Jumat, 28 November 2008

9

Dalam kondisi mabuk, Along melihat bumi berubah seekor lembuh. Berdaging gemuk dan segar. Malam itu, Along ingin menyantapnya dengan kerakusan. Sembari minum Shonghie, Vigour, atau Anggur Tuak. Along ingin pelesiran menemui amoy-amoy moyangnya.

Air toilet di WC kamar kontrakan Along, malam itu, berubah coklat. Tidak ada kemarahan berarti ketika puluhan batang gaharu yang dibakar mengepung lu-bang toiletnya. Along berdiri dan meng-enakan pakaian pengantin. Dalam 30 de-tik, bak mandinya membesar, bergerak memenuhi ruang WC-nya. Along terdesak ke ujung pintu. Kakinya menendang ke depan dan ke belakang, ke semua penjuru. “Aku mabok!” pekiknya. Sambil berdiri, ia berak ke semua pojok kamarnya.
Perenungan apa yang ada di diri Along, malam itu. Ia mabok. Ia kuasai Lina. Ia jelajahi imajinasi seks remaja lugu itu. Ia tipu Feng. Ia hamburkan uang isterinya. Ia khianati Mei. Ia telantarkan Erik. Dan waktu, betul-betul tak terduga. Along terlempar keluar WC kamarnya, menuju lorong-lorong masa lalu. Menjadi brutal. Kuku-kukunya berubah tajam. Mencakar dan menyengat seperti kalajengking. Semua orang tiba-tiba menjadi mangsa. Lalu Along berteriak memanggil nenek moyangnya yang berdiri angkuh di atas kapal kebesarannya.
Mereka barusan melakukan ritual laut, dengan kepala kerbau yang mengapung di atas air.
“Telah kami jinakkan samudera!” pekiknya sombong.
Ruwatan laut tersebut menjadi ritual daratan. Along merasakan ada bersama moyangnya. Mereka berpesta anggur dan perempuan di atas dermaga.
“Telah kami jinakkan daratan!” teriaknya. Maka beratus-ratus abad sejarah selalu bisu. Berjuta-juta karung lada, cengkih, dan kopi, diangkut. Berjuta-juta tangisan membanjiri kebun-kebun tak bertuan. Mengingkari kesepakatan musim.
“Siapa merampok kebunku?”
“Sejarah dan kebodohanmu!”
“Aku mabok! Leluhurku petani yang mabok!”
“Kamu memang harus mabok.”
“Untuk apa?”
“Berkuasa!”
“Dengan apa?”
“Anggur dan perempuan.”
“Ooohh…nikmatnya. Aku haus. Aku butuh anggur. Aku butuh bidadari. Meranum cinta, kawin di ranjangku…”
“Kamu punya cinta?”
“Ya! Mereka tidur di ranjangku. Mereka merasakan cinta. Mereka bahagia. Mereka menganggap dirinya satu-satunya kekasihku.”
“Hebat!”
“Dengan cinta, semua bisa aku kuasai!”
“Hahaha…! Tak gampang membangun kekuasaan dari cinta. Kekuasaan harus dibangun dari genangan darah dan jeritan orang-orang disiksa.”
“Haahaahaa..! Mengerikan! Tapi semua orang bisa membunuh dan menyiksa orang lain. Dan semua orang punya keberanian melakukannya.”
“Kami takar kemampuamu. Kau cukup sekutu penguasa saja; turut menguasai negara.”
“Sulit! Di sini sangat bebas.”
“Kamu punya anggur dan perempuan. Kau menjadi kebun anggur bagi mereka!”
“Tapi saya bukan WNI tulen!”
“WNI atau keturunan sama saja. Butuh anggur dan perempuan. Butuh uang. Butuh kekuasaan!”
“Sulit! menempa mental seperti itu.”
“Semua terjadi secara alami. Tidak ada yang memulai dan mengakhiri. Menjadi orang kuat itu harus memiliki kekuasaan! Bukan tubuh yang berdandan!”
“Apakah kalian punya negara?”
“Kami berkuasa di samudera.” Suara itu melengking tinggi. Along melihat matanya seperti mata elang. Mengepak-ngepakkan sayap. Kukunya mencakar dan mencabik-cabik bumi.
Dalam kondisi mabuk, Along melihat bumi berubah seekor lembuh. Berdaging gemuk dan segar. Malam itu, Along ingin menyantapnya dengan kerakusan. Sembari minum Shonghie, Vigour, atau Anggur Tuak. Along ingin pelesiran menemui amoy-amoy moyangnya.
Beberapa saat kemudian, Along meninggalkan tempat itu. Ia menuju dermaga Sukaraja. Ia merasa dikawal ratusan perempuan dan ribuan galon anggur. Sementara WC kamarnya terus berbuncak. Along merasa ada di awang-awang. Tubuhnya seperti hampa oksigen. Melayang. Matanya berubah dua mata jangkrik perkasa berwarna hitam mengkilap. Kemudian ia terhenyak ke masa lalu. Kerinduan kampung halaman. Ada dendam dan kehendak berkuasa terbersit di benaknya, seperti mimpi orang-orang yang pernah dikalahkan. Along ingin perkasa.
Ia teringat cerita bapaknya di masa kecil; “Adu jangkrik”. Sebuah permainan rakyat dari daratan China Selatan dan China Tengah. Jangkrik itu dipertarungkan. Diadu keperkasaannya pada gelanggang pesta perayaan Zhongqiu saat pertengahan musim gugur pada tanggal 15, bulan 8 kalender China. Sang pemenang atau sang juara, dipersembahkan kepada kaisar. Diangkat harkatnya menjadi prajurit istana.
Along menatap bulan penuh. Ada guratan merah wajah bapaknya. Ada senyuman biru ibunya. Ia teringat amanat sang ibu dalam mite si pemanah matahari berjudul; “Chang E Pergi ke Bulan”. Sebuah cerita rakyat tentang dua sisi moral dan perilaku isteri dan suami yang bertolak belakang.
Mite China Kuno masa pemerintahan Raja Yao itu, bermula saat kemarau panjang. Raja Yao memerintahkan si pemanah ulung Hou Yi memanah sembilan matahari dan menyisahkan satu saja. Hou Yi berhasil. Raja memberinya banyak hadiah dan menganugerahkan kedudukan yang tinggi sebuah wilayah kekuasaan. Namun Hou Yi yang dianggap pahlawan itu berubah menjadi sombong dan kejam. Dengan pil ajaib Dewi Wang Mu, ia merasa bisa melakukan apa saja yang dimauinya.
Masih terngiang pesan moral dalam mite itu, bahwa ambisi berlebihan pasti menimbulkan kekerasan dan kebengisan yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Sementara Chang E sebaliknya. Ia merasa iba atas nasib rakyat akibat perilaku suaminya.
Chang E akhirnya nekat menelan lebih dahulu pil ajaib itu. Tubuhnya melayang ke angkasa. Terbang menuju bulan. Setiba di bulan Chang E terbatuk. Pil ajaib terlempar dari mulutnya dan berubah menjadi seekor kelinci putih. Chang E lalu ditemani kelinci putih, menetap selamanya dalam Istana Dingin di bulan. Sang “dewi bulan” itu hidup bahagia, tanpa si pemanah matahari.
Cukup banyak pesan moral dalam cerita rakyat China. Tetapi Along tak mau menggubrisnya. Ia merasa terlalu capek hidup dalam kekalahan. Sejak kecil hingga memiliki isteri dan seorang anak, Along tidak pernah merasa menang. Sekarang ia dalam cengkeraman Mei Hwa isterinya. Ia bekerja dan menrima upah dari usaha isterinya.
Along tiba di dermaga. Di langit bulan bersinar penuh dan malam sangat terang. Ia menengadahkan kepala memandang bintik-bintik hitam di bulan purnama itu. Kelihatan samar di permukaannya. Along bermimpi menjadi kelinci putih dalam mite China Kuno itu. Tetapi ia merasa seakan ada ribuan jangkrik membungkus tubuhnya. Along tak berdaya. Tatapan jangkrik itu turun naik ke langit dan bumi. Ia menggerak-gerakkan sungutnya di hadapan cahaya lampu badai kapal-kapal ikan yang berjajar sepanjang dermaga.
Along mengutuk kekalahan waktu. Cahaya lampu merkuri membentuk garis lurus sepadan pantai Teluk Lampung. Bagi Along, ritual malam sejauh Panjang hingga Telukbetung adalah potret kemaksiatan. Judi mesin, cekikikan perempuan malam, serta hingar bingar musik diskotik dan karaoke. Industri hiburan instan ini, memang mendatangkan uang. Di sana orang bisa bertransaksi kenikmatan, saling melayani berbagai ideologi, bisnis, politik, dan saling bertukar-pinjam tubuh-tubuh budaya.
“Aku mabuk!” teriak Along sendirian.
Di bawah purnama malam itu, Along menjadi bajingan sejati. Ia berlompatan di atas lantai kayu dermaga Sukaraja. Sambil bernyanyi lagu-lagu perjuangan dengan irama sesukanya. Angin laut bertiup kencang. Rambut gondorongnya tertiup angin, menampar wajahnya. Ia kancingkan rapat-rapat jaket, sekedar mengurangi kedinginan tubuhnya. Along teringat Lina. Teringat Mei Hwa. Teringat ratusan kemaluan perempuan berserakan di kamarnya. Malam itu Along ingin mendapatkan kebebasan. Mabok dan berkencan dengan perempuan hiburan malam.
Dengan tubuh sempoyongan Along berjalan menuju salah satu karaoke yang biasa dikunjunginya. Ia tidak bernyanyi, karena suaranya sudah serak menyanyikan “Padamu Negeri” sambil menenggak vigour di dermaga Sukaraja.
Along ke karaoke itu cuma ingin bercinta dan berciuman dengan perempuan di dalam kamar yang telah disediakan oleh pengelolanya. Kamar-kamar yang diistilahkan mereka short times itu berada di bagian belakang gedung karaoke.
“Selamat malam, Ko Along,” sapa Ayin pengelola karaoke itu.
“Malam...”
“Buka kamar, Ko?” tanya Ayin ramah.
“Ya, tapi kamar bisa, paling ujung menghadap laut,” jawab Along sambil cengar-cengir kikuk.
“Enggak nyanyi nih?” singgung Ayin membalas cengiran Along, sembari menuju meja resepsionis. “Chek in!,” perintahnya kepada pegawainya. Lalu perempuan itu meraih gagang telpon memanggil petugas kamar belakang.
“Saya sudah capek menyanyi.”
“O..gitu. Nyanyi dimana, Ko?”
“Di dermaga sana, tuh,” jawab Along sekenanya sambil mengacungkan tangannya ke arah atas pelafon lobby karaoke. Ayin hanya tersenyum memperhatikan kelakuan tamunya itu. Raut muka Along terlihat aneh. Matanya tinggal segaris terbuka. Perempuan setengah baya itu paham kalau Along sedang dipengaruhi alkohol.
Tidak beberapa lama petugas kamar belakang datang menjemput. Pandangan Along agak terang. Ia mengikuti petugas itu penuh semangat. Melalui gang sempit dan cahaya remang, antara kamar-kamar karaoke yang hingar bingar memusikalisasi tubuh orang-orang dalam gerakan House Music, Along melangkah dan menatap lurus ke ujung gang. Ia tak sabar ingin secepatnya sampai ke sana.
Bermodalkan sisa tenaga dan dorongan birahi, lelaki bertubuh jangkung itu mencoba menjaga keseimbangan tubuhnya. Sambil melangkah kedua tangannya direntang lebar menekan ke kanan kiri dinding kamar-kamar karaoke yang berjajar itu.
Dengan langkah sempoyongan dan kedua tangan seperti sayap burung, Along meninggalkan biografi kesadarannya. Ia mengkhayalkan dirinya laksana raja yang sebentar lagi dikerumuni puluhan selir-selir cantik. Ia tegapkan tubuh serta langkah kaki seperti seorang perwira tentara yang memimpin pasukan pergi berperang.
Sejak kecil Along sangat percaya kalau tentara itu simbol kegagahan dan keperkasaan. Ia sangat bangga jika punya kawan tentara. Seperti mendapatkan sesuatu bernilai pusaka. Along sering memamerkan perwira kenalannya kepada isteri dan keluarganya. Hingga menjadi mitos yang mencerminkan posisi sosialnya.
Tetapi langkah Along terlalu tegap. Hingga hanya beberapa kaki melangkah ia jatuh. Along berusaha mengangkat tubuhnya. Tangannya kembali berpegang ke kanan kiri dinding gang, tetapi tetap jatuh ke lantai. Ia menengok ujung gang yang semakin panjang dan jauh. Kakinya gemetar. Kepalanya terasa berputar. Ia bingung mau minta tolong tidak ada orang. Sementara petugas kamar sudah lebih dulu menghilang di ujung gang itu. Along ingin berteriak sekeras-keras, namun suaranya sudah serak akibat terlalu lama menyanyi “Padamu Negeri” sambil menenggak vigour buatan Lampung.

Tidak ada komentar: