lampung. Kilatannya menyenter wajah lelaki pesisir itu.
Tetapi, Umar dan perahunya semakin jauh menuju ke laut lepas.
Minggu, 21 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar