Minggu, 21 Desember 2008

32

Along dan Ayung terlihat berdiri sombong menyaksikan puluhan bahkan ratusan perahu kecil dan besar berhias bendera. Mereka melaju berlintasan di perairan Teluk Lampung. Lomba perahu seakan hendak memomentumkan kembali teks sejarah sebuah negara.
Peringatan Hari Pe Cun atau hari peringatan cinta tanah air itu, menyemangati Along dan Ayung untuk menghidupkan kembali mitos-mitos perlawanan Kut Guan atau Qu Yuan, terhadap penindasan bangsa China.
Duka mendalam dirasakan Kut Guan menyaksikan negaranya dihancurleburkan musuh. Kut Guan bunuh diri menyeburkan diri ke dalam sungai. Mayatnya hanyut terbawa arus air. Seluruh rakyat beramai-ramai berperahu ke sungai untuk menemukan jasadnya supaya dapat dikramasi.
Selama pencarian itu masyarakat membuang aneka makanan terbungkus daun pisang ke air. Supaya ikan-ikan tidak memakan jasad atau tubuh Kut Guan sebelum ditemukan.
Along dan Ayung membuang kue bacang dan kwecang, yaitu nasi atau ketan yang dibungkus daun bambu, ke perairan Teluk Lampung. Along tahu bahwa sejak Hari Pe Cun, pada bulan lima tanggal lima Imlek itu, ia tidak akan bertemu lagi dengan Mei Hwa. Ia telah menikah dengan teman selingkuhnya, Beni.
Meski tidak bercerai, Along menolak diduakan isterinya. Ia memilih hidup bersama Ayung, lelaki yang sangat setia menemaninya, mulai urusan kerja hingga teman bertukar pikiran. Ayung pun merasa terlindungi selama bersama bosnya itu.
Along harus jujur dengan dirinya. Ia membutuhkan Ayung. Terutama sejak dikhianati Mei Hwa dan ditinggalkan Lina. Along merasakan ada kenikmatan lain ketika bersama Ayung. Lebih dari kenikmatan yang direguknya bersama Lina dan perempuan-perempuan lain.
Along tidak lagi membutuhkan kenikmatan seks Mei Hwa, Lina dan lainnya. Ia mendapatkan kepuasan yang baru dari tubuh laki-laki yang polos dan jujur itu. Di matanya, Ayung bukanlah sejarah Adam yang membutuhkan perempuan Hawa. Dalam tubuh Ayung tidak didapatinya kegelisahan seorang Lina dan perempuan lain.
Apa dirasakan Along juga dirasakan Lina. Kedua tubuh berlawanan jenis itu tidak memiliki kesepakatan sejarah. Anatomi tubuh menjadi liberal. Tidak ada batasan genetik siapa melahirkan siapa. Hanya reproduksi. Lina hanya membutuhkan anak dari sperma seorang laki-laki. Along hanya sebuah kebetulan. Sebagaimana Boni atau laki-laki lain yang pernah bersetubuh dengannya.
“Kalau soal kepuasan, bukan cuma dari laki-laki,” kata Lina kepada Lastri.
“Betul! Kita hanya butuh anak dari mereka,” tanggap Lastri.
“Mereka egois!”
“Kasar!”
“Licik!”
“Rakus!”
“Jorok!”
“Penindas!”
“Rakus!”
“Pengkhianat!”
“Dungu!”
“Bodoh!”
“Menjijikkan!”
“Haaahaaahaaa....!”
Lina dan Lastri tertawa puas sambil menimang bayi mereka. Keduanya sepakat hidup bersama. Lina tidak perlu pusing mencari pekerjaan, karena Lastri menguasai semua harta mendiang suaminya, Boni. Kekayaan itu tidak akan pupus, karena Lastri lebih mengerti menjalankan usaha. Lina tidak perlu pusing memikirkan biaya sekolah Gofur. Ia bisa sekolah setinggi mungkin. Lina tersenyum, karena ia pun turut menguasai harta Boni.
Lastri dan Lina baru mengerti jika di dunia banyak sekali pilihan kepuasan. Keduanya menemukan titik temu. Bercinta pun tidak berbatas jenis kelamin. Lina dan Lastri merasakan hal yang sama. Bahwa kepuasan bercinta akan hilang, ketika masing-masing pasangan berebut saling menaklukkan.
Lina dan Lastri membangun wilayah imajinasi seks yang lain. Hanya mereka berdua merasakan nikmatnya. Keduanya melepaskan birahi seks tanpa perlu mempersoalkan kelas antara buruh dengan majikan.
Sepertinya begitu humanis. Lina dan Lastri membuka kehidupan baru yang lebih liberal. Lebih demokratis. Mereka sepertinya lebih mampu mendamaikan benturan-benturan ideologi kebebasan masing-masing.
Lina dan Lastri bercinta seharian tanpa persoalan kelamin, ras, agama, dan orientasi seks. Mereka merasa bahagia hidup satu rumah dikaruniai dua anak, lelaki dan perempuan.
Bagi Lina tidak begitu penting mempersoalkan siapa lelaki, siapa perempuan antara ia dengan Lastri. Keduanya bisa saja tiba-tiba menjadi sosok lelaki dan sebaliknya, menjadi perempuan sesungguhnya. Kelamin tidak lagi menjadi piranti dominan dalam struktur domestik keluarga itu. Mereka bebas-bebas saja menentukan pilihan etika dan moral dalam kesehariannya. Nyaris tidak ada benturan ideologi dari keduanya. Orientasi hidup seakan dibiarkan mengalir dengan sendirinya bersama waktu. Meski begitu, keduanya sepakat memiliki tuhan dan menolak ateis.

Tidak ada komentar: