Rabu, 10 Desember 2008

21

...ranjang bisa saja menjadi sebuah negara, atau sebuah media kerumuman publik. Ranjang juga bisa menjadi sebuah ideologi terbuka.

Kampus Sekolah Tinggi Radin Intan berada di kawasan Gedong Meneng, tak jauh dari terminal Rajabasa. Setiap hari Lina menumpang Bis Kota jurusan Telukbetung-Rajabasa menuju kampus. Jika kuliah sore, dan kebetulan sedang jalan-jalan dengan Along atau Boni, sesekali Lina diantar ke kampusnya.
Tidak ada sesuatu yang luar biasa dirasakan Lina ketika menjadi seorang mahasiswa. Ia lebih banyak bergaul dengan sesama aktivis di kampus lain. Beberapa kawan-kawan yang cepat menjadi akrab dengannya antara lain, Jawad, Ribut, Dedi, Ningrum, Maya, dan Guntur.
Mereka sama seperti Lina kurang suka berlama-lama di kampus. Lina dan kawan-kawannya banyak menghabiskan waktu di perkumpulan heroik, atau komunitas LSM atau lembaga swadaya masyarakat. Di LSM, Lina banyak menempa keberanian, kritis, dan keberpihakan kepada rakyat kecil atau orang tertindas.
Karena wajahnya cantik dan tubuhnya menarik, Lina cepat dikenal orang-orang kalangan LSM. Apalagi setiap aksi ke jalan ia ikut serta.
Pelan-pelan Lina pun mulai fasih menggunakan ucapan-ucapan heroiknya LSM seperti, “penindas rakyat!”, “penguasa otoriter!”, “penghisap petani!”, “perampok rakyat!”, “gantung koruptor!”, “lawan!“, “tolak!”, “adili!”, “hidup rakyat!”, “hidup petani!”, “hidup buruh!”, “hidup kaum miskin kota!” “hidup pelacur!”. Serta diksi-diksi perlawanan lainnya.
Lina kembali menjadi “manusia yang berlebihan”. Di matanya, semua orang seperti tidak ada yang benar. Entah itu polisi, politisi, tentara, jaksa, hakim, legislator, walikota, bupati, gubernur, pengusaha, dan perangkat publik lainnya, seperti koran dan televisi, semuanya tidak ada yang benar. “Mereka tidak berpihak kepada rakyat kecil!” kata Lina mantap.
LSM telah membentuk perilaku baru bagi Lina. Perilaku itu sering terbawa sampai ke rumah. Di hadapan bapak dan ibunya, Lina tampil sebagai seorang yang paham banyak hal. Umar dan Baya, merasa bangga atas kemajuan anaknya. Keletihan mereka membiayai kuliah Lina, berubah menjadi kebanggaan. Mereka berharap Lina akan menjadi sarjana yang pintar sehingga si mana pun bisa diterima kerja.
Heroisme aktivis LSM itu, juga terbawa ketika Lina masuk ke wilayah intimnya bersama Along atau Boni. Lina mampu menghias dirinya dengan bahasa-bahasa ilmiah saat bertelanjang di hadapan Along, Minggu siang itu.
Tidak sekedar pembebasan fisik di balik obsesi seksualitas. Tetapi ada bahasa-bahasa ketertindasan yang diwacanakan kembali dalam permainan cintanya bersama Along.
Lina menginginkan ia dan sahabatnya di atas ranjang itu, membangun dunia fantasi yang liar tetapi mampu dikendalikan secara alamiah. Proses pencarian itu pun berjalan secara manusiawi dan demokratis. Lina lalu membahasakan seks sebagai peristiwa penting yang dapat dijadikan inspirasi gerakan pembebasan terhadap idiom-idiom kekuasaan represif.
“Aku tidak tahu, apakah kamu merasakan hal sama, ketika puncak kenikmatan itu terselesaikan secara sempurna?” tanya Lina.
“Apa maksudnya?” Along balik bertanya.
“Aku merasa kita terlalu lama dijerat berbagai aturan soal kenikmatan itu.”
“Maksudmu?”
“Saatnya melawan! Saatnya mencari yang baru! Bukan menaklukkan. Tetapi paling tidak…cinta, kesetiaan, dan rasa saling ketergantungan tersebut, dijelaskan kembali secara terbuka.”
“Maksudmu?”
“Kita terlalu lama mengulangi hal yang sama. Padahal kita butuh gagasan baru, yang menghendaki jawaban baru pula.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”
“Membunuh imajinasi masa lalu.”
Along hanya terpaku. Matanya menerawang ke langit kamar tidur di rumah yang baru dibelikan isterinya, Mei Hwa. Rumah Tipe 70 di Perumahan Kota Karang itu, mulai ditempati Along bulan lalu. Mei dan Erik, baru minggu kemarin menginap di rumah itu.
Along bingung menafsirkan arah pembicaraan Lina. Along merasakan ada perubahan pola pikir cukup drastis dari teman kumpul kebonya itu, meski baru beberapa bulan memasuki lingkungan kampus.
“Kalimat dan kata-katamu agak berat kumengerti, Lin.”
Lina hanya tersenyum. Ia paham keterbatasan kekasihnya itu. Lina kembali menarik tubuh Along. Ia menenggelamkan lelaki itu ke dalam lubang yang teramat dalam, yang mereka sendiri belum begitu mengenalinya.
Lina dan Along tak pernah tahu apakah keduanya bersama sebatas kebutuhan fisik atau memang ada cinta dan perasaan saling membutuhkan. Mereka tidak berusaha membangun kesepakatan atau komitmen tentang hubungan seksnya. Tetapi keduanya hanya menerima secara jujur bahwa sampai hari itu, mereka masih bersama. Saling membutuhkan.
Lina paham, keintiman seks antara ia dan Along nyaris tak banyak perbedaan dibandingkan ia dengan Boni. Bersetubuh bagi Lina adalah kebebasan perilaku antara lelaki dan perempuan tanpa harus ada ikatan, atau perjanjian-perjanjian. Artinya bermain seks antara ia dengan Along atau Boni, atau dengan siapa pun yang disukainya, bukanlah janji persetubuhan yang memiliki jaminan untuk menikah atau membangun lembaga keluarga.
Maka Lina pun berusaha mencari teman kencan sebanyak mungkin di kampusnya. Ia ingin semua lelaki menjadi teman diskusi satu ranjang. Ia bercinta dengan siapa saja, dari teman sesama mahasiswa, juga beberapa orang dosen dan kawan di LSM.
Seperti dialami Maya, salah seorang teman Lina, dengan lelaki teman tidurnya. Maya yang sehari-hari kawan diskusi Lina itu, beranggapan pergaulan seksnya dengan Jawad, tidak sekedar cengkrama fisik sesama aktivis. Tetapi lebih kepada membangun suatu kebersamaan mimpi dan keinginan, serta obsesi yang ideal dalam sudut pandang dan pola pikir keduanya.
Maya sering mengistilahkan Jawad sebagai “sahabat berpikir” satu ranjang. Karena di atas ranjang, Jawad bisa diajak diskusi lebih intim. Kemudian tidur dan bermimpi apa saja tentang dunia. Dari persoalan pendidikan di kampus sampai ketimpangan di negerinya. Mereka kadangkala menemukan bentuk-bentuk perlawanan dari eksplorasi di atas ranjang. Bahkan mereka mendesain berbagai aksi menentang kebijakan pemerintah dari atas ranjang.
Dalam konsep pemikiran Maya dan Jawad, ranjang tidak lagi mengambil posisi fungsional sebagai kebutuhan tempat tidur, peristirahatan, atau bermain cinta, tetapi menjadi lebih filosofis dan dekonstruktif. Artinya, ranjang bisa saja menjadi sebuah negara, atau sebuah media kerumuman publik. Ranjang juga bisa menjadi sebuah ideologi terbuka. Siapa pun bisa mendapatkannya melalui proses demokrasi; berunding, memilih, dan bersepakat untuk menggaulinya.
Seperti Lina, Maya pun menginginkan berkencan dengan lelaki sebanyak-banyaknya. Ia bebaskan antara kepuasan seks dan eksistensi lelaki berksplorasi ke dalam ruang intimnya.
Maya beralasan bertelanjang di hadapan Jawad atau teman tidurnya yang lain, tidak ubahnya ketika ia bertelanjang di atas toilet WC rumahnya atau WC hotel. Membuang limbah tubuh. Mengalirkannya melalui saluran pipa di bawah tanah. Instalasi tinja itu disembunyikan dengan hati-hati dan rapi. Maya yakin tinja dari tubuhnya akan meluncur ke bawah tanah, dan tidak akan pernah muncul ke permukaan, apalagi sampai terlihat orang lain dari berbagai sudut kota.
Maya menganggap kotoran yang disembunyikan melalui pipa-pipa penyaluran itu, mencerminkan karakter ia dan kotanya. Dari atas toilet kamar hotel, Maya melihat tugu Adipura sukses menyembunyikan limbah kotoran di bawah kamar mandi, kamar tidur, ruang kerja walikota, bupati, dan gubernur.
Semua kotoran telah tersembunyi rapi di bawah ruang kerja jaksa, hakim, redaksi koran, televisi, dan radio. Tidak ada satu pun terlihat mata. Tinja juga tersembunyi di bawah kantor tentara, parlemen, kantor pos, bank swasta dan negera, diskotik, mall, rumah bordil, bahkan rumah-rumah ibadah.
“Mengapa semua orang menyembunyikan tinjanya di bawah tanah,” tanya Maya.
Jawad tidak menjawab. Ia sendiri bingung apakah dirinya bagian orang-orang yang menyembunyikan tinja itu. Semua yang busuk memang harus dikubur. Sebagai aktivis yang selalu berteriak moral dan kebenaran, Jawad sangat menyadari bahwa yang dimaksud Maya adalah konsistensi dan komitmen pribadi antara ucapan dengan perbuatan. Berat memang.
Kadang Jawad berenung sendiri apakah yang dikerjakannya selama ini ada manfaat untuk orang banyak, atau sebaliknya. Termasuk kehidupan seks bebasnya dengan Maya.
Kata kunci orang-orang munafik adalah moral. Hubungan seks di luar nikah antara ia dan Maya memang dilakukan atas dasar suka sama suka. Tidak ada yang dirugikan. Tidak ada pemaksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lain yang terjadi antara mereka. Ya, suka sama suka. Demikian pembenaran sementara yang menjadi argumentasi keduanya. Kalau cocok, bisa saja nantinya mereka menjadi suami isteri.

Tidak ada komentar: