Kamis, 27 November 2008

7

“Artinya, kalau sekarang korupsi merajalela, tidak perlu gusar. Karena korupsi itu pun
sebetulnya bagian proses pertobatan dari nenek moyang kita si bajak laut itu.
Korupsi itu saya pikir perilaku rampok yang lebih sopan dan bersahaja..hahahaa...”

UMAR tertegun menatap sisa beberapa pohon mangrove, ketika pulang dari bagan ikan milik Boni, sore itu. Perlahan-lahan pohon-pohon bakau di pesisir pantai itu lenyap, berubah menjadi hutan atau urukan tanah untuk perluasan lahan baru milik pengusaha sekitar pantai.
Menurut cerita orangtua Umar, kawasan hutan mangrove tumbuh berjajar di pesisir Teluk Lampung mulai dari Bakauheni hingga Kuala Penet. Kemudian dari Panjang, Telukbetung memanjang sepadan pantai ke Padang Cermin, Punduh Pidada, hingga ke daerah Kedondong dan ke kawasan perairan Kuta Agung.
Ke arah pesisir timur, dari Teladas, Rawajitu, pohon mangrove ini, tumbuh hingga ke Sungai Sembilang, Air Sugihan, dan Sungsang yang berada di muara Sungai Musi, Sumatera Selatan.
“Riwayat bakau tinggal kenangan,” ujar bapak Umar waktu itu.
Wajar saja, pikir Umar, nyamuk malaria sekarang menyebar ke rumah-rumah penduduk, karena hutan mangrove tempat hidupnya telah musnah.
Hutan mangrove juga berfungsi sebagai sabuk pengaman dari abrasi, hantaman gelombang atau bahaya tsunami. Umar membayangkan jika seluruh hutan mangrove di pantai Aceh masih utuh dan terjaga, dampak gelombang pasang tsunami tidak separah saat itu, karena masih tertahan sabuk mangrove.
Kendati tetap menelan korban jiwa dan meluluhlantakkan rumah dan bangunan di Aceh, tetapi tidak setragis memandang hamparan ratusan ribu mayat manusia akibat gelombang besar itu. Karena tidak ada lagi sabuk penahan pantai, gelombang laut yang diperkirakan naik di atas 10 meter itu, begitu saja masuk menyapu bersih seluruh kampung dan isi kota.
Mengingat kembali bencana tsunami Aceh dan Nias, Sumatera Utara, Umar merinding sendiri membayangkan keluarganya yang sekarang ini berumah di pesisir Teluk Lampung.
Ia melihat seluruh pesisir pantai sekitar Telukbetung sampai ke Padang Cermin, telah gundul tanpa hutan mangrove. Jika tsunami datang, pikir Umar, ia dan penduduk sekitar pesisirlah yang lebih dulu tersapu gelombang.
Umar sempat menikmati sisa-sisa mangrove semasa kecil. Ia sering dudukdi akar-akar pohon yang merayap sampai ke daratan. Pulang sekolah, ia dan kawan-kawannya bermain sambil mencari anak kepiting. Suasana itu mulai hilang ketika masuknya kegiatan usaha industri di kawasan pesisir Teluk Lampung.
Para pelaku industri memanfaatkan pinggiran laut sebagai tempat usahanya. Perhitungan mereka posisi dekat laut sangat strategis dan menguntungkan terutama dari sisi bongkar muat barang dan transportasi perdagangan antar pulau melalui laut. Mereka menimbun pantai lalu membangun dermaga. Sebagian lagi memanfaatkan lokasi sekitar pantai untuk memudahkan membuang limbah industrinya ke laut.
Sebelumnya, perusakan mangrove ini dituduhkan kepada petambak tradisional saja. Mereka membuka tambak melampaui garis sepadan pantai penyangga pengikisan pantai atau sabuk hijau tempat hidup mangrove. Garis sepadan pantai yang ditetapkan pihak kehutanan sepanjang 500 meter dari pantai.
Umar sering melamun di atas bagan ikan tempatnya bekerja, ketika pandangannya tertuju ke Pulau Pasaran dan pulau-pulau kecil lainnya di perairan Teluk Lampung. Seperti Pulau Tangkil, Pulau Condong, Pulau Legundi, Way Lunik, atau Pulau Sebuku dan Sebesi di dekat perairan gunung anak Krakatau, dan pulau-pulau lainnya.
Pulau Pasaran sejak dahulu menjadi wilayah pemukiman nelayan yang kebanyakan mengelola ikan asin. Pulau ini kini nyaris menjadi daerah daratan, akibat kegiatan penimbunan pantai di wilayah Telukbetung Selatan. Penimbunan sejak tahun 1995 itu hampir menyambungkan pulau Pasaran ke daratan. Dulu warga pulau itu sempat mau digusur dan direlokasi ke daerah lain, sekitar perairan Lempasing.
Rencananya pulau sentra ikan asin itu, akan diubah menjadi areal wisata dengan bangunan hotel berbintang lima. Warga nelayan menolak pindah karena mata pencariannya sebagai nelayan ikan asin sudah turun temurun. Entah karena penolakan, atau karena batalnya calon investor, sehingga kini rencana pemda kota mengembangkan Pulau Pasaran itu tidak terealisasi. Yang ada hanya pengurukan yang sebentar lagi merubah status pulau itu menjadi kampung daratan.
Umar tidak membenci industri. Ia juga bukan seorang rasialis, jika berpikir tentang Jawa, China, Bugis, Banten, Padang, dan pendatang lainnya yang masuk ke kampungnya. Tetapi ia menyesali kegagalannya menjaga sejarah kampung dan peradaban leluhur. Telukbetung berubah kampung asing yang sulit untuk dikenali kembali.
Umar melihat kerabatnya kumpul di Sesat Agung, mereka berubah rupa. Seperti topeng cetak, wajahnya sama semua. Sulit dikenali. Ia tidak tahu apakah Melayu itu China atau Jawa, atau saudara kembarnya. Yang ia tahu Melayu atau China, keduanya muncul dari lautan. Menjadi penguasa samudera. Merambah ke wilayah daratan hingga ke pegunungan.
“Melayu ada di air, melayu ada di darat. China-Melayu atau Melayu-China, sama saja,” Umar berbisik dalam hati.
Leluhur mereka mengajarkan menangkap ikan dan berdagang. Mereka tidak mengerti bercocok tanam. Mereka berkebun karena menolak ditaklukkan. Mereka lari ke gunung karena sungkan berperang.
“Apakah moyangku China?”
Sejarah asimilasi dan kenangan masa lalu, tidak begitu lengkap tergambar dalam cerita bapak dan kakeknya. Umar tahu ada kekalahan di balik itu. Ada banyak kisah kekerasan disembunyikan. Penandaan itu terbaca sampai hari ini.
Semakin terbaca, ketika ia menatap Pulau Pasaran dan lingkungan sekitar pesisir Teluk Lampung yang porak poranda dijarah masa lalu dan hari ini.
Tidak Cuma laut. Sungai-sungai pun tak luput dari pencemaran limbah. Puluhan spesies ikan musnah akibat racun limbah pabrik. Seperti pabrik tapioka di Kekah, Terbanggi Besar. Sepanjang sungai Way Pengubuan, sebelumnya terdapat lebih 50 spesies ikan. Tetapi bila diteliti kemungkinan hanya tinggal 20 persen lagi yang tersisa akibat pencemaran limbah pabrik.
Pemerintah sendiri yang memiliki Badan Pengendali Dampak Lingkungan tidak mampu melakukan aksi kritis dalam memantau instalasi limbah pabrik. Pemeriksaan rutin outlet atau saluran pembuangan akhir limbah nyaris hanya pekerjaan rutin untuk mencairkan uang jalan dan mendapakan uang sangu dari pengusaha pabrik yang dikunjungi.
Kondisi tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Di Terbanggi Besar pernah ditemukan warga dan LSM lingkungan, adanya pipa paralon siluman milik pabrik sumpit dan kertas budaya, membuang langsung limbahnya ke sungai. Tetapi tetap tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
“Entahlah, mengapa perilaku pemerintah seperti itu.” ungkap Umar dalam hati.
Dalam benak Umar, sering muncul pertanyaan, dari mana asal orang Indonesia itu?
Riwayat Indonesia sulit dibaca, apalagi dituliskan. Riwayat diceritakan kakek dan buyutnya, penuh dongeng kesaktian dan kejayaan yang bikin Umar terkagum-kagum.
Riwayat Majapahit hingga Sriwijaya, di buku sejarah sekolah, juga berisi cerita kedigjayaan. Sriwijaya yang disebutkan berpusat di Palembang itu, sebagai kerajaan yang dianggap telah memiliki tata pemerintahan, ilmu hukum, politik, dan kebudayaan, ternyata hanya menjadi riwayat raja-raja yang sukses menarik upeti dari hasil keringat petani dan rakyat jelatah. Atau penaklukkan untuk tujuan ekonomi. Mengeruk kekayaan kerajaan-kerajaan kecil. Budaya primordialisme dan budaya menjilat sudah tumbuh di masa itu.
“Daulat tuanku....!” demikian ceritanya. Dari pemerintahan Majapahit dan Sriwijaya, tidak ada kredo kerakyatan yang tercermin dari sistem pemerintahan yang bersifat “keraton sentris” itu.
“Orang Indonesia asli itu, adalah bajak laut!” ungkap Cakra.
Cakra adalah seorang seniman pelukis, kawan akrab Umar. Mereka tinggal berdekatan semasa masih tinggal di Gedong Pakuon, Telukbetung.
“Ah, itu julukan buatan Belanda. Apa dasarnya, Cak?” tanya Umar kepada seniman itu.
Cakra diam sesaat. Matanya ke langit. Mulutnya sedikit menganga, jari tangan mempermainkan rokok kretek. Ternyata ia sedang mengingat-ngingat cerita nenek moyangnya.
“Begini Mar! Menurut cerita, di jaman dahulu bangsa Indonesia asli didesak bangsa Tionghoa dan Hindu ke luar dari negeri asalnya yakni Hindia Belakang. Kemudian kabur ke Nusantara Indonesia. Karena terusir, orang Indonesia asli yang sebelumnya sudah punya budaya bertani atau bercocok tanam itu, menjelma menjadi bajak laut yang sangat buas!”
“Dari mana kau dapat cerita itu, Cak!” potong Umar. Ia keberatan nenek moyangnya dibilang bajak laut oleh si seniman kurus itu.
Cakra bangkit dari duduknya menuju lemari tuanya. “Dari ini,” kata Cakra menunjukkan buku lusuh yang ditariknya dari barisan buku di lemari kaca itu.
Cakra cukup bersemangat sembari membolak-balik halaman buku itu.
“Lalu si bajak laut, dengan vintas atau perahu kecilnya mengarungi kepulauan-kepulauan dan menaklukkan penghuninya. Penduduk India dan Oceania bertekuk lutut. Bahkan, Jengis Khan dan laskar perang Mongolia pun sanggup dipukul mundur, bajak laut yang terkenal waktu itu disebut Pakodato dari kerajaan Sungapura di Semenanjung Tanah Melayu,“ kata Cakra dengan Bangga.
Umar hanya tersenyum melihat kelakuan Cakra. Tapi, ia tetap serius menyimak kutipan cerita kawan akrabnya itu.
“Pada Tahun 500-an, Mar..” lanjut Cakra. “Pakodato mampu menggetarkan kerajaan Tiongkok dan Hindustan, dengan armada laut dan perlengkapan perangnya,” tukas Cakra.
“Menurut cerita selanjutnya, setelah di bawah pengaruh Hindu, nenek moyang kita itu naik kelas.” Cakra mengorek rokoknya kembali.
“Nah, kini terbayangkah di benakmu, Mar, bahwa para bajak laut itu adalah nenek moyang kita,” ujar si seniman sambil tertawa digumul asap rokoknya.
“Dari penampilan bentuk anatomi tubuh, kemudian raut muka, mata, hidung, rambut, warna kulit, nyaris tak ada bedanya dengan orang Tionghoa.”
“Artinya, Mar, kalau ada tindak tanduk kita meniru kelakuan perompak, termasuk koruptor yang berkembang biak sekarang ini, kau tidak perlu gusar! Karena korupsi itu pun sebetulnya bagian proses pertobatan dari warisan nenek moyang kita si bajak laut. Korupsi, saya pikir perilaku rampok yang lebih sopan dan bersahaja hahahaa..!”
Seniman itu tertawa terpingkal-pingkal seakan menertawakan dirinya dan nenek moyangnya.
“Neneknya bajak laut, cucunya bajak darat. Mantap ‘kan? hahahaha!” ujar Cakra sambil menekan perutnya menahan tawa.
Umar hanya tertawa kecil. Argumentasi Cakra ikut mengganggu pikirannya. Apakah mental menipu, merampas, dan mengambil hak orang lain itu, betul-betul perilaku budaya yang diwariskan nenek moyang.
“Persoalannya sederhana saja, Mar! Sampai kini belum ada seorang pun yang berani memproklamirkan nenek moyang orang Indonesia itu, perompak!” ujar Cakra. “Sehingga generasi sekarang harus merehabilitasinya dengan perbuatan antirampok, antimaling, antijudi, antikorupsi, antimaksiat, dan macam-macam ketidakpercayaan lainnya,” tambahnya.
Hanya Cakra, seorang seniman kerempeng yang hidup dari menjual lukisan, berani mengatakan nenek moyangnya seorang perompak, pikir Umar.
Terlepas benar atau salah, cerita Cakra, Umar merasakan benih-benih kejahatan itu ada dalam dirinya. Tetapi secara agama, ia paham bahwa perbuatan jahat itu dilarang.
Umar teringat buku milik Cakra, bercerita tentang Laksamana Cheng Ho. Utusan Kaisar Ming abad ke-15 itu menjelajah berbagai belahan dunia. Cheng Ho bersama ribuan tentaranya mendarat ke Indonesia dengan dua misi, perdamaian dan penaklukan.
Bisa saja, pikir Umar, Cheng Ho lebih dulu menaklukkan para perompak, kemudian mengenalkan agama kepada mereka. Sebagai pemeluk Islam, pikir Umar lagi, bisa pula ia dan nenek moyangnya keturunan perompak yang disadarkan Cheng Ho.
Umar jadi tak tahan, ikut tertawa-tawa bersama seniman kerempeng itu. Ia teringat masa lalu ketika mulai mengenalkan minuman beralkohol kepada Cakra.
“Begini saja, Cak. Biar tidak terlalu rumit kita berpikir. Mulai saat ini kita nyatakan diri kita sebagai cucu perompak! Alias cucu bajak laut! hahahaa….”
Keduanya berjabat tangan, bersepakat untuk identitas dan sejarah nenek moyang mereka.
Cakra menyilangkan telunjuknya di bibir, “Sstt..jangan lupa, Mar! Pake kata tobat di belakangnya!” kata Cakra. Keduanya kembali tertawa lepas.

Tidak ada komentar: