Fajar baru saja meratakan biasnya di Ujungboom. Usai sholat subuh, Baya sengaja meluangkan waktu menunggu sunrise di Teluk Lampung. Ia menoleh ke kapal ikan dan perahu nelayan yang terbingkai kabut tipis. Mereka mulai bergerak menyambut pagi. Dari jalan kecil Baya menuju ujung dermaga.
Sambil duduk di bangku warung nasi pojok dermaga, Baya melepaskan pandangan ke pulau-pulau sekitar Teluk Lampung. Ia sepertinya hendak bernostalgia masa remajanya, berperahu, berjalan setiap libur minggu. Dulu, Ia sering diajak Umar berperahu ke Pulau Condong.
Isteri nelayan itu seperti kembali belajar mengenali laut dan karma. Baya tidak pernah lupa bau asin laut. Bau khas genangan air di bawah rumah-rumah kumuh nelayan kawasan Ujungboom dan Gudang Lelang itu.
Setiap pagi nelayan dan kapal-kapal ikan disibukan oleh kegiatan sandar dan bongkar muat di dermaga itu. Setelah diturunkan dari kapal, ikan-ikan segar diangkut ke tempat pelelangan ikan di dermaga Ujungboom. Dulunya pelelangan ini berada di pasar Gudang Lelang, hanya berarak 100 meter dari dermaga.
Waktu telah mengubah kesadaran nelayan di sana, ketika beberapa tahun lalu pemerintah kota memindahkan, sekaligus memusatkan pelelangan ikan ke TPI Lempasing. Para nelayan sempat aksi unjuk rasa. Bahkan beberapa kali terlibat bentrok, saling lempar bom ikan, antara nelayan Ujungboom dengan sekelompok preman yang dipakai dinas perikanan kota bersama para bos dan juragan ikan. Sampai akhirnya TPI Gudang Lelang di Ujungboom dan Gudang Agen, kembali aktif. Kapal-kapal nelayan dibebaskan memilih, bongkar di Ujungboom, Gudang Agen atau di Lempasing.
Perebutan wilayah lelang itu sangat wajar, mengingat dalam satu pekan tran-saksi jual beli ikan ini mencapai satu miliar rupiah lebih. Pemda kota punya kepen-tingan terutama dari retribusi dan pungutan wajib lainnya.
Baya kembali tertegun ketika mengenang peristiwa demi peristiwa di Ujungboom. Ia menyadari tak mungkin menghentikan perjalanan waktu dari masa lalu. Ia menarik nafas dalam menatap laut. Seperti hendak menceritakan kembali riwayat hidup ia dan suaminya, serta milik mereka yang berharga, Lina dan Gofur.
Baya baru sadar kalau bayi perempuannya itu kini telah dewasa. Lina berkembang menjadi gadis cantik dan cerdas. Baya melahirkan putri sulungnya itu melalui operasi besar, setelah bidan di kampungnya tak sanggup mengeluarkan bayi itu secara normal. Banyak suka duka perjuangan Baya dan suaminya, masa itu. Umar terpaksa menjual semua tabungan emas mereka. Mereka juga masih harus berhutang untuk mencukupi biaya operasi. Wajah Baya terlihat sedih. Ia teringat pengorbanan suaminya yang begitu besar untuk keluarganya. Baya merasa berdosa.
Matahari mulai menyembul kuning. Baya berkemas menata pagi. Pulang dari dermaga, ia langsung membersihkan tubuhnya berulang-ulang. Sementara Gofur baru selesai sarapan pagi dan bersiap pergi ke sekolah. Siswa kelas tiga SD Negeri itu, sudah tidak lagi diantar jemput sekolah.
Lina sibuk menimba air sumur yang sedikit asam karena terintrusi air laut. Sudah tiga hari ia tidak mencuci pakaian. Baskom plastiknya penuh berisi pakaian kotor.
Baya menatap dalam-dalam tubuh anak perempuannya itu. Ada kesedihan dipendam. Sebuah penyesalan dan kekecewaan yang mendalam. Sulit untuk dilukiskan apa yang bergejolak dalam dada wanita itu. Baya tak tahan terlalu lama memandangi tubuh Lina yang terduduk mencuci pakaian kotor di dalam baskom air itu.
Beberapa saat setelah Gofur pamit pergi sekolah, Baya bersiap berangkat ke rumah Boni. Hari itu ia sengaja tidak berjualan kue. Ia melenggang tanpa membawa dagangan kue menyusuri gang sempit menuju ke rumah Boni. Tidak seperti biasa, ia jauh lebih pagi tiba di rumah majikannya.
Lastri sudah dua hari tidak di rumah. Ia pergi bersama Umar ke Lembang, Jawa Barat. Katanya mengikuti kursus soal budidaya ikan kerapu selama lima hari. Kursus tersebut diselenggarakan HKTI yaitu organisasi kerukunan petani dan nelayan, berkerjasama Departemen Pertanian.
Boni masi tidur ketika Baya tiba di rumahnya. Sambil memasak nasi dan menyapu, Baya mengetuk pintu kamar Boni. Ia sengaja mengetuknya agar majikan suaminya itu bangun lebih pagi. Begitu tahu Baya sudah datang, dengan bersemangat Boni keluar dari kamar tidur. Ia langsung buru-buru mandi.
Baya sempat membolak-balik album keluarga Boni di bufet ruang, sambil me-rapikan susunan album-album yang berantakan dan diselimuti debu. Ia melihat foto-foto Lastri dan Boni ketika masih muda. Foto kanak-kanak Boni diapit bapak dan ibunya. Dari foto keluarga Boni itu tergambar bahwa orang tua Boni memang berasal dari keluarga kaya dan terpandang.
Baya cepat merapikan kembali album ketika mendengar siulan Boni dari kamar mandi. Boni menuju kamar tidur. Baya lalu ke dapur mematikan kompor memasak air. Ia membuat kopi untuk Boni. Ketika menuangkan air hangat ke gelas, wajah putrinya, Lina, sempat membersit di pikiran Baya.
Sambil mengaduk kopi, ia menghelah nafas panjang. baya merasa seperti seekor sapi dunguh yang tidak dapat berbuat apa-apa. Wajah suaminya, Umar, juga muncul dalam pikirannya. Baya tidak tahu apa yang dilakukan suaminya dengan Lastri selama lima hari di Lembang. Ia hanya bisa memarahi dirinya sendiri yang tidak berdaya.
Baya tersentak dari lamunannya, ketika Boni mendekapnya dari belakang. Bau parfum yang dikenakan lelaki ini menusuk hidungnya. Baya tidak sempat berbuat apa-apa ketika lelaki ini langsung memeluk dan menciumi sekujur lehernya.
“Sebentar Pak, sabar. Saya letakkan kopinya dulu ke meja,” sela Baya.
Tetapi Boni tidak memberikan kesempatan sedetik pun. Ia begitu bernafsu menciumi dan meremas buah dada Baya dari belakang. Baya tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi serangan majikannya. Ia membiarkan saja Boni menggerayangi tubuhnya. Dapur menghembuskan aroma purba. Baya lalu membalikkan badan menghadap Boni. Ia mengangkat tubuh duduk ke meja dapur sembari membiarkan Boni melucuti celananya.
Keduanya seperti bersepakat bercinta seharian. Seakan melakukan hendak be-pergian jauh dengan mengumpulkan leda-kan nafsu, kebengisan, serta orgasme yang lama sekali. Keduanya menyisir pojok demi pojok ruang dalam rumah panggung itu dari dapur, ruang makan, ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi, sampai ke ruang depan. Mereka bercinta berpindah-pindah sembari menciptakan fantasi-fantasi lain.
Tubuh Boni banjir keringat. Seumur-umur ia belum mengalami petualangan seks seperti itu. Boni berulang-ulang melepaskan spermanya. Hingga akhirnya roboh di bale-bale kayu berukiran Jepara itu. Lelaki ini tergolek lemas. Tenaganya habis terkuras. Napasnya terdengar mendengus cepat.
Seperti dirinya, Baya membiarkan majikan suaminya itu tergolek di bale-bale masih dalam keadaan telanjang. Ia lalu pergi ke dapur. Tidak beberapa lama, Baya kembali ke beranda tengah. Tangannya menggenggam pisau dapur. Ia lalu menghampiri Boni masih tergolek di atas bale-bale. Ia sempat menoleh keluar rumah panggung itu melalui jendela di sebelah bale-bale. Baya menatap ke laut dan bagan ikan yang masih tetap setia di tempatnya. Baya merasakan tamparan angin laut ke tubuhnya yang masih telanjang.
Wajah Baya terlihat pucat. Pelan-pelan ia dudukkan tubuhnya di atas pinggang lelaki yang berbaring tertelungkup itu. Dengan tubuh yang masih lemas, Boni sempat beberapa detik tersenyum ke arah Baya sembari menahan sesak nafasnya tertindih tubuh Baya.
Senyum khas Boni sangat dihapal Baya, setiap usai mereka melepaskan birahi seksnya. Baya lalu memijat-mijat punggung Boni.
Baya terus memijat, sampai Boni tertidur. Hanya hitungan detik. Tiba-tiba tangan kiri perempuan itu mencengkram rambut Boni dan menariknya ke belakang. Boni tersentak. Secepat kilat, pisau dapur itu menyambar leher Boni dan berulang-ulang menyayatnya. Boni tak sempat lagi bereaksi ketika darah muncrat dari lehernya yang tertarik kencang ke belakang.
Lelaki itu hanya beberapa kali sempat menggerakkan tangannya yang tak bertenaga. Tetapi tidak berarti apa-apa, karena kedua tangannya terjepit kaki Baya yang duduk di atas punggungnya.
Isteri buruh nelayan itu terus menekankan pisaunya ke leher yang mulai menganga itu, sambil menggerakkan ke kanan dan ke kiri. Berulang-ulang seakan hendak melepaskan kepala lelaki itu dari lehernya.
Baya tak sempat menatap mata Boni yang terbuka lebar. Mata itu seperti mata seorang anak kecil saat ditidurkan ibunya. Tidak ada kesakitan. Ekspresi wajah lelaki itu seperti sedang menuntaskan kenikmatan birahinya. Darah dan keringat bercampur jadi satu lelehan yang sulit diejakan bahasa tubuh yang masih telanjang itu. Kepedihan atau kenikmatan menjadi satu kegiatan tubuh Baya dan Boni hari itu.
Kedua tubuh telanjang itu mulai bergelut dalam kubangan darah yang menebar amis kemana-mana. Tubuh mereka basah dibalut lelehan darah. Baya mengangkat kedua tangannya yang menggengam kuat pisau itu ke atas. Kemudian dengan tenaga penuh menancapkan pisau itu berulang-ulang ke punggung Boni. Semakin deras darah tumpah dari punggung lelaki yang sekarat itu, semakin kencang pula pisau itu menghujam ke punggung itu.
Baya sangat menikmati gerakan itu. Seperti mencari sudut-sudut kenikmatan saat bercinta dengan Boni. Rambut Baya yang hitam berubah kemerahan bermandikan darah. Keringat berwarna merah dari wajahnya jatuh ke dada lelaki itu.
Tubuh sang majikan itu, lalu menegang keras, semakin keras. Kemudian kaku. Seperti baru saja melepaskan spermanya yang terakhir.
Dalam keadaan tak bernyawa Baya membalik tubuh Boni. Lalu kembali menghujamkan pisau itu berulang-ulang ke perut, dada, dan bagian tubuh yang terlentang itu. Sekujur tubuh mulus perempuan itu basah berlumuran darah.
Tindakan sadistis Baya belum berakhir. Ia lalu menarik kemaluan Boni yang tergeletak lemas. Kemudian menyembelih pangkalnya hingga terpotong dari tubuh.
Tidak ada suara atau teriakan kesakitan. Hanya deru nafas Baya yang terduduk bersandar di samping bale-bale. Sementara darah mulai pelan-pelan jatuh ke lantai. Sebagian lagi merayap turun melalui kaki bale-bale kayu itu. Dinding papan di sekitar bale-bale kayu rumah panggung itu dipenuhi bercak darah.
Baya menyapukan tangan kirinya ke wajah, mengusap lelehan darah di wajahnya. Ia bersihkan darah yang mulai terlihat mengental di kedua puting payudaranya. Ia seakan terbiasa mencium bau anyir darah. Tangan kanannya masih menggenggam pisau dapur. Sementara tangan kirinya masih menggenggam erat batang kemaluan Boni yang terpotong.
Entahlah, kenapa sesadis dan sekotor itu penggambaran sosok Baya membalas sakit hatinya kepada lelaki Bugis itu.
Baya bukanlah seorang Gerwani, kendati bapaknya dituduh aktivis PKI. Penggambaran sadisme Baya, persis propaganda jenderal-jenderal Orde Baru terhadap PKI. Propaganda sadisme Orba tersebut banyak diobrolkan orang mengadopsi penceritaan sastrawan Perancis Emile Zola dalam karyanya Germinal Tahun 1884 lampau.
Salah satu potongan sejarah karangan Orde Baru yang menggambarkan sadistis aktivis Gerwani tersebut dengan kalimat seperti ini;
“....Tanggal 30 September 1965 malam itu, para perempuan menari-nari tanpa busana sembari bernyanyi lagu “genjer-genjer” di daerah Lubang Buaya. Kemudian menyiksa para jenderal, menyayat kemaluan para perwira itu, dan memasukkan ke dalam mulut mereka.”
Propaganda militer Orba berhasil membuat rakyat merinding ketakutan ketika bertemu mantan aktivis PKI. Meskipun hasil bocoran dokter yang melakukan visum et repertum terhadap jenazah para jenderal itu, tidak menemukan adanya luka sayatan di kemaluan perwira tu.
Lagi pula dari mana aktivis Gerwani memiliki ide untuk menyayat kemaluan jenderal? Apakah mungkin diilhami dari cerita “Germinal” karya Zola itu? Apakah tindakan Baya memotong kemaluan Boni juga terilhami cerita propaganda Orde Baru tentang tindakan sadistis perempuan Gerwani itu? Adakah di balik itu, terjadi perlawanan kelas antara isteri buruh nelayan dengan majikan?
Diksi seks, kekerasan, dan kemarahan seorang Baya, seperti kisah sepotong rotinya Zola yang masuk ke dalam mulut kemaluan buruh wanita ketika dicumbui majikan. Baya sudah tak dapat menghitung berapa ratus kali sang majikan menjilati roti itu dalam kemaluannya. Baya tak pernah menolak atau tertekan. Baya menikmati roti sang majikan itu. “Hanya untuk sepotong roti, biarlah lelaki itu memuaskan birahinya di atas tubuhku.”
Demikian pemikiran Baya saat itu. Ia menimbang dua hal, menyelamatkan pekerjaan suaminya, dan mengamankan ekonomi keluarga. Meski ia ikut menikmati kekerasan yang diberikan Boni.
Rabu, 17 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar