Kamis, 20 November 2008

0 (intro)

Matahari di Teluk Lampung. Biasnya menancap garis kemarahan. Berabad-abad lalu gelembung udara dan percikan air berdinding kaca itu, merendam ribuan wajah dalam keasinan garam laut. Mereka mendiami rumah sepanjang parit industri. Mengaliri waktu; hingga kesibukan membaca komik sejarah -- bergambar jeruji kekerasan.
Musim panas melegamkan tubuh nelayan pesisir Lampung. Cahaya matahari meringkas pandangan ke laut. Ada perahu kecil terbalut pamplet Kompeni. Menjilati kaki-kaki kapal saudagar seberang. Mereka selalu terlihat lapar. Mulutnya lebar dikawal taring-taring tajam. Tabik, Radin Jambak! Ini sepatah prosa bersenjata. Bersangkur dan berbaris tegap ditopang ribuan pasang sepatu busuk. Kenangan mesra dari seberang. Bajak lautan, teriakan waktu: “kelamini kami lelaki perkasa, Ibu! “
Jutaan ton ikan masuk ke perut mereka. Sudah beribu meriam ditembakkan.
“Van der Plas..Van der Plas!”. Suara gerakan buruh dan kaum proletar dari perut Belanda itu, menyusup ke tubuh partai komunis kita — seperti juga tentara. Semua menjadi boneka sejati.
Teluk Lampung, hingga ke dasar lautnya, tidak pernah mencemaskan amarah masa lalu. Karena pukat harimau dan ledakan bom di laut selalu mengajarkan nelayan berhitung kekayaan bajak lautan. Seperti kita -- merampok pulau dan daratan. Menggenggam peta dan ratusan proposal agen-agen nekolim, neolib, di pesisir lautan. “Lihatlah, wahai punyimbang kebuwaian! Marga nelayan kecil itu ikut berebut memunguti bangkai ikan yang mengapung dihantam ledakan bom perahu besar itu!”
Manusia lautan adalah manusia yang malu mengungkap sejarah dirinya. Tidak ada tangisan ketika senjata dibarter isi perut marga pesisir. Kapal Kompeni menelan beribu perahu kecil sepanjang dermaga Telukbetung. Tidak ada pengadilan atau kompensasi pampasan perang. Armada militer Banten, Belanda, Inggris, dan sekutu lainnya, menjadi lukisan masa lalu bebercak kekalahan. Kekalahan kaum pesisir! Mereka yang berdiam tanpa perlawanan.
Angin dan udara Sai Bumi Ruwa Jurai tak segan lagi berkabar kebusukan limbah sejarah. Puluhan tahun orang-orang seberang membutatulikan mata dan telinganya. “Aku ingin kalian seratus abad lebih tua dari pertemuan waktu. Menjadi bodoh dan renta. Piil Pasenggiri! Jadilah kamu manusia agung dalam gemerlap cahaya petang, kemudian tidur panjang meninggalkan kekalahan demi kekalahan!”
Hai, kalian-kalian, Pepadun dan Saibatin! Tabik. Inilah rezim masa depan!
Mereka datang mengeruk kekayaan bumimu. “Sutan…Sutan! Saya Bukan Melayu! Saya Soeharto! Anak petani, bukan pelaut atau pekebun!” Mereka bertukar kebun kopi dan lada menjadi padi dan jagung. Jutaan kebun berubah hamparan sawah. Semua tempat disulap menjadi sentra padi. Rumah panggung, kampung lumbung. Air gunung turun mengaliri parit-parit irigasi hingga pelosok desa. Wilayah hak purba, tanah hak ulayat pun direbut orang-orang seberang.
Kekalahan yang sama. Tidak ada keributan atau poster kemarahan kepada Soeharto dan orang-orang seberang. Rapat perwatin di kampung-kampung berjalan lancar. Semua disepakati dengan senyuman. Karena transformasi manusia dan budaya ke pulau-pulaumu adalah argumentasi dekolonialisasi para pendatang atas pribumi secara bersahaja. Menjadi tesis purba; legenda rempa-rempa dan bajak lautan!
“Lampung: Sakai-Sambayan!”
Sebuah tata nilai leluhur berubah menjadi improvisasi instan penguasa yang menistakan kearifan budayamu. Mereka membalutnya dengan spanduk kemanusiaan, solidaritas, partisipasi, tolong menolong, serta keterbukaan tulus bagi pendatang.
Kini waktu, tak sanggup lagi bersiasat. Televisi dan koran menayangkan ratusan wajah cerdik pandai, kaum kritis, pembela rakyat, atau oposisi sejati. Mereka tidak lagi berpidato atau memimpin aksi. Mukanya pucat dan lusuh. Ia tertidur di meja pesakitan. Seperti kisah pendekar reformasi. Demokrasi atau apalah namanya, telah menjerat si anak “haram” Soeharto itu satu per satu ke kamar penjara.
Orang-orang transisi ternyata lebih lapar dan rakus!
Seorang ibu bernama Baya, dan jurnalis Hesti, sore itu, sibuk mengulangi notasi Gerwani, dari penjara Rajabasa. “Ima, nenekku pernah menyanyi lagu genjer-genjer yang dipropagandakan Orde Baru: ganyang jenderal-jenderal!” Lalu mereka ramai-ramai menciptakan prosa baru berisi caci-maki kepada Soeharto dan kroninya.
“Ganyang Orba! Ganyang Antek Soeharto!” 70 ribu LSM tumbuh menggurita! ujar Kantor Statistik. Mereka berbendera warna-warni. Ada yang lapar. Ada yang kekenyangan. Ada yang tersenyum. Ada yang marah-marah. Jam 10 pagi presiden baru Indonesia berpidato demokrasi dan berantas korupsi. Koran dan televisi tertawa-tawa.
Tetap saja. Ketakutan yang lama.
“Aku pribumi!”
Umar dan proletariat pesisir bersama perahu kecil, terus terombang-ambing di Teluk Lampung. Mereka terpanggang matahari. Mereka tidak merasa dikalahkan. Hahahaa…! seperti kaum pesisir lainnya; selalu merasa menang, meski tak pernah berperang dan menguasai wilayah perbatasan. “Ini perselingkuhan bangsawan Jawa-Sumatra!” Rakyat kecil, orang-orang pribumi menjadi minoritas yang tak ambil bagian. Mereka sudah jauh tersingkirkan.
Sejauh 30 Kilometer sepanjang garis pantai Teluk Lampung, wajah buruh nelayan kian buram. Jala ikan menjaring sampah plastik. Mereka terpaksa berperahu 10 Mil ke perairan Selat Sunda, perairan Krakatau, Pulau Sebesi, atau Pulau Legundi, untuk mendapatkan seember ikan.
Ikan-ikan pergi meninggalkan pesisir pantai. Aktivis lingkungan berteriak kadar Biochemical Oxygen Demand atau BOD Teluk Lampung, di atas 300 Miligram. 10 kali lipat melampaui batas maksimum 30 Miligram. Tetapi pencemaran limbah yang semakin kritis itu tak pernah merisaukan penguasa kota. Laut kotor. Terumbu karang hancur terkena bom ikan. Tahun 2006, udang windu pergi meninggalkan tambak petani. Tinggal kenangan.
Dari kejauhan Bukit Randu dan Bukit Camang, Lina, Along, dan Lastri, terus meneropong proposal kota air. Ada profesor, ada doktor di sana. Apa yang dikerjakan mereka di pesisir pantai? Mereka sibuk menyulap daun bakau menjadi lembaran dolar!
Sementara, beribu ton tanah bukit kota digerus untuk menguruk pesisir. Menimbun pantai. Perahu nelayan tak bisa lagi mendarat. Laut disulap jadi daratan. Menjadi kapling-kapling bersertifikat Badan Pertanahan Nasional!
“Pak Walikota! Jangan teriaki pantai dan bukit! Sudah ratusan juta, bahkan miliaran rupiah uang mereka ditebar ke kantong-kantong suksesi kota!”
“Ayolah kita berdeklamasi di lembah bukit Camang! Berpesta ineks! Triping di pinggir pantai atau di atas perahu!” Mari bersama-sama menjilati sahwat. Tekan lagi sebutir ekstasi! Telan dalam-dalam! Dan teruslah kepala digoyang sekencang-kencangnya! Puluhan karaoke dan diskotik, memecah ketegangan kita. Mengenali bau amis laut. Mengaliri tubuh penari nudist dalam siraman cahaya merah; kamar-kamar yang berkeringat.
Seperti gelora Lina dan Along. Baya dan majikan suaminya. Atau perselingkuhan Umar dengan isteri majikan. Bertamasyalah ke taman hiburan Swis, Hollywood, Golden Dragon, Santai, Meteor, Imperium, WK, Dwipa, dan panti-panti seks sepanjang pesisir Teluk Lampung. Atau berpesta ineks dan sabu ke penjara Rajabasa.
Lihatlah! dini hari lalu puluhan ribu orang dalam kepanikan. Mereka berlarian menyerbu Tanjungkarang, Sukadanaham, Kemiling, dan tempat tinggi untuk berlindung. Dari bibir Pulau Pasaran terdengar teriakan tak hentinya: “Air laut naik! tsunami!” Lalu Kemiling diguncang gempa. Sehari hampir 100 kali bergetar. Getar gempa swarm itu, sebulan lebih menteror warga.
Corong speaker masjid berteriak-teriak! Warga diperintah meninggalkan rumah. Bertenda di halaman rumah. Ribuan orang dalam kecemasan. “Hahaha...kecemasan takut mati!” Mereka menolak menjadi bangkai monyet yang mengapung di mangkok sop primata sebuah restoran Khuai Lok. Atau dihisap otaknya menjadi juice obat kuat. Lalu kotaku dililit angin puting beliung! Pohon roboh. Rumah-rumah roboh!
Di sisi lain, lelaki bernama Umar semakin jauh terlempar dari keriuhan dermaga. Seperti kitab obsolet. Tidak ada waktu yang gelisah, ketika lelaki Saibatin dan perahunya menghilang, bergumul ombak lautan.
Tidak ada legenda tentang patriot dan pujangga Kut Guan pada hari Pe Cun di Teluk Lampung, atau Hikayat Hang Jebat — ketika prosesi perahu berubah menjadi perhelatan politik daerah. Politisi, hakim, polisi, dan orang terpilih, tampak menari-nari bersama komisi pemilu. “Era baru. Persahabatan baru!”
“Hahahahaaa..!” Aku tertawa lagi. Kesaksian apa pula, ketika Lina dan Lastri bercinta satu ranjang. Seperti Along mendapatkan kehidupan seks yang lain bersama Ayung. Inikah bagian dari The Name of Identity? Kegilaan seks! Sadisme. Atau pembunuhan massal ribuan orang kontra Soeharto-Orba. Mungkin hanya gejala alamiah. Sebagai ikon semu menandai identitas. Lalu meninggalkan kampung dan sejarah dirinya. Meninggalkan tradisi. Adat delicten recht! “Aku mencari tanah airku. Aku berteriak mencari Radin Intan. Seperti Soeharto mencari Raja-raja Jawa.”
Dari pintu depan Tanah Melayu, matahari betul-betul merah.
Panasnya menampar orang-orang di atas perahu.
Sementara rambu-rambu kota selalu saja berzikir sepanjang hari. Iya..! berzikir setiap masa sepanjang hari.

Tidak ada komentar: