Sabtu, 06 Desember 2008

17

“Itu tidak benar! Kami tidak pernah membiarkan pegawai kami berbisnis narkoba di dalam penjara. Dan saat oknum pegawai kami, Manuntung, digeledah polisi, narkoba itu tidak ditemukan dalam kamar sel atau lingkungan kami.”
“Dor!”
Baya tersentak bangun dari seharian tidur. Warga Rajabasa heboh. Manuntung pegawai penjara itu roboh. Sebutir peluru bersarang di kaki kirinya. Beberapa saat setelah itu pistol polisi kembali menyalak. Tubuh Sapuar alias Woro, narapidana kasus narkoba yang menjalani hukuman lima tahun penjara itu, tersungkur ke tanah. Sebutir lagi peluru si “jago” tembak menembus kaki kanannya.
Manuntung sehari-hari pegawai bagian aministrasi penjara Rajabasa itu, ditangkap tim Satuan Narkoba Polda Lampung, siang itu. Kawan se kantornya, tidak menyangka pegawai yang murah senyum itu, terlibat jaringan peredaran pil Ekstasi, Sabu-Sabu, dan Putau. Menurut penyidik, barang haram itu diedarkan ke para tahanan di lingkungan Rajabasa. Sisanya dijual ke luar penjara, melalui dua orang, Jery, residivis kasus narkoba, dan kurirnya Bonga.
Jery dan Bonga, juga dibekuk dengan tembakan polisi ke kaki keduanya. Dari empat orang sindikat narkoba ini, polisi menyita 84 butir Ekstasi, 15 Gram bubuk Sabu-Sabu, dan enam paket Putau.
Manuntung mengaku kepada penyidik bahwa barang tersebut didapatnya dari Woro, narapidana yang masih menjalani masa hukuman di Rajabasa. Polisi lalu menjemput Woro dari kamar sel tahanan Rajabasa. Woro setengah sadar mengaku, setelah kakinya ditembus peluru.
“Kami berhasil mengungkap jaringan peredaran narkoba ini, setelah anggota kami melakukan penyamaran jadi pembeli. Dari oknum Lapas itu kami menyita 10 butir Ekstasi,” kata Aguspati, Kasat Narkoba berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi itu. Para wartawan bergerombol di depan keempat tersangka yang sedang diobati luka tembaknya oleh petugas medis UGD, Rumah Sakit Umum Abdul Muluk, Bandar Lampung.
“Mereka ditembak karena berusaha kabur, ketika dibawa ke Mapolda,” kilah perwira polisi itu.
“Apa masih ada oknum Lapas lainnya yang terlibat, Pak?” tanya wartawan.
“Kita tunggu saja hasil pengembangan penyidikan,” jawab sang perwira polisi itu sembari menuju ke mobilnya.
Mendengar kejadian itu, desas-desus adanya obat-obatan terlarang seperti ekstasi, putaw, dan shabu-shabu, beredar di kalangan tahanan Rajabasa mulai terjawab. Baya tidak tahu bagaimana caranya barang itu bisa masuk ke penjara yang dijaga ketat dengan prosedur berlapis-lapis. Artinya, tidak mungkin barang kiriman dari luar itu masuk kalau tidak ada kerjasama dengan oknum petugas Rajabasa. Dan polisi telah membuktikan hal itu.
Beberapa penghuni kamar sel, sebetulnya sudah tahu kalau narkoba beredar dan dikonsumsi sejumlah penghuni penjara Rajabasa. Baya kadangkala mendengar suara tahanan berteriak, menjerit-jerit di kamar sel Blok laki-laki. “Ada apa dengan napi itu?” tanya Baya ke petugas penjara. “Biasa. Sakau!,” jawabnya. Semula Baya tidak tahu apa itu sakau. Tetapi setelah dijelaskan oleh salah seorang kawan satu selnya, ia mengerti. Bahwa jeritan itu adalah jeritan orang-orang yang kecanduan narkotika atau psikotropika.
Dari peristiwa Manuntung, Baya menyimpulkan bahwa “sakau” adalah ketergantungan seseorang untuk terus-menerus mengonsumsi obat-obat terlarang. Kondisi itu dimanfaatkan oknum petugas penjara dan napi mengambil keuntungan berbisnis narkoba dalam lingkungan penjara.
“Bukan rahasia, jika ada narapidanai dari dalam sel mampu mengendalikan bisnis narkoba di luar penjara,” pancing seorang wartawan di kantor polisi.
“Kasus ini telah menjawabnya,” sahut perwira polisi senyum tipis.
“Ya! Tapi apa cuma Manuntung, Pak! Ia ‘kan pegawai administrasi yang tidak punya kontak langsung dengan napi,” tanya wartawan lainnya.
“Maksud Anda?”
“Saya curiga, ada orang penting di penjara itu membeking bisnis narkoba ini.”
“Pa..pa..paling tidak…ke..ke..kepala blok ta..tahu, Pak!” potong seorang wartawan lain bersemangat.
“Atau KPLP-nya, selaku orang kedua di bawah Kalapas,” ujar seorang wartawati dari televisi.
“Itu baru asumsi dan dugaan-dugaan. Petugas kami masih mengembangkan kasusnya?” jawab perwira polisi berpangkat Ajun Komisaris Besar itu.
“Untuk mengendalikan bisnis narkoba dari penjara, kuncinya adalah komunikasi. Artinya ada sarana komunikasi yang dapat diakses atau digunakan oleh narapidana itu. Setidaknya, melalui handphone di kamar tahanannya. Supaya setiap waktu ia bisa berkomunikasi dengan banyak orang, baik di dalam maupun di luar sel,” kata seorang wartawan berkaca mata tebal mencoba menggiring jawaban sang perwira polisi.
“Gila..! Hebat juga tuh analisa dia,” bisik seorang wartawati perempuan senyam senyum kepada rekannya yang lagi bengong duduk di sebelahnya.
“Nah itu! Semakin kuat dugaan ada orang penting di balik transaksi dan peredaran narkoba di sana,” kata wartawati berkaos oblong itu, bersemangat memotong kalimat si kacamata tebal.
Wartawan berkacamata tebal itu terganggu karena kalimatnya dipotong. Ia tidak meneruskan pertanyaannya.
“Hei..Ros! ja..ja...ngan dipotong dulu. Ia belum selesai bi..bi..bicara!”
“Maaf ya. Silahkan diteruskan!”
Lelaki berkacamata tebal hanya diam. Mukanya terlihat kesal. Ia sudah tak bernafsu meneruskan pertanyaannya.
“Akh, sudahlah! Jangan terlalu banyak analisa. Apa lagi berspekulasi menuduh tanpa bukti. Yang jelas petugas kami akan bekerja keras mengungkap kasus ini. Dari pemasok besarnya, sistim jaringan peredarannya, serta siapa-siapa yang terlibat. Jadi saya harap kawan-kawan wartawan bersabar,” jawab perwira polisi didampingi dua orang stafnya.
Kejadian di penjara Rajabasa, bisa saja terjadi di penjara-penjara lain. Karena berkaitan perilaku individual seseorang bukan kelembagaan. Pemberitaan media massa pun tergantung cara pandang wartawannya melihat fakta, dan menuliskannya. Seperti wartawan berkacamata tebal itu, ia melihat lebih dalam, bukan karena bekerja di media mingguan saja. Tetapi memang cara pandangnya sudah terbentuk. Sehingga ketika melihat suatu peristiwa, tidak hanya permukaannya saja. Tetapi lebih cenderung melihat sesuatu di balik peristiwa itu sendiri.
Sehari setelah penangkapan keempat sindikat narkoba itu, pihak Rajabasa, melalui media massa koran dan televisi, membantah tuduhan polisi tentang adanya peredaran Narkoba di lingkungan penjara Rajabasa.
Pelaksana Harian Kalapas Rajabasa, Syaiful Ikzal berkata, “Itu tidak benar! Kami tidak pernah membiarkan pegawai kami berbisnis narkoba di dalam penjara. Dan saat oknum pegawai kami, Manuntung, digeledah polisi, narkoba itu tidak ditemukan dalam kamar sel atau lingkungan kami.”
“Kami selalu rutin melakukan sweeping dari blok ke blok tahanan. Setiap kamar sel diperiksa. Apa yang kami lakukan itu, adalah komitmen kami terhadap pemberantasan Narkoba,” katanya sedikit emosional atas pemberitaan media massa hari itu. Ia justru mempertanyakan prosedur penangkapan yang dilakukan aparat Polda Lampung ke dalam lingkungan Rajabasa.
“Lantas, sanksi apa untuk Manuntung?” tanya wartawan.
“Dipecat! Jika terbukti salah!” tegas Syaiful berapi-api.
Banyak romantika terjadi di sejumlah penjara di Lampung. Kasus narkoba yang melibatkan pegawai penjara Rajabasa tidak berhenti di situ. Beberapa waktu kemudian, Supro, sipir penjara Rajabasa, ditembak Tim Narkoba Polda Lampung. Ia dibekuk di luar penjara, ketika mengedarkan Sabu-Sabu dan Ekstasi, bersama dua rekannya. Dari mereka polisi menyita 43 gram sabu-sabu dan 400 butir ekstasi.
Di penjara Krui, Lampung Barat misalnya, Sugeng, kepala penjara yang pernah bertugas di sana, dipenjara karena meminjamkan senjata api dan mobil dinas tahanan kepada narapidana untuk merampok sapi. Kasus ini terungkap ke media massa setelah perampok-perampok itu tertangkap polisi.
Masalah lain di rumah tahanan atau penjara di Lampung, adalah buruknya sarana kesehatan. Setiap tahun antara 20 hingga 25 orang napi atau tahanan meninggal dunia karena terserang berbagai penyakit. Tetapi tidak sempat tercium pers. Begitu pun kelayakan fasilitas lainnya seperti, kamar sel, daya tampung, gaji pegawai, dan lain-lainnya sangat pas-pasan.
“Adalah wajar bila masih terjadi upeti besuk, korupsi, atau hal buruk lainnya di penjara,” kata salah seorang staf penjara Rajabasa kepada wartawan.

Tidak ada komentar: