Minggu, 21 Desember 2008

36

Jendela rumah terbuka. Seorang perempuan tua menguak lebar gordennya. Ia rapikan buku dan kertas gambar yang berserakan di meja tepi jendela. Juga peralatan sekolah di atas bale-bale rumah panggung itu.
Gofur masih tertidur. Kepalanya rebah berbantal tangan di atas meja. Angin dan cahaya matahari pagi menerobos masuk di antara jeruji kayu jendela.
Sambil bersenandung pelan perempuan tua terus memberesi bale-bale. Sebuah meja kecil yang tersandar di dinding, diletakkan kembali ke tempatnya semula. Ia rapikan taplak mejanya. Meletakkan vas bunga yang tergeletak di lantai ke atas meja kecil itu. Perempuan tua terus bebersihan. Menyapu dan mengepel lantai rumah.
Gofur terbangun. Suara tangis bayi terdengar nyaring. Perempuan tua menunda pekerjaannya. Ia bergegas turun menuju kamar bayi.
Di kamar lain, Lastri dan Lina masih tertidur lelap.
Kemul tebal tidak lagi membungkus tubuh mereka. Keduanya masih berdekapan telanjang. Pakaian tidur berserakan di lantai. Hujan lebat dan udara dingin tadi malam melelahkan petualangan mereka.
Suasana pagi tampak sepi.
Matahari belum terbuka lebar menyiramkan cahayanya ke pemukiman kumuh nelayan di kawasan Teluk Lampung.
Setengah malas, Gofur bangkit dari kursi. Berjalan mendekati jendela. Ia memandang laut dari jendela yang ikut membangunkan tidurnya. Di atas meja beberapa kertas bergambar perahu, belum selesai diwarnai.
Gofur mengosok kedua matanya yang masih belekan. Matanya terbelalak menatap bagan-bagan tancap yang roboh. Perahu-perahu katiran tertelungkup mengapung. Ia mengeluarkan setengah kepalanya ke luar jendela, sambil menoleh ke arah barat. Kapal-kapal ikan yang bersandar di dermaga Ujungboom, banyak yang karam. Sekitar 50 meter sebelum dermaga Ujungboom, terlihat sebuah perahu kecil terdampar di bibir timbunan pantai.
Gofur tertegun.
“Semalam ada badai,” ujar perempuan tua pelan, yang kembali menghampiri meja tulis, menyusun kertas-kertas gambar serta buku pelajaran Gofur yang berantakan.
“Ya, Mbok. Badai besar.”
Gofur kembali menoleh perahu kecil yang terdampar. Ia menghampiri meja. Menarik kertas gambar. Lalu kembali ke jendela. Pandangannya bolak balik antara perahu kecil yang terdampar kepada perahu dalam kertas gambarnya. Gofur tersenyum kecil. Ia merasa sebelumnya pernah menggambar perahu itu bersama bapaknya. Gofur sekilas merasakan wajah lelaki itu muncul di sela-sela kertas gambar itu. “Bapak pamit. Teruslah menggambar, Nak. Kemarin, Bapak lihat gambar perahumu. Bagus sekali! Kamu pintar...”, ucapan itu seakan muncul dari mulut lelaki di kertas gambar itu. “Bapak pamit...Nanti kita bertemu lagi, berkumpul bersama Ibu. Kita bisa berperahu lagi. Menjelajah laut dan pulau-pulau. Itu pasti. Bapak janji...” bisik lelaki itu seperti ditujukan kepada Gofur.
Tanpa berpikir apa-apa, Gofur kembali ke meja. Menggoreskan krayon ke kertas gambar. Ia selesaikan mewarnai perahu. Tangis dua bayi di kamar rumah panggung itu, semakin nyaring bersahut-sahutan.

Selesai

35

Angin Timur bertiup kencang melemparkan ombak laut, menghantam hingga ke paha bagan dan kapal ikan. Tidak ada nelayan melaut hari itu. Sejak pekan lalu, badai di Teluk Lampung cukup kencang terutama pada malam hari.
Seorang lelaki tertegun di bibir jembatan menuju dermaga Ujungboom. Rumah-rumah kumuh nelayan di sekitar dermaga terlihat samar tertutup kabut. Jalanan menuju Gudang Lelang tampak lengang.
Di perempatan gang, sepetak rumah panggung kecil nampak semakin reyot dan tua. Lelaki itu tersenyum kecil. Ia teringat bapak dan ibunya. Rumah yang ia tempati bersama isteri dan kedua anaknya itu, adalah sisa warisan kedua orang tuanya.
Lelaki itu lalu berjalan menyisiri jembatan. Tidak ada orang hilir mudik mengangkut ikan dan kebutuhan nelayan. Kondisi alam menghentikan aktivitas mereka.
Dari ujung dermaga lelaki itu memandang hamparan lahan reklamasi yang dibiarkan kosong dan terlantar. Hanya ada satu bangunan gardu pos yang dipasang portal besi tempat petugas keamanan proyek berjaga.
Kemudian pandangan lelaki itu kembali ke sekitar dermaga. Ia menoleh ke arah perahu kecil yang tertambat di pinggir dermaga. Perahu itu bertahun-tahun menjadi sahabat setianya di laut. Sembari melangkah ke arah perahu, ia sempat berpikir. Teringat anak lelakinya yang sering menggambar perahu itu.
Angin kencang di pinggir dermaga Ujungboom terus menampar kampung pesisir. Langit mendung. Lelaki itu terus menatap ke sekeliling dermaga. Rambutnya yang mulai beruban berantakan diterpa angin.
Suasana di pesisir Teluk Lampung, sore itu, terasa sangat asing. Perahu katiran dan kapal penangkap ikan yang bersandar di dermaga saling berbenturan diterjang ombak. Di media massa, Badan Meteorologi dan Geofisika memprediksi tinggi gelombang di perairan Teluk Lampung masih normal, karena di bawah satu meter. Meski pun menurut nelayan ketinggian gelombang sudah mencapai 1,5 Meter.
Kilat bersambut petir menyalak. Hujan perlahan turun. Lelaki itu tidak berusaha berlindung. Ia biarkan tubuhnya diguyur hujan. Wajahnya mulai terlihat pucat dan kedinginan. Giginya menggeretak. Hujan semakin deras. Seakan tidak memberi kesempatan lelaki itu mengenali kembali indentitas kampungnya.
Hanya sepintas wajah orang-orang tercinta terlihat di antara garis hujan. Mereka pergi semakin jauh. Wajah lelaki tersebut semakin tua dan pucat. Ia berusaha menemukan wajah terkasih di antara jeruji hujan yang kian lebat. Tetapi hanya kedinginan yang mulai membekukan tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari mulut lelaki.
“Baya..! Akulah pendosa! Lelaki sial yang bodoh!”
Entah apa maksud teriakan Umar warga pesisir itu. Terlihat tangannya merogoh saku celananya. Ada seutas potongan kain sabuk kecil dikebatkannya ke kepalanya. Kemudian seperti aktor tengah bermain drama, lelaki itu bertolak pinggang wajahnya menghadap ke laut.
“Baya...! bertahanlah, Bu! Kita lawan mereka! Kita lawan mereka!” pekiknya.
Tubuh lelaki itu terlihat mengeras geram. Seakan hendak memecahkan kedinginan. Ia menatap laut dengan sorot mata penuh kemarahan. Sementara gerimis semakin tajam menusuk wajahnya.
Sembari menahan gigil, lelaki itu menuju perahu. Melepaskan tali tambang. Lalu mendayung penuh dendam. Melawan hantaman ombak dan badai.
Ia terus mendayung. Meninggalkan dermaga. Meninggalkan kampung. Melintasi pulau, kapal-kapal, bagan-bagan ikan, serta kecerian sore di pesisir Teluk Lampung.
Langit kelam! Kedinginan yang membungkus tubuhnya seakan hendak membekukan kemarahannya. Umar terus melawan dingin yang terasa menusuk tulang sumsum. Ia terus mendayung penuh dendam. Terus mendayung melawan ombak.
Sementara di atas kepalanya, camar laut berteriak-teriak menakikkan kemarahan kepada ombak yang sombong. Lenggak-lenggok badai yang selalu bersiasat.
“Hai! Kalian warga pesisir Teluk!” teriak Umar memecah kesunyian sore itu.
“Akulah, raja lautan!”
“Aku menjemput dewa-dewi muncul dari pertapaannya! Aku mau kawin!” Umar mengoceh sendiri. Ia merasa tinggal sendiri. Baya dipenjara. Harta berharga miliknya, Lina dan Gofur, dirampas Lastri.
Ia tak tahu kemana harus meminta keadilan.
Lelaki pesisir, buruh nelayan.
Umar tumpahkan kemarahannya ke laut. Dendam dan kekalahan bergumul di antara keringat dingin yang mulai membilas kelembaban hujan di tubuhnya.
Buruh nelayan itu terus mendayung dengan sisa-sisa tenaga dan keberaniannya. Meninggalkan segala penandaan di Teluk Lampung. Beberapa saat setelah itu petir kembali menyalak. Seperti hendak menebas kepalanya. Umar terus mempercepat mendayung perahunya yang turun naik dimainkan ombak.
Ia terus melaju berkejar-kejaran dengan kilatan petir yang membentuk garis lurus di permukaan laut. Lelaki pesisir itu semakin terlihat kecil. Sementara petir semakin dekat menjilati air laut. Badai terus membesar. Seakan hendak menyapuh bersih kapal, bagan, dan pulau-pulau di Teluk Lampung.
Sore itu, petir dan badai menjadi monster yang siap memangsa dan melumat Teluk Lampung. Kilatannya menyenter wajah lelaki pesisir itu.
Tetapi, Umar dan perahunya semakin jauh menuju ke laut lepas.

34

“Dasar perempuan binal! Lonte! Mampus saja kamu!” umpat Lastri di depan Umar.
“Hei! Ingat ya! Aku tidak mau kamu menjenguk perempuan gila itu! Biarkan saja! Biarkan ia sekarat sampai mati! Dasar perempuan tak tahu diuntung!”
“Ia butuh bantuan. Saya masih suaminya, Mbak.”
“Terserah! Kalau kau tidak mau mendengar perintahku, silahkan pergi! Dan ingat, kamu jangan menginjak rumah ini! Saya tidak butuh kamu lagi!”
Umar hanya diam. Wajahnya terlihat tegang. Ia balikkan pandangannya ke luar rumah. Ia takut memandang wajah majikannya itu.
“Hei! Lelaki bodoh! Kamu dengar enggak omonganku?”
Umar tidak menjawab. Ia berjalan mendekati jendela. Pandangannya kosong ke arah laut. Dengan luapan marah Lastri mendekati Umar. Lalu dengan kasar tangannya mencolek telinga buruh nelayan itu.
“Kamu tuli, ya?”
“De..de..dengar. Mbak. Tapi tolong, tolonglah, Mbak.”
“Apa? Tolong? Hahahaaa...! Umar...Umar, aku sudah banyak menolong keluargamu. Setiap kalian kesusahan selalu larinya ke rumah ini. Sementara apa yang sudah kalian berikan? Tidak ada! Nol..! Hanya menyusahkan!”
Lastri diam sesaat. Ia menatap dari belakang tubuh kekar di jendela itu. Kemudian menyalip ke depan jendela dan berbalik menghadap Umar. Matanya menatap dalam ke wajah Umar. Kedua tangannya lalu merangkul pundak Umar. Buruh nelayan ini tidak bergeming. Ia melihat tatapan mata majikannya yang berubah asing. Perempuan itu lalu merapatkan tubuhnya ke Umar.
“Saya lupa, Mar. Ada, ada yang kau berikan kepadaku,” ucap Lastri pelanber lagak mesra. Umar Tak tahan menatap lama-lama mata Lastri. Ia mencoba menghindar dengan membuang tatapannya ke luar jendela. Tetapi Lastri lebih sigat. Kedua tangannya membalikkan kembali wajah Umar ke hadapannya.
“Ya...ini, benda ini, yang kamu berikan kepadaku, Mar. Cuma benda ini, Mar,” bisik Lastri pelan ke telinga Umar, sembari tangan kirinya menyentuh selangkangan celana panjang Umar, menggenggam kemaluan lelaki ini. Umar tetap diam.
“Dan Aku....tidak lagi membutuhkannya!” bisik Lastri sambil tersenyum lepas.
Umar tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Ia menatap laut. Melihat bagan dan perahu nelayan, juga kapal motor angkutan air yang menyeberangkan penumpang dari Pulau Pasaran menuju dermaga Ujungboom.
Lastri kembali berbisik. “Kau dengar lelaki bodoh...Aku tidak butuh lagi benda ini.” Lastri belum melepaskan dekapannya ke tubuh Umar. Tangannya masih menggenggam kemaluan Umar.
“Sekarang singkirkan benda ini dari rumah ini. Artinya, kamu harus pergi, alias kembali ke gubukmu. Menjadi buruh kasar yang menjijikkan. Ayo, lelaki bodoh! Sekarang juga kemasi barang-barangmu..” bisik Lastri pelan tanpa beban.
“Dan ingat, jangan bawa anakmu. Begitu pula Lina dan Gofur. Mereka sudah milikku. Aku yang membiayai hidupnya.”
Umar tidak bereaksi apa-apa ketika Lastri pergi menistakan seperti sampah. Ia berdiri tegap kaku, bagai patung semen yang tidak memiliki jiwa dan amarah. Umar tetap menatap laut. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Ia bahkan tidak ingat apa yang baru saja diucapkan Lastri kepadanya.
Sejak kematian Boni, Umar bersama Lina dan anak bungsunya Gofur tinggal satu rumah dengan Lastri. Ditambah bayi Lina dan bayi Lastri. Meski tidak menikah, namun Umar dan Lastri hidup layaknya suami isteri.
Keduanya tidur satu kamar. Namun ketika bayi hasil hubungan Umar dan Lastri usia 10 bulan, ada perubahan di diri Lastri. Ia mengusir Umar dari kamarnya. Ia sendiri tidur satu kamar dengan Lina. Sejak itu Lastri acuh tak acuh terhadap Umar. Ia memperlakukan Umar tidak sekedar buruh nelayan, tetapi persis seperti jongos.
Meski ada pembantu, Umar sering diperintah Lastri membersihkan rumah, mencuci piring, bahkan membuatkan minuman untuk tamu Lastri. Lina tahu kelakuan Lastri terhadap bapaknya. Tetapi ia terkesan tak peduli. Bahkan Lina pun sering meminta bapaknya belanja sayur.
Sejak pisah kamar, hanya beberapa kali dalam satu bulan Lastri mengajak Umar tidur. Umar merasakan hubungan seksnya dengan majikannya ini berubah aneh. Kadangkala ia harus menanggung perih tubuhnya akibat luka memar dari kelakuan kasar Lastri kepadanya. Tetapi Umar tidak menolak atau melawan. Ia ikuti saja apa keinginan Lastri. Bahkan yang tidak bisa diterimanya, ketika suatu malam Lastri mengajak Umar masuk ke kamar ia dan Lina.
Di kamar itu, Umar dipaksa menyaksikan Lastri dan Lina berhubungan seks. Bahkan Lastri memaksanya ikut bermain seks bersama Lina. Umar merasa harga dirinya betul-betul diinjak-injak Lastri. Tetapi anehnya ia tidak punya keberanian menolak apa lagi melawan kehendak sang majikan. Perilaku aneh itu beberapa kali berulang.
Umar beranjak dari jendela dan menarik kursi, lalu duduk menghadap kembali ke laut. Suara beduk Dzuhur menyadarkan ia dari lamunannya. Umar teringat Baya. Kemarin, ia mendapat kabar dari petugas Lapas Rajabasa, Baya mengamuk di penjara.
Petugas Rajabasa mengabarkan pula, Baya dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Abdul Muluk. Kondisinya cukup kritis. Umar sangat terpukul. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menyesal. Sudah tak terhitung kesalahan dan dosa yang diperbuatnya terhadap isterinya.
Umar tak sanggup bertemu Baya. Ia tidak mau menambah beban penderitaannya. Sejak isterinya dipenjara, Umar hanya satu kali menjenguk, ketika mengantarnya dari sidang terakhir di Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Setelah itu ia tak pernah lagi datang, karena selalu dihalangi Lastri. Sementara Lina dan Gofur pernah beberapa kali menjenguk, tetapi tidak bisa bertemu karena Baya menolak ditemui kedua anaknya, dengan alasan tak tega dan takut membuat kesedihan yang lebih dalam lagi terhadap kedua anaknya.
Umar masuk ke kamarnya mengemasi pakaian dan barang pribadinya. Sebelum pergi ia mampir ke kamar Gofur. Ia melihat wajah Gofur di pigura yang tercantel di sebelah tempat tidurnya. Sementara di atas nakas di samping tempat tidurnya, ada gambar perahu dibingkai kaca dipajang di sana. Umar menoleh kembali ke foto Gofur. “Wajah itu begitu polos,” ujar pelan. Beberapa saat Umar tertegun menatap foto itu. Tiba-tiba mata lelaki itu berair.
“Nak, Bapak pamit. Teruslah menggambar, Nak. Kemarin, Bapak lihat gambar perahumu. Bagus sekali! Kamu pintar...” ucap Umar kepada foto itu.
“Bapak pamit...Nanti kita bertemu lagi, berkumpul bersama Ibu. Kita bisa berperahu lagi. Menjelajah laut dan pulau-pulau. Itu pasti. Bapak janji...” bisik Umar pelan sembari menyeka air matanya.
Sebentar lagi Gofur pulang sekolah. Umar buru-buru meninggalkan kamar bersama wajah polos yang terbingkai pigura itu. Ia tak mau sampai ketemu Gofur. Sementara dari kamar belakang terdengar tangisan dua orang Bayi bersahut-sahutan. Umar sempat menoleh ke arah suara itu. Ia sempat tersenyum kecil, lalu pergi.

33

Penjara Rajabasa malam itu kembali heboh. Belum reda dari peristiwa kematian Hesti, tiba-tiba terdengar teriakan histeris dari kamar sel blok D-3. Empat narapidana perempuan di sel itu ditemukan sekarat berlumuran darah.
Tangan Baya bergerak cepat menghujamkan sikat gigi ke tubuh keempat perempuan itu saat mereka tertidur pulas. Mereka tidak sempat melawan atau menyelamatkan diri. Sikat gigi runcing itu, berkali-kali menikam bagian perut, leher, dan dada mereka.
Petugas penjara berlarian menuju blok D-3. Mereka mengamankan Baya yang semakin kalap. Keempat napi langsung dilarikan ke rumah sakit. Denok salah satu korban paling kritis, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Setelah kejadian menimpa Hesti, petugas penjara belum terpikir mengisolasi Baya ke kamar sel lain. Mereka sibuk mengurus dan mengantarkan jenazah Hesti kepada keluarganya.
Saat diperiksa petugas, Baya mengaku membunuh karena merasa terancam oleh orang-orang sekitarnya, termasuk para napi penghuni sel itu. “Untuk bertahan hidup aku harus membunuh atau dibunuh!” tegasnya setengah berbisik.
Petugas mengganggap Baya melakukan pekerjaan orang gila. Baya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Kurungan Nyawa. Apabila tidak terbukti mengalami gangguan jiwa, ia akan diancam eksekusi mati.
Seusai pemeriksaan, Baya tertawa-tawa. Ia berteriak kemenangan. Baya berputar-putar mengelilingi kamar penjara sambil bernyanyi lagu yang hanya ia sendiri bisa memahaminya. Lagu itu bukan lagu genjer-genjernya Gerwani. Suaranya tidak sedang merekayasa keperihan jenderal-jenderal dalam peristiwa Gestapu.
Putri Haji Hazairin ini sekan merekonstruksi peristiwa-peristiwa mengerikan era penumpasan gerakan PKI. “Aku bukan komunis! Bapakku bukan PKI!” teriaknya berulang-ulang.
“Hei! Kalian-kalian silakan tembak saya!..hahaha..”
Baya berteriak-teriak semakin keras sambil tertawa-tawa histeris. Matanya nanar menatap ke luar sel penjara.
“Saya muslim. Saya milik Tuhan....Ia mencintai saya!”
“Ayo...tembak saya! Hahaha...!”
Baya kembali meneruskan bernyanyi sambil membenturkan kepala ke jeruji besi penjara. Darah mengucur dari kepala. Memerahkan rambutnya yang tergerai kusut. Nyanyian itu perlahan berhenti.
Tubuh Baya ambruk ke lantai. Tidak lama terdengar pintu kamar sel dibuka. Samar terlihat kaki-kaki berdiri tepat di depan wajah yang tersungkur di lantai semen itu. Baya tak bisa mengenali kaki-kaki yang berbungkus sepatu hitam, ketika tubuhnya diseret ke luar penjara. Lalu semuanya begitu gelap.

32

Along dan Ayung terlihat berdiri sombong menyaksikan puluhan bahkan ratusan perahu kecil dan besar berhias bendera. Mereka melaju berlintasan di perairan Teluk Lampung. Lomba perahu seakan hendak memomentumkan kembali teks sejarah sebuah negara.
Peringatan Hari Pe Cun atau hari peringatan cinta tanah air itu, menyemangati Along dan Ayung untuk menghidupkan kembali mitos-mitos perlawanan Kut Guan atau Qu Yuan, terhadap penindasan bangsa China.
Duka mendalam dirasakan Kut Guan menyaksikan negaranya dihancurleburkan musuh. Kut Guan bunuh diri menyeburkan diri ke dalam sungai. Mayatnya hanyut terbawa arus air. Seluruh rakyat beramai-ramai berperahu ke sungai untuk menemukan jasadnya supaya dapat dikramasi.
Selama pencarian itu masyarakat membuang aneka makanan terbungkus daun pisang ke air. Supaya ikan-ikan tidak memakan jasad atau tubuh Kut Guan sebelum ditemukan.
Along dan Ayung membuang kue bacang dan kwecang, yaitu nasi atau ketan yang dibungkus daun bambu, ke perairan Teluk Lampung. Along tahu bahwa sejak Hari Pe Cun, pada bulan lima tanggal lima Imlek itu, ia tidak akan bertemu lagi dengan Mei Hwa. Ia telah menikah dengan teman selingkuhnya, Beni.
Meski tidak bercerai, Along menolak diduakan isterinya. Ia memilih hidup bersama Ayung, lelaki yang sangat setia menemaninya, mulai urusan kerja hingga teman bertukar pikiran. Ayung pun merasa terlindungi selama bersama bosnya itu.
Along harus jujur dengan dirinya. Ia membutuhkan Ayung. Terutama sejak dikhianati Mei Hwa dan ditinggalkan Lina. Along merasakan ada kenikmatan lain ketika bersama Ayung. Lebih dari kenikmatan yang direguknya bersama Lina dan perempuan-perempuan lain.
Along tidak lagi membutuhkan kenikmatan seks Mei Hwa, Lina dan lainnya. Ia mendapatkan kepuasan yang baru dari tubuh laki-laki yang polos dan jujur itu. Di matanya, Ayung bukanlah sejarah Adam yang membutuhkan perempuan Hawa. Dalam tubuh Ayung tidak didapatinya kegelisahan seorang Lina dan perempuan lain.
Apa dirasakan Along juga dirasakan Lina. Kedua tubuh berlawanan jenis itu tidak memiliki kesepakatan sejarah. Anatomi tubuh menjadi liberal. Tidak ada batasan genetik siapa melahirkan siapa. Hanya reproduksi. Lina hanya membutuhkan anak dari sperma seorang laki-laki. Along hanya sebuah kebetulan. Sebagaimana Boni atau laki-laki lain yang pernah bersetubuh dengannya.
“Kalau soal kepuasan, bukan cuma dari laki-laki,” kata Lina kepada Lastri.
“Betul! Kita hanya butuh anak dari mereka,” tanggap Lastri.
“Mereka egois!”
“Kasar!”
“Licik!”
“Rakus!”
“Jorok!”
“Penindas!”
“Rakus!”
“Pengkhianat!”
“Dungu!”
“Bodoh!”
“Menjijikkan!”
“Haaahaaahaaa....!”
Lina dan Lastri tertawa puas sambil menimang bayi mereka. Keduanya sepakat hidup bersama. Lina tidak perlu pusing mencari pekerjaan, karena Lastri menguasai semua harta mendiang suaminya, Boni. Kekayaan itu tidak akan pupus, karena Lastri lebih mengerti menjalankan usaha. Lina tidak perlu pusing memikirkan biaya sekolah Gofur. Ia bisa sekolah setinggi mungkin. Lina tersenyum, karena ia pun turut menguasai harta Boni.
Lastri dan Lina baru mengerti jika di dunia banyak sekali pilihan kepuasan. Keduanya menemukan titik temu. Bercinta pun tidak berbatas jenis kelamin. Lina dan Lastri merasakan hal yang sama. Bahwa kepuasan bercinta akan hilang, ketika masing-masing pasangan berebut saling menaklukkan.
Lina dan Lastri membangun wilayah imajinasi seks yang lain. Hanya mereka berdua merasakan nikmatnya. Keduanya melepaskan birahi seks tanpa perlu mempersoalkan kelas antara buruh dengan majikan.
Sepertinya begitu humanis. Lina dan Lastri membuka kehidupan baru yang lebih liberal. Lebih demokratis. Mereka sepertinya lebih mampu mendamaikan benturan-benturan ideologi kebebasan masing-masing.
Lina dan Lastri bercinta seharian tanpa persoalan kelamin, ras, agama, dan orientasi seks. Mereka merasa bahagia hidup satu rumah dikaruniai dua anak, lelaki dan perempuan.
Bagi Lina tidak begitu penting mempersoalkan siapa lelaki, siapa perempuan antara ia dengan Lastri. Keduanya bisa saja tiba-tiba menjadi sosok lelaki dan sebaliknya, menjadi perempuan sesungguhnya. Kelamin tidak lagi menjadi piranti dominan dalam struktur domestik keluarga itu. Mereka bebas-bebas saja menentukan pilihan etika dan moral dalam kesehariannya. Nyaris tidak ada benturan ideologi dari keduanya. Orientasi hidup seakan dibiarkan mengalir dengan sendirinya bersama waktu. Meski begitu, keduanya sepakat memiliki tuhan dan menolak ateis.

Sabtu, 20 Desember 2008

31

Lebih dari penandaan genetik ketika seorang lahir dari pembuahan sperma bapak. Ia membawa satu peradaban baru. Kelahiran dari jutaan perut ibu, tetapi hanya satu peradaban. Seperti jutaan spermatozoa mengejar sel telur, hanya satu yang menembus membran. Hanya satu bapak yang melahirkan ribuan bahkan jutaan anak serupa. Begitulah dialektika keahiran sang anak.
Lina melahirkan anak perempuan tanpa operasi. Proses persalinan dibantu bidan di kampungnya.
Lina merasa plong. Ia baru melewati hari-hari penuh kecemasan. Setelah sembilan bulan lebih melakukan petualangan yang sulit. Tidak terbayangkan jika diselesaikannya dengan baik. Lina tidak tahu siapa menang dan siapa dikalahkan. Baginya, itu tidak begitu penting. Karena bayi perempuan di momongannya sebentar lagi akan besar, dewasa, bertualang dan bercinta.
Lina menghendaki lahir ratusan bahkan ribuan bayi dari perutnya. Ia ingin mereka bertualang seperti dalam sejarah. Mengarungi lautan, menaklukkan setiap dermaga. Bayi-bayi itu akan menguasai samudera. Seperti laksamana, berdiri tegar di atas haluan kapal sembari menatap langit, dan berteriak lantang ke angkasa.
Seperti cerita-cerita buku sejarah yang pernah dibacanya: “Kamilah perompak ulung! penakluk Mongolia!”. Dan bayi-bayi itu lalu melahirkan peradaban baru. Peradaban yang kebingunan. Hanya menjanjikan remah-remah ideologi yang berceceran. Lina terdiam. Ia sulit membuka mulutnya -- ketika di hadapannya melintas kereta api trans nasional mengangkut ratusan pasang sepatu jenderal. Sepatu-sepatu tua itu bertengger angkuh di kursi kebangsaan. Nasionalisme semu, pikirnya.
Bangsa yang dijaga senjata.
“Peradaban semakin tua...” bisik hati nuraninya.
Lina tak akan meramal dan membayangkan kelak bayinya akan menjadi apa. Apakah menjadi rakyat atau menjadi negara. Semua butuh kekuasaan.
Waktu kadangkala membatasi keinginan manusia. Lina mulai kesulitan mengenali bapak dan ibunya. Hanya Gofur penandaan sejarah yang masih terbaca Lina.
Perempuan itu seolah melukiskan dirinya sebagai Kafka yang menulis surat kepada sang bapak, minta disemati sebuah negara tanpa sejarah. Negara di mana ia punya keluasan menentukan hidup sendiri.

Jumat, 19 Desember 2008

30

Kamar sel Baya malam itu seakan dipenuhi ribuan kucing-kucing berkuku tajam, kotor, menjijikkan. Baya, Hesti, seluruh penghuni kamar penjara Blok D hari itu seakan kawin dan bersetubuh. Lalu bunting dan terus menerus melahirkan kucing-kucing yang menjijikkan. Satu per satu hewan ini mengacung-acungkan tangan kirinya ke atas. Sementara tangan kanannya mengenggam tikus-tikus penuh darah — yang barusan dirobek dengan cakarnya. Mereka meraung. Suaranya koor rapi seperti tentara menyanyikan lagu kebangsaan.
Kemudian kembali mencakar-cakar tembok penjara. Melubangi lantai semen. Mencakar-cakar panggung atau bale papan, mengoyak bantal. Mengoyak selimut dan barang-barang perempuan di kamar sel itu. Kucing-kucing itu mengamuki seisi kamar sel. Mereka kembali mengeong dengan suara koor yang menakutkan. Firasat apa? Jutaan kucing berkuku seperti tentara dengan sangkurnya yang runcing.
Peristiwa kucing-kucing itu, bukanlah sebuah mimpi yang memamerkan luka atau penderitaan. Karena mimpi seekor kucing bukanlah mimpi seorang tentara yang pernah mengirimkan senjata dan menembakkannya berkali-kali ke tubuh seorang mahasiswa bernama Rizal.
Anak muda itu bukan Che Guevara, si pemberani dari Selat Karibia – seperti wajah lelaki baret hitam di sablonan baju kaosnya. Atau sebuah kesedihan puitik dalam puisi yang tersimpan dalam buku harian demonstran. Atau tangisan pembantaian “Orang-orang Barunta” seperti dalam pentas Teater Potlot hari itu. Kucing-kucing di kamar sel meraung bengis. Menyusun bahasa; Memangsa atau dimangsa!
Kucing kotor itu bukanlah tahanan politik. Mereka terpidana karena kejahatan. Mereka meraung-raung bukan menahan pedih akibat kuku runcing yang saling mencakar. Seperti raungan batin Baya, yang menggerakkan dirinya membunuh Hesti, kemarin siang.
Baya mencekik leher Hesti dengan kain, saat sang jurnalis itu tidur. Prosesi itu berjalan begitu cepat. Seperti tidak ada sesuatu luar biasa. Semua menjadi wajar dan biasa saja. Tidak ada teriakan kesakitan atau bentuk perlawanan lainnya. Baya telah menyelesaikan proses penaklukannya hari itu. Sebentar lagi ia akan membunuh satu persatu kawan sekamar selnya.
Penjara dan kekerasan menjadi kekuatan menolak ditaklukkan. Baya harus berani membunuh dan terus membunuh untuk mempertahankan dirinya dari ancaman di sekelilingnya. Setiap orang adalah musuh. Dan kuku runcing seekor kucing menjadi siluet kekerasan, di balik gradasi kecemasannya.
Baya dan Umar adalah kucing yang mencakar kemana saja. Mereka adalah orang-orang pesisir yang dilahirkan karena proses kekuasaan dan penaklukan. Keduanya terkotakkan menjadi sebuah negara, ketimbang persamaan ras sebagai sebuah identitas. Along dan Lina, atau Mei Hwa, Boni dan Lastri, atau Neneknya Hesti, aktivis Gerwani itu, adalah orang-orang yang juga lahir dari proses kekuasaan dan penaklukan.
Baya dan Umar adalah prosa yang bermukim dalam kawasan tanpa sejarah dan identitas. Keduanya terseret spiritualitas semu dari kisah perjuangan nenek moyang. Mereka mengaku berjuang, tetapi orang lain menjadi pahlawan.
Syair kedigjayaan Lampung ternyata muncul dari daratan seberang. Seorang lelaki berkulit hitam, berkebat kepala, berdiri tegap di bundaran pintu masuk kota. Ia bertolak pinggang. Wajahnya mendongak ke langit. Menantang matahari. Seakan hendak menjelaskan sebuah kota yang dibangun dari kekerasan bajak laut.
Samar-samar Umar melihat Radin Intan mondar-mandir sibuk menjaga ribuan simbol yang harus diamankan dari buku sejarah hari ini. Umar ingin menangisi kota yang sudah tak bertuan. Hanya patung lelaki berkulit hitam dan berbulu tebal berdiri kaku di pintu kota. Tanpa aura. Tanpa denyut sejarah. Ia laksana monumen kaum pendatang dari seberang, yang begitu lancang menyimpulkan kisah perjuangan leluhurnya.
Baya dan Umar bukanlah prosa menarik untuk dikisahkan kembali hari ini. Karena tidak pernah ada penyesalan terucap dari mulut mereka. “Aku telah mengkhianti isteriku.” Atau pengakuan Baya, “Aku mengkhianati cinta suami dan anak-anakku.” Atau, “Maafkan aku, Bapak. Maafkan aku, Ibu. Aku telah mengkhianati kepercayaan dan harapan kalian.” Kalimat itu tidak akan pernah terucapkan oleh Lina, yang sekarang memomong bayi hasil nafsu bejatnya bersama Along – bukan dari Boni yang gagal memberi anak kepada isterinya, Lastri.
Bapak, Ibu, dan Anak itu, telah mengkhianati kesepakatan dalam keluarga mereka sendiri. Semuanya begitu cerdas memainkan peran masing-masing. Lina berhasil memanfaatkan situasi saat itu. Ia merasa jadi pemenang ketika sang Ibu harus menebus aib keluarga ke penjara. Sementara Lina tak pernah merasa malu melahirkan bayi tanpa suami.
Kehidupan di kamar sel Rajabasa, romantisme di pesisir Teluk Lampung, dan kelicikan industri di sepanjang Panjang-Telukbetung, seperti satu kesatuan dari potongan peristiwa kekerasan dan pengkhianatan masa lampau. Mereka menjadi kesatuan dari proses kekuasaan dan penaklukan dari pada kesamaan sejarah sebagai sebuah identitas.
Lantas, apakah mereka ikut ke dalam proses itu sendiri, seperti kehidupan di Telukbetung, serta proses kekalahan orang-orang pesisir oleh sebuah sistem penaklukkan yang telah berlangsung beratus tahun lampau.
Baya dan suaminya Umar, adalah pertemuan dua orang dari daratan yang berbeda. Sebagaimana proses penaklukkan ketika masuknya Belanda, Inggeris, Banten, Melayu, China, dan Jawa ke wilayah itu. Mereka berasimilasi, kawin dan melahirkan anak sebanyak-banyaknya. Anak itu adalah Umar dan Baya. Atau Along, Lina dan Mei Hwa, Hazairin yang dituduh aktivis PKI dan nenek Hesti anggota Gerwani, Jawad sang aktivis LSM, atau semua orang yang ada di pesisir Teluk Lampung.
Telukbetung menjadi pertemuan sebuah proses kekuasaan dan penaklukan. Umar, putra pesisir Lampung yang menolak ditaklukkan. Tetapi ia tidak berperang atau melakukan perlawanan. Ia dendam. Tetapi tidak mampu membunuh atau menuntut Boni yang memperkosa isteri dan anak gadisnya.
Maka, dalam mimpi Umar, tidak ada kesaksian kucing meraung dan mencakar-cakar tembok penjara. Tidak ada perlawanan terhadap keadaan yang menindasnya. Tidak ada perjuangan ideologi atau harga diri sebagai seorang lelaki, buruh nelayan.
Umar menyerahkan jiwa raga, harga diri ia dan keluarganya kepada Lastri, sang majikan itu. Bahkan spermanya dipaksa memberikan anak kepada Lastri.
Tidak ada kesaksian peristiwa dua keluarga di pesisir itu. Umar tetap saja menjadi buruh. Ia menerima upah dari jerih payah melayani Lastri, sampai memberikan seorang bayi ke rahim majikannya itu. Ya, buruh tetaplah buruh. Umar selalu saja memposisikan dirinya sebagai buruh sekali pun di atas ranjang tidur sang majikan.

Kamis, 18 Desember 2008

29

Baya masih tertegun bersandar di bale-bale yang menjadi saksi sejarah perselingkuhannya dengan lelaki Bugis itu. Seperti pertunjukan teater, Baya juga menyelesaikan prosesinya di atas bale-bale itu. Bau tubuh lelaki bertubuh gembur itu sempat dinikmatinya sesaat. Mungkin tetap tersimpan dalam kamar birahinya. Sebagaimana ketika pertama kali ia mengenali tubuh suaminya.
Pandangan Baya menerawang. Ia tidak mengerti peristiwa yang berlangsung sangat cepat itu. Ia tidak menyangka mampu melakukan prosesi itu begitu tenang dan wajar. Baya hanya merasakan apa yang dikerjakannya merupakan bagian dari pekerjaan rutin sehari-hari, seperti memasak dan mencuci. Baya membunuh dalam kesadaran nyata bukan fiksi atau mimpi. Baya pun melakukannya dengan senyuman.
Baya membunuh begitu sempurna. Sesempurna ketika Boni menggauli dirinya dan Lina. Baya tidak tahu apakah ia membunuh dalam kesadaran harga diri, atau karena begitu banyak yang ia korbankan untuk memuaskan nafsu bejat sang majikan.
Sejak pergi menuju rumah Boni, Baya sudah bertekad menebus pengorbanannya dengan membunuh lelaki itu. Kesempatan pun muncul, ketika Lastri dan Umar berangkat ke Lembang, dua hari lalu.
Kepedihan Baya mencapai puncak. Lina hamil akibat perbuatan Boni. Lina mengaku diperkosa Boni saat bermain ke rumahnya. Lina bercerita rinci, awal ia dirayu dijanjikan akan dikuliahkan, kemudian diberi uang banyak, sampai akhirnya dipaksa melayani Boni.
Lina tak kuasa menolak ketika harus membuka bajunya dan melayani Boni di atas bale-bale kayu beranda tengah, tempat dimana Baya pertama kali menyerahkan tubuhnya kepada Boni..
Dengan gamblang Lina bercerita kejadian itu dilakukan berulang-ulang. Tidak hanya di rumah Boni, tetapi juga di dalam mobil, di hotel, di pinggir pantai daerah Lempasing, serta sejumlah tempat penginapan di Bandar Lampung. Lina melakukan itu setiap Boni menjemputnya pulang dari sekolah.
Lina mengaku tak mampu menolak, karena segan dan takut dengan ancaman Boni. “Ia mengancam memecat Bapak, Bu!” ungkap Lina sambil menahan isak tangisnya. Lina mengaku, diberi uang setiap habis melayaninya.
Hati Baya semakin teriris. Karena apa yang dilakukan Boni kepada Lina, sama yang dialaminya. Butiran air mata menetes dari wajah Baya. Ia menangis bukan karena sedih. Tetapi karena menahan gumpalan demi gumpalan kemarahan yang tak tertahankan.
“Hubungan kami berlanjut sampai Lina kuliah, Bu,” lanjut Lina. “Sesuai janjinya, ia membantu biaya masuk kuliah. Tetapi, Ibu tidak tahu, kalau imbalannya aku harus selalu bersedia melayaninya.”
“Meski hamil, aku menolak dikawini lelaki itu, Bu,” ujar Lina. “Biarlah bayi ini aku pelihara sendiri,” tegasnya dengan menampakkan wajah sedih.
Baya tersenyum mengenang pengakuan putrinya. Ia merasa telah melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Baya puas membantai Boni. Memotong lehernya. Menyembelih kemaluannya. Dan merasakan bau amis darahnya. Baya menoleh ke tubuh Boni yang sudah mengeras berlumur darah. Ia tertawa-tawa sendiri.
Baya bangkit dari lantai papan rumah panggung itu. Ia tak mampu menghentikan tertawa. Seperti sebuah kemenangan. Baya lalu membenamkan potongan kemaluan Boni ke mulut lelaki yang masih menganga itu. Lagi-lagi Baya tertawa terpingkal-pingkal sendiri. Tubuh lelaki di atas bale-bale itu terlihat tumbuh menjadi metafora dari kehidupan dan kematian sejarah dirinya sendiri.
Dengan tubuh telanjang, Baya terus memuaskan tertawa sembari memungut pakaian di lantai. Pergi menemui sejarah pada ruang yang lain.
“Hei! Perempuan tak tahu adat! Hentikan tawamu!” bentak Denok, rekan sesama penghuni kamar sel itu. “Dasar perempuan binal! gila!” teriak yang lainnya.
“Mbak! teman-teman kita terganggu,” ujar Hesti sembari memegang pundak Baya. Baya berhenti tertawa. Kedua tangannya memegang tiang jeruji terali. Matanya menatap kosong ke lorong blok penjara Rajabasa itu. Hesti lalu menepuk halus pundak Baya. Ia mengerti tekanan batin yang dialami perempuan itu.
“Kita lupakan masa lalu,” bisik Hesti ke telinga Baya memberi semangat.
Baya tertegun di sela-sela terali besi kaku dan dingin itu. Tatapannya kosong. Wajahnya terbingkai rambut yang semakin panjang.
“Biarkan saya sendiri,” pinta Baya.
“Istirahatlah,” jawab Hesti.
“Kenapa mereka tak pernah lagi kemari. Oh, Gofur anakku. Lina, putriku yang malang. Dan cucuku, cucuku, kau pasti sudah pandai tertawa. Berdiri, berlari. Ah, kau pasti lucu. Lihatlah aku.. perempuan tua yang kotor dan sia-sia..” ucap Baya tanpa ekspresi.
“Seminggu ini mereka pasti datang.”
“Saya rindu sekali.”
“Mereka juga pasti rindu,” sahut Hesti menjinakkan kerinduan Baya.
“Tidak! Mereka tidak akan kemari lagi! Mereka malu punya Ibu dan Nenek seorang pembunuh! Mereka malu..! Mereka malu..! Ibunya biadab! Ibunya biadab!” Baya menguncang-guncangkan tubuhnya ke jeruji besi penjara.
“Hei! Perempuan sialan! Berhentilah berteriak-teriak!” bentak Denok lagi.
“Brisik, tahu!” sambung penghuni sel lainnya.
Baya mendadak berhenti berteriak. Ia berbalik menatap ke Denok dan tahanan lainnya. Raut mukanya terlihat memendam kemarahan. Denok dan tiga rekannya membuang muka acuh tak acuh.
“Maafkan. Saya mengganggu ketenangan kalian,” ujar Baya.
Ia lalu mendekati Denok dan tahanan lain.
“Seharusnya kalian tinggalkan aku sendiri di kamar sel ini,” ujar Baya sembari berjalan ke WC meninggalkan Hesti, Denok dan ketiga kawannya yang menunggu-nunggu kalau ada ucapan lain terlempar dari mulut Baya.

Rabu, 17 Desember 2008

28

Fajar baru saja meratakan biasnya di Ujungboom. Usai sholat subuh, Baya sengaja meluangkan waktu menunggu sunrise di Teluk Lampung. Ia menoleh ke kapal ikan dan perahu nelayan yang terbingkai kabut tipis. Mereka mulai bergerak menyambut pagi. Dari jalan kecil Baya menuju ujung dermaga.
Sambil duduk di bangku warung nasi pojok dermaga, Baya melepaskan pandangan ke pulau-pulau sekitar Teluk Lampung. Ia sepertinya hendak bernostalgia masa remajanya, berperahu, berjalan setiap libur minggu. Dulu, Ia sering diajak Umar berperahu ke Pulau Condong.
Isteri nelayan itu seperti kembali belajar mengenali laut dan karma. Baya tidak pernah lupa bau asin laut. Bau khas genangan air di bawah rumah-rumah kumuh nelayan kawasan Ujungboom dan Gudang Lelang itu.
Setiap pagi nelayan dan kapal-kapal ikan disibukan oleh kegiatan sandar dan bongkar muat di dermaga itu. Setelah diturunkan dari kapal, ikan-ikan segar diangkut ke tempat pelelangan ikan di dermaga Ujungboom. Dulunya pelelangan ini berada di pasar Gudang Lelang, hanya berarak 100 meter dari dermaga.
Waktu telah mengubah kesadaran nelayan di sana, ketika beberapa tahun lalu pemerintah kota memindahkan, sekaligus memusatkan pelelangan ikan ke TPI Lempasing. Para nelayan sempat aksi unjuk rasa. Bahkan beberapa kali terlibat bentrok, saling lempar bom ikan, antara nelayan Ujungboom dengan sekelompok preman yang dipakai dinas perikanan kota bersama para bos dan juragan ikan. Sampai akhirnya TPI Gudang Lelang di Ujungboom dan Gudang Agen, kembali aktif. Kapal-kapal nelayan dibebaskan memilih, bongkar di Ujungboom, Gudang Agen atau di Lempasing.
Perebutan wilayah lelang itu sangat wajar, mengingat dalam satu pekan tran-saksi jual beli ikan ini mencapai satu miliar rupiah lebih. Pemda kota punya kepen-tingan terutama dari retribusi dan pungutan wajib lainnya.
Baya kembali tertegun ketika mengenang peristiwa demi peristiwa di Ujungboom. Ia menyadari tak mungkin menghentikan perjalanan waktu dari masa lalu. Ia menarik nafas dalam menatap laut. Seperti hendak menceritakan kembali riwayat hidup ia dan suaminya, serta milik mereka yang berharga, Lina dan Gofur.
Baya baru sadar kalau bayi perempuannya itu kini telah dewasa. Lina berkembang menjadi gadis cantik dan cerdas. Baya melahirkan putri sulungnya itu melalui operasi besar, setelah bidan di kampungnya tak sanggup mengeluarkan bayi itu secara normal. Banyak suka duka perjuangan Baya dan suaminya, masa itu. Umar terpaksa menjual semua tabungan emas mereka. Mereka juga masih harus berhutang untuk mencukupi biaya operasi. Wajah Baya terlihat sedih. Ia teringat pengorbanan suaminya yang begitu besar untuk keluarganya. Baya merasa berdosa.
Matahari mulai menyembul kuning. Baya berkemas menata pagi. Pulang dari dermaga, ia langsung membersihkan tubuhnya berulang-ulang. Sementara Gofur baru selesai sarapan pagi dan bersiap pergi ke sekolah. Siswa kelas tiga SD Negeri itu, sudah tidak lagi diantar jemput sekolah.
Lina sibuk menimba air sumur yang sedikit asam karena terintrusi air laut. Sudah tiga hari ia tidak mencuci pakaian. Baskom plastiknya penuh berisi pakaian kotor.
Baya menatap dalam-dalam tubuh anak perempuannya itu. Ada kesedihan dipendam. Sebuah penyesalan dan kekecewaan yang mendalam. Sulit untuk dilukiskan apa yang bergejolak dalam dada wanita itu. Baya tak tahan terlalu lama memandangi tubuh Lina yang terduduk mencuci pakaian kotor di dalam baskom air itu.
Beberapa saat setelah Gofur pamit pergi sekolah, Baya bersiap berangkat ke rumah Boni. Hari itu ia sengaja tidak berjualan kue. Ia melenggang tanpa membawa dagangan kue menyusuri gang sempit menuju ke rumah Boni. Tidak seperti biasa, ia jauh lebih pagi tiba di rumah majikannya.
Lastri sudah dua hari tidak di rumah. Ia pergi bersama Umar ke Lembang, Jawa Barat. Katanya mengikuti kursus soal budidaya ikan kerapu selama lima hari. Kursus tersebut diselenggarakan HKTI yaitu organisasi kerukunan petani dan nelayan, berkerjasama Departemen Pertanian.
Boni masi tidur ketika Baya tiba di rumahnya. Sambil memasak nasi dan menyapu, Baya mengetuk pintu kamar Boni. Ia sengaja mengetuknya agar majikan suaminya itu bangun lebih pagi. Begitu tahu Baya sudah datang, dengan bersemangat Boni keluar dari kamar tidur. Ia langsung buru-buru mandi.
Baya sempat membolak-balik album keluarga Boni di bufet ruang, sambil me-rapikan susunan album-album yang berantakan dan diselimuti debu. Ia melihat foto-foto Lastri dan Boni ketika masih muda. Foto kanak-kanak Boni diapit bapak dan ibunya. Dari foto keluarga Boni itu tergambar bahwa orang tua Boni memang berasal dari keluarga kaya dan terpandang.
Baya cepat merapikan kembali album ketika mendengar siulan Boni dari kamar mandi. Boni menuju kamar tidur. Baya lalu ke dapur mematikan kompor memasak air. Ia membuat kopi untuk Boni. Ketika menuangkan air hangat ke gelas, wajah putrinya, Lina, sempat membersit di pikiran Baya.
Sambil mengaduk kopi, ia menghelah nafas panjang. baya merasa seperti seekor sapi dunguh yang tidak dapat berbuat apa-apa. Wajah suaminya, Umar, juga muncul dalam pikirannya. Baya tidak tahu apa yang dilakukan suaminya dengan Lastri selama lima hari di Lembang. Ia hanya bisa memarahi dirinya sendiri yang tidak berdaya.
Baya tersentak dari lamunannya, ketika Boni mendekapnya dari belakang. Bau parfum yang dikenakan lelaki ini menusuk hidungnya. Baya tidak sempat berbuat apa-apa ketika lelaki ini langsung memeluk dan menciumi sekujur lehernya.
“Sebentar Pak, sabar. Saya letakkan kopinya dulu ke meja,” sela Baya.
Tetapi Boni tidak memberikan kesempatan sedetik pun. Ia begitu bernafsu menciumi dan meremas buah dada Baya dari belakang. Baya tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi serangan majikannya. Ia membiarkan saja Boni menggerayangi tubuhnya. Dapur menghembuskan aroma purba. Baya lalu membalikkan badan menghadap Boni. Ia mengangkat tubuh duduk ke meja dapur sembari membiarkan Boni melucuti celananya.
Keduanya seperti bersepakat bercinta seharian. Seakan melakukan hendak be-pergian jauh dengan mengumpulkan leda-kan nafsu, kebengisan, serta orgasme yang lama sekali. Keduanya menyisir pojok demi pojok ruang dalam rumah panggung itu dari dapur, ruang makan, ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi, sampai ke ruang depan. Mereka bercinta berpindah-pindah sembari menciptakan fantasi-fantasi lain.
Tubuh Boni banjir keringat. Seumur-umur ia belum mengalami petualangan seks seperti itu. Boni berulang-ulang melepaskan spermanya. Hingga akhirnya roboh di bale-bale kayu berukiran Jepara itu. Lelaki ini tergolek lemas. Tenaganya habis terkuras. Napasnya terdengar mendengus cepat.
Seperti dirinya, Baya membiarkan majikan suaminya itu tergolek di bale-bale masih dalam keadaan telanjang. Ia lalu pergi ke dapur. Tidak beberapa lama, Baya kembali ke beranda tengah. Tangannya menggenggam pisau dapur. Ia lalu menghampiri Boni masih tergolek di atas bale-bale. Ia sempat menoleh keluar rumah panggung itu melalui jendela di sebelah bale-bale. Baya menatap ke laut dan bagan ikan yang masih tetap setia di tempatnya. Baya merasakan tamparan angin laut ke tubuhnya yang masih telanjang.
Wajah Baya terlihat pucat. Pelan-pelan ia dudukkan tubuhnya di atas pinggang lelaki yang berbaring tertelungkup itu. Dengan tubuh yang masih lemas, Boni sempat beberapa detik tersenyum ke arah Baya sembari menahan sesak nafasnya tertindih tubuh Baya.
Senyum khas Boni sangat dihapal Baya, setiap usai mereka melepaskan birahi seksnya. Baya lalu memijat-mijat punggung Boni.
Baya terus memijat, sampai Boni tertidur. Hanya hitungan detik. Tiba-tiba tangan kiri perempuan itu mencengkram rambut Boni dan menariknya ke belakang. Boni tersentak. Secepat kilat, pisau dapur itu menyambar leher Boni dan berulang-ulang menyayatnya. Boni tak sempat lagi bereaksi ketika darah muncrat dari lehernya yang tertarik kencang ke belakang.
Lelaki itu hanya beberapa kali sempat menggerakkan tangannya yang tak bertenaga. Tetapi tidak berarti apa-apa, karena kedua tangannya terjepit kaki Baya yang duduk di atas punggungnya.
Isteri buruh nelayan itu terus menekankan pisaunya ke leher yang mulai menganga itu, sambil menggerakkan ke kanan dan ke kiri. Berulang-ulang seakan hendak melepaskan kepala lelaki itu dari lehernya.
Baya tak sempat menatap mata Boni yang terbuka lebar. Mata itu seperti mata seorang anak kecil saat ditidurkan ibunya. Tidak ada kesakitan. Ekspresi wajah lelaki itu seperti sedang menuntaskan kenikmatan birahinya. Darah dan keringat bercampur jadi satu lelehan yang sulit diejakan bahasa tubuh yang masih telanjang itu. Kepedihan atau kenikmatan menjadi satu kegiatan tubuh Baya dan Boni hari itu.
Kedua tubuh telanjang itu mulai bergelut dalam kubangan darah yang menebar amis kemana-mana. Tubuh mereka basah dibalut lelehan darah. Baya mengangkat kedua tangannya yang menggengam kuat pisau itu ke atas. Kemudian dengan tenaga penuh menancapkan pisau itu berulang-ulang ke punggung Boni. Semakin deras darah tumpah dari punggung lelaki yang sekarat itu, semakin kencang pula pisau itu menghujam ke punggung itu.
Baya sangat menikmati gerakan itu. Seperti mencari sudut-sudut kenikmatan saat bercinta dengan Boni. Rambut Baya yang hitam berubah kemerahan bermandikan darah. Keringat berwarna merah dari wajahnya jatuh ke dada lelaki itu.
Tubuh sang majikan itu, lalu menegang keras, semakin keras. Kemudian kaku. Seperti baru saja melepaskan spermanya yang terakhir.
Dalam keadaan tak bernyawa Baya membalik tubuh Boni. Lalu kembali menghujamkan pisau itu berulang-ulang ke perut, dada, dan bagian tubuh yang terlentang itu. Sekujur tubuh mulus perempuan itu basah berlumuran darah.
Tindakan sadistis Baya belum berakhir. Ia lalu menarik kemaluan Boni yang tergeletak lemas. Kemudian menyembelih pangkalnya hingga terpotong dari tubuh.
Tidak ada suara atau teriakan kesakitan. Hanya deru nafas Baya yang terduduk bersandar di samping bale-bale. Sementara darah mulai pelan-pelan jatuh ke lantai. Sebagian lagi merayap turun melalui kaki bale-bale kayu itu. Dinding papan di sekitar bale-bale kayu rumah panggung itu dipenuhi bercak darah.
Baya menyapukan tangan kirinya ke wajah, mengusap lelehan darah di wajahnya. Ia bersihkan darah yang mulai terlihat mengental di kedua puting payudaranya. Ia seakan terbiasa mencium bau anyir darah. Tangan kanannya masih menggenggam pisau dapur. Sementara tangan kirinya masih menggenggam erat batang kemaluan Boni yang terpotong.
Entahlah, kenapa sesadis dan sekotor itu penggambaran sosok Baya membalas sakit hatinya kepada lelaki Bugis itu.
Baya bukanlah seorang Gerwani, kendati bapaknya dituduh aktivis PKI. Penggambaran sadisme Baya, persis propaganda jenderal-jenderal Orde Baru terhadap PKI. Propaganda sadisme Orba tersebut banyak diobrolkan orang mengadopsi penceritaan sastrawan Perancis Emile Zola dalam karyanya Germinal Tahun 1884 lampau.
Salah satu potongan sejarah karangan Orde Baru yang menggambarkan sadistis aktivis Gerwani tersebut dengan kalimat seperti ini;
“....Tanggal 30 September 1965 malam itu, para perempuan menari-nari tanpa busana sembari bernyanyi lagu “genjer-genjer” di daerah Lubang Buaya. Kemudian menyiksa para jenderal, menyayat kemaluan para perwira itu, dan memasukkan ke dalam mulut mereka.”
Propaganda militer Orba berhasil membuat rakyat merinding ketakutan ketika bertemu mantan aktivis PKI. Meskipun hasil bocoran dokter yang melakukan visum et repertum terhadap jenazah para jenderal itu, tidak menemukan adanya luka sayatan di kemaluan perwira tu.
Lagi pula dari mana aktivis Gerwani memiliki ide untuk menyayat kemaluan jenderal? Apakah mungkin diilhami dari cerita “Germinal” karya Zola itu? Apakah tindakan Baya memotong kemaluan Boni juga terilhami cerita propaganda Orde Baru tentang tindakan sadistis perempuan Gerwani itu? Adakah di balik itu, terjadi perlawanan kelas antara isteri buruh nelayan dengan majikan?
Diksi seks, kekerasan, dan kemarahan seorang Baya, seperti kisah sepotong rotinya Zola yang masuk ke dalam mulut kemaluan buruh wanita ketika dicumbui majikan. Baya sudah tak dapat menghitung berapa ratus kali sang majikan menjilati roti itu dalam kemaluannya. Baya tak pernah menolak atau tertekan. Baya menikmati roti sang majikan itu. “Hanya untuk sepotong roti, biarlah lelaki itu memuaskan birahinya di atas tubuhku.”
Demikian pemikiran Baya saat itu. Ia menimbang dua hal, menyelamatkan pekerjaan suaminya, dan mengamankan ekonomi keluarga. Meski ia ikut menikmati kekerasan yang diberikan Boni.

Selasa, 16 Desember 2008

27

Gempa disertai terjangan gelombang pasang itu hanya sesaat, tetapi telah meluluhlantakkan semua yang ada di Aceh. Ratusan ribu mayat anak-anak dan orang dewasa berserakan di setiap penjuru daratan “Tanah Rencong” itu.

Hembusan angin Timur, terasa kian keras menampar tubuh Umar. Suasana itu mengingatkan kembali cerita kakeknya tentang peristiwa alam, seperti gempa dan gelombang pasang. Naiknya air laut hingga puluhan meter, menyapu kapal-kapal ikan, bagan, serta rumah nelayan sepan-jang pantai.
Kemarahan alam, kemarahan laut, kadangkala tidak pernah dapat diduga manusia. Sekali pun pakar seismograf. Seperti peristiwa meletusnya Gunung Krakatau Tahun 1883 lampau. Menenggelamkan ratusan pulau, menelan nyawa 36 ribu orang di belantara dunia. Kisah Krakatau tidak lenyap. Ia meninggalkan Anak Gunung Krakatau kini masih aktif.
Melihat kepanikan warga akan gelombang tsunami tadi subuh, Umar teringat tayangan televisi gempa Maumere dan gempa Liwa yang menelan ratusan jiwa, anak-anak dan orang tua.
Pada 26 Desember 2004 lalu, televisi kembali menayangkan bencana yang terbesar dalam dua abad ini, yakni gempa dan gelombang Tsunami di Aceh serta Kepulauan Nias, Sumatera Utara.
Gempa disertai terjangan gelombang pasang itu hanya sesaat, tetapi telah meluluhlantakkan semua yang ada di Aceh. Ratusan ribu mayat anak-anak dan orang dewasa berserakan di setiap penjuru daratan “Tanah Rencong” itu.
Alam menggelar ratusan kilometer kain kafan di bumi “Serambi Mekah”. Puluhan eskavator menggali lubang dan menanam massal mayat mereka. Tangisan tsunami juga terjadi di sejumlah tempat di Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga Afrika.
Kejadian itu meninggalkan ketakutan warga Telukbetung terutama yang berada di pesisir pantai. Mereka trauma peristiwa Aceh, apalagi ditayangkan berulang-ulang di televisi. Seakan mengajak warga terus mengingat dan menghapal gambar demi gambar dramatik tersebut.
Umar teringat Cakra. Ia khawatir tangisan rakyat Aceh menjadi industri airmata.
“Orang Aceh sampai mati pun masih dieksploitasi,” ujar Cakra.
“Lihatlah, puluhan trilyun bantuan akan mengalir untuk merehabilitasi Aceh. Orang-orang sekejap saja lupa airmata Aceh. Mereka kembali saling mencakar untuk menangguk keuntungan dari ribuan proyek yang dihamburkan ke seluruh wilayah Aceh,” kata Cakra.
Umar mengangguk-angguk. Ia membayangkan dampak psikis dan kehidupan sosial budaya rakyat Aceh pasca tsunami. Soal penyembuhan trauma korban anak-anak, serta adopsi mereka yang diatur pemerintah. Seakan ada ketakutan negara, generasi terputus ini menjadi “orang liar” yang sulit diidentifikasi di kemudian hari.
Umar menggambarkan 10 tahun atau 20 tahun ke depan. Bayi-bayi Aceh akan bertanya siapa ibunya, dan di mana rumahnya. Karena tidak semua orang mampu menuturkan peristiwa memilukan itu berulang-ulang secara cerdas. Apakah orangtua mereka mati karena konflik TNI-GAM, atau karena bencana tsunami.
“Anak-anak itu terus menyimpan luka dari masa ke masa,” ucap Cakra.
Umar sudah tidak lagi tertarik gambar kesedihan Aceh yang ditayangkan berulang-ulang di televisi. Ia teringat cerita Cakra. Seniman kerempeng itu ternyata memiliki banyak catatan masa lalu.
“Alam suka murka dalam angka 26,” ungkap Cakra.
Menurut Cakra, tanggal 26 adalah “tarikh maut” yang terkait dengan bencana alam.
“Mungkin ini serba kebetulan, tapi tak ada salahnya buat kita semua untuk selalu waspada. Toh, di luar tanggal itu, beragam bencana juga menimpa umat manusia di berbagai belahan bumi,” paparnya.
Cakra menjelaskan sambil membuka buku catatannya. Ia lalu mulai memba-cakannya. “Kau dengar ini, Mar!” ujarnya sembari matanya tertuju ke buku yang kulitnya terlihat lusuh.
“Di buku ini diceritakan, Krakatau meletus dan meluluhlantakkan pesisir selatan Pulau Jawa dan sebagian pantai di Pulau Sumatera, terjadi 26 Agustus 1883. Gelombang Tsunami menerjang pula kawasan Serang, Anyer, dan Batavia, kini bernama Jakarta. Korban tewas tercatat 36 ribu orang. Gelombang tsunami yang timbul dari letusan Krakatau memuntahkan pula bebatuan dari dasar laut menuju daratan. Ribuan kali lebih besar dari bom sekutu di Hirosima-Nagasaki!”
“Seandainya kemarahan Krakatau masa sekarang, hitungan korban bukan puluhan ribu, Mar, tapi jutaan orang ,” jelas Cakra.
Cakra membalik halaman bukunya, “Pada 26 Desember 1932, gempa bumi melanda Cina Daratan, membunuh 70 ribu nyawa! Lalu 26 Desember 1939, gempa berkekuatan 7,9 Skala Richter mengguncang wilayah Erzincan, Turki, menewaskan 41 ribu orang. Kemudian 26 Desember 2003, gempa bumi 6,5 Skala Richter menerjang wilayah Bam, Iran, membunuh 45 ribu jiwa.”
“Terakhir, 26 Desember 2004, gempa dan tsunami menerjang Aceh dan Nias, serta beberapa negara lain di Asia. Sedikitnya lebih 150 ribu orang meninggal dunia!”
Cakra berhenti membaca. “Nah, terbukti kan? Ilmu manusia enggak ada apa-apanya diadu sama ilmu Tuhan,” pesan seniman itu sembari meletakkan buku ke meja.
“Nah, yang kita rasakan sendiri di kota kita, sejak 20 Mei 2006, gempa tektonik terjadi di wilayah Kemiling!”
Gempa di wilayah Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung itu, terjadi puluhan kali setiap hari dengan kekuatan berkisar 3-4 Skala Richter. Gempa yang terjadi siang dan malam hari itu, membuat panik warga, sebagian besar warga tidur di tenda-tenda darurat yang mereka dirikan di halaman depan rumahnya.
Gempa yang disebut oleh Badan Metreologi dan Geofisika jenis gempa “Swarm” ini berlangsung selama dua bulan lebih. Gempa “Swarm” menurut pihak Mitigasi Bencana Geologi, Vulkanologi, dan Tsunami BMG Pusat, gempa yang frekuensi terjadinya relatif lebih sering, tetapi kekuatan gempa kecil di bawah 5 Skala Richter.
Gempa jenis Swarm biasanya terjadi di daerah tinggi seperti pegunungan atau perbukitan di Lampung. Gempa ini terjadi akibat ada pegeseran garis sesar pada perut bumi. Getaran gempa akan terus berlangsung dan berhenti sampai adanya kestabilan lapisan tanah di perut bumi.
Dari alat pantau digital portabel yang dipasang di sebuah gedung sekolah dasar di sekitar terminal Kemiling, terekam setiap hari rata-rata di atas 50 kali terjadi gempa. Ada yang kekuatan kecil yang tidak dirasakan warga.
Menurut alat pantau tersebut, pusat gempa berada di sekitar Gunung Betung dengan kedalaman di bawah 15 Kilometer. Jika kekuatan gempa cukup tinggi, getarannya dirasakan warga hingga ke Panjang dan Telukbetung.
“Ya, baru kali inilah, Cak, saya merasakan gempa yang berulang setiap hari,” tanggap Umar.
“Dan perlu kau ingat pula, Mar. Meski gempa di kita tidak menelan korban, tetapi 27 Mei-nya gempa menguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dilaporkan ribuan orang meninggal dunia dan luka-luka, ribuan bangunan roboh dan rusak! Alam kembali marah!”
Umar sejenak tertegun. Ada kagum. Ada ketakutan. Ia membayangkan apa yang diceritakan Cakra. Setelah laut marah, tidak lama lagi langit dan lapisan ozon akan begitu pula. Karena bolong akibat rumah kaca dan racun pestisida. Umar merasa penting merenungkan ucapan Cakra, kemarahan alam tersebut dapat kita bendung dengan menumbuhkan kembali sikap leluhur yang sangat menghargai alam bersama kearifan lokalnya.

Senin, 15 Desember 2008

26

Gelombang pengungsi malam itu, terus membesar hingga puluhan ribu orang. Mereka bergerak dari berbagai arah menuju kota yang posisinya lebih tinggi. Suasana kawasan Telukbetung-Panjang, sekitar pukul satu dini hari, berubah seperti pasar malam.

“Air laut naik! Air laut naik!”
“Tsunami! Tsunami!”
“Lari! Lari…!”
“Hei! Ada apa teriak-teriak?”
“Air laut naik!”
“Apa? Air laut naik?”
“Ya! Cepat!”
“Selamatkan keluargamu!”
“Ba..baik!”
“Air laut naik! air laut naik!”
“Air laut naik?”
“Tinggalkan rumah kalian!”
“Ayo! Ayo! Semua ke arah dermaga!
“Lari ke dermaga!”
“Perhatian…perhatian! Bapak-bapak..ibu-ibu! semua warga Pulau Pasaran, kami mendapat kabar air laut naik! Untuk itu semua warga, sekarang ini juga, segera meninggalkan Pulau Pasaran!”
Peringatan dari pengeras suara musholla semakin membuat kepanikan warga Pulau Pasaran. Mereka berhamburan keluar rumah. Sebagian besar tidak sempat lagi mengamankan harta dan barang-barang berharga miliknya.
Pengeras suara musholla kembali berteriak. “Kepada seluruh warga. Kami ingatkan supaya mengamankan barang-barang yang berharga saja di rumah Anda. Seperti ijazah, surat tanah, emas serta uang! Segeralah menyelamatkan diri ke bukit-bukit atau tempat tinggi lainnya.”
“Ayo! Cepat!” sentak awak perahu kepada warga yang berebutan naik ke perahu di dermaga kecil Pulau Pasaran itu. Dalam waktu singkat ribuan orang memenuhi bantaran dermaga. Mereka menunggu diseberangkan ke Ujungboom.
Arus pengungsi besar-besaran dari Pulau Pasaran ke Telukbetung itu, spontan membuat heboh warga di sana. Mereka tanpa berpikir panjang turut berkemas meninggalkan rumah. Musholla dan masjid, serta ketua-ketua RT dan RW meneruskan berita air laut naik itu ke warganya. Informasi terus menyebar sampai ke wilayah pesisir Teluk Lampung. Dari Kecamatan Panjang hingga Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan.
Gelombang pengungsi malam itu, terus membesar hingga puluhan ribu orang. Mereka bergerak dari berbagai arah menuju kota yang posisinya lebih tinggi. Suasana kawasan Telukbetung-Panjang, sekitar pukul satu dini hari, berubah seperti pasar malam. Puluhan ribu pejalan kaki berjejal melintasi Pasar Kangkung. Mereka mengapit buntalan kain. Wajahnya terlihat panik. Mereka berlarian menuju Tanjungkarang. Ibu-ibu dan anak-anak menyusuri trotoar tanpa alas kaki. Ada yang tak sempat mengganti daster tidur. Terlihat ada bayi di gendongannya.
Sebagian warga yang memiliki kendaraan mengungsi sampai daerah perbukitan seperti, Bakung, Sukadanaham, sampai ke Plang Besi, Kemiling. Bahkan mengungsi ke luar kota, Pringsewu dan Kota Metro. Mereka menggunakan mobil, sepeda motor, angkot, dan truk.
Di pusat kota, arus pengungsi memadati Mapolda, Kantor Gubernur dan DPRD Lampung. Pemandangan serupa terlihat di bundaran Lungsir Kantor Walikota dan Masjid Al-Furqon. Warga di kawasan Panjang sebagian mengungsi ke daerah Geruntang dan Pidada. Bahkan ada yang naik ke bukit sampai ke Kecamatan Merbau Mataram.
Tempat hiburan kawasan Jalan Yos Sudarso, setelah mendapat informasi air laut naik spontan ditutup. Tamu, karyawan, maupun pengelolanya, bergegas menyelamatkan diri.
“Ayo! Bubar..bubar! ada tsunami!” teriak pelayan sebuah karaoke kepada tamu yang lagi kencang-kencangnya “nge-on” ekstasi.
“Apo polisi? Oi...! kawan-kawan bubar...bubar! ado razia polisi!” teriaknya.
“Bukan polisi, mang, tsunami!” ujar pelayan ke telinga lelaki itu.
“Air laut naik!” tambah pelayan lainnya yang sudah mengenakan jaket dan helm motor bersiap kabur.
“Tsunami?” tamu kamar itu masih bengong.
“Tsunamiiiiiiiiii...!” teriak pelayan mengerdap-ngerdipkan mata sambil kedua tangannya menggapai ke atas, seperti sedang timbul tenggelam di air.
“Ya...Tsunami! kayak di Aceh sono tuh!” tegas pelayan lain setengah berlari meninggalkan kamar karaoke. Para tamu kontan panik. Dengan sisa tenaga yang masih ada mereka kabur menuju kendaraan masing-masing yang terparkir di halaman samping gedung karaoke.
Sampai pukul tiga dini hari, gelombang pengungsi terus mengalir ke kota. Tamu-tamu hotel, seperti Hotel Sahid yang berjarak sekitar 100 meter dari pantai, sebagian besar keluar hotel, terutama tamu-tamu yang menginap dari Lampung.
Kepanikan puluhan ribu warga lima kecamatan di pesisir Teluk Lampung, betul-betul mengubah wajah Kota Bandar Lampung dini hari itu.
Kepanikan warga akibat kabar naiknya air laut dan gelombang tsunami ini meredah setelah petugas polisi berkeliling dengan pengeras suara di mobilnya menginformasikan kepada para pengungsi bahwa berita air laut naik dan tsunami itu adalah bohong. Polisi meminta masyarakat agar kembali pulang ke rumah masing-masing.
“Kepada seluruh masyarakat, kami umumkan. Tidak ada tsunami! tidak ada air laut naik! itu berita bohong!” teriak petugas polisi melalui pengeras suara yang dipasang di mobil Kijang pick up itu.
“Sekali lagi kami himbau, segera kembali ke rumah masing-masing! Tidak ada tsunami! Kami tegaskan, tidak ada tsunami!”
Namun himbauan petugas. Tidak ditanggapi pengungsi. Mereka tetap saja bertahan. Bahkan ada yang menanggapi sinis.
“Akh! Polisi, sok tahu aja!”
“Iya! Ini soal alam, bukan kriminal!” sahut pengungsi lainnya.
“Awasi saja rumah warga supaya tidak dijarah maling!”
“Cocok!” tanggap warga lainnya sambil tertawa.
“Keluarga mereka malah lebih dulu mengungsi.”
“Di kampungku bukan cuma keluarga polisi. Pos polisinya juga udah ditinggal kabur! Hahaha..!”
Umar yang sejak sore ada di bagan, begitu mendengar adanya gelombang pengungsi dari Pulau Pasaran di dermaga Ujungboom, bergegas pulang dengan perahu kecilnya. Tetapi setiba di Ujungboom, tidak terlihat lagi ada orang di sana. Suasana sudah lengang. Ia berlarian menuju ke rumahnya. Namun keadaannya sama. Umar hanya mendapatkan rumahnya yang kosong dan tak sempat terkunci. Ia menduga isteri dan kedua anaknya sudah pergi meninggalkan rumah.
Setelah mengunci rumah. Umar berjalan ke arah gudang garam. Di sana ia baru bertemu beberapa orang sedang berjaga. Ia menanyakan keberadaan warga mengungsi. Setelah mendapat penjelasan. Umar bergegas menuju Mapolda lewat Jalan Ikan Tenggiri. Umar yakin isteri dan kedua anaknya mengungsi tidak jauh dari markas polisi itu.
Sekitar pukul lima subuh, Umar mendapatkan Baya, Lina, dan Gofur, bersama majikannya Boni dan Lastri nongkrong di depan Kantor DPRD Lampung. Dengan kendaraan majikannya, mereka kembali ke Gudang Agen.
Pagi harinya, Badan Meteorologi dan Geofisika atau BMG Branti, menjelaskan melalui berita televisi membenarkan gelombang air laut di perairan Teluk Lampung dan Selat Sunda memang mengalami kenaikan. Hal itu akibat peralihan musim, dari angin Barat ke angin Timur. Kejadian itu, menurut BMG, sudah biasa setiap masuk Maret-April setiap tahun. Kenaikan itu pun masih di bawah satu meter katanya.
Selain pesisir Teluk Lampung, warga di kawasan Pulau Sebesi, Canti, Kalianda, Lampung Selatan, malam itu juga mengungsi ke ibukota kabupaten. Warga khawatir karena diisukan Gunung Anak Krakatau kembali menyemburkan larva pijarnya. Warga dikabari akan datang gempa vulkanik yang akan diikuti naiknya air laut atau tsunami.
Heboh tsunami itu ternyata belum berakhir selama satu minggu. Sebagian warga Pulau Pasaran hanya siang hari berada di sana karena bekerja. Malam harinya mereka mengungsi ke daerah Bakung, yang berjarak sekitar lima kilometer dari Pulau Pasaran.

Minggu, 14 Desember 2008

25

Di bibir dermaga Umar melihat Boni bersama pejabat kota berbincang dengan nelayan dan tokoh adat setempat. Umar menoleh Gofur yang asyik melihat semarak kapal berhias kertas warna-warni. Umar menangkap ada kekaguman yang berlebihan dari Gofur terhadap laut dan kapal nelayan.

Umar sibuk membantu isterinya menyiapkan kue-kue pesanan panitia ruwatan laut. Baya mendapat order seribu kotak makanan ringan dari Lastri untuk kudapan para undangan dan pejabat kota. Kue-kue yang dibuat Baya antara lain segubal, lapis legit, lapis ketan, dan bebe-rapa kue khas Lampung lainnya.
Hari itu ribuan nelayan dari berbagai tempat berkumpul di dermaga TPI Lempasing. Sementara sekitar 100 kapal motor dan perahu nelayan yang dihiasi berbagai bendera warna warni sejak sore kemarin telah bersandar di dermaga.
Acara ini dibuka tari persembahan. Tiga orang gadis muncul mengenakan pakaian putih dan kain bersulam tapis khas Lampung. Siger berwarna emas berdiri anggun di atas kepala mereka. Ketiganya menari diiringi musik gamelan. Salah seorang penari membuka kotak kecil berisi sirih, dan mempersembahkan ke beberapa tamu penting.
Usai acara seremonial itu, kapal-kapal nelayan mulai bergerak dari dermaga menuju ke tengah laut. Kapal motor dan perahu yang biasa digunakan nelayan melaut terlihat padat oleh peserta ruwatan. Mereka mengawal beberapa perahu kecil yang berisi berbagai jenis sesajen serta tumbal kepala kerbau.
Kepala kerbau itu kemudian dibuang ke laut, sebagai persembahan para nelayan kepada penguasa laut yang telah memberikan rezeki tangkapan ikan, selama setahun terakhir ini.
Setelah kepala kerbau dan sesajen lainnya ikut dilempar ke laut, kapal dan perahu nelayan yang mengiringi perahu sesajen, beramai-ramai mengambil air laut yang telah ditebari sesajen, kemudian menyiramkan ke kapal masing-masing.
Masyarakat nelayan pesisir Lampung meyakini air sesajen yang disiramkan ke kapal motor dan perahu mereka akan membawa berkah keselamatan, penolak bala berbagai musibah, seperti ancaman gelombang dan badai, yang sering mereka alami saat berlayar mencari ikan. Air sesajen dari prosesi ruwat laut juga diyaki-ni bisa melimpahkan hasil tangkapan ikan.
Di beberapa daerah pesisir lainnya, seperti di Krui, Lampung Barat, ruwatan untuk penguasa laut ini sengaja dihilangkan. Para tokoh muslim menilai tradisi tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu beberapa tahun kemudian, prosesi budaya potong kerbau tidak lagi ditujukan untuk persembahan penguasa laut, tetapi lebih ditujukan sebagai rasa syukur atas rejeki yang mereka dapatkan dari Yang Maha Kuasa. Mereka membagi-bagikan daging kerbau yang dipotong kepada masyarakat.
Umar bersama Gofur ikut salah satu kapal menyaksikan prosesi laut itu. Lina tidak mau ikut karena gampang mabuk laut. Ia sibuk membantu Baya dan Lastri menyiapkan makanan dan minuman para undangan.
“Apa yang dilakukan orang-orang itu, Pak?” tanya Gofur.
“Mereka ruwatan, Fur.”
“Ruwatan? Apa itu, Pak? Kok kapal mereka penuh bendera?”
“Ruwatan itu adalah salah satu upacara warga nelayan, sebagai tanda terima kasih mereka kepada laut yang memberikan sumber penghidupan mereka,” jelas Umar.
“O, gitu. Memang laut suka dengan kepala kerbau, Pak?” kejar Gofur.
“Ya. Katanya begitu.”
“Kalau begitu, laut kayak kita juga, dong, Pak!”
“Betul. Makanya laut harus dijaga dan disayangi.”
“O, gitu.”
“Ya, Gitu!” mencoba membatasi omongan Gofur.
“Kalau kapal yang berbendera itu, Pak?”
“Kapal-kapal itu mengikuti lomba perahu hias,” tegas Umar kepada anaknya itu.
Gofur tidak lagi bertanya. Ia asik melihat kapal-kapal lalu lalang melintasi mereka. Dulu, sesekali Gofur bertepuk tangan.
Di bibir dermaga Umar melihat Boni bersama pejabat kota berbincang dengan nelayan dan tokoh adat setempat. Umar menoleh Gofur yang asyik melihat semarak kapal berhias kertas warna-warni. Umar menangkap ada kekaguman yang berlebihan dari Gofur terhadap laut dan kapal nelayan.
Seperti masa kanak-kanaknya dulu. Tetapi di tengah semaraknya prosesi budaya pesisir hari itu, Umar merasakan banyak hal yang hilang. Seperti nilai-nilai kearifan lokal adat dan tradisi leluhur.
Dalam keadatan masyarakat Lampung dibagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, masyarakat yang menganut adat Pepadun, yang terdiri dari Abung Siwo Migo, Pubian Telu Suku, Rarem Migo Pak, Buai Lima, dan Sungkai. Mereka pada umumnya bermukim di daerah Lampung Utara, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan bagian tengah.
Sementara kelompok kedua, masyarakat yang menganut adat Saibatin, yang bermukim di sepanjang pantai selatan sampai pantai barat yakni, dari Kalianda, Penengahan, Sidomulyo, Kedondong, Kuta Agung, Cukuh Balak, Padang Cermin, Pesisir Selatan, Pesisir Utara, Pesisir Tengah, Balik Bukit, dan Belalau.

Sabtu, 13 Desember 2008

24

“Gila! Kamu sanggup berhutang untuk membiayai suamimu kawin lagi dengan perempuan lain? Astaga! Kiamat!”

Tubuh Mei Hwa tergetar memandang bias purnama di atas ibu kota Sai Bumi Ruwa Jurai. Atap rumah dan gedung-gedung tua terlihat membingkai Teluk Lampung. Dari ketinggian kamar hotel, Mei melihat lampu kapal dan lampu gedung tempat hiburan malam, hanya berupa titik-titik kecil. Cahaya purnama dibiarkan menerobos masuk melalui jendela kamar yang tersingkap lebar. Dalam kamar yang dibiarkan redup itu, bias purnama terlihat jelas menyenter kedua tubuh berpeluk mesra di atas kursi menghadap jendela. keduanya menikmati suasana lenskap kota malam hari dari ketinggian hotel tersebut.
Sudah dua malam Mei Hwa menginap di Hotel Indrapuri bersama Beni. Mei sengaja ke Bandar Lampung tidak langsung menemui suaminya.
“Berapa suamimu perlu uang?”
“150 juta rupiah.”
“Untuk Apa?”
“Tambahan beli rumah,” jawab Mei.
“Tambahan? Sebesar itu? memang ia beli rumah tipe berapa?”
“Tipe 70,”
“Nah, lantas?”
“Ia juga perlu uang untuk biaya bersalin seorang gadis yang dihamilinya.”
“Ia menghamili gadis?”
“Ya. Gadis itu teman kumpul kebo suamiku.”
“Gila! Kamu sanggup berhutang untuk membiayai suamimu kawin lagi dengan perempuan lain? Astaga! Kiamat!”
“Sudahlah, Mas Ben, aku mohon bantuan Mas Ben. Along mendesak supaya dikirim secepatnya.”
“Gila..!”
“Jaminannya sertifikat tanah dan rumah di Palembang.”
“Dasar Setan! Along itu.”
“Sudahlah..Mas Ben, yang penting ia tidak mempersoalkan hubungan kita. Aku tidak begitu memusingkannya. Dan kita setiap saat bisa selalu berhubungan bebas tanpa gangguan siapa-siapa.”
Mei Hwa mendekap tubuh Beni di atas kursi jok hotel itu. Beni tidak sempat berpikir lagi soal kelakuan Along. Karena dekapan Mei ke tubuhnya semakin cepat mengalihkan konsentrasi lelaki yang masih lajang itu. Kepada Beni, Mei secara tegas mengaku hubungannya dengan Along tinggal hubungan formal suami-isteri saja. Mei mengaku lebih mendapatkan kepuasan bermain seks dengan Beni.
Meski usianya baru menginjak 28 tahun, Beni sudah terbilang sukses menekuni usahanya di bidang sales marketing berbagai produk termasuk obat suplemen China. Ia memiliki beberapa perusahaan distributor besar di Jambi, Palembang, Jakarta, dan Bandung. Beni keturunan Medan-Sunda. Ibunya dari Sunda dan bapaknya Medan. Ia belajar bisnis dari pamannya di Jakarta.
Beni mengenal Mei Hwa, ketika menghadiri undangan presentasi produk di Jakarta. Hubungan mereka sudah berjalan satu tahun ini. Beni sering ke Palembang mengawasi distribusi alat-alat kesehatan miliknya.
Along pernah mendapatkan Mei Hwa sedang berjalan berdua dengan Beni. Tetapi Mei bisa meyakinkan Along bahwa Beni adalah teman kerjanya. Setelah kejadian itu Along sering mendapat laporan kawannya di Palembang, beberapa kali melihat Mei dan Beni menginap di Hotel Sanjaya. Tetapi Along tidak mempersoalkannya. Ia yakin Mei tidak akan berani melakukan itu. “Silahkan ia berselingkuh, asal jangan di depan mata saya,” jawabnya enteng sambil tersenyum.

Jumat, 12 Desember 2008

23

Melihat altar depan Vihara Thay Hin Bio ini, Along teringat masa kecil di Klenteng Lebong Siarang, di kampungnya Musi Banyuasian. Tradisi peringatan Hari Raya Imlek atau Yinli Xinnian, di kampung dulu cukup meriah.

VIHARA Thay Hin Bio hari itu, cukup semarak di antara ratusan batang lilin merah tertata rapi. Cahaya lampion terbungkus kertas merah, semakin memancarkan energi lain ke sudut-sudut kelenteng tua itu. Dua kepala Barongsai tergeletak di atas meja besar tepat di trap tengah vihara.
Seorang lelaki tua mengitari bagian dalam vihara. Pelan-pelan ia menyalahkan satu demi satu ratusan lilin yang sudah disusun sejak sore kemarin. Lelaki tua itu bukanlah bikhu Vihara Thay Hin Bio. Karena sejak wafatnya Bikhu Sek Wang Beng, tahun 1985 lalu, hingga sekarang vihara ini sudah tidak lagi dipimpin seorang bikhu.
Selama tinggal di kawasan vihara Jalan Ikan Kakap, Telukbetung, baru hari itu Along masuk ke tempat peribadatan umat Budha dan Khong Hu Cu itu. Padahal berada tepat di mulut gang paviliun kontrakan yang baru sebulan ditinggalkan Along ke rumah barunya di Kota Karang. Meskipun setiap hari Along melintasi kelenteng itu, namun belum sempat mampir sembahyang atau dharma bersama umat Khong Hu Cu atau Budha di vihara itu.
Melihat altar depan Vihara Thay Hin Bio ini, Along teringat masa kecil di Klenteng Lebong Siarang, di kampungnya Musi Banyuasian. Tradisi peringatan Hari Raya Imlek atau Yinli Xinnian, di kampung dulu cukup meriah.
Ia dan saudaranya berpakaian baru dan rapi, memberikan hormat dengan cara Tionghoa, bai atau pei kepada kedua orang tuanya. Kemudian didoakan dan mendapat nasehat agar rajin belajar, pandai, dan murah rejeki. Setelah itu Along dan sau-daranya diberi angpau atau hong bau. Tetapi prosesi ibadah Khong Hu Cu itu hanya dilakukan secara internal, mengingat rezim Orde Baru saat itu tidak mengakui keberadaan Khong Hu Cu sebagai agama. Peminggiran umat Khong Hu Cu ini, dipersulit juga dengan pengurusan administrasi seperti KTP, akta nikah, dan lain-lain.
“Vihara ini terlihat sudah ratusan tahun umurnya,” tanya Along kepada Ayung.
“Menurut cerita engkong saya, vihara ini sudah ada sejak jaman Belanda dulu.”
“Bangunan klenteng ini pasti sudah dipugar.”
“Dulu namanya Vihara Kuan Im Thing.”
Vihara Thay Hin Bio adalah nama baru Vihara Kuan Im Thing yang dibangun Tahun 1927 lampau. Menurut cerita, kehidupan umat beragama di Lampung saat itu sudah berjalan normal, dimana penduduk kawasan pecinaan telah merasakan manfaat kasih Budha.
Mereka menyebutnya Cen Fa Ming Julai yang dikenal Kuan Im Pho Sat atau sebutan lain Dewi Avalokestesvara. Masyarakat Budha saat itu menyakini Kuan Im Pho Sat maha pengasih dan penyayang yang akan menolong semua makhluk hidup. Maka Kuan Im Pho Sat menduduki bagian Bodhisatva. Di mana-mana ia mencari suara orang yang menderita, dan menolongnya. “Kuan Im” diartikan, ia menjawab jerit tangis dunia.
Sebagian masyarakat Tionghoa yang sudah lama bermukim di Lampung, merasakan perlindungan dan berkah dari Kuan Im Pho Sat. Tidak mengherankan jika pada masa itu, mereka membuat altar di rumah masing-masing, mengadakan persembahan pada Kuan Im Pho Sat.
Pada tahun 1850, ada seorang sau-dagar rempah-rempah yang bernama Po Heng berasal dari Tiongkok. Tepatnya dari Hokkian Haiting membawa patung Rupang Kuan Pho Sat. Masyarakt gempar dan banyak yang merasa simpatik Mereka berbondong-bondong datang untuk melihat. Atas kesepakatan warga diusulkan supaya didirikan Cetya Avalokestesvara atau Kuan Im Tong—tempat ibadah untuk pemeluk Budha—di Gudang Agen.
Sejak itu, kehidupan beragama masyarakat Tionghoa terasa lebih khusuk dan bergairah. Tetapi kembali terhapus ketika datangnya musibah meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883. Banjir besar akibat letusan Krakatau ini menenggelamkan sebagian kawasan Telukbetung selama kurang lebih tiga hari tiga malam. Keluarga Po Heng yang menempati rumah tinggal di Cetya mengungsi ke tempat lebih tinggi, dan sempat menyelamatkan patung Kuan Im Pho Sat.
Pada tahun 1896 atas usulan masyarakat di kampung China atau pecinan, didirikanlah Vihara Kuan Im Thing. Tahun 1927, pada masa Bikhu Sek Te Thi dari Shaolin Kong Hwa, Tiongkok, vihara ini direnovasi, diperluas sekaligus diganti namanya menjadi Vihara Thay Hin Bio artinya Mohopati.
Pada masa Bikhu Sek Guan Lin vihara ini kembali direnovasi dan selesai pada tahun1967. Setelah Bikhu Sek Guan Lin wafat, vihara Thay Hin Bio tidak memiliki lagi Biksu. Lalu dikirimlah Bikhu dari Bandung, Sek Tek Yong. Masa Bikhu Sek Tek Yong inilah didirikan krematorium atau tempat pembakaran mayat di Lempasing. Tahun 1979 Biksu Sek Tek Yong wafat. Kemudian atas permintaan Yayasan Thay Hin Bio. Setahun berikutnya Sangha Agung Indonesia mengutus Bikhu Sek Wan Beng atau nama lain Jina Surya, ke vihara ini.
Lima tahun setelah itu, Bikhu Sek Wan Beng wafat karena sakit dan usia lanjut. Tidak ada lagi bikhu yang memimpin Vihara Thay Hin Bio. Kemudian Yayasan Vihara Thay Hin Bio menunjuk Romo Pandita Adi Surya nama aslinya Coa Kee Soen untuk mengurus dan menjalankan keagamaan sampai sekarang ini.
Along kambali mengitari bagian depan vihara. Ia seperti mendapatkan kesegaran baru. Emosi dirinya mulai stabil, sejak beberapa hari ini, ia banyak menghadapi masalah dari bisnisnya. Ia teringat pesta kembang api dan atraksi Barongsai pada perayaan tahun baru Imlek yang pertama secara nasional 12 Februari 2002, atau bertepatan Imlek ke 2553 di kotanya, Palembang.
Along duduk di altar samping vihara, sembari menghidupkan rokoknya. Ayung mendekat duduk di sebelahnya. Sementara di pintu depan vihara terlihat beberapa orang mendatangi vihara. Di pojok sebelah utara, terlihat dua orang wartawan dan fotografer tengah mewawancarai Romo Pandita Adi Surya, berkenaan hari raya Imlek.
“Mengapa kita begitu antusias merayakan Imlek?” tanya Along.
“Entahlah. Barangkali ini bagian dari proklamasi berakhirnya penindasan Orde Baru. Akhir penindasan kebebasan masyarakat Tionghoa berekspresi!” kata Ayung.
“Sebelum tahun 1965, Imlek serta ucapan selamat hari raya Imlek; Gong xi fa cai, berlangsung lancar-lancar saja. Tetapi sejak Soeharto dan Orde Barunya berkuasa Tahun 1966, Imlek dilarang dirayakan.”
“Sebetulnya, imlek itu milik siapa?” tanya Along.
“Ya, dari pandangan umum, Imlek itu milik orang-orang China.”
“Kalau yang dimaksud China itu negara atau bangsa RRC, jelas Imlek itu tak perlu dirayakan bangsa lain. Tetapi jika “China” yang dimaksud adalah kelompok etnis termasuk yang sudah menjadi bangsa Indonesia, mengapa tidak ada hari raya nasional untuk orang India atau Arab, atau 300-an etnis lainnya di negeri ini?”
“Sebetulnya, Imlek bagian dari tradisi atau kepercayaan pemeluk Budha. Penetapan sebagai hari raya nasional, itu keputusan politik negara.”
“Betul. Tetapi bukankah di kalangan etnis Tionghoa, tidak semuanya Budha, lagi pula banyak pemeluk Budha non Tionghoa ikut merayakannya.”
“Jika dilihat dari situ memang ada kebingungan. Tetapi paling tidak dari situ, ada keterbukaan bahwa Imlek itu bisa dirayakan siapa saja. Mirip seperti “Valentine Day”, siapa saja bisa mengirimkan ucapan, “selamat Valentine” atau “selamat Imlek” kepada siapa saja.”
Along serius mendengarkan penjelasan Ayung, sembari menghembuskan asap rokoknya ke arah wajah Ayung. Ayung sempat mengibaskan telapak tangannya menepis asap rokok kretek itu.
Sepertinya banyak pertanyaan di benaknya soal tata kehidupan beragama etnis Tionghoa di Indonesia. Along tidak begitu paham jika etnisitas itu bukanlah kebangsaan. Tetapi keputusan politik penguasa negara.
Sebetulnya di kalangan warga negara yang digolongkan “etnis China”, persentase yang tidak merayakan Imlek cukup besar. Dan mereka yang merayakan Imlek juga ikut merayakan Natal atau Idul Fitri, atau Velentine. Selama belum jelas benar Imlek itu milik siapa, keputusan negara untuk merayakan Imlek sebagai hari besar nasional bukanlah suatu hal yang luar biasa, sebagai “pembebasan” warga Tionghoa dari penindasan rezim Orde Baru.
“Saya pikir, libur Imlek itu bukanlah keputusan luar biasa,” tanggap Along.
Ayung hanya menatap ke arah wajah Along. Ia tidak tahu mengapa Along berargumentasi seperti itu. Ayung pun tak punya pemikiran lain untuk mempersoalkan pandangan Along yang belum dapat diterimanya itu.
Sepengetahuanya, hari raya Imlek dirayakan oleh masyarakat Tionghoa tanpa membedakan agama dan kepercayaan, karena mempunyai makna pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan pada tahun yang lalu. Sekaligus permohonan berkat dan pertolongan Tuhan pada tahun yang akan datang. Maka Imlek disebut sebagai “Hari Pengucapan Syukur” atau “Thanksgiving Day”.
Along dan Ayung kemudian meninggalkan Vihara Thay Hin Bio. Sementara orang-orang semakin ramai mengunjungi kelenteng itu. Mereka datang dari berbagai tempat. Along sore nanti ada janji bertemu Lina. Ia menyuruh Ayung sendirian mengantarkan pesanan obat ke stokis atau agen di Kota Metro.

Kamis, 11 Desember 2008

22

JAWAD tidak pernah berkhayal menjadi seorang aktivis LSM. Tamat kuliah di jurusan ekonomi, Jawad sempat menggangur dua tahun. Selama kuliah ia lebih tertarik ke dunia kesenian dan sastra. Pasca jatuhnya kekuasaan Soeharto, sarjana ekonomi yang banyak paham filsafat ini masih kebingunan mencari kerja. Suatu hari ia diajak kawannya, Koko, bekerja di sebuah tabloid yang berkantor di Jalan Yos Sudarso. Koko menerbitkan tabloid itu bersama beberapa orang jurnalis di Lampung.
Tetapi hanya 12 kali terbit, mingguan itu bubar. Alasan pemodalnya, ia dan keluarganya selalu diteror akibat pemberitaan tabloid itu. Yang lebih logis, ia mengaku tidak punya lagi duit membiayai ongkos cetak.
Jawad kembali mengganggur.
Masa Pemilu 1999, Jawad bersama rekan-rekannya yang sebagian besar jurnalis antara lain, otong, imel, bubud, membuat lembaga pemantau pemilu. Setelah kasak kusuk ke sana kemari mencari dana akhirnya, jaringan jurnalis pemantau pemilu itu mendapat bantuan dana dari donatur luar negeri.
Jawad kembali kerja. Ia menjabat sebagai bendahara yang mengendalikan dana program pemantauan pemilu tersebut. Tetapi setelah program berjalan dua bulan, Jawad ribut dengan rekan-rekannya. Ia dilaporkan tiga rekannya, Bubud, Imel, dan Otong, dengan tuduhan menyimpangkan dana program. Akhirnya melalui bantuan kawannya Koko, masalah dengan donatur asing tersebut dapat diselesaikan.
“Bagaimana mereka tahu ada penyimpangan dana, laporan pertanggungjawaban keuangan saja belum aku buat!” tegas Jawad kepada Koko.
Usai program pemilu, jaringan pemantau yang didirikan Jawad dan kawan-kawanya itu tidak lagi menerima bantuan donatur lembaga dari negeri “Paman Sam” itu. Jawad kembali menganggur. Beberapa program yang ditawarkannya ke lembaga donor ditolak.
Karena merasa prihatin Koko, yang juga lebih dulu memiliki jaringan kerjasama dengan donatur luar negeri, menarik Jawad bergabung, dan mempercayainya menjadi ketua sebuah lembaga pemantau korupsi.
“Sudahlah, Wad, kau urus dulu lembaga ini. Kau jadi ketuanya!” bujuk Koko. “Aku sendiri belum siap memimpin lembaga seperti ini. Maklum, aku masih gampang tergoda duit,” ujar Koko sembari mengetik jadwal kegiatan lembaga tersebut.
Awalnya, Jawad menolak, karena ia masih menunggu jawaban proposal yang diajukannya sendiri ke donatur luar negeri itu. Setelah mendapat balasan proposalnya ditolak, Jawad buru-buru mendatangi Koko. Ia menyatakan kesediaannya menjadi ketua lembaga pemantau korupsi yang dibuat Koko itu.
Entah karena alasan apa, ketika dana program hendak dicairkan, Jawad meninggalkan Koko. Ia menggarap sendiri program tersebut, dan merekrut orang-orang baru yang sebagian mahasiswa dari kampusnya. Koko beberapa kali mendatangi Jawad mengingatkan sikapnya itu, tidak baik untuk persahabatan.
Namun Jawad tak peduli. Ia bahkan meniupkan isu macam-macam ke kalangan aktivis lainnya soal Koko. Karena tak mau pusing, Koko merelakan lembaga yang dibentuknya, serta desain program yang digarapnya sendiri itu, diambil Jawad.
Sejak dikecewakan Jawad, Koko memilih mundur dari kegiatan LSM. Ia lebih menekuni profesinya sebagai jurnalis. Sesekali berkesenian atau menulis sastra. Sementara Jawad terus menjadi aktivis LSM. Ia dikenal banyak orang, karena sikap kritisnya menyoroti berbagai praktek-praktek korupsi di daerah.
“Biografi Jawad sudah selesai dalam pandangan intelektual saya,” ungkap Koko kepada teman akrabnya Towok aktivis prodem dari Palembang.
Jawad bertubuh rendah, kulit putih, dan mata sempit itu, memutuskan jadi aktivis LSM sejati. Seluruh pikiran dan nafasnya seakan didedikasikan untuk rakyat melalui lembaga donor luar negeri. Jawad tak mau memusingkan apakah ia bekerja untuk rakyat negerinya, atau untuk donatur asing yang mendanainya.
Jawad menyadari, banyak tantangan dihadapi LSM dalam era transisi menuju demokrasi di negerinya. Sebagaimana terjadi dalam kasus Brasil dan Uruguay. Di negara-negara tersebut, masyarakat menoleh kepada partai-partai politik yang lebih dapat memberikan simbol-simbol dan identitas ideologi yang lebih kuat.
Hal seperti itu juga terjadi di Indonesia. LSM merasa perlu terlibat dalam konteks politik lebih besar. Menghadapi transisi demokrasi yang belum tampak ujungnya ini, ditambah lagi kesulitan ekonomi berkepanjangan, pertanyaan di diri Jawad, bagaimana peran dan posisi LSM?
Setelah “Reposisi Ornop” tahun 1999, LSM belum juga mengadakan evaluasi dan reposisi dari dalam. LSM mulai menjalankan spesialisasi bidang semakin beragam dan dengan keahlian atau kompetensi yang cukup memadai.
Keberadaan LSM dikui baik pemerintah maupun badan asing. Tetapi LSM bukanlah wadah profesi dan bukan juga wadah politik. LSM adalah gerakan sosial.
Karena itu sangatlah wajar, sekarang ini banyak sekali lahir LSM “gadungan” dan LSM “buatan” dari pihak-pihak tertentu yang oportunistik. Mereka melakukan gerakan menyerupai LSM. Masuk ke berbagai lapisan masyarakat, sampai ke sumbu kekuasaan.
Sebetulnya Jawad cukup paham, jika sebagian rekan mereka ada yang menyimpang dan masuk ke arus gerakan LSM “plat merah” atau LSM yang menjadi penjilat pemerintah atau lembaga dan kelompok tertentu. Mereka sering menjadi alat atau corong kepentingan politik dan bisnis kelompok tertentu, dengan mendapatkan imbalan uang atau investasi politik.
Sebagian ada yang sengaja menawarkan jasa dalam bentuk program atau pemikiran. Misalnya menjadi konsultan parlemen, tim ahli gubernur, bupati, dan walikota. atau konsultan perusahaan negara dan swasta. Tentu saja jasa yang dijual tersebut hitungannya insentif atau imbalan uang. Selain juga bagian dari misi kerakyatannya. LSM “bermuka dua” ini biasanya banyak diminati kalangan akademisi.
Begitulah. Makin lama jumlah LSM makin menggurita. Badan Pusat Statistik atau BPS menyebutkan hingga tahun 1996 ada sekitar 1000 LSM di Indonesia. Tetapi empat tahun kemudian, tahun 2000, BPS mencatat jumlah LSM naik 70 x lipat menjadi 70.000. Sepertinya kurun waktu tersebut hingga sekarang ini, merupakan masa bulan madu, masa-masa subur untuk melahirkan bayi-bayi LSM sebanyak mungkin.
Tetapi seberapa pun banyaknya varian LSM tersebut, bagi Jawad, yang paling penting sejauh mana mereka sanggup memposisikan dirinya menjadi sumber inspirasi gerakan sosial, diantara posisi negara atau pemerintah, dan posisi pasar atau kaum pemilik modal.
LSM adalah bagian dari gerakan sosial yang bekerja dan berpihak kepada rakyat kecil. Dengan komitmen itulah mampu menyatukan misi perjuangan aktivis LSM Indonesia dan aktivis negara lain di seluruh dunia.
Tentara, polisi, PNS, atau orang kebanyakan, sering bertanya kepada Jawad dan rekannya, apa itu LSM? Jawad sulit menjawab. Karena pertanyaan sinisme dan provokatif itu, seakan menjebak dirinya. Apa lagi masih terbersit ada pertanyaan besar, sejauh mana komitmen LSM yang dipimpinnya mencerminkan ciri-ciri lembaga pergerakan sosial yang independen.
Jawad hanya bisa meminjam definisi-definisi LSM, versi Salamon dan Anheir, atau versi lain yang pernah dibacanya. Pertama, LSM adalah organisasi permanen, punya kantor, punya aturan. Kedua, menjalankan organisasi sendiri dan berada di luar kontrol pemerintah atau lembaga lain. Ketiga, tidak mencari keuntungan, dan memberi keuntungan kepada direktur atau pengelolanya. Keempat, sukarela atau voluntary. Kelima, tidak berpolitik,dan mengusung misi agama atau kepercayaan tertentu.
Jadi singkatnya, ujar Jawad, kepada polisi atau politisi yang menanyainya, LSM itu serba “non”, yakni nonpemerintah, nonpolitik, nonpartisan, nonprofit, nonpajak, dan non-non lainnya.
Jawad sempat mengenang masa lalu. Semasa rezim Soeharto, marah-marah kepada penguasa resikonya dicari-cari intel atau Laksusda. Tetapi era jatuhnya Soeharto, marah-marah adalah bagian program didanai lembaga donor asing. Maksudnya, tak ada salahnya capek marah-marah tetapi ada honornya.
Siang itu, Jawad, Maya, Lina, dan ratusan aktivis mahasiswa dan LSM berunjuk rasa ke kantor DPRD Lampung. Mereka memprotes penggelembungan dana rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah atau RAPBD, yang berindikasi korupsi dan bagi-bagi duit. Semua item dalam anggaran itu dinilai Jawad dan kawan-kawannya mengada-ada. Menyimpang dari ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah.
“Penyusunan anggaran lebih mementingkan kebutuhan pribadi sekelompok orang di legislatif dan eksekutif, ketimbang kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat,” tegas Jawad.
“Seharusnya asas proporsional, kewajaran, kepatutan, dan rasionalitas menjadi acuan utama. Mulai dari pengajuan anggaran, pembahasan, sampai penetapan!”
“Sesuai prinsip-prinsip peraturan pemerintah yang ada. Bukan justeru ajang tawar menawar legislatif dan eksekutif!” sambung Burniat Gani dari LSM Anggaran, kepada para wartawan yang meliput aksi mereka.
Demo anti korupsi itu, dilanjutkan dengan pertemuan antara wakil pengunjuk rasa dan sejumlah perwakilan komisi dan Panitia Anggaran, serta salah seorang unsur pimpinan dewan. Seperti biasanya, setelah itu kerumunan massa bubar. Sebagian kembali ke markas merekadan kembali berdiskusi. Sebagian langsung pulang, dan ada yang punya acara sendiri, ke mall atau pacaran.
Begitulah sehari-hari mereka. Hampir tidak ada sesuatu luar biasa ketika lepas dari komunitasnya. Bahasa negara, bahasa keluarga, dan ruang privasi yang tertutup sekali pun, menjadi umum dan biasa saja.

Rabu, 10 Desember 2008

21

...ranjang bisa saja menjadi sebuah negara, atau sebuah media kerumuman publik. Ranjang juga bisa menjadi sebuah ideologi terbuka.

Kampus Sekolah Tinggi Radin Intan berada di kawasan Gedong Meneng, tak jauh dari terminal Rajabasa. Setiap hari Lina menumpang Bis Kota jurusan Telukbetung-Rajabasa menuju kampus. Jika kuliah sore, dan kebetulan sedang jalan-jalan dengan Along atau Boni, sesekali Lina diantar ke kampusnya.
Tidak ada sesuatu yang luar biasa dirasakan Lina ketika menjadi seorang mahasiswa. Ia lebih banyak bergaul dengan sesama aktivis di kampus lain. Beberapa kawan-kawan yang cepat menjadi akrab dengannya antara lain, Jawad, Ribut, Dedi, Ningrum, Maya, dan Guntur.
Mereka sama seperti Lina kurang suka berlama-lama di kampus. Lina dan kawan-kawannya banyak menghabiskan waktu di perkumpulan heroik, atau komunitas LSM atau lembaga swadaya masyarakat. Di LSM, Lina banyak menempa keberanian, kritis, dan keberpihakan kepada rakyat kecil atau orang tertindas.
Karena wajahnya cantik dan tubuhnya menarik, Lina cepat dikenal orang-orang kalangan LSM. Apalagi setiap aksi ke jalan ia ikut serta.
Pelan-pelan Lina pun mulai fasih menggunakan ucapan-ucapan heroiknya LSM seperti, “penindas rakyat!”, “penguasa otoriter!”, “penghisap petani!”, “perampok rakyat!”, “gantung koruptor!”, “lawan!“, “tolak!”, “adili!”, “hidup rakyat!”, “hidup petani!”, “hidup buruh!”, “hidup kaum miskin kota!” “hidup pelacur!”. Serta diksi-diksi perlawanan lainnya.
Lina kembali menjadi “manusia yang berlebihan”. Di matanya, semua orang seperti tidak ada yang benar. Entah itu polisi, politisi, tentara, jaksa, hakim, legislator, walikota, bupati, gubernur, pengusaha, dan perangkat publik lainnya, seperti koran dan televisi, semuanya tidak ada yang benar. “Mereka tidak berpihak kepada rakyat kecil!” kata Lina mantap.
LSM telah membentuk perilaku baru bagi Lina. Perilaku itu sering terbawa sampai ke rumah. Di hadapan bapak dan ibunya, Lina tampil sebagai seorang yang paham banyak hal. Umar dan Baya, merasa bangga atas kemajuan anaknya. Keletihan mereka membiayai kuliah Lina, berubah menjadi kebanggaan. Mereka berharap Lina akan menjadi sarjana yang pintar sehingga si mana pun bisa diterima kerja.
Heroisme aktivis LSM itu, juga terbawa ketika Lina masuk ke wilayah intimnya bersama Along atau Boni. Lina mampu menghias dirinya dengan bahasa-bahasa ilmiah saat bertelanjang di hadapan Along, Minggu siang itu.
Tidak sekedar pembebasan fisik di balik obsesi seksualitas. Tetapi ada bahasa-bahasa ketertindasan yang diwacanakan kembali dalam permainan cintanya bersama Along.
Lina menginginkan ia dan sahabatnya di atas ranjang itu, membangun dunia fantasi yang liar tetapi mampu dikendalikan secara alamiah. Proses pencarian itu pun berjalan secara manusiawi dan demokratis. Lina lalu membahasakan seks sebagai peristiwa penting yang dapat dijadikan inspirasi gerakan pembebasan terhadap idiom-idiom kekuasaan represif.
“Aku tidak tahu, apakah kamu merasakan hal sama, ketika puncak kenikmatan itu terselesaikan secara sempurna?” tanya Lina.
“Apa maksudnya?” Along balik bertanya.
“Aku merasa kita terlalu lama dijerat berbagai aturan soal kenikmatan itu.”
“Maksudmu?”
“Saatnya melawan! Saatnya mencari yang baru! Bukan menaklukkan. Tetapi paling tidak…cinta, kesetiaan, dan rasa saling ketergantungan tersebut, dijelaskan kembali secara terbuka.”
“Maksudmu?”
“Kita terlalu lama mengulangi hal yang sama. Padahal kita butuh gagasan baru, yang menghendaki jawaban baru pula.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”
“Membunuh imajinasi masa lalu.”
Along hanya terpaku. Matanya menerawang ke langit kamar tidur di rumah yang baru dibelikan isterinya, Mei Hwa. Rumah Tipe 70 di Perumahan Kota Karang itu, mulai ditempati Along bulan lalu. Mei dan Erik, baru minggu kemarin menginap di rumah itu.
Along bingung menafsirkan arah pembicaraan Lina. Along merasakan ada perubahan pola pikir cukup drastis dari teman kumpul kebonya itu, meski baru beberapa bulan memasuki lingkungan kampus.
“Kalimat dan kata-katamu agak berat kumengerti, Lin.”
Lina hanya tersenyum. Ia paham keterbatasan kekasihnya itu. Lina kembali menarik tubuh Along. Ia menenggelamkan lelaki itu ke dalam lubang yang teramat dalam, yang mereka sendiri belum begitu mengenalinya.
Lina dan Along tak pernah tahu apakah keduanya bersama sebatas kebutuhan fisik atau memang ada cinta dan perasaan saling membutuhkan. Mereka tidak berusaha membangun kesepakatan atau komitmen tentang hubungan seksnya. Tetapi keduanya hanya menerima secara jujur bahwa sampai hari itu, mereka masih bersama. Saling membutuhkan.
Lina paham, keintiman seks antara ia dan Along nyaris tak banyak perbedaan dibandingkan ia dengan Boni. Bersetubuh bagi Lina adalah kebebasan perilaku antara lelaki dan perempuan tanpa harus ada ikatan, atau perjanjian-perjanjian. Artinya bermain seks antara ia dengan Along atau Boni, atau dengan siapa pun yang disukainya, bukanlah janji persetubuhan yang memiliki jaminan untuk menikah atau membangun lembaga keluarga.
Maka Lina pun berusaha mencari teman kencan sebanyak mungkin di kampusnya. Ia ingin semua lelaki menjadi teman diskusi satu ranjang. Ia bercinta dengan siapa saja, dari teman sesama mahasiswa, juga beberapa orang dosen dan kawan di LSM.
Seperti dialami Maya, salah seorang teman Lina, dengan lelaki teman tidurnya. Maya yang sehari-hari kawan diskusi Lina itu, beranggapan pergaulan seksnya dengan Jawad, tidak sekedar cengkrama fisik sesama aktivis. Tetapi lebih kepada membangun suatu kebersamaan mimpi dan keinginan, serta obsesi yang ideal dalam sudut pandang dan pola pikir keduanya.
Maya sering mengistilahkan Jawad sebagai “sahabat berpikir” satu ranjang. Karena di atas ranjang, Jawad bisa diajak diskusi lebih intim. Kemudian tidur dan bermimpi apa saja tentang dunia. Dari persoalan pendidikan di kampus sampai ketimpangan di negerinya. Mereka kadangkala menemukan bentuk-bentuk perlawanan dari eksplorasi di atas ranjang. Bahkan mereka mendesain berbagai aksi menentang kebijakan pemerintah dari atas ranjang.
Dalam konsep pemikiran Maya dan Jawad, ranjang tidak lagi mengambil posisi fungsional sebagai kebutuhan tempat tidur, peristirahatan, atau bermain cinta, tetapi menjadi lebih filosofis dan dekonstruktif. Artinya, ranjang bisa saja menjadi sebuah negara, atau sebuah media kerumuman publik. Ranjang juga bisa menjadi sebuah ideologi terbuka. Siapa pun bisa mendapatkannya melalui proses demokrasi; berunding, memilih, dan bersepakat untuk menggaulinya.
Seperti Lina, Maya pun menginginkan berkencan dengan lelaki sebanyak-banyaknya. Ia bebaskan antara kepuasan seks dan eksistensi lelaki berksplorasi ke dalam ruang intimnya.
Maya beralasan bertelanjang di hadapan Jawad atau teman tidurnya yang lain, tidak ubahnya ketika ia bertelanjang di atas toilet WC rumahnya atau WC hotel. Membuang limbah tubuh. Mengalirkannya melalui saluran pipa di bawah tanah. Instalasi tinja itu disembunyikan dengan hati-hati dan rapi. Maya yakin tinja dari tubuhnya akan meluncur ke bawah tanah, dan tidak akan pernah muncul ke permukaan, apalagi sampai terlihat orang lain dari berbagai sudut kota.
Maya menganggap kotoran yang disembunyikan melalui pipa-pipa penyaluran itu, mencerminkan karakter ia dan kotanya. Dari atas toilet kamar hotel, Maya melihat tugu Adipura sukses menyembunyikan limbah kotoran di bawah kamar mandi, kamar tidur, ruang kerja walikota, bupati, dan gubernur.
Semua kotoran telah tersembunyi rapi di bawah ruang kerja jaksa, hakim, redaksi koran, televisi, dan radio. Tidak ada satu pun terlihat mata. Tinja juga tersembunyi di bawah kantor tentara, parlemen, kantor pos, bank swasta dan negera, diskotik, mall, rumah bordil, bahkan rumah-rumah ibadah.
“Mengapa semua orang menyembunyikan tinjanya di bawah tanah,” tanya Maya.
Jawad tidak menjawab. Ia sendiri bingung apakah dirinya bagian orang-orang yang menyembunyikan tinja itu. Semua yang busuk memang harus dikubur. Sebagai aktivis yang selalu berteriak moral dan kebenaran, Jawad sangat menyadari bahwa yang dimaksud Maya adalah konsistensi dan komitmen pribadi antara ucapan dengan perbuatan. Berat memang.
Kadang Jawad berenung sendiri apakah yang dikerjakannya selama ini ada manfaat untuk orang banyak, atau sebaliknya. Termasuk kehidupan seks bebasnya dengan Maya.
Kata kunci orang-orang munafik adalah moral. Hubungan seks di luar nikah antara ia dan Maya memang dilakukan atas dasar suka sama suka. Tidak ada yang dirugikan. Tidak ada pemaksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lain yang terjadi antara mereka. Ya, suka sama suka. Demikian pembenaran sementara yang menjadi argumentasi keduanya. Kalau cocok, bisa saja nantinya mereka menjadi suami isteri.

Selasa, 09 Desember 2008

20

Dari pengeras suara terdengar teriakan parau; “kawan-kawan! Satu rekan kita mati! Mereka menembak Rizal! Jangan mundur! Lawan! Maju… maju!” Mahasiswa kembali keluar dari kampus UBL. Mereka tumpah ruah ke jalan raya ZA Pagaralam, di depan kampus UBL.

“Hidup rakyat…!”
“Tolak RUU Hankam Negara! Tolak Militerisme!”
Ratusan mahasiswa bermuka marah itu, menyerbu Markas Koramil Kedaton, berjarak sekitar 100 meter, berseberangan Jalan raya di depan Universitas Bandar Lampung.
Bendera merah putih yang sejak pagi berkibar di halaman Koramil, diturunkan paksa oleh mahasiswa.
Anak-anak muda pemberani itu merangsek masuk ke dalam kantor Koramil. Mereka dorong-dorongan dengan beberapa anggota tentara. Terdengar kaca jendela runtuh. Salah seorang di antara pengunjuk rasa naik dan berdiri di atas satu pilar pagar tembok Koramil. Dengan corong pengeras suara, lelaki ceking itu mengomandoi rekan-rekannya untuk terus masuk dan menduduki kantor yang dijaga beberapa personel bersenjata.
Melihat aksi mahasiswa yang mulai kalap, para anggota koramil mundur ke belakang kantornya. Tidak beberapa lama setelah itu, dari belakang kantor itu terdengar rentetan tembakan berkali-kali ke arah kerumunan mahasiswa.
Barisan aksi mahasiswa panik. Mereka perlahan mundur dari Koramil. Suara tembakan terus menyalak. Ratusan mahasiswa kocar-kacir ke seberang jalan. Sebagian besar lari masuk ke kampus UBL, Universitas Bandar Lampung.
“Hentikan tembakan! Stop! Jangan menembak! Jangan menembak!” pekikan itu muncul dari pengeras suara lelaki ceking yang masih berdiri di atas pagar tembok Koramil. Ia masih bertahan di atas pagar, di antara desingan peluru. Mahasiswa pemberani itu bernama Chairul. Ia terus berteriak-teriak meminta sejumlah personel TNI bersenjata di belakang kantor Koramil menghentikan tembakan.
Namun teriakan “Chai” panggilan akrab Chairul itu, justeru semakin mengobarkan kemarahan personel TNI. Mereka terus menembak. Semakin kalap dan membabibuta. Seorang mahasiswa bernama Rizal yang menghindar ke seberang jalan, tiba-tiba jatuh tersungkur di trotoar jalan. Dari dadanya terlihat darah membasahi kemeja putihnya. Sementara suara letusan senjata masih terdengar.
Begitu mengetahui ada seorang mahasiswa tertembak. Para demonstran mulai terbakar kemarahannya. Mereka kembali maju. Melemparkan batu-batu ke arah kantor Koramil dan kerumunan polisi. Markas Koramil rusak parah. Pagar depan roboh, kaca-kaca jendela pecah.
Di tengah kegaduhan terus memuncak, sebagian mahasiswa langsung membawa Rizal ke Rumah Sakit Umum Abdul Muluk. Namun ketika tiba di ruang Unit Gawat Darurat rumah sakit pemerintah itu, Rizal sudah tidak bernafas lagi. Hasil visum, korban tewas setelah peluru menembus dada kanannya. Mahasiswa semester tiga ini menghembuskan nafas terakhir di atas mobil yang membawanya ke rumah sakit.
Reaksi kematian Rizal, mengundang solidaritas mahasiswa lain dari berbagai kampus PTS dan PTN di Bandar Lampung. Termasuk aktivis LSM yang sebelumnya setengah hati mendukung aksi mahasiswa ini. Lalu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi itu, beramai-ramai maju kembali untuk menguasai kantor Koramil. Salah seorang mahasiswa bernama Muzam dan beberapa kawan-kawannya terus mengobarkan semangat mahasiswa.
Dari pengeras suara terdengar teriakannya yang mulai parau; “kawan-kawan! Satu rekan kita mati! Satu rekan kita mati…! Satu rekan kita telah meninggalkan kita! Mereka menembaknya! Mereka menembak Rizal! Kita jangan mundur! Lawan! Maju…terus maju!” Mahasiswa kembali keluar dari halaman kampus UBL. Mereka tumpah ruah memadati jalan raya ZA Pagaralam, di depan kampus UBL.
Ratusan aparat kepolisian dan tentara melakukan blokade memotong jalan besar itu. Mereka dihujani lemparan batu dan bom Molotov oleh mahasiswa. Tetapi karena posisi aparat agak berjarak dengan kerumunan mahasiswa, lemparan batu dan botol botol hanya sampai beberapa meter di muka petugas keamanan.
Jalan raya lokasi aksi itu sudah diblokir. Hanya terlihat mahasiswa, aparat keamanan, wartawan, dan beberapa orang warga masyarakat yang menonton. Badan dan bahu jalan hingga trotoar, diseraki batu-batu dan kayu yang dijadikan senjata mahasiswa melempari pasukan polisi dan tentara.
Beberapa saat setelah aksi lempar itu, unit pengendalian massa atau Dalmas dari gabungan Poltabes dan Polda Lampung, bergerak mundur beberapa langkah untuk memancing maju kerumunan mahasiswa itu. Sementara lapisan kedua di belakang, terlihat pasukan TNI bersiaga dengan senjata api laras panjang, tameng dan pemukul dari rotan. Pasukan Dalmas lalu bergerak maju bersama sejumlah personel intel dan reserse baik dari tentara maupun polisi. Lalu terdengar beberapa kali suara tembakan.
Konsentrasi mahasiswa pecah. Ada yang bertahan ada yang berlari ke dalam kampus UBL. Aparat keamanan terus maju. Beberapa orang polisi dan tentara berpakaian preman menyebar mengepung kampus, sambil mengacungkan pistolnya. Sebagian lagi masuk mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus. Lalu diikuti puluhan Dalmas lainnya.
Seperti dikomandoi, dengan penuh emosi, personel keamanan dan beberapa anggota intel dan reserse beraksi brutal di dalam kampus itu. Mereka mengobrak-abrik apa yang terlihat mereka, merusak mobil dan motor dosen dan karyawan UBL di halaman parkir. Menghancurkan kaca-kaca jendela serta sarana fisik lainnya milik kampus swasta itu.
Setiap menemukan mahasiswa mereka keroyok dan digebuki beramai-ramai. Suara kesakitan dan teriakan panik terdengar di sana sini. Darah muncrat dari kepala beberapa orang mahasiswa. Mereka diseret masuk ke dalam sebuah mobil yang sepertinya sudah disiapkan lebih dulu. Tidak ada yang tahu mau dibawa ke mana mahasiswa yang dimasukkan ke mobil itu
Sebuah keputusan represif. Ketika ketegangan tidak mampu lagi diselesaikan lewat akal sehat, etika, dan kebersahajaan. Semua perangkat komunikasi seketika mati. Yang muncul suara keberingasan. Merobek bahasa santun sehari-hari mereka.
Pasukan polisi kian terseret emosinya. Menjadi gelap mata, liar dan brutal. Siapa pun mahasiswa yang mereka temukan di kampus itu, entah ikut aksi atau tidak, langsung digebuki. Suara histeris dan teriakan minta tolong bersahutan bersama suara hantaman benda keras. Sesekali dibarengi suara tembakan.
Dengan ekspresi penuh kebencian, para personel keamanan terus menjelajahi kampus sampai ke ruang rektor dan dosen. Mereka tak lagi menggubris otoritas kampus. Mengamuk dan merusak berbagai sarana yang ada. Para dosen dan rektor hanya terpaku penuh ketakutan. Mereka tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan kebrutalan aparat keamanan itu.
Sementara di seberang jalan, terlihat beberapa orang pejabat kepolisian antara lain Kapoltabes Bandar Lampung, juga beberapa pejabat dari Korem dan Polda. Mereka mengawasi dari jauh perilaku anggotanya. Mereka seakan tidak tahu apa yang terjadi di dalam kampus itu.
Beberapa kali terdengar dialog melalui telpon genggam antara Rektor UBL dengan Kapoltabes berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi itu. “Ingat, Pak! Kami masuk ke kampus Anda bukan mencari mahasiswa Anda! tetapi mencari provokator aksi unjuk rasa ini! anak-anak PRD! Mereka berlindung di kampus Anda!” tegas Kapoltabes berkulit agak hitam itu.
“Ampun..ampun Pak! Jangan pukul kami! Jangan tembak kami!” teriak mahasiswa yang jatuh didorong petugas berbaju preman ke dalam parit besar di depan kampus.
“Iya..Pak! kami tidak ikut aksi, Pak!” jawab beberapa mahasiswa yang lebih dulu berlindung di dalam parit itu. Meski tidak digebuki, tapi tak urung tendangan kaki petugas yang dikenal anggota intel itu, menghantam kepala mahasiswa.
Seorang mahasiswi fotografer majalah kampus, Fitri, mengalami kritis di Rumah Sakit Advent, Kedaton. Bagian belakang kepalanya pecah dihantam popor senjata. Padahal sebelumnya, Fitri sempat berteriak: saya pers pak! sembari menunjukkan identitasnya. Namun orang-orang itu sudah gelap mata. Mahasiswi malang ini akhirnya meninggal dunia.
Siang itu, 28 September 1999, pemandangan di kampus UBL betul-betul menakutkan. Lingkungan pendidikan itu berubah menjadi lapangan pembantaian.
Peristiwa kekerasan bersenjata oleh polisi dan tentara itu, terjadi masa Presiden Abdurrahman Wahid, hanya berselang satu tahun sejak tumbangnya rezim militer Soeharto oleh gerakan reformasi mahasiswa Indonesia.
Lina hanya menonton saja repertoar tragedi itu, melalui “peformance art” yang digelar ratusan mahasiswa untuk memperingati “Peristiwa UBL Berdarah”, di depan Markas Korem 043 Garuda Hitam dan Poltabes Bandar Lampung. Lina merasakan ada yang lain bergolak dalam tubuhnya. Dengan jaket almamater yang baru didapat dari kampus, Lina mencoba mengekspresikan jati dirinya sebagai seorang mahasiswa. Sepotong poster yang digenggam erat kedua tangannya, terasa menambah bobot tubuhnya. Lina merasa mengusung batu besar, butuh energi besar untuk menghimpun tenaga dan keberanian.
Sambil berteriak dan menyanyi Lina bersama ratusan mahasiswa menyusuri jalan menuju bundaran Tugu Gajah atau Tugu Adipura. Sesekali ia menutupkan telapak tangan kirinya untuk melindungi wajahnya dari sengatan matahari siang itu.
Sebelum meninggalkan Korem, Lina sempat melihat orang-orang berpakaian loreng dengan senjata laras panjang di tangan. Mereka berdiri tegap di pintu masuk markas tentara yang telah dihadang portal plang besi dan pagar kawat. Di depannya pengunjuk rasa terus mendesak masuk ke halaman militer itu.
Lina berdiri di barisan depan. Ia sempat membuang muka ketika salah seorang berkumis lebat dalam barisan blokade berseragam loreng itu, menatap tajam ke arahnya. Untuk membunuh takutnya, cepat-cepat ia dongakkan wajah ke awan. Namun gumpalan awan terlihat lebih menakutkan. Warnanya bergradasi kekerasan. Lina menunduk mengalihkan tatapan ke perutnya yang tipis. Namun ujung-ujung kumis lebat itu terasa menempel dan menusuk-nusuk.
Lina sulit menjelaskan apakah itu sebuah kemenangan atau kekalahan. Sama ketika Leman, senior kampusnya, mengapresiasikan kaum fundamentalis beralih kepada komunis. Lina melihat fenomena kumis lebat yang menempel ke perutnya itu, adalah fenomena natural para pemuda atau mahasiswa sebuah negara untuk menjadi komunis, ketika beratus tahun hidup di bawah aturan imperialisme barat.
Senior yang juga asisten dosen kampus Lina itu, menjelaskan pula kegelisahan kaum kapitalis terhadap demokrasi yang dilahirkannya sendiri. Lebih buruk lagi ketika demokrasi itu sudah tidak lagi populer pada abad-abad berikutnya. “Isu globalisme, futurologi “Pasar Kesembilannya” Attali, pelan-pelan akan mempereteli ideologi politik dan ekonomi abad sebelumnya. Menjadi abad tertinggal,” tegas Leman bersemangat.
Lina tak sanggup mencerna maksudnya Leman bahwa demokrasi yang memang lahir dari perut kaum kapitalis, atau pun komunis dari kekuasaan totaliter, hanya menyisakan remah-remah ideologi purba. Ia seperti kereta trans nasional yang terseok-seok membawa manusia penuh kebanggaan atas perjuangan dan kebesaran masa lalu, katanya.
“Sangat menakutkan,” tukas Leman.
Ketika Agama menghendaki kekuasaan sejati berdasarkan simbol-simbol Tuhan, lanjut Leman. “Marx dan Lenin menawarkan apa yang tidak ditawarkan ideologi lainnya yakni, kehendak untuk berkuasa. Lebih buruk lagi seperti gerakan Apartheid di Afrika Selatan, di mana Kristen dan ajaran Kristus, menjadi alat pembenaran untuk kehendak berkuasa!” jelas Leman.
Cukup berat bagi Lina untuk memahami setiap kalimat dari para seniornya. Namun, ia berusaha keras menemukan satu garis linear dari gerakan progresif kawan-kawan mahasiswa. Seperti seorang nasionalis. Ia membaca kembali Indonesia dan sejarahnya. Membaca kembali asal-usul kebangsaan. Membaca kembali kitab leluhur. Ia merasakan dirinya menjadi manusia yang berlebihan.
Seperti aktivis lainnya, Lina selalu menemui kesulitan berbicara ke lorong masa lalu. Kadangkala kampus berubah menjadi wilayah kesepian dan keterasingan. Ia seperti kanak-kanak yang selalu menolehkan mukanya ke luar jendela, saat guru memberikan pelajaran di kelas. Ada keasikan lain dalam alam fantasi Lina ketika melihat keluasan pemandangan di luar kelas. Keasikan yang jauh lebih luas ketika memandang sepetak papan tulis di muka kelas.
Lina selalu dan akan selalu menatap keluar sana, sampai pengajaran guru selesai. Dan ia merasakan ada kebebasan di luar sana.