Kamis, 11 Desember 2008

22

JAWAD tidak pernah berkhayal menjadi seorang aktivis LSM. Tamat kuliah di jurusan ekonomi, Jawad sempat menggangur dua tahun. Selama kuliah ia lebih tertarik ke dunia kesenian dan sastra. Pasca jatuhnya kekuasaan Soeharto, sarjana ekonomi yang banyak paham filsafat ini masih kebingunan mencari kerja. Suatu hari ia diajak kawannya, Koko, bekerja di sebuah tabloid yang berkantor di Jalan Yos Sudarso. Koko menerbitkan tabloid itu bersama beberapa orang jurnalis di Lampung.
Tetapi hanya 12 kali terbit, mingguan itu bubar. Alasan pemodalnya, ia dan keluarganya selalu diteror akibat pemberitaan tabloid itu. Yang lebih logis, ia mengaku tidak punya lagi duit membiayai ongkos cetak.
Jawad kembali mengganggur.
Masa Pemilu 1999, Jawad bersama rekan-rekannya yang sebagian besar jurnalis antara lain, otong, imel, bubud, membuat lembaga pemantau pemilu. Setelah kasak kusuk ke sana kemari mencari dana akhirnya, jaringan jurnalis pemantau pemilu itu mendapat bantuan dana dari donatur luar negeri.
Jawad kembali kerja. Ia menjabat sebagai bendahara yang mengendalikan dana program pemantauan pemilu tersebut. Tetapi setelah program berjalan dua bulan, Jawad ribut dengan rekan-rekannya. Ia dilaporkan tiga rekannya, Bubud, Imel, dan Otong, dengan tuduhan menyimpangkan dana program. Akhirnya melalui bantuan kawannya Koko, masalah dengan donatur asing tersebut dapat diselesaikan.
“Bagaimana mereka tahu ada penyimpangan dana, laporan pertanggungjawaban keuangan saja belum aku buat!” tegas Jawad kepada Koko.
Usai program pemilu, jaringan pemantau yang didirikan Jawad dan kawan-kawanya itu tidak lagi menerima bantuan donatur lembaga dari negeri “Paman Sam” itu. Jawad kembali menganggur. Beberapa program yang ditawarkannya ke lembaga donor ditolak.
Karena merasa prihatin Koko, yang juga lebih dulu memiliki jaringan kerjasama dengan donatur luar negeri, menarik Jawad bergabung, dan mempercayainya menjadi ketua sebuah lembaga pemantau korupsi.
“Sudahlah, Wad, kau urus dulu lembaga ini. Kau jadi ketuanya!” bujuk Koko. “Aku sendiri belum siap memimpin lembaga seperti ini. Maklum, aku masih gampang tergoda duit,” ujar Koko sembari mengetik jadwal kegiatan lembaga tersebut.
Awalnya, Jawad menolak, karena ia masih menunggu jawaban proposal yang diajukannya sendiri ke donatur luar negeri itu. Setelah mendapat balasan proposalnya ditolak, Jawad buru-buru mendatangi Koko. Ia menyatakan kesediaannya menjadi ketua lembaga pemantau korupsi yang dibuat Koko itu.
Entah karena alasan apa, ketika dana program hendak dicairkan, Jawad meninggalkan Koko. Ia menggarap sendiri program tersebut, dan merekrut orang-orang baru yang sebagian mahasiswa dari kampusnya. Koko beberapa kali mendatangi Jawad mengingatkan sikapnya itu, tidak baik untuk persahabatan.
Namun Jawad tak peduli. Ia bahkan meniupkan isu macam-macam ke kalangan aktivis lainnya soal Koko. Karena tak mau pusing, Koko merelakan lembaga yang dibentuknya, serta desain program yang digarapnya sendiri itu, diambil Jawad.
Sejak dikecewakan Jawad, Koko memilih mundur dari kegiatan LSM. Ia lebih menekuni profesinya sebagai jurnalis. Sesekali berkesenian atau menulis sastra. Sementara Jawad terus menjadi aktivis LSM. Ia dikenal banyak orang, karena sikap kritisnya menyoroti berbagai praktek-praktek korupsi di daerah.
“Biografi Jawad sudah selesai dalam pandangan intelektual saya,” ungkap Koko kepada teman akrabnya Towok aktivis prodem dari Palembang.
Jawad bertubuh rendah, kulit putih, dan mata sempit itu, memutuskan jadi aktivis LSM sejati. Seluruh pikiran dan nafasnya seakan didedikasikan untuk rakyat melalui lembaga donor luar negeri. Jawad tak mau memusingkan apakah ia bekerja untuk rakyat negerinya, atau untuk donatur asing yang mendanainya.
Jawad menyadari, banyak tantangan dihadapi LSM dalam era transisi menuju demokrasi di negerinya. Sebagaimana terjadi dalam kasus Brasil dan Uruguay. Di negara-negara tersebut, masyarakat menoleh kepada partai-partai politik yang lebih dapat memberikan simbol-simbol dan identitas ideologi yang lebih kuat.
Hal seperti itu juga terjadi di Indonesia. LSM merasa perlu terlibat dalam konteks politik lebih besar. Menghadapi transisi demokrasi yang belum tampak ujungnya ini, ditambah lagi kesulitan ekonomi berkepanjangan, pertanyaan di diri Jawad, bagaimana peran dan posisi LSM?
Setelah “Reposisi Ornop” tahun 1999, LSM belum juga mengadakan evaluasi dan reposisi dari dalam. LSM mulai menjalankan spesialisasi bidang semakin beragam dan dengan keahlian atau kompetensi yang cukup memadai.
Keberadaan LSM dikui baik pemerintah maupun badan asing. Tetapi LSM bukanlah wadah profesi dan bukan juga wadah politik. LSM adalah gerakan sosial.
Karena itu sangatlah wajar, sekarang ini banyak sekali lahir LSM “gadungan” dan LSM “buatan” dari pihak-pihak tertentu yang oportunistik. Mereka melakukan gerakan menyerupai LSM. Masuk ke berbagai lapisan masyarakat, sampai ke sumbu kekuasaan.
Sebetulnya Jawad cukup paham, jika sebagian rekan mereka ada yang menyimpang dan masuk ke arus gerakan LSM “plat merah” atau LSM yang menjadi penjilat pemerintah atau lembaga dan kelompok tertentu. Mereka sering menjadi alat atau corong kepentingan politik dan bisnis kelompok tertentu, dengan mendapatkan imbalan uang atau investasi politik.
Sebagian ada yang sengaja menawarkan jasa dalam bentuk program atau pemikiran. Misalnya menjadi konsultan parlemen, tim ahli gubernur, bupati, dan walikota. atau konsultan perusahaan negara dan swasta. Tentu saja jasa yang dijual tersebut hitungannya insentif atau imbalan uang. Selain juga bagian dari misi kerakyatannya. LSM “bermuka dua” ini biasanya banyak diminati kalangan akademisi.
Begitulah. Makin lama jumlah LSM makin menggurita. Badan Pusat Statistik atau BPS menyebutkan hingga tahun 1996 ada sekitar 1000 LSM di Indonesia. Tetapi empat tahun kemudian, tahun 2000, BPS mencatat jumlah LSM naik 70 x lipat menjadi 70.000. Sepertinya kurun waktu tersebut hingga sekarang ini, merupakan masa bulan madu, masa-masa subur untuk melahirkan bayi-bayi LSM sebanyak mungkin.
Tetapi seberapa pun banyaknya varian LSM tersebut, bagi Jawad, yang paling penting sejauh mana mereka sanggup memposisikan dirinya menjadi sumber inspirasi gerakan sosial, diantara posisi negara atau pemerintah, dan posisi pasar atau kaum pemilik modal.
LSM adalah bagian dari gerakan sosial yang bekerja dan berpihak kepada rakyat kecil. Dengan komitmen itulah mampu menyatukan misi perjuangan aktivis LSM Indonesia dan aktivis negara lain di seluruh dunia.
Tentara, polisi, PNS, atau orang kebanyakan, sering bertanya kepada Jawad dan rekannya, apa itu LSM? Jawad sulit menjawab. Karena pertanyaan sinisme dan provokatif itu, seakan menjebak dirinya. Apa lagi masih terbersit ada pertanyaan besar, sejauh mana komitmen LSM yang dipimpinnya mencerminkan ciri-ciri lembaga pergerakan sosial yang independen.
Jawad hanya bisa meminjam definisi-definisi LSM, versi Salamon dan Anheir, atau versi lain yang pernah dibacanya. Pertama, LSM adalah organisasi permanen, punya kantor, punya aturan. Kedua, menjalankan organisasi sendiri dan berada di luar kontrol pemerintah atau lembaga lain. Ketiga, tidak mencari keuntungan, dan memberi keuntungan kepada direktur atau pengelolanya. Keempat, sukarela atau voluntary. Kelima, tidak berpolitik,dan mengusung misi agama atau kepercayaan tertentu.
Jadi singkatnya, ujar Jawad, kepada polisi atau politisi yang menanyainya, LSM itu serba “non”, yakni nonpemerintah, nonpolitik, nonpartisan, nonprofit, nonpajak, dan non-non lainnya.
Jawad sempat mengenang masa lalu. Semasa rezim Soeharto, marah-marah kepada penguasa resikonya dicari-cari intel atau Laksusda. Tetapi era jatuhnya Soeharto, marah-marah adalah bagian program didanai lembaga donor asing. Maksudnya, tak ada salahnya capek marah-marah tetapi ada honornya.
Siang itu, Jawad, Maya, Lina, dan ratusan aktivis mahasiswa dan LSM berunjuk rasa ke kantor DPRD Lampung. Mereka memprotes penggelembungan dana rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah atau RAPBD, yang berindikasi korupsi dan bagi-bagi duit. Semua item dalam anggaran itu dinilai Jawad dan kawan-kawannya mengada-ada. Menyimpang dari ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah.
“Penyusunan anggaran lebih mementingkan kebutuhan pribadi sekelompok orang di legislatif dan eksekutif, ketimbang kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat,” tegas Jawad.
“Seharusnya asas proporsional, kewajaran, kepatutan, dan rasionalitas menjadi acuan utama. Mulai dari pengajuan anggaran, pembahasan, sampai penetapan!”
“Sesuai prinsip-prinsip peraturan pemerintah yang ada. Bukan justeru ajang tawar menawar legislatif dan eksekutif!” sambung Burniat Gani dari LSM Anggaran, kepada para wartawan yang meliput aksi mereka.
Demo anti korupsi itu, dilanjutkan dengan pertemuan antara wakil pengunjuk rasa dan sejumlah perwakilan komisi dan Panitia Anggaran, serta salah seorang unsur pimpinan dewan. Seperti biasanya, setelah itu kerumunan massa bubar. Sebagian kembali ke markas merekadan kembali berdiskusi. Sebagian langsung pulang, dan ada yang punya acara sendiri, ke mall atau pacaran.
Begitulah sehari-hari mereka. Hampir tidak ada sesuatu luar biasa ketika lepas dari komunitasnya. Bahasa negara, bahasa keluarga, dan ruang privasi yang tertutup sekali pun, menjadi umum dan biasa saja.

Tidak ada komentar: