Minggu, 30 November 2008

11

Umar terhenyak melihat perubahan mendadak perilaku Lastri. Ia belum siap menyikapinya.
Umar berada di antara ketertindasan dan keinginan mereguk kenikmatan
dari situasi yang tengah berlangsung di hadapannya.


Lastri kembali terpaku di gazebo kecil Restoran Moroseneng. Kedua tangannya bertumpu di atas meja makan menopang dagu. Ekspresi wajah Lastri kosong. Umar tidak bereaksi. Ia sedang menimbang-nimbang kalimat apa yang akan terucap dari bibir perempuan itu. Kemudian jawaban apa yang akan disiapkannya.
Lastri lalu menoleh ke samping kiri menatap Umar. Matanya masih kosong. Raut wajahnya seakan memberitahukan sebuah penderitaan panjang. Kedua tangan itu masih menyangga dagunya. Ia tak bergeming sedikit pun menatap Umar. “Wajah itu tetap cantik meski dibingkai kesedihan,” bisik Umar ke batinnya. Ekspresi Lastri tetap saja kosong. Tanpa sepotong kata, atau sedikit perubahan suasana di wajahnya.
Umar kembali dijinakkan suasana. Ia mulai berani merapatkan tubuhnya ke samping Lastri. Bagai seorang bapak kepada anak, tangan kanan Umar mengelus lembut punggung Lastri. Tidak ada reaksi atau bahasa tubuh dari Lastri atas sentuhan lembut itu. Umar menjadi risih sendiri. Segera ia tarik tangannya dan menggeser tubuhnya yang telah merapat ke pinggang Lastri. Tetapi dengan sigapnya, tangan Lastri menahan tangan Umar. Ia menempelkan kembali tangan yang terlihat bergetar itu ke punggungnya, sembari merebahkan wajahnya ke dada Umar. Sudah hampir dua jam mereka di restoran itu.
“Sebentar lagi sore, kita harus pulang,” bisik Umar pelan ke telinga isteri Lastri. Lastri tidak menjawab. Ia begitu nyaman merebahkan wajahnya ke dada bidang buruh nelayan itu. Umar tak bisa apa-apa. Ia sengaja menempatkan dirinya sebagai buruh yang tentunya menurut apa perintah majikan. Hidungnya lalu ditempelkannya ke rambut Lastri. Diam-diam Umar mencuri kenikmatan lain dari aroma hairtonic di rambut majikannya.
Sementara Lastri kian menyurukkan mukanya ke dada Umar. Tangannya menggeletak di paha Umar yang tertutup pandang oleh meja makan restoran itu. Lastri seperti tak peduli kalau ada orang lain melihat mereka. Suasana itu seakan berkolerasi dengan posisi mereka yang terhalang tanaman pergola yang merayap dari bawah sampai ke atap gazebo. Mereka bisa lebih dulu melihat orang datang atau melintasi mereka.
“Mengapa kamu mengajak pulang?”
“Kita sudah terlalu lama di sini,” jawab Umar pendek saja.
“Memangnya kenapa? Kamu tidak betah berdua denganku?”
“Bukan begitu, Mbak. Lepas Magrib saya harus ke bagan. Sekarang ‘kan sedang purnama.”
“Aku yang mengatur kamu kerja, Mar!” tegas Lastri.
“Iiya..Mbak,” Umar sadar. Ia mencoba lepas dari dekapan Lastri. Tetapi sang majikan tetap menahannya.
“Kamu harus mengerti, siapa dirimu. Nasib keluargamu bukan di tangan Boni! tetapi ada di tanganku!” kata Lastri meninggi.
“Iya..Mbak.” Umar membiarkan dadanya menyangga wajah majikan.
“Artinya, kamu harus mendengarkan aku bukan Boni atau orang lain! Paham?”
“Pa..pa..paham, Mbak.”
“Bagus! Sekarang aku butuh kamu. Aku yang mengatur kapan kita harus pulang!”
“Ya, Mbak.”
Umar terhenyak melihat perubahan mendadak perilaku Lastri. Ia belum siap menyikapinya. Umar berada di antara ketertindasan dan keinginan mereguk kenikmatan dari situasi yang tengah berlangsung di hadapannya. Ia merasa kehilangan harga dirinya, tetapi ia mendapatkan kebanggaan lain di antara kebutuhan fisik dan psikis sang majikan.
Umar membiarkan dirinya seperti seekor keledai yang ditusuk hidungnya oleh sang majikan. Karena ia tak butuh lagi pertentangan kelas sebagai seorang buruh. Ia sakiti dirinya bahkan keluarganya, untuk mendapatkan kesejajaran kelas dengan sang penguasa dirinya, Lastri. “Tidak ada yang merugikan dan dirugikan,” bela Umar kepada dirinya. Maka ia biarkan tangan kecil halus itu berkeliaran di atas pahanya. Karena ia pun menikmatinya.
Beberapa saat setelah membayar ke kasir, Lastri menarik tangan Umar ke pinggangnya. Mereka meninggalkan restoran. Sore itu, kedua buruh dan majikan itu, seakan lupa arah jalan menuju pulang ke rumah.

Tidak ada komentar: