Minggu, 07 Desember 2008

18

Para pemilik udang di Labuhan Maringgai, Lampung Timur, biasanya tidak menerima pembayaran di tempat. Tetapi melalui bank. Kadang kala dalam bentuk cek atau bilyet giro. Pemilik tambak enggan menerima uang kontan karena takut rumahnya didatangi perampok.

Suasana kota cukup cerah. Umar menemani Lastri ke Tanjungkarang. Mereka mampir ke Bank Danamon Telukbetung. Karena urusannya tidak lama, Umar menunggu di dalam mobil majikannya yang diparkir di halaman bank.
Agenda Lastri hari itu antara lain, memesan kapur dan pakan udang dengan Pak Cengkang, kemudian memeriksa dua unit mesin diesel tambak udangnya di Lempasing, yang sedang diperbaiki di Toko Sentosa, Tanjungkarang. Agenda lainnya, mengurus pembayaran pembelian udang milik Ibu Tuti, petambak kaya Labuhan Maringgai. Para pemilik udang di Labuhan Maringgai, Lampung Timur, biasanya tidak menerima pembayaran di tempat. Tetapi melalui bank. Kadangkala dalam bentuk cek atau bilyet giro. Pemilik tambak enggan menerima uang kontan karena takut rumahnya didatangi rampok. Daerah Lampung Timur selain rawan pembegalan sepeda motor, juga perampokan.
Tidak begitu lama Umar menunggu, Lastri terlihat keluar dari bank menuju ke parkiran. Kemudian mobil sedan putih itu meluncur ke arah kota melalui Jalan Patimura. Sembari menyetir Lastri bersenandung kecil. Raut mukanya terlihat segar. Tangan kirinya memilih beberapa kaset di kotak dasboard mobil. Lalu memasukkan kasetnya ke head unit audio mobilnya. Pelan terdengar musik instrumen pop bersih dan jernih.
Sambil mengikuti lagu instrumen dari head unit itu, sesekali Lastri menoleh ke Umar. Ia tersenyum ceria. Umar menangkap ada kelegaan dan optimistis memancar dari wajah majikannya itu. Umar berpraduka, Lastri sudah sanggup menyelesaikan masalahnya dengan Boni. Paling tidak, ada jalan keluar dari persoalan pelik antara ia dengan suaminya.
Dari bundaran kota Tugu Gajah mobil mereka berbelok ke Jalan Ahmad Yani, lalu lurus ke jalur satu arah Jalan Kartini menuju Jaka Utama, Tanjungkarang Pusat.
“Selesai urusan nanti, kau tak keberatan menemaniku belanja ke Artomoro?” sapa Lastri. Umar mengangguk.
“Pulang belanja, kita makan siang di tempat biasa,” lanjut Lastri. Umar kembali mengangguk.
“Habis makan siang, kita kemana lagi, Mar?” pancing Lastri senyam-senyum.
“Terserah Mbak,” jawab Umar.
“Kok, terserah aku?” pancing Lastri lagi.
“Saya menurut saja. Yang penting Mbak bisa senang dan tidak bersedih lagi,” jawab Umar.
“Ah, yang benar,” goda Lastri sedikit genit.
“Ya. Mbak,” lirik Umar meyakinkan majikannya.
“Kau lihat tampangku. Apakah sedih? Apa enggak sebaliknya. Justeru kamu yang harus dihibur,” kata Lastri diikuti tangan kirinya mencolek hidung Umar.
“Kangen enggak sih?” goda Lastri lagi. Umar hanya tersenyum. Keduanya seperti remaja yang baru mendapat kebebasan. Mereka bernyanyi-nyanyi mengisi syair lagu dari instrumen musik yang terus mengalun. Mobil bercat putih itu lalu tenggelam dalam keramaian kota.

Tidak ada komentar: