Jumat, 21 November 2008

1

Baya hanya merasakan sesuatu yang baru selama proses peradilannya.
Semua orang tiba-tiba bekerja untuk negara. Hingga pengacara pun terlihat lebih disibukkan mengurus jaksa dan hakim pengadilan negara.

Malam di penjara Rajabasa. Udara dan jeruji besi kedinginan. Dinginnya menusuk satu demi satu tubuh-tubuh yang berbingkai kekerasan. Trap papan seluas dua kali empat meter, menelungkup di lantai semen seluas 24 Meter persegi. Sedikit manusiawi untuk mengurangi kelembaban ruang-ruang sel perempuan blok D-3 penjara kelas satu tersebut.
Penjara adalah negara. Ia terlihat setiap hari melintasi kamar berjeruji besi, seperti sipir, jaksa, polisi, juga dokter dinas kesehatan. Mereka pegawai yang bekerja untuk negara.
Tidak ada ketakutan atau kesedihan di wajah Nurbaya sejak bermukim di sana. Begitu pun lima rekannya dalam kamar sel blok khusus wanita itu. Mereka menjalani waktu dalam peristiwa yang sama.
Baya panggilan akrab Nurbaya, hari itu, membahasakan dirinya sebagai belalang migran yang bermigrasi ke wilayah baru. Wilayah yang harus dijustifikasi beragam kekerasan. Keberingasan. Mabok bersama vigour, shonghie! Lalu membunuh, merampok, serta persoalan hukum dan kejahatan lainnya.
Nurbaya tidak punya kemampuan bertutur untuk menguraikan teks yang hidup dalam penjara. Begitu pun proses hukum ketika hakim memvonisnya menjadi narapidana penghuni Rajabasa. Baya hanya merasakan sesuatu yang baru selama proses peradilan. Semua orang tiba-tiba bekerja untuk negara. Hingga pengacara pun terlihat lebih disibukkan mengurus jaksa dan hakim pengadilan negara. Ia seakan bekerja untuk sang hakim negara.
Di hadapan peradilan negara itu, Baya seakan dipaksa mengusung sebatang bambu yang diikat bendera merah putih. Kemudian dengan muka ditutup topeng ia mengucapkan sumpah atas nama Tuhan, sambil menyanyikan kebohongan. Lalu majelis hakim Pengadilan Kota menyambutnya dengan senyuman -- sebagai persetujuan mendeklarasikan kejahatan.
Mereka berteriak: Atas nama Tuhan. Atas nama Hukum dan Keadilan!
Di blok D-3 penjara Rajabasa ada tiga kamar sel, dua di antaranya berukuran sedang dan satu berukuran besar. Sementara sel untuk pria berada di Blok B-C dan A, di sebelah kanan ke arah belakang areal penjara yang luas keseluruhan 4,8 Hektare. Tepat di depan blok wanita berdiri rumah ibadah musholla dan gereja yang bersebelahan aula, tempat biasanya para napi dan tahanan berkumpul jika ada kunjungan tamu. Juga ceramah agama, atau peringatan hari-hari besar.
Di depan sel penjara berdiri bangunan dua lantai tempat Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan staf administrasinya berkantor. Sedangkan di bagian bawah pintu masuk difungsikan untuk pintu keluar masuk penjara, ruang tamu, ruang periksa, serta tempat besuk napi dan tahanan.
Kendati ada empat titik pos pengamanan di empat sudut areal penjara, namun beberapa kali Rajabasa sempat dijebol penghuni sel. Para napi yang kabur banyak belum tertangkap. Bobolnya penjara bukan semata kelalaian petugas. Tetapi dari kondisi penjara yang melebihi daya tampung, ikut mempengaruhi kemampuan pengamanan mereka. Dari kapasitas tampung kamar sel Rajabasa, 825 orang, kenyataannya dipadati lebih 1000 orang. Mereka bercampur aduk. Mulai narapidana, tahanan titipan polisi dan jaksa, juga tahanan wanita dan anak-anak, ditampung di penjara itu.
Pihak kantor wilayah kehakiman, terpaksa menyiapkan dua bangunan tambahan di lokasi Way Hui, Sukarame. Diperuntukkan penjara khusus anak-anak, napi kasus narkotika dan obat-obatan, sekaligus rehabilitasi pecandu narkoba.
Sebelum di Jalan Pramuka, penjara ini dulunya di Lebak Budi, tidak jauh dari Pasar Bambu Kuning. Masih bertatus Rumah Tahanan atau Rutan Tanjungkarang. Rajabasa bukanlah penjara menakutkan seperti Gulag, yang diceritakan sebagai kamp pembantaian kaum desiden atau pembangkang komunis Rusia.
Penjara Rajabasa berada di belahan barat Tanjungkarang masih di dalam kota Bandar Lampung. Asal nama Rajabasa sendiri bisa jadi diambil dari nama raja dalam cerita rakyat Lampung. Menurut cerita rakyat di masyarakat pesisir Krui dan warga desa Lumbok di pinggir Danau Ranau, Rajabasa adalah seorang raja yang pernah berkuasa di wilayah pesisir Lampung Barat. Diceritakan, ketika berkuasa Rajabasa sempat hadir dalam konvensi menentukan batas wilayah antarkerajaan di Lumbok.
Dari literatur sejarah, pasca bangkrutnya VOC Tahun 1800, dan masuk era kolonial Belanda, pesisir Rajabasa dijadikan pangkalan pertemuan kerjasama dagang antara pelaut Lampung dengan pelaut Bugis, Palembang, dan Banten.
Ketika Radin Intan II dinobatkan sebagai Ratu Negara Ratu, tahun 1880, wilayah pemerintahan Negara Ratu dibagi empat bandar, satu di antaranya Bandar Rajabasa yang dikepalai seorang kepala bandar atau disebut pangeran. Radin Intan II membagi lagi setiap wilayah bandar menjadi empat paksi. Setiap paksi dikepalai seorang kria. Seterusnya paksi dibagi atas beberapa pekon. Pemimpin pekon disebut temenggung. Pada era otonomi pasca reformasi, pemimpin pekon disebut peratin.
Baya dan tahanan lainnya, termasuk petugas penjara, tidak begitu perduli asal-usul Rajabasa. Selain nama penjara, Rajabasa juga digunakan untuk nama terminal besar di Bandar Lampung yakni, Terminal Rajabasa. Nama gunung di Lampung Selatan, Gunung Rajabasa. Serta nama kampung Rajabasa di Sukadana, Lampung Timur.
Sejarah kadangkala cepat berubah mengimbangi kebutuhan hidup orang, beserta ruang dan waktunya. Di masa mendatang, penjara Rajabasa bisa saja berubah nama lain. Penguasa sangat berperan dalam merubah nama dan tempat tersebut.
Semasa rezim Soeharto, nama jalan, lorong, dan gang-gang di Bandar Lampung dan kota-kota lainnya, sebagian besar diambil dari nama tentara atau militer. Entah itu nama institusi atau golongan. Para ksatria dan orang yang dianggap pahlawan oleh rezim yang berkuasa pada masanya. Begitu juga nama pejabat atau petinggi militer dinobatkan menjadi pahlawan nasional, seperti jalan Jenderal Sudirman, Ahmad Yani, Gatot Subroto, Suprapto, Suparman, MT. Haryono.
Ada juga gang atau lorong bernama Bintara, Tamtama, Perwira, Prajurit, dan lain-lainnya. Di perairan Bakauheni, ada pulau dinamai Pulau Prajurit. Jarang sekali nama orang-orang sipil dijadikan nama jalan, kendati veteran pejuang sekali pun.
Begitulah resikonya, negara baru melek sudah dipimpin militer. Bahasanya “tangkap!”, “culik!”, dan “habisi!”. Diksi militerisme tersebut dipelihara dan dikondisikan untuk meredam para pembangkang, kelompok desiden, atau intelektual yang berseberangan dengan penguasa.
Dalam kanca politik pun para elit negara dan jenderal militer diposisikan sebagai tokoh dominan di partai berkuasa seperti Golkar. Hingga era reformasi tradisi lama itu masih dipelihara. Misalnya untuk jabatan sekjen pusat, partai berlambang pohon berdaun lebat ini, lazimnya diduduki oleh purnawirawan TNI. Kendati dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar tidak ada ketentuan itu.

Tidak ada komentar: