Minggu, 14 Desember 2008

25

Di bibir dermaga Umar melihat Boni bersama pejabat kota berbincang dengan nelayan dan tokoh adat setempat. Umar menoleh Gofur yang asyik melihat semarak kapal berhias kertas warna-warni. Umar menangkap ada kekaguman yang berlebihan dari Gofur terhadap laut dan kapal nelayan.

Umar sibuk membantu isterinya menyiapkan kue-kue pesanan panitia ruwatan laut. Baya mendapat order seribu kotak makanan ringan dari Lastri untuk kudapan para undangan dan pejabat kota. Kue-kue yang dibuat Baya antara lain segubal, lapis legit, lapis ketan, dan bebe-rapa kue khas Lampung lainnya.
Hari itu ribuan nelayan dari berbagai tempat berkumpul di dermaga TPI Lempasing. Sementara sekitar 100 kapal motor dan perahu nelayan yang dihiasi berbagai bendera warna warni sejak sore kemarin telah bersandar di dermaga.
Acara ini dibuka tari persembahan. Tiga orang gadis muncul mengenakan pakaian putih dan kain bersulam tapis khas Lampung. Siger berwarna emas berdiri anggun di atas kepala mereka. Ketiganya menari diiringi musik gamelan. Salah seorang penari membuka kotak kecil berisi sirih, dan mempersembahkan ke beberapa tamu penting.
Usai acara seremonial itu, kapal-kapal nelayan mulai bergerak dari dermaga menuju ke tengah laut. Kapal motor dan perahu yang biasa digunakan nelayan melaut terlihat padat oleh peserta ruwatan. Mereka mengawal beberapa perahu kecil yang berisi berbagai jenis sesajen serta tumbal kepala kerbau.
Kepala kerbau itu kemudian dibuang ke laut, sebagai persembahan para nelayan kepada penguasa laut yang telah memberikan rezeki tangkapan ikan, selama setahun terakhir ini.
Setelah kepala kerbau dan sesajen lainnya ikut dilempar ke laut, kapal dan perahu nelayan yang mengiringi perahu sesajen, beramai-ramai mengambil air laut yang telah ditebari sesajen, kemudian menyiramkan ke kapal masing-masing.
Masyarakat nelayan pesisir Lampung meyakini air sesajen yang disiramkan ke kapal motor dan perahu mereka akan membawa berkah keselamatan, penolak bala berbagai musibah, seperti ancaman gelombang dan badai, yang sering mereka alami saat berlayar mencari ikan. Air sesajen dari prosesi ruwat laut juga diyaki-ni bisa melimpahkan hasil tangkapan ikan.
Di beberapa daerah pesisir lainnya, seperti di Krui, Lampung Barat, ruwatan untuk penguasa laut ini sengaja dihilangkan. Para tokoh muslim menilai tradisi tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu beberapa tahun kemudian, prosesi budaya potong kerbau tidak lagi ditujukan untuk persembahan penguasa laut, tetapi lebih ditujukan sebagai rasa syukur atas rejeki yang mereka dapatkan dari Yang Maha Kuasa. Mereka membagi-bagikan daging kerbau yang dipotong kepada masyarakat.
Umar bersama Gofur ikut salah satu kapal menyaksikan prosesi laut itu. Lina tidak mau ikut karena gampang mabuk laut. Ia sibuk membantu Baya dan Lastri menyiapkan makanan dan minuman para undangan.
“Apa yang dilakukan orang-orang itu, Pak?” tanya Gofur.
“Mereka ruwatan, Fur.”
“Ruwatan? Apa itu, Pak? Kok kapal mereka penuh bendera?”
“Ruwatan itu adalah salah satu upacara warga nelayan, sebagai tanda terima kasih mereka kepada laut yang memberikan sumber penghidupan mereka,” jelas Umar.
“O, gitu. Memang laut suka dengan kepala kerbau, Pak?” kejar Gofur.
“Ya. Katanya begitu.”
“Kalau begitu, laut kayak kita juga, dong, Pak!”
“Betul. Makanya laut harus dijaga dan disayangi.”
“O, gitu.”
“Ya, Gitu!” mencoba membatasi omongan Gofur.
“Kalau kapal yang berbendera itu, Pak?”
“Kapal-kapal itu mengikuti lomba perahu hias,” tegas Umar kepada anaknya itu.
Gofur tidak lagi bertanya. Ia asik melihat kapal-kapal lalu lalang melintasi mereka. Dulu, sesekali Gofur bertepuk tangan.
Di bibir dermaga Umar melihat Boni bersama pejabat kota berbincang dengan nelayan dan tokoh adat setempat. Umar menoleh Gofur yang asyik melihat semarak kapal berhias kertas warna-warni. Umar menangkap ada kekaguman yang berlebihan dari Gofur terhadap laut dan kapal nelayan.
Seperti masa kanak-kanaknya dulu. Tetapi di tengah semaraknya prosesi budaya pesisir hari itu, Umar merasakan banyak hal yang hilang. Seperti nilai-nilai kearifan lokal adat dan tradisi leluhur.
Dalam keadatan masyarakat Lampung dibagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, masyarakat yang menganut adat Pepadun, yang terdiri dari Abung Siwo Migo, Pubian Telu Suku, Rarem Migo Pak, Buai Lima, dan Sungkai. Mereka pada umumnya bermukim di daerah Lampung Utara, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan bagian tengah.
Sementara kelompok kedua, masyarakat yang menganut adat Saibatin, yang bermukim di sepanjang pantai selatan sampai pantai barat yakni, dari Kalianda, Penengahan, Sidomulyo, Kedondong, Kuta Agung, Cukuh Balak, Padang Cermin, Pesisir Selatan, Pesisir Utara, Pesisir Tengah, Balik Bukit, dan Belalau.

Tidak ada komentar: