Gelombang pengungsi malam itu, terus membesar hingga puluhan ribu orang. Mereka bergerak dari berbagai arah menuju kota yang posisinya lebih tinggi. Suasana kawasan Telukbetung-Panjang, sekitar pukul satu dini hari, berubah seperti pasar malam.
“Air laut naik! Air laut naik!”
“Tsunami! Tsunami!”
“Lari! Lari…!”
“Hei! Ada apa teriak-teriak?”
“Air laut naik!”
“Apa? Air laut naik?”
“Ya! Cepat!”
“Selamatkan keluargamu!”
“Ba..baik!”
“Air laut naik! air laut naik!”
“Air laut naik?”
“Tinggalkan rumah kalian!”
“Ayo! Ayo! Semua ke arah dermaga!
“Lari ke dermaga!”
“Perhatian…perhatian! Bapak-bapak..ibu-ibu! semua warga Pulau Pasaran, kami mendapat kabar air laut naik! Untuk itu semua warga, sekarang ini juga, segera meninggalkan Pulau Pasaran!”
Peringatan dari pengeras suara musholla semakin membuat kepanikan warga Pulau Pasaran. Mereka berhamburan keluar rumah. Sebagian besar tidak sempat lagi mengamankan harta dan barang-barang berharga miliknya.
Pengeras suara musholla kembali berteriak. “Kepada seluruh warga. Kami ingatkan supaya mengamankan barang-barang yang berharga saja di rumah Anda. Seperti ijazah, surat tanah, emas serta uang! Segeralah menyelamatkan diri ke bukit-bukit atau tempat tinggi lainnya.”
“Ayo! Cepat!” sentak awak perahu kepada warga yang berebutan naik ke perahu di dermaga kecil Pulau Pasaran itu. Dalam waktu singkat ribuan orang memenuhi bantaran dermaga. Mereka menunggu diseberangkan ke Ujungboom.
Arus pengungsi besar-besaran dari Pulau Pasaran ke Telukbetung itu, spontan membuat heboh warga di sana. Mereka tanpa berpikir panjang turut berkemas meninggalkan rumah. Musholla dan masjid, serta ketua-ketua RT dan RW meneruskan berita air laut naik itu ke warganya. Informasi terus menyebar sampai ke wilayah pesisir Teluk Lampung. Dari Kecamatan Panjang hingga Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan.
Gelombang pengungsi malam itu, terus membesar hingga puluhan ribu orang. Mereka bergerak dari berbagai arah menuju kota yang posisinya lebih tinggi. Suasana kawasan Telukbetung-Panjang, sekitar pukul satu dini hari, berubah seperti pasar malam. Puluhan ribu pejalan kaki berjejal melintasi Pasar Kangkung. Mereka mengapit buntalan kain. Wajahnya terlihat panik. Mereka berlarian menuju Tanjungkarang. Ibu-ibu dan anak-anak menyusuri trotoar tanpa alas kaki. Ada yang tak sempat mengganti daster tidur. Terlihat ada bayi di gendongannya.
Sebagian warga yang memiliki kendaraan mengungsi sampai daerah perbukitan seperti, Bakung, Sukadanaham, sampai ke Plang Besi, Kemiling. Bahkan mengungsi ke luar kota, Pringsewu dan Kota Metro. Mereka menggunakan mobil, sepeda motor, angkot, dan truk.
Di pusat kota, arus pengungsi memadati Mapolda, Kantor Gubernur dan DPRD Lampung. Pemandangan serupa terlihat di bundaran Lungsir Kantor Walikota dan Masjid Al-Furqon. Warga di kawasan Panjang sebagian mengungsi ke daerah Geruntang dan Pidada. Bahkan ada yang naik ke bukit sampai ke Kecamatan Merbau Mataram.
Tempat hiburan kawasan Jalan Yos Sudarso, setelah mendapat informasi air laut naik spontan ditutup. Tamu, karyawan, maupun pengelolanya, bergegas menyelamatkan diri.
“Ayo! Bubar..bubar! ada tsunami!” teriak pelayan sebuah karaoke kepada tamu yang lagi kencang-kencangnya “nge-on” ekstasi.
“Apo polisi? Oi...! kawan-kawan bubar...bubar! ado razia polisi!” teriaknya.
“Bukan polisi, mang, tsunami!” ujar pelayan ke telinga lelaki itu.
“Air laut naik!” tambah pelayan lainnya yang sudah mengenakan jaket dan helm motor bersiap kabur.
“Tsunami?” tamu kamar itu masih bengong.
“Tsunamiiiiiiiiii...!” teriak pelayan mengerdap-ngerdipkan mata sambil kedua tangannya menggapai ke atas, seperti sedang timbul tenggelam di air.
“Ya...Tsunami! kayak di Aceh sono tuh!” tegas pelayan lain setengah berlari meninggalkan kamar karaoke. Para tamu kontan panik. Dengan sisa tenaga yang masih ada mereka kabur menuju kendaraan masing-masing yang terparkir di halaman samping gedung karaoke.
Sampai pukul tiga dini hari, gelombang pengungsi terus mengalir ke kota. Tamu-tamu hotel, seperti Hotel Sahid yang berjarak sekitar 100 meter dari pantai, sebagian besar keluar hotel, terutama tamu-tamu yang menginap dari Lampung.
Kepanikan puluhan ribu warga lima kecamatan di pesisir Teluk Lampung, betul-betul mengubah wajah Kota Bandar Lampung dini hari itu.
Kepanikan warga akibat kabar naiknya air laut dan gelombang tsunami ini meredah setelah petugas polisi berkeliling dengan pengeras suara di mobilnya menginformasikan kepada para pengungsi bahwa berita air laut naik dan tsunami itu adalah bohong. Polisi meminta masyarakat agar kembali pulang ke rumah masing-masing.
“Kepada seluruh masyarakat, kami umumkan. Tidak ada tsunami! tidak ada air laut naik! itu berita bohong!” teriak petugas polisi melalui pengeras suara yang dipasang di mobil Kijang pick up itu.
“Sekali lagi kami himbau, segera kembali ke rumah masing-masing! Tidak ada tsunami! Kami tegaskan, tidak ada tsunami!”
Namun himbauan petugas. Tidak ditanggapi pengungsi. Mereka tetap saja bertahan. Bahkan ada yang menanggapi sinis.
“Akh! Polisi, sok tahu aja!”
“Iya! Ini soal alam, bukan kriminal!” sahut pengungsi lainnya.
“Awasi saja rumah warga supaya tidak dijarah maling!”
“Cocok!” tanggap warga lainnya sambil tertawa.
“Keluarga mereka malah lebih dulu mengungsi.”
“Di kampungku bukan cuma keluarga polisi. Pos polisinya juga udah ditinggal kabur! Hahaha..!”
Umar yang sejak sore ada di bagan, begitu mendengar adanya gelombang pengungsi dari Pulau Pasaran di dermaga Ujungboom, bergegas pulang dengan perahu kecilnya. Tetapi setiba di Ujungboom, tidak terlihat lagi ada orang di sana. Suasana sudah lengang. Ia berlarian menuju ke rumahnya. Namun keadaannya sama. Umar hanya mendapatkan rumahnya yang kosong dan tak sempat terkunci. Ia menduga isteri dan kedua anaknya sudah pergi meninggalkan rumah.
Setelah mengunci rumah. Umar berjalan ke arah gudang garam. Di sana ia baru bertemu beberapa orang sedang berjaga. Ia menanyakan keberadaan warga mengungsi. Setelah mendapat penjelasan. Umar bergegas menuju Mapolda lewat Jalan Ikan Tenggiri. Umar yakin isteri dan kedua anaknya mengungsi tidak jauh dari markas polisi itu.
Sekitar pukul lima subuh, Umar mendapatkan Baya, Lina, dan Gofur, bersama majikannya Boni dan Lastri nongkrong di depan Kantor DPRD Lampung. Dengan kendaraan majikannya, mereka kembali ke Gudang Agen.
Pagi harinya, Badan Meteorologi dan Geofisika atau BMG Branti, menjelaskan melalui berita televisi membenarkan gelombang air laut di perairan Teluk Lampung dan Selat Sunda memang mengalami kenaikan. Hal itu akibat peralihan musim, dari angin Barat ke angin Timur. Kejadian itu, menurut BMG, sudah biasa setiap masuk Maret-April setiap tahun. Kenaikan itu pun masih di bawah satu meter katanya.
Selain pesisir Teluk Lampung, warga di kawasan Pulau Sebesi, Canti, Kalianda, Lampung Selatan, malam itu juga mengungsi ke ibukota kabupaten. Warga khawatir karena diisukan Gunung Anak Krakatau kembali menyemburkan larva pijarnya. Warga dikabari akan datang gempa vulkanik yang akan diikuti naiknya air laut atau tsunami.
Heboh tsunami itu ternyata belum berakhir selama satu minggu. Sebagian warga Pulau Pasaran hanya siang hari berada di sana karena bekerja. Malam harinya mereka mengungsi ke daerah Bakung, yang berjarak sekitar lima kilometer dari Pulau Pasaran.
Senin, 15 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
sip! kapan terbit...
awal tahun depan, kirim saja alamatmu, nanti tak dikirim dek..salam keluarga
Posting Komentar