Minggu, 23 November 2008

3

Tidak jelas latar belakang Samsul Bone dan orang-orang Bugis lainnya
sampai di Lampung. Mungkin saja ada garis keturunan moyangnya yang lahir
dari situasi konflik antara Bugis dengan Makasar, ratusan tahun lampau. Konflik tersebut
terus berlangsung hingga abad ke-19. Akibatnya banyak orang Bugis
bermigrasi terutama ke daerah pesisir.

Matahari sore menampar puluhan bagan ikan di Teluk Lampung. Dari puncak Tarahan terlihat bias merah meringkas sinarnya. Membentuk garis-garis cahaya di permukaan air laut. Kendati matahari mulai menyempit disekap perbukitan Tarahan, namun para nelayan terutama nelayan jaring pukat darat atau payang masih berbaris menarik jaring ikan. Mereka sejak pagi tadi berada di sisa pantai yang belum teruruk.
Dari dermaga Ujungboom, Gudang Lelang, kapal-kapal penangkap ikan, berjajar bersandar sekitar dermaga tua itu.
Beberapa perahu penumpang masih hilir mudik membawa orang dari Ujungboom ke Pulau Pasaran. Sementara di TPI atau Tempat Pelelangan Ikan, Gudang Lelang, kegiatan lelang ikan baru saja selesai. Beberapa pedagang terlihat memasukkan ikan hasil lelang ke dalam kotak plastik, dan gentong plastik berisi es balok. Lalu mengangkutnya ke mobil.
Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan itu sebagian besar dikirim ke Jakarta, Palembang. Selebihnya ke bakul pedagang pasar induk di sejumlah kota di Lampung. Berbagai jenis ikan besar tangkapan nelayan, antara lain ikan tuna, ikan kembung, tongkol dan ikan selar. Juga ikan teri nasi dan udang laut, kepiting rajungan, dan lobster .
“Saya jamin bebas formalin!”
“Ya. Tapi harga sekarang jatuh, Pak Boni. Sejak ramainya pemberitaan penggunaan pengawet formalin oleh nelayan...”
“Ahk, sudah..sudah! Pak Tikno jangan terpancing! Itu berita masih simpang siur!”
“Bukan saya, Pak Boni. Tapi masyarakat. Mereka percaya.”
“Ya sudah. Sekarang bagaimana?”
“Mau saya..ya harga minggu kemarin!”
“Jangan begitulah. Bahan bakar ‘kan baru naik, Pak!”
“Saya paham. Tapi harga minggu kemarin juga sudah naik.”
“Tambahlah sedikit, Pak.”
“Berat, Pak Boni. Saya ragu apakah dalam satu minggu ini isu formalin itu bisa redah. Lebih parah lagi, temuan terbanyak justeru dilakukan nelayan.”
“Bapak salah! Yang dimaksud berita itu bukan ikan basah, Pak! Tapi ikan asin!”
“Sudahlah..Saya malas berdebat. Jadi bagaimana? Dikasih enggak?”
“Ya sudah. Mar! Ajak yang lain. Naikkan gentong ikan ke mobil Pak Tikno!”
Dengan sigap Umar bersama beberapa buruh nelayan yang bekerja dengan Boni menaikkan empat gentong plastik berisi ikan ke mobil pick up Pak Tikno.
Sebelum bekerja dengan Boni, Umar ikut Aziz pembuat perahu katiran atau perahu jala ikan. Kemudian pindah ke pembuat bagan apung atau bagan jerigen, dan bagan perahu. Akhirnya ia bertemu Boni, ditawari bekerja di bagan tancap milik pengusaha asal Bugis itu. Boni punya 12 unit bagan tancap, dan enam bagan perahu.
Sudah empat tahun Umar bekerja dengan Boni. Ia digaji bulanan tetap, dan mendapat bonus sistem persentasi hasil tangkapan ikan di bagan tancap milik majikannya. Selain usaha bagan ikan, Boni memiliki tambak udang windu di daerah Lempasing. Tapi karena kondisi air laut tercemar, dan tidak memungkinkan lagi udang windu hidup, Boni dan para petambak di sekitar Lempasing, beralih ke budidaya udang putih, meski harganya jauh di bawah udang windu. Untuk size bagus, 24-28 ekor per kilogram, harga udang windu berkisar 80.000 hingga 90.000 Rupiah per kilogram. Sedangkan udang putih hanya sekitar 35.000 Rupiah per kilogram.
“Penurunannya jauh banget, Bon.”
“Ya..sebetulnya, tak seberapa sih,” kata Boni kepada Tarwin.
Tarwin kawan lama Boni sewaktu sekolah di Jawa. Ia sengaja bertandang untuk melihat usaha tambak Boni.
“Udang putih unggul di jumlah produksinya, Win.”
“Maksudmu?”
“Kalau udang windu, per petak tambak seperempat hektare, produksinya kurang lebih satu ton. Sementara udang putih bisa mencapai 10 ton per petak. Tinggal ditambah sedikit kedalaman tambak dan pakannya.”
Sejak tahun 2002 tidak hanya Boni, hampir semua petambak rakyat, juga tambak-tambak perusahaan besar seperti Bratasena di Lampung Tengah, dan Dipasena di Tulang Bawang sudah menanam udang putih. Hingga kini permintaan pasar ekspor udang putih dari Indonesia cukup bagus. Antara lain pembeli dari Jepang dan Amerika. Udang Boni sendiri dibeli pengusaha dari Jawa Barat.
Boni juga memiliki usaha pengolahan ikan asin laut di Pulau Pasaran dan TPI Lempasing. Sekitar dermaga Ujungboom, Boni punya depot es batu dan depot solar untuk melayani kebutuhan kapal nelayan. Setiap sore, Boni biasa nongkrong di dermaga mengawasi anak buahnya memasok es dan solar ke kapal nelayan yang hendak melaut.
Dari sekitar 120 orang buruh harian dan karyawan tetap yang bekerja kepada Boni, Umar lebih dipercaya bahkan sudah dianggap keluarga. Setiap minggu Umar ditugasi mengawal Lastri, isteri majikannya itu menyetor atau mengambil uang dari mitra dagangnya melalui Bank Danamon Telukbetung.
Sebelum berusaha di Lampung, Boni memiliki usaha pembenuran udang milik orang tuanya di Anyer, Banten. Kemudian membuka tempat pembenuran udang di Canti, Lampung Selatan. Setelah menikahi Lastri, gadis asal Indramayu, ia hijrah ke Telukbetung. Samsul Bone, bapaknya Boni, dikenal sebagai juragan Bugis yang sukses di Cungkeng, Telukbetung. Ia memiliki puluhan unit kapal tangkap ikan, serta usaha perikanan laut.
Tidak jelas latar belakang Samsul Bone dan orang-orang Bugis lainnya sampai di Lampung. Mungkin saja ada garis keturunan moyangnya yang lahir dari situasi konflik antara Bugis dengan Makasar, ratusan tahun lampau. Konflik tersebut terus berlangsung sampai abad ke-19. Akibatnya banyak orang Bugis bermigrasi terutama ke daerah pesisir.
Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui di daerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunai, dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan kemerdekaan. Kebahagian dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
Karena anak tunggal, Boni mewarisi semua usaha milik orang tuanya, Samsul Bone.
Boni bukanlah pengusaha yang ulet, seperti bapaknya. Ia tidak punya kemampuan mengelola usaha. Bahkan boros, suka judi, dan berfoya-foya.
Justeru Lastri yang pandai berbisnis. Sebelum dipercayakan kepada Lastri, sebagian usaha peninggalan orang tua Boni banyak bangkrut. Kapal penangkap ikan miliknya tinggal beberapa unit saja, karena dijual. Usaha Boni mulai bangkit sejak dikelola Lastri.
Tetapi di balik usaha yang sukses itu, hingga 13 tahun perkawinannya, Lastri dan Boni belum juga dikaruniai anak. Meski berbagai upaya baik secara medis maupun pengobatan alternatif, diikuti suami isteri ini, namun sang bayi belum juga datang.
Lastri saat dikawini Boni, baru berusia 16 tahun, 11 tahun lebih muda dari Boni. Walau masih di bawah umur, dan belum menyelesaikan sekolahnya, orang tua Lastri menerima lamaran keluarga Boni. Pertimbangannya karena kondisi ekonomi keluarga Boni yang terpandang. Lastri sempat satu tahun putus sekolah, kemudian meneruskan hingga lulus SMA.
Kendati belum dikaruniai anak, namun rumah tangga mereka masih tetap utuh. Kalau ada pertengkaran, Lastri lebih banyak mengalah dan menahan diri. Lastri cenderung tidak peduli apa yang dilakukan suaminya, seperti mengumpulkan kawan-kawannya di rumah, minum dan berjudi.
Lastri juga tidak terlalu pusing jika tetangga sering melaporkan perilaku suaminya yang sering merayu gadis bahkan isteri orang. Lastri tutup mata dan telinga, tak mau tahu. Ia takut jika ditanggapi akan memperburuk kondisi keluarganya.
Hanya Umar, lelaki yang sering menjadi sahabat Lastri bercurah hati. Biasanya Lastri menumpahkan kekesalannya ketika ditemani Umar mengambil uang ke bank di Tanjungkarang. Lastri tidak segan bercerita kepada Umar, karena sudah menganggap suami Baya itu keluarga sendiri. Selain itu, Umar cukup bersimpati mendengarkan keluhan Lastri.
Meski hanya mendengarkan saja, Umar sering kewalahan karena Lastri sering bercerita sambil menangis. Seperti hari itu, Lastri kembali bercurah hati. Sehabis dari bank, ia mengajak Umar makan ke Moroseneng. Lastri biasa makan di sana karena suka masakan ayam goreng kalasannya. Umar juga sering diajak Lastri karena tempatnya cukup memungkinkan bagi pengunjung restoran berlama-lama ngobrol, sembari menunggu makanan dipesan.
Rumah makan milik warga Tionghoa itu berbentuk pondok mirip gazebo yang sengaja terpisah satu sama lainnya, agar orang lebih lepas bicara hal-hal penting atau pribadi.
Lastri mengambil tempat paling pojok. Umar sedikit risih, karena Lastri memilih duduk bersebelahan di sampingnya. Mereka menghadap ke kolam kecil yang kering. Suasana rumah makan agak sepi. Hanya satu dua pondok berisi tamu. Mungkin karena lewat jam makan siang.
Usai makan, Lastri memesan juice melon, sementara Umar memesan kopi pahit. Hari itu Lastri tidak begitu banyak berkeluh kesah menumpahkan kekesalannya terhadap Boni. Ia hanya mengomeli suaminya karena sudah tiga malam selalu pulang pagi.
“Terserah! Aku tak peduli. Mau mabok. Judi. Main perempuan, masa bodoh! Aku capek, Mar!”
Umar tidak menanggapi Lastri. Ia menunggu kopi diantar pelayan. Umar tetap diam sembari mengepulkan asap rokok kreteknya ke udara. Wajahnya masih terlihat kikuk. Umar tahu diri kalau yang berbicara itu majikannya. Jadi tidak akan berkomentar sebelum diminta sang majikan.
“Aku bekerja habis-habisan mengurus usaha, ia enak-enaknya menghamburkan uang. Aku seperti sapi! Diperas tenaga diperas susunya!” keluh Lastri.
Umar berlaku sebagai pendengar. Matanya diarahkan ke kolam di depan pondok itu. Ia menekan puntung rokoknya ke asbak, lalu menghidupkan lagi rokok yang baru. Bersamaan itu, kopi yang sedari tadi ditunggunya, sudah tiba. Pelayan wanita itu mengantarnya bersama juice tomat, serta sepiring buah semangka dingin.
“Terima kasih, Mbak,” tegur Umar kepada pelayan. Umar langsung meraih cangkir kopi yang dipesan sambil meniup uap panasnya. Ia hirup sedikit kopi itu. Sementara Lastri melanjutkan umpatan kekesalannya.
“Perbuatan yang tidak bisa lagi aku maafkan, ia punya isteri simpanan. Mereka sudah satu tahun menikah diam-diam.”
Ucapan terakhir Lastri, membuat Umar kaget. Ia sangat paham perilaku Boni, suka menggoda gadis bahkan isteri orang. Ia juga tahu Boni senang melacur. Mabuk-mabukan. Berjudi sabung ayam. Tetapi baru kali ini Umar mendengar majikannya itu punya isteri muda.
Umar terpaksa memberanikan diri memotong perkataan Lastri.
“Dari mana kabar itu?”
“Dari temanku di Lebakbudi. Ia bertetangga dengan rumah dibeli Boni, untuk isteri mudanya itu. Dan, aku sudah cek langsung ke sana untuk membuktikan kebenarannya.”
“Perempuan itu tinggal sama siapa?”
“Adik perempuannya,” jawab Lastri.
Umar terlihat belum yakin. Tapi ia diam saja.
Lastri terdiam. Matanya memerah. Pelan-pelan air mata membasahi wajah putih pucat itu. Lastri mengambil tisu di meja. Ia berusaha menyeka air matanya. Lastri tidak mau menangis karena Boni.
Ia tidak ingin orang lain mengetahui penderitaannya. Lastri menahan tangis, seolah hendak mengatakan sudah terlalu lelah menangis dan terus menangis. Perempuan cantik dan ulet berusaha itu, ingin belajar tegar menghadapi masalahnya.
Umar tertunduk lesu. Ia bingung. Romantisme apa sedang berlangsung di hadapannya. Seorang perempuan cantik menangis. Wajahnya penuh goresan luka. Begitu memiriskan hati. Ada keinginan Umar melepaskan kepedihan itu, dengan kasih dan elusan lembut, sebagaimana roman-roman picisan.
Tetapi buruh tetaplah buruh. Umar tidak punya naluri romantisme orang-orang modern. Orang-orang perkotaan. Umar hidup di laut bukan dari keindahan seperti potongan puisi milik penyair atau persepsi kaum bangsawan. Tetapi dari keringat seorang buruh kasar yang selalu ditunggui isteri dan anaknya pulang. Mereka biasa ditempa alam sanggup berdamai dengan kelaparan dan kesulitan hidup.
Bagi buruh nelayan, laut bukanlah wisata atau petualangan estetik. Laut adalah keringat asin dan kerja keras di bawah sengatan matahari.
Umar diam menatap kolam di taman kecil itu. Kering tanpa air. Tanpa ikan. Lelaki itu belum terlatih menyikapi suasana dramatik seperti dalam roman-roman populer. Sebab perpisahan dan air mata perempuan, seringkali tak terduga datangnya. Umar sadar ia sedang berhadapan dengan majikan. Sejak Boni mempercayakan Lastri mengurus usahanya, gaji bulanan Umar didapat dari Lastri.
Kesadaran diri sebagai buruh menjadikan Umar dalam posisi selalu kalah. Terutama untuk hal-hal bersifat fisik dan materi. Ia patuh mengikuti kehendak majikannya karena kesadaran kelas sebagai buruh. Selebihnya, Umar hanya seorang pendengar yang dunguh, tak ubahnya seonggok kardus bisu tidak bernyawa. Sakit hati atau disakiti hati, bagi seorang buruh adalah wajar dan biasa saja. Kekerasan dan kenistaan sudah bagian irama hidupnya. Artinya, tetap saja tak sama dibanding kesadaran Lastri ketika menghadapi kekecewaan.
Umar memberanikan diri menatap wajah sang majikan yang merunduk ke meja makan. Wajah muram itu seakan mengajak Umar beranjak ke dunia yang jauh. Dunia tanpa kecemasan. Lastri berusaha dengan cara apa saja melupakan keletihan demi keletihan yang dialaminya.
Melihat wajah Lastri seperti melihat cermin menangkap ratusan wajah perempuan dalam kesunyian. Dan ketika tepi-tepi cermin meretak, ratusan wajah itu berubah menjadi pisau tajam siap melukai siapa pun yang menyentuhnya. Umar khawatir Lastri dan ratusan perempuan dalam cermin itu, sedang mengasah keberaniannya.
“Sabar, Mbak. Mudah-mudahan Pak Boni nanti sadar…” ucapan klise Umar persis seperti ungkapan Baya kepada Lastri saat berbincang di meja makan rumah Lastri, beberapa hari lalu.
Lastri mengangkat wajahnya. Ia tersenyum.
“Aku membatin, Mar,” katanya.
“Maksud, Mbak?”
“Apakah kondisi akan bertahan lama. Bagi aku, perceraian adalah yang terburuk sekaligus terbaik untuk mengakhiri kemelut ini,” tegas Lastri.
“Agama tidak menyetujui perceraian, Mbak.”
“Aku harus jujur dengan diri sendiri. Aku tidak mau jadi isteri yang menghiba dan tunduk di kaki suami!”
“Apa tidak ada cara lain, Mbak?”
“Sudah ku coba!”
“Rumah tangga Mbak Lastri dan Pak Boni sudah berjalan cukup lama. Sayang jika berakhir karena perempuan lain yang belum jelas juntrungannya itu.”
“Kamu bisa ngomong begitu, karena tidak merasakan sakit hati,” tegas Lastri menoleh ke Umar.
“Ya. Tapi saya yakin Pak Boni menikahi perempuan itu bukan atas dasar cinta?”
“Aku tidak mau berpikir ke sana. Mau cinta atau hanya senang-senang saja, masa bodoh!”
Umar tidak berani berdebat. Ia seperti dipaksa bersekutu dengan segala bentuk penderitaan perempuan. Ia dijinakkan oleh pikiran dan rasa ibanya sendiri. Umar merasa waktunya telah dikuasai dan dicurangi oleh suasana kesedihan yang dibangun Lastri. Seakan ia ikut diadili sebagai seorang suami. Sebuah toleransi yang kejam, pikirnya.
Umar adalah tipikal lelaki penyinta. Sejak kecil diajarkan ibunya untuk mengerti semua bentuk penderitaan. Ia sangat menghormati ibunya. Kadang ia berpikir apakah itu sentimen masa lalu. Sebagai bentuk kesadaran, ketika orientasi keturunan dihitung menurut garis sang bapak. Perlawanan terhadap budaya patri-lineal atau superioritas lelaki itu, diterapkannya dalam kehidupan keluarganya. Antara ia dengan Baya, Lina dan Gofur.
Umar mencoba menghindari bahasa-bahasa heroik yang mengagungkan sosok sang bapak. Ia ajarkan anak dan isterinya berdialog, berani menyampaikan argumentasi. Supaya mengerti kesetaraan. Mengerti keadilan. Menolak kekerasan dan hegemoni sang bapak dalam rumah tangga. Saling menghargai dan menghormati.
Umar menyadari sikap tersebut bertentangan dengan latar belakang budaya leluhurnya. Kehidupan warga Lampung Saibatin atau Peminggir sangat kuat dipengaruhi unsur-unsur Islam. Keberadaan anak laki-laki terutama anak tertua, memegang peranan penting. Jika sang bapak meninggal dunia, anak laki-laki tertua bertindak sebagai kepala keluarga atau disebut punyimbang. Ia berkewajiban mengurus adik-adik yang belum kawin. Ia juga mendapat kewenangan mengatur harta warisan orang tua.
Pola dialektika yang dikembangkan Umar di keluarganya sebetulnya sudah digunakan dalam tradisi warga Lampung, dengan apa yang disebut mewarih atau musyawarah. Mewarih dilakukan para tokoh adat apabila ada permasalahan yang harus diselesaikan.
Umar sangat memahami tata moral masyarakat Lampung dibangun dalam suatu sistem yang dikenal dengan piil pasenggiri, sebagai etos yang memberikan pedoman bagi prilaku dan bagi masyarakat untuk membangun karya-karyanya. Piil Pasenggiri pada hakikatnya merupakan nilai dasar yang intinya terletak pada keharusan untuk memiliki hati nurani yang positif, bermoral tinggi dan berjiwa besar, sehingga dapat hidup secara logis dan etis menurut pola prilaku yang diakui oleh masyarakat.
Kendati demikian, Umar menyadari pengertian piil pasenggiri tersebut terjadi banyak pembiasan dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini. Ada di antara saudaranya menapsirkan piil pasenggiri tersebut sebatas gengsi atau ego suku bahkan sampai kepada gejala superioritas pribadi atau kelompok. Hal tersebut kemungkinan karena terjadi pembiasan terhadap keutuhan dari unsur nilai dasar yang mencakup piil pasenggiri itu sendiri seperti, juluk adek atau gelar adat, nemui nyimah atau kerukunan dan silaturahmi, nengah nyapur atau suka bersahabat dan membaur, dan sakai-sambayan atau tolong menolong dan bergotong royong.
“Banyak nilai yang sudah bergeser,” ujar Karjo, teman kerja Umar di bagan.
“Betul, Jo. Sekarang ini soal piil pasenggiri saja jadi perdebatan. Ironisnya yang berdebat justeru tokoh-tokoh cendekia Lampung sendiri.”
“Mungkin akibat perkembangan jaman, Mar. Orang-orang merasa lebih pintar dari dirinya sendiri.”
“Semakin banyak orang cerdas berkumpul, harusnya semakin gampang menyelesaikan persoalan. Kondisi sama juga terjadi di beberapa daerah di pusat atau pun di daerah tak terselesaikan,”
“Bisa jadi, Mar. Tapi tata nilai atau adat istiadat leluhur dari suku mana pun sebetulnya tak kenal lekang oleh jaman. Karena ada nilai positif yang bisa jadi pedoman hidup kita bermasyarakat.”
“Sebetulnya setiap suku memiliki piil pasenggiri itu. Masyarakat Jawa pun punya tata nilai yang dijadikan penuntun hidup mereka sehari-hari.”
“Mungkin membias karena kita tidak mampu menyaring masuknya budaya dari barat sana, Jo.”
Karjo sebagai pendatang dari Wonosobo, Jawa Tengah itu, hanya tersenyum setuju dengan ucapan Umar. Namun yang disadarinya, di keluarganya sendiri meski pun isterinya berasal dari daerah yang sama, namun karakter khas Jawanya pun nyaris hilang karena sejak kecil sudah bergaul dengan orang dari berbagai suku di Lampung. Masa banding di Lampung semua suku di Indonesia.

Tidak ada komentar: