Kamis, 04 Desember 2008

15

Tidak ada waktu bagi Baya bertahan terlalu lama dalam ketakutan. Ia tidak perlu lagi menengok ke laut dari celah jendela rumah itu. Ia menarik tubuh bajingan itu ke sofa di tengah-tengah beranda ruang keluarga. Menjauhi jendela yang menghadap ke bagan ikan.

Laut terlihat panas dipanggang matahari. Perempuan itu kembali mengintip laut dan Umar dari sela-sela gorden jendela rumah majikannya. Baya mengutuk laut bersama riwayat nenek moyangnya. Ia bingung mengapa tidak mampu berteriak atau meloncat dari jendela yang terbuka itu. Kemudian pergi ke laut menemui suaminya yang berpeluh matahari di atas bagan tancap itu.
Baya tidak tahu mengapa berulang-ulang selalu gagal mengasah keberanian. Bertarung menjinakkan teriakan dan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Ia seakan hendak mencatat peristiwa demi peristiwa di atas bale-bale jati itu. Lalu mengapresiasikannya kepada Umar, sebagai bentuk penyerahan diri dari pengkhianatannya.
Tetapi perempuan itu tetap saja menjadi lemah. Ketika menghitung kembali antara keringat dan harga dirinya. Antara suara teriakan yang dijinakkan dengan suara deburan ombak menghantam kaki-kaki bagan yang dijaga suaminya itu.
Laut di luar terlihat semakin terbakar. Baya tak sanggup menahan erangan kenikmatan ketika Boni kembali menidurinya di atas bale-bale itu. Laut dan bagan ikan di luar sana semakin kabur diombang-ambing ombak. Baya tidak tahu apakah suaminya masih ada di bagan itu, atau sudah terbang bersama buih kecil yang terbawa angin laut.
Baya sulit menyingkirkan birahinya ketika tubuh mulusnya terguncang-guncang digerakkan lelaki bajingan itu. Baya betul-betul terkuasai. Ia damaikan panasnya matahari dengan menanggalkan baju dan celana kulot yang dikenakannya.
Tidak ada waktu bagi Baya bertahan terlalu lama dalam ketakutan. Ia tidak perlu lagi menengok ke laut dari celah jendela rumah itu. Ia menarik tubuh bajingan itu ke sofa di tengah-tengah beranda ruang keluarga. Menjauhi jendela yang menghadap ke bagan ikan. Di atas sofa berlapis kulit berwarna merah tua, Baya kembali mengerang ketika bajingan itu menjelajahi seluruh permukaan tubuhnya.
Baya menikmati kekerasan demi kekerasan yang mendera tubuhnya. Karena hanya satu yang diinginkannya dari lelaki kekar yang membuatnya gila itu yakni, mencapai puncak kenikmatan. Dan bajingan itu mampu memenuhinya. Bahkan memberikan kenikmatan yang belum pernah didapat dari suaminya. Tanpa kendali kesadaran Baya berbalik menggerayangi tubuh lelaki yang dibencinya itu. Baya menggumuli tubuh lelaki telanjang di atas sofa besar itu. Dadanya mulai mengencang, turun naik mengikuti gerakan mereka. Kedua tangan Baya lalu menarik dan membenamkan kepala lelaki itu tepat di belahan dadanya.
Si bajingan terlihat seperti bayi kehausan. Sampai terdengar jeritan panjang dari mulut Baya, bersama tubuhnya yang berbuncak-buncak lalu mengeras kaku. Puncak kenikmatan isteri buruh nelayan ini cukup panjang. Hingga akhirnya roboh di atas tubuh majikan suaminya itu.
“Aku kembali dikalahkan,” bisik Baya dalam hatinya. Tetapi hari itu ia harus jujur kepada dirinya, bahwa ia mendapatkan kenikmatan lain dari keliaran seks yang ditawarkan Boni.
Sejak ada pekerjaan baru bersama majikannya itu, Baya pulang ke rumahnya lebih siang dari biasa.
“Bangun Pak!” bisik Baya ke telinga majikannya yang terkapar di atas sofa. Boni bangkit dan membersihkan tubuh ke kamar mandi. Baya membereskan bale-bale. Memungut pakaian Boni. Merapikan kembali kursi-kursi sofa yang berantakan. Baya sempat berpikir, ketika melihat sofa kulit yang ditaksir Baya harganya cukup mahal. Sambil mengelapkan kain lembab ke permukaan jok kulit berwarna merah tua itu, Baya merasakan ada kepuasan lain bermain seks di atas sofa. Kepuasan dan kenikmatan yang berbeda ketika ia bermain seks dengan suaminya di kursi kayu rumahnya. “Mungkin karena jok sofanya empuk,” pikir isteri nelayan ini.
Sementara Boni merasa bahagia. Ia seolah dibawa ke sebuah tempat. Menyelesaikan hal-hal yang mengekang kebebasan. Lelaki Bugis itu bahagia karena berhasil memerdekakan dirinya. Tetapi kemerdekaan Boni bukanlah kemerdekaan dalam filosofi masyarakat Bugis, dimana kebahagian hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
Baya langsung pamit setelah Boni keluar dari kamar mandi. Boni sempat memberikan ciuman ke bibir Baya sebagai isyarat kepuasan. Kemudian meminta Baya menunggunya masuk ke kamar tidur. Lalu keluar dengan memberikan amplop berisi uang. Baya kaget karena tak biasanya Boni memberikan uang dalam amplop.
“Ambilah! Ini agak banyak. Kau bisa tabungkan untuk sekolah Lina dan Gofur. Saya dengar Lina sebentar lagi tamat SMA. Kalian pasti butuh uang banyak untuk meneruskan sekolahnya,” kata Boni.
Baya hanya dapat mengucapkan terima kasih. Ketika hendak pulang, di balik pintu beranda depan rumahnya, Boni kembali mencium Baya, seakan memberikan isyarat bertemu lagi besok. Baya menangkap isyarat itu dengan senyuman sembari membalas ciuman Boni. Ia seolah berharap, besok majikan suaminya itu kembali memperkosanya.

Tidak ada komentar: