Jumat, 19 Desember 2008

30

Kamar sel Baya malam itu seakan dipenuhi ribuan kucing-kucing berkuku tajam, kotor, menjijikkan. Baya, Hesti, seluruh penghuni kamar penjara Blok D hari itu seakan kawin dan bersetubuh. Lalu bunting dan terus menerus melahirkan kucing-kucing yang menjijikkan. Satu per satu hewan ini mengacung-acungkan tangan kirinya ke atas. Sementara tangan kanannya mengenggam tikus-tikus penuh darah — yang barusan dirobek dengan cakarnya. Mereka meraung. Suaranya koor rapi seperti tentara menyanyikan lagu kebangsaan.
Kemudian kembali mencakar-cakar tembok penjara. Melubangi lantai semen. Mencakar-cakar panggung atau bale papan, mengoyak bantal. Mengoyak selimut dan barang-barang perempuan di kamar sel itu. Kucing-kucing itu mengamuki seisi kamar sel. Mereka kembali mengeong dengan suara koor yang menakutkan. Firasat apa? Jutaan kucing berkuku seperti tentara dengan sangkurnya yang runcing.
Peristiwa kucing-kucing itu, bukanlah sebuah mimpi yang memamerkan luka atau penderitaan. Karena mimpi seekor kucing bukanlah mimpi seorang tentara yang pernah mengirimkan senjata dan menembakkannya berkali-kali ke tubuh seorang mahasiswa bernama Rizal.
Anak muda itu bukan Che Guevara, si pemberani dari Selat Karibia – seperti wajah lelaki baret hitam di sablonan baju kaosnya. Atau sebuah kesedihan puitik dalam puisi yang tersimpan dalam buku harian demonstran. Atau tangisan pembantaian “Orang-orang Barunta” seperti dalam pentas Teater Potlot hari itu. Kucing-kucing di kamar sel meraung bengis. Menyusun bahasa; Memangsa atau dimangsa!
Kucing kotor itu bukanlah tahanan politik. Mereka terpidana karena kejahatan. Mereka meraung-raung bukan menahan pedih akibat kuku runcing yang saling mencakar. Seperti raungan batin Baya, yang menggerakkan dirinya membunuh Hesti, kemarin siang.
Baya mencekik leher Hesti dengan kain, saat sang jurnalis itu tidur. Prosesi itu berjalan begitu cepat. Seperti tidak ada sesuatu luar biasa. Semua menjadi wajar dan biasa saja. Tidak ada teriakan kesakitan atau bentuk perlawanan lainnya. Baya telah menyelesaikan proses penaklukannya hari itu. Sebentar lagi ia akan membunuh satu persatu kawan sekamar selnya.
Penjara dan kekerasan menjadi kekuatan menolak ditaklukkan. Baya harus berani membunuh dan terus membunuh untuk mempertahankan dirinya dari ancaman di sekelilingnya. Setiap orang adalah musuh. Dan kuku runcing seekor kucing menjadi siluet kekerasan, di balik gradasi kecemasannya.
Baya dan Umar adalah kucing yang mencakar kemana saja. Mereka adalah orang-orang pesisir yang dilahirkan karena proses kekuasaan dan penaklukan. Keduanya terkotakkan menjadi sebuah negara, ketimbang persamaan ras sebagai sebuah identitas. Along dan Lina, atau Mei Hwa, Boni dan Lastri, atau Neneknya Hesti, aktivis Gerwani itu, adalah orang-orang yang juga lahir dari proses kekuasaan dan penaklukan.
Baya dan Umar adalah prosa yang bermukim dalam kawasan tanpa sejarah dan identitas. Keduanya terseret spiritualitas semu dari kisah perjuangan nenek moyang. Mereka mengaku berjuang, tetapi orang lain menjadi pahlawan.
Syair kedigjayaan Lampung ternyata muncul dari daratan seberang. Seorang lelaki berkulit hitam, berkebat kepala, berdiri tegap di bundaran pintu masuk kota. Ia bertolak pinggang. Wajahnya mendongak ke langit. Menantang matahari. Seakan hendak menjelaskan sebuah kota yang dibangun dari kekerasan bajak laut.
Samar-samar Umar melihat Radin Intan mondar-mandir sibuk menjaga ribuan simbol yang harus diamankan dari buku sejarah hari ini. Umar ingin menangisi kota yang sudah tak bertuan. Hanya patung lelaki berkulit hitam dan berbulu tebal berdiri kaku di pintu kota. Tanpa aura. Tanpa denyut sejarah. Ia laksana monumen kaum pendatang dari seberang, yang begitu lancang menyimpulkan kisah perjuangan leluhurnya.
Baya dan Umar bukanlah prosa menarik untuk dikisahkan kembali hari ini. Karena tidak pernah ada penyesalan terucap dari mulut mereka. “Aku telah mengkhianti isteriku.” Atau pengakuan Baya, “Aku mengkhianati cinta suami dan anak-anakku.” Atau, “Maafkan aku, Bapak. Maafkan aku, Ibu. Aku telah mengkhianati kepercayaan dan harapan kalian.” Kalimat itu tidak akan pernah terucapkan oleh Lina, yang sekarang memomong bayi hasil nafsu bejatnya bersama Along – bukan dari Boni yang gagal memberi anak kepada isterinya, Lastri.
Bapak, Ibu, dan Anak itu, telah mengkhianati kesepakatan dalam keluarga mereka sendiri. Semuanya begitu cerdas memainkan peran masing-masing. Lina berhasil memanfaatkan situasi saat itu. Ia merasa jadi pemenang ketika sang Ibu harus menebus aib keluarga ke penjara. Sementara Lina tak pernah merasa malu melahirkan bayi tanpa suami.
Kehidupan di kamar sel Rajabasa, romantisme di pesisir Teluk Lampung, dan kelicikan industri di sepanjang Panjang-Telukbetung, seperti satu kesatuan dari potongan peristiwa kekerasan dan pengkhianatan masa lampau. Mereka menjadi kesatuan dari proses kekuasaan dan penaklukan dari pada kesamaan sejarah sebagai sebuah identitas.
Lantas, apakah mereka ikut ke dalam proses itu sendiri, seperti kehidupan di Telukbetung, serta proses kekalahan orang-orang pesisir oleh sebuah sistem penaklukkan yang telah berlangsung beratus tahun lampau.
Baya dan suaminya Umar, adalah pertemuan dua orang dari daratan yang berbeda. Sebagaimana proses penaklukkan ketika masuknya Belanda, Inggeris, Banten, Melayu, China, dan Jawa ke wilayah itu. Mereka berasimilasi, kawin dan melahirkan anak sebanyak-banyaknya. Anak itu adalah Umar dan Baya. Atau Along, Lina dan Mei Hwa, Hazairin yang dituduh aktivis PKI dan nenek Hesti anggota Gerwani, Jawad sang aktivis LSM, atau semua orang yang ada di pesisir Teluk Lampung.
Telukbetung menjadi pertemuan sebuah proses kekuasaan dan penaklukan. Umar, putra pesisir Lampung yang menolak ditaklukkan. Tetapi ia tidak berperang atau melakukan perlawanan. Ia dendam. Tetapi tidak mampu membunuh atau menuntut Boni yang memperkosa isteri dan anak gadisnya.
Maka, dalam mimpi Umar, tidak ada kesaksian kucing meraung dan mencakar-cakar tembok penjara. Tidak ada perlawanan terhadap keadaan yang menindasnya. Tidak ada perjuangan ideologi atau harga diri sebagai seorang lelaki, buruh nelayan.
Umar menyerahkan jiwa raga, harga diri ia dan keluarganya kepada Lastri, sang majikan itu. Bahkan spermanya dipaksa memberikan anak kepada Lastri.
Tidak ada kesaksian peristiwa dua keluarga di pesisir itu. Umar tetap saja menjadi buruh. Ia menerima upah dari jerih payah melayani Lastri, sampai memberikan seorang bayi ke rahim majikannya itu. Ya, buruh tetaplah buruh. Umar selalu saja memposisikan dirinya sebagai buruh sekali pun di atas ranjang tidur sang majikan.

Tidak ada komentar: