Sabtu, 20 Desember 2008

31

Lebih dari penandaan genetik ketika seorang lahir dari pembuahan sperma bapak. Ia membawa satu peradaban baru. Kelahiran dari jutaan perut ibu, tetapi hanya satu peradaban. Seperti jutaan spermatozoa mengejar sel telur, hanya satu yang menembus membran. Hanya satu bapak yang melahirkan ribuan bahkan jutaan anak serupa. Begitulah dialektika keahiran sang anak.
Lina melahirkan anak perempuan tanpa operasi. Proses persalinan dibantu bidan di kampungnya.
Lina merasa plong. Ia baru melewati hari-hari penuh kecemasan. Setelah sembilan bulan lebih melakukan petualangan yang sulit. Tidak terbayangkan jika diselesaikannya dengan baik. Lina tidak tahu siapa menang dan siapa dikalahkan. Baginya, itu tidak begitu penting. Karena bayi perempuan di momongannya sebentar lagi akan besar, dewasa, bertualang dan bercinta.
Lina menghendaki lahir ratusan bahkan ribuan bayi dari perutnya. Ia ingin mereka bertualang seperti dalam sejarah. Mengarungi lautan, menaklukkan setiap dermaga. Bayi-bayi itu akan menguasai samudera. Seperti laksamana, berdiri tegar di atas haluan kapal sembari menatap langit, dan berteriak lantang ke angkasa.
Seperti cerita-cerita buku sejarah yang pernah dibacanya: “Kamilah perompak ulung! penakluk Mongolia!”. Dan bayi-bayi itu lalu melahirkan peradaban baru. Peradaban yang kebingunan. Hanya menjanjikan remah-remah ideologi yang berceceran. Lina terdiam. Ia sulit membuka mulutnya -- ketika di hadapannya melintas kereta api trans nasional mengangkut ratusan pasang sepatu jenderal. Sepatu-sepatu tua itu bertengger angkuh di kursi kebangsaan. Nasionalisme semu, pikirnya.
Bangsa yang dijaga senjata.
“Peradaban semakin tua...” bisik hati nuraninya.
Lina tak akan meramal dan membayangkan kelak bayinya akan menjadi apa. Apakah menjadi rakyat atau menjadi negara. Semua butuh kekuasaan.
Waktu kadangkala membatasi keinginan manusia. Lina mulai kesulitan mengenali bapak dan ibunya. Hanya Gofur penandaan sejarah yang masih terbaca Lina.
Perempuan itu seolah melukiskan dirinya sebagai Kafka yang menulis surat kepada sang bapak, minta disemati sebuah negara tanpa sejarah. Negara di mana ia punya keluasan menentukan hidup sendiri.

Tidak ada komentar: