Di mata Lina, Boni berhasil memerankan dirinya seperti sang malaikat penolong. Lina sedikit mengejar ke luar rumah untuk melihat lelaki itu sekali lagi. Tapi Boni sudah menghilang di belokan ujung gang.
“Silakan diminum, Om,” sapa Lina.
“Terima kasih,” jawab Boni.
Sore itu, Boni singgah ke rumah Umar. Di rumah hanya ada Lina. Baya mengantar Gofur berobat ke dokter gigi. Sejak dua hari lalu gusi gigi Gofur bengkak, salah satu gerahamnya yang bagian bawah infeksi. Sementara Umar baru satu jam lalu berangkat ke bagan ikan. Setiap purnama ia bekerja lebih awal, karena penghasilan ikan lebih banyak dari hari biasa..
“Lina kelas berapa?” tanya Boni sambil menghidupkan rokoknya.
“Kelas tiga, Om. Dua bulan lagi ujian kelulusan SMA,” sahut Lina berdiri dari tempat duduknya mengambil asbak rokok di meja kecil dekat jendela. Mata Boni spontan menatap tajam lekuk tubuh Lina yang berdiri membelakanginya beberapa saat.
“Wah..kalau lulus nanti, mau kuliah di mana, Lin?” tanya Boni.
“Belum tahu. Tergantung Bapak dan Ibu. Kalau saya, maunya kerja dulu. Biaya kuliah ‘kan mahal,” ujar Lina kembali ke kursinya.
“Kau tidak usah kerja. Kuliah saja. Nanti saya bilang ke Bapak dan Ibu Lina. Saya akan bantu biayanya.”
“Serius, Om?” tanya Lina menatap Boni tak berkedip. Boni mengangguk sambil tersenyum penuh arti.
“Terima kasih!” jawab Lina girang.
Meski belum punya pilihan jurusan, tetapi Lina sangat berminat kuliah. Ia beranggapan menjadi mahasiswa akan meningkatkan harkat keluarganya. Lina merasa beruntung dengan kehadiran Boni di rumahnya sore itu. Di mata Lina, majikan bapaknya itu, seperti sang malaikat penyelamat.
Boni sendiri paham kegembiraan gadis yang beranjak dewasa itu. Raut muka dan anatomi tubuh Lina mirip Baya. Meski tinggi badannya mengikuti Umar. Sambil menghirup kopi, Boni menatap dalam tubuh gadis cantik yang duduk di kursi kayu panjang itu. Ia teringat lekuk-lekuk tubuh Baya yang terbaring di bale kayu rumahnya. Tubuh gadis yang terbungkus T-Shirt putih ketat itu, membawa imaji Boni kepada teriakan Baya di bale-bale kayu rumahnya.
Lina yang sedari tadi dipandangi Boni, jadi kikuk. Sorot mata seperti itu mengingatkan ia saat pertama kali disentuh Along. Ia lupa kalau lelaki di hadapannya itu sudah seumur bapaknya. Lina membuang arah matanya dari tatapan Boni.
“Kopinya diminum, entar keburu dingin,” tegur Lina memecah kesenjangan.
“Gimana, pulang sekolah besok, Om jemput Lina. Om ingin beli baju buat kamu dan Gofur,” pancing Boni sambil menghirup kopi dan menghembuskan asap rokoknya. Lina tidak sempat berpikir panjang.
“Maksud Om, menjemput Lina di sekolah? Kemudian belanja baju?” tanya Lina untuk memperjelas omongan Boni.
“Ya!” tegas Boni mantap.
“Terserah Lina. Mau ditunggu di depan sekolah. Atau di seberang jalan, kan ada wartel. Lina bisa tunggu di sana,” jelas Boni memantapkan niatnya.
Lina mengerti wartel yang dimaksud Boni, ia biasa menelpon di sana jika minta dijemput Along.
“Wartel Sahabat?”
Boni mengangguk sambil tersenyum.
“Baik, Om. Lina pulang sekolah sekitar pukul satu siang,” jawab Lina memastikan. Kalimat itu persis seperti yang diucapkannya kepada Along.
Setelah menghabiskan kopi dan menyangoni beberapa lembar uang 50 ribu rupiah kepada Lina, Boni pamit pulang. Lina hanya terpaku menatap Boni penuh kekaguman. Apalagi uang yang diterimanya cukup besar dari yang biasa diberikan Boni. Tangan putri buruh nelayan ini gemetar. Lina tak pernah memegang uang sebanyak itu.
Di mata Lina, Boni berhasil memerankan dirinya seperti sang malaikat penolong. Lina sedikit mengejar ke luar rumah untuk melihat lelaki itu sekali lagi. Tapi Boni sudah menghilang di belokan ujung gang.
Rabu, 03 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar