Sabtu, 22 November 2008

2

Mendengar akan diserang, seluruh jamaah bersiaga, dengan anak panah.
Begitu rombongan Kasdim datang, mereka langsung menyambutnya dengan anak panah.
Danramil Soetiman tewas.

Siapa memiliki keberanian berhitung serta mengukur waktu dari sel penjara yang lembab itu? Baya dan napi wanita lainnya, tidak pernah peduli perputaran masa yang membingkai persoalan mereka hari ini atau esok. Mereka bukan tahanan politik yang setiap hari bersolek dan merias dirinya menjadi pahlawan.
Baya tidak ubahnya kecoa busuk yang tidak memiliki harga untuk dijual ke masyarakat. Tidak ada telepon dan surat yang mendatanginya. Tidak ada kiriman apel dan jeruk segar. Tidak ada koran dan televisi. Tidak ada rokok dibagikan ke para sipir dan petugas jaga. Apa lagi menyogok kepala keamanan atau pemimpin penjara, agar bisa jalan-jalan keluar penjara dan tidur pulang ke rumah. Baya bukan tahanan berkelas, seperti koruptor atau politisi, yang setiap waktu bisa pulang meninggalkan kamar selnya.
Meski berijazah SMA dan lulus ke perguruan tinggi negeri, Ibu dua anak ini, hanyalah isteri buruh nelayan di Gudang Agen, Telukbetung. Baya bekerja serabutan. Kadangkala jual kain, jual tikar pandan, upahan cuci pakaian tetangga, dan membuat kue sekaligus menjualkannya keliling kampung. Sebelum menikah, Baya sempat bekerja di perusahaan distributor perabot rumah tangga. Ia juga pernah menjadi staf dokumentasi dan pustaka di sebuah lembaga non pemerintah yang mengelola dana luar negeri.
Baya tidak memahami sejarah hitam-putih sebuah penjara. Semula anggapannya, penjara adalah sesuatu yang menakutkan. Tetapi, sejak mendiami kamar sel penjara, ketakutan dan kecemasan itu berubah menjadi keberanian. Baya dipenjara 10 tahun karena membunuh. Perempuan itu menyatakan sikap di pengadilan, bahwa membunuh adalah sebuah kemenangan.
“...dan aku tegaskan kepada kalian! Apa yang aku lakukan adalah perlawananku melawan kekejaman kalian. Sekali pun harus membunuh untuk bertahan hidup!” demikian kutipan pernyataan Baya dalam pledoy yang dibacakan pengacaranya.
Baya begitu lega dengan kalimat demi kalimat dalam amar putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang yang dibacakan pada sidang terakhirnya. Hal-hal yang memberatkan, ujar hakim, aksi membunuh tersebut dilakukannya dengan penuh kesadaran dan terencana lebih dahulu. Vonis berat sang hakim disambutnya dengan senyum. Ia rasakan suara palu pengadilan terdengar merdu di telinganya.
Baya membunuh dengan senyuman. Tidak ada air mata. Tidak ada penyesalan. Perempuan itu begitu siapnya menghadapi hukuman. Sekali pun dieksekusi ke tiang gantungan atau lapangan tembak. Ia seperti baru saja menyelesaikan potongan akhir serenade klasik “Requim” dari partitur peradilan kita. Meletakkan sejarah dirinya di kamar sel yang dingin. Membisukan mimpi dan reguleritas hidup. Seperti riwayat kebisuan sang bapak, Haji Hazairin, yang hilang tak berjejak — setelah lebih dulu diculik dan dibuang ke kamp tahanan orang PKI di Pulau Kemaro, Sungai Musi, Palembang.
“Saya dalam kondisi sehat dan sadar ketika melakukan itu...” kata Baya kepada majelis hakim -- beberapa saat sebelum amar keputusan sidang dibacakan.
“Apakah Anda menyesal?”
“Kenapa Anda tanyakan itu?” balas Baya.
“Saudara terdakwa, saya ulangi. Apakah Anda menyesal melakukan perbuatan terkutuk itu?” ulang hakim.
“Tidak!”
“Kenapa?” tanya hakim geram.
“Apa yang saya lakukan adalah yang terbaik bagi saya, juga keluarga saya.”
Baya menolak banding. Ia menerima vonis 10 tahun penjara yang diputuskan majelis hakim.
Pengacara Baya, Alamsyah, hanya tertunduk mendengar keputusan itu. Padahal, menurut Alamsyah, apa yang dilakukan Baya adalah tindakan membela kehormatan dirinya dan keluarganya. Beberapa hari sebelum vonis dibacakan, Alamsyah sempat dihubungi salah seorang anggota majelis hakim. Tetapi Alamsyah tidak bisa berbuat banyak. Ia paham kondisi ekonomi kliennya. Meski pun sidang putusan itu sempat ditunda hakim sampai dua kali masa persidangan.
Baya sendiri sebetulnya adalah korban. Tetapi Alamsyah merasa lega, karena putusan hakim tersebut lebih ringan dari ancaman jaksa Ritonga yang menuntut hukuman penjara seumur hidup.
“Ayo Tidur!”
Teriakan sipir Muna yang melintasi lorong Blok D-3, memecahkan lamunan Baya. Para napi dan tahanan wanita di kamar sel bangkit, sembari merapikan pakaian mereka yang tersingkap.
Usia Baya belum terlalu tua. Ia lahir di Palembang, Tahun 1961. Meski sudah satu tahun menghuni kamar sel Rajabasa, tetapi Baya masih terlihat segar. Tubuhnya terbilang tinggi untuk ukuran perempuan kebanyakan, sekitar 1,67 Meter. Raut muka lonjong. Rambutnya berombak hitam. Tubuhnya terbalut kulit putih, masih terlihat kencang kendati sudah beranak dua. Wajar saja Baya mendapat perhatian agak lebih dari sipir dan petugas penjara ketimbang napi wanita lainnya.
Haji Hazairin, bapak Baya, berasal dari Pangkalan Balai, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sementara ibunya dari Pagaralam, Lahat. Wajah Baya cenderung ke ibunya. Mirip wajah orang Tionghoa.
Sebelum diculik usai Gestapu 1965, Haji Hazairin memiliki kebun karet yang cukup luas. Di rumah, Hazairin bersama isterinya membuka toko klontong. Ia juga menampung hasil bumi petani, seperti padi, jagung, dan singkong.
Haji Hazairin diculik dan diisolasi ke Pulau Kemaro, karena dituduh terlibat kegiatan PKI, Partai Komunis Indonesia. Dua tahun di pengasingan Pulau Kemaro, Hazairin dikabarkan meninggal dunia.
Waktu itu Baya berusia empat tahun. Hingga sekarang ia tidak tahu keberadaan mayat bapaknya. Apakah dimakamkan, atau dibuang ke sungai. Karena di pulau yang dijadikan pembuangan orang yang dituduh aktivis PKI tersebut, tidak ditemukan kuburannya.
Haji Hazairin bukanlah ekstrimis atau kelompok kiri, seperti Amir Sjarifuddin, Tan Malaka, Musso, Aidit. Ia juga bukan kelompok Sjahrir dan Hatta dengan politik reaksionernya. Menurut cerita ibu Baya, Hazairin dikenal muslim yang taat dan berpengaruh di masyarakat. Ia biasa diminta bicara di hadapan orang banyak. Hazairin juga aktif dengan kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia tidak pernah bicara politik atau gerakan, tetapi banyak bicara soal nasib manusia bernama buruh dan petani.
Hazairin sangat membenci penjajah. Ia mengutuk kaum imprealis atau neokolim, termasuk kelompok reaksioner Indonesia yang waktu itu, berkompromi dengan negara kolonial seperti Belanda dan Inggris.
“Ini salah satu dosa besar kita terhadap anak cucu kelak,.” ujar Hazairin kala itu.
Baya membandingkan penderitaannya di penjara. Belum seberapa dengan kesengsaraan bapaknya saat ditahan dan disiksa tentara masa itu. Menurut cerita, Haji Hazairin mengalami nasib seperti Amir Sjarifuddin tokoh PSI, dan kawan-kawan. Hazairin dan aktivis PKI lainnya diduga dibantai di tahanan Pulau Kemaro, lalu mayatnya ditenggelamkan ke Sungai Musi.
Cerita dari mulut ke mulut itu membuat miris keluarga Hazairin. Baya selalu menangis jika teringat cerita soal bapaknya. Ia mengutuk para pelaku politik masa itu, yang tidak bermoral dan beretika politik. Membunuh menjadi pilihan politik untuk terus berkuasa. Komunis adalah ideologi, bukan partai politik.
Tindakan balas dendam dan penumpasan PKI yang dilakukan militer dan kelompok anti-komunis waktu itu, menurut Baya, adalah tindakan yang tidak berprikemanusiaan. “PKI adalah partai politik, komunis adalah ideologi.” Kalimat yang sering diucapkan bapaknya itu, kembali diulang-ulang Baya. Hazairin mengaku bahwa ia pengagum Marhen dan Soekarno, tetapi bukan umat PNI atau PKI! Sampai kini Baya tidak tahu apa maksud kalimat yang disebutkan bapaknya itu.
“Kita punya kisah yang sama,” tanggap Hesti mendengar cerita Baya.
Hesti sudah tiga bulan menghuni sel Rajabasa. Ia dipenjara karena menulis artikel di korannya tentang jaringan penyelundup mobil-mobil mewah di pelabuhan peti kemas Panjang. Penyelundupan itu dilakukan secara sistematis oleh jaringan yang melibatkan pengusaha, oknum pejabat Bea Cukai, seorang pejabat daerah, serta beberapa oknum aparat kepolisian di pusat.
Dari hasil investigasinya itu, Hesti memaparkan secara rinci jaringan serta modus penyelundupan mobil mewah di pelabuhan bongkar muat itu. Modus penyelundupan antara lain mengubah keterangan dokumen barang dalam kontainer yang disegel label Bea Cukai, dengan menyebutkan kiriman jenis barang, general cargo. Pada daftar barang tidak menjelaskan secara detail atau spesifik. Dokumen perjalanannya diubah dari dokumen impor menjadi angkutan antarpulau atau inter-insuler.
Sedangkan keterangan daftar manives barang yang dikirim dari Singapura itu hanya tertulis onderdil otomotif. Praktek penyelundupan mobil yang merugikan negara miliaran rupiah, diduga hingga kini terus berlangsung.
Karena tidak dapat menunjukkan bukti akurat tentang mobil-mobil selundupan dari Singapura itu, serta sikapnya melindungi jatidiri narasumbernya, Hesti diseret ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Berkas perkara yang diajukan ke majelis hakim tidak menggunakan Undang-Undang Pers, tetapi KUHP. Jaksa mendakwanya, pasal pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong.
Hesti akhirnya divonis 14 bulan penjara. Ia juga dipecat oleh pemilik koran. Tetapi tidak lama Hesti dipenjara, koran harian itu tutup karena konflik antarpemilik saham. Beberapa waktu kemudian terbit lagi dengan manajemen baru. Namun sebagian besar sahamnya telah dibeli seorang pengusaha di Jakarta, konon dekat dengan lingkaran penguasa pusat.
“Nenekku juga pernah ditahan bertahun-tahun tanpa pengadilan. Ia anggota Gerwani. Ia baru dilepaskan setelah pamanku meminta bantuan seorang perwira tinggi saudara istrinya,” ungkap Hesti.
Baya terkesima mendengar pengakuan Hesti. Selama tinggal satu kamar sel gadis muda ini tidak banyak bicara. Jika Baya bercerita dengan kawan-kawan tahanan lain, Hesti hanya menjadi pendengar saja. Tanpa berkomentar atau ikut berpendapat. Baru sekarang Hesti membuka jati dirinya, wartawati sebuah harian.
Baya baru paham kenapa sejak Hesti masuk ke sel itu, sikap para sipir dan petugas agak berubah. Mereka terlihat hati-hati bicara dengan para penghuni kamar sel. Padahal selama ini, sangat terbuka dan ceplas-ceplos, bahkan sering bicara di luar konteks antara sipir dan tahanan.
“Kejadian mengerikan itu tidak hanya di Palembang atau Sumatera,” Hesti kembali bercerita. “Peristiwa pembunuhan massal aktivis PKI terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa dan Bali. Kesaksian mantan korban, tahun 1965-1966, di Wonosobo, Jawa Tengah, ditemukan kuburan berisi korban pembunuhan massal oleh kelompok anti-komunis,” jelas Hesti.
Setelah kuburan besar digali, papar Hesti, ditemukan bukti-bukti seperti cincin kawin, gigi palsu, dan barang-barang lain. Beberapa korban teridentifikasi secara forensik. Namun ironisnya, ketika kerangka korban hendak dipindahkan ke tanah kelahirannya di Temanggung, warga spontan menolak. Mereka membentang spanduk lebar-lebar: “Tidak ada tempat bagi PKI!”
Hesti begitu fasih bercerita menirukan narasumber dan referensi buku-buku bacaannya. Daya ingat anak muda ini cukup baik, pikir Baya. Di mata Baya, Hesti adalah anak yang cerdas.
“Kekerasan militer Soeharto, tidak juga ditujukan ke kelompok komunis yang dianggapnya atheis, tetapi juga kelompok Islam,” ujar Hesti.
Seperti peristiwa Tanjungpriok. Pembantaian jamaah Islam di Lampung, yang dimulai dari memprovokasi militer kepada santri sejumlah pondok pesantren di Lampung Tengah. Mereka dihasut untuk menyerbu pengajian imam Warsidi di Cihedeung, Dukuh Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Tengah, 7 Februari 1989.
Kasus pembantaian warga sipil atau disebut “Tragedi Talangsari” itu, bermula ketika Danramil 41121 Way Jepara, Kapten Soetiman menerima sepucuk surat dari Camat Zulkifli Maliki. Isinya; di Dusun Cihedeung ada yang melakukan kegiatan mencurigakan dengan kedok pengajian.
Laporan dari Kepala Dusun Cihideung, Sukidi, itu kemudian dijadikan oleh Soetiman untuk memanggil tokoh pengajian itu yang bernama Anwar. Soetiman meminta agar Anwar selambat-lambatnya 1 Februari 1989 menghadap. Tapi Anwar menolak. Ia justru malah meminta agar Danramil yang datang ke tempatnya.
Merasa ditolak, giliran Camat Zulkifli memanggil Anwar. Tapi juga tidak diindahkan. Anwar malah memanggil Muspika agar datang ke tempatnya. Kemudian pada 5 Februari 1989, sekitar enam pemuda desa Cihideung yang sedang ronda disergap oleh tentara. Saat itu pihak aparat berhasil menyita 61 pucuk anak panah dan ketapel kayu.
Sehari setelah itu, Kasdim 0411 Lampung Tengah, Mayor E.O Sinaga, mengajak Soetiman, Zulkifli dan Kakansospol Letkol Hariman S. dan beberapa staf CPM ke Cihideung untuk memenuhi undangan Anwar. Tetapi, sebelum kehadiran mereka, dihembuskan ke jamaah pengajian, bahwa mereka akan diserang.
Mendengar akan diserang, seluruh jamaah bersiaga, dengan anak panah. Begitu rombongan Kasdim datang, mereka langsung menyambutnya dengan anak panah. Danramil Soetiman tewas.
Situasi panas. Entah kelompok dari mana dikabarkan menyerang Pos Polisi yang menjaga hutan lindung di Gunung Balak. Dua polisi terluka. Kepala Desa Sidorejo, Lampung Timur, Santoso Arifin dibunuh.
Malam harinya sebuah mini bus angkutan desa di jalan Sri Bawono disergap gerombolan. Sopir angkutan desa itu dibunuh dan kernet dilukai. Pratu Budi Waluyo yang kebetulan berada di lokasi itu juga tewas.
Kasus berantai yang mungkin spontanitas atau sengaja dikondisikan kelompok tertentu itu, menjadi awal petaka besar.
Pada 7 Februari 1989, usai sholat subuh, tiba-tiba terdengan serentetan tembakan. Lalu api menjilat ke bangsal tempat jamaah Wardisi menginap. Suara tembakan itu disambut dengan takbir, ’’Allahu akbar....!’’, berbaur tangis dan jerit histeris.
Serangan fajar tersebut berasal dari empat peleton tentara dan 40 anggota Brimob dipimpin langsung Komandan Korem 043 Garuda Hitam, saat itu, Kolonel A.M. Hendropriyono.
Setelah usai suara tembakan, jumlah korban versi tentara menyebutkan hanya 27 orang. Data Komite Smalam, korban tewas mencapai 246 orang, belum termasuk yang hilang. Dari keseluruhan korban itu, 127 diantaranya anak-anak dan perempuan.
“Berapa pun yang tewas, bagi kami itu tetap tragedi kemanusiaan yang tidak bisa didiamkan,’’ tandas Fikri Yasin, Koordinator Komite Smalam, sebuah LSM yang gigih memperjuangkan nasib korban pembantaian itu.
“Saya masih ingat malam itu, saya dan ibu-ibu serta anak-anak berlindung dalam gubuk. Lalu gubuk itu dibakar! Saya berhasil kabur. Tetapi entahlah bagaimana nasib ibu-ibu dan anak-anak di gubuk itu,” papar seorang korban peristiwa ini dalam acara testimoni.
Kasus pembantaian oleh militer Soeharto itu, sempat menimbulkan kontroversi ketika sebagian korban menandatangani islah atau damai. Belakangan mereka mencabut kesepakatan islah. Namun belum ada keinginan pemerintah pasca Soeharto untuk mengusut peristiwa keji tersebut.
Versi lain mengatakan, peristiwa yang dinamai oleh TNI, “GPK” atau Gerakan Pengacau Keamanan itu, meletus setelah tentara merasa gerah dengan gerakan Warsidi di pesantrennya yang berkembang pesat dan hidup secara eksklusif. Merasa wilayahnya terganggu oleh kegiatan mereka, Danrem Hendro pun berulah dan membuat keributan yang berakhir dengan pembantaian jamaah yang sekedar bisa hidup lebih Islami itu.
“Begitu banyak kejahatan Soeharto dan kelompoknya yang tak terselesaikan secara hukum,” keluh Hesti.
Baya teringat masa lalu, bagaimana penderitaan ibu dan saudaranya. Meski pun bapaknya diculik dan meninggal tanpa kuburan, tetapi usai Gestapu, mereka tetap dihujat dan diasingkan.
Pihak keluarga bapak dan ibunya ikut dicap sebagai keluarga PKI. Provokasi militer Orde Baru dan Soeharto, berhasil membangun anggapan di masyarakat bahwa PKI adalah sesuatu yang menakutkan, sadistis, kafir, ateis, dan menjijikkan. Maka rakyat pun termakan propaganda Orde Baru itu. Mereka mulai antipati dan menjauhi keluarga PKI. Ruang sosialnya dipersempit. Kemana pergi diawasi. Mereka yang dicurigai langsung ditangkap, menjadi tahanan politik. Diseret ke Sel bawah tanah tanpa pengadilan.
Tidak kuat menghadapi caci-maki serta cemoohan sebagai anak PKI, Baya akhirnya dipindahkan ibunya ke Lampung. Ia tinggal bersama pamannya, Hasanudin, di Kampung Palembang, Telukbetung.
Kampung yang dihuni sebagian besar perantau dan pedagang dari Sumatera Selatan itu, dijuluki “Kampung Islam”. Karena di kampung itu berdiri masjid tua, Al Anwar, dibangun Tahun 1888. Sewaktu Baya tiba di Lampung, tahun 1962, masjid tua itu belum lama dipugar.
Lulus SMA, Baya ikut tes masuk perguruan tinggi. Ia diterima di Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Ia memilih jurusan sosiologi. Sejak SMA Baya sudah tertarik dengan persoalan sosial. Barangkali ada titisan bapaknya. Atau karena banyak membaca buku-buku tentang sosial peninggalan Haji Hazairin. Namun kesempatan kuliah di universitas negeri itu terpaksa ia tinggalkan karena ibunya tidak mampu membiayai.
Baya sempat bekerja serabutan dan paruh waktu. Kemudian diterima kerja di bagian dokumentasi dan pustaka sebuah lembaga non pemerintah, yang mengelola dana luar negeri untuk program pemberdayaan perempuan. Dua tahun bekerja, yayasan itu bubar. Kemudian ia menikah dengan Umar, putra Lampung Pesisir, Saibatin, yang tinggal di Gedong Pakuwon. Baya mengenal lelaki itu karena sering diajak berkunjung oleh pamannya ke rumah Haji Husin.
Umar adalah anak bungsu Haji Husin, teman berdagang pamannya. Haji Husin dikenal pedagang berhasil di Gedong Pakuwon.
Sayang, selang enam bulan pernikahan mereka, Haji Husin meninggal dunia karena sakit. Empat tahun setelah itu, menyusul ibu Umar juga meninggal dunia.
Sepeninggal kedua mertua Baya, semua harta peninggalannya diperebutkan empat orang kakak-kakak suaminya. Umar dan seorang kakak perempuannya mengalah. Mereka hanya menerima sisa-sisa perebutan warisan dari kakaknya.
“Kenapa belum tidur?” tegur sipir Muna. Baya tidak menjawab. Baya hanya memandang sesaat wajah wanita yang bertubuh pendek dan berotot itu. Baya menuju bale papan untuk bergabung dengan lima temannya yang melanjutkan kembali tidurnya. Sementara Muna masih berdiri di depan kamar sel.
Sejak Baya ditahan hingga berstatus terpidana, Muna cukup perhatian. Sering memberi makanan atau buah-buahan ke kamar selnya. Baya dan kawan-kawan tidak mengerti apa maksud wanita bertubuh agak kekar yang sedikit lebih tua itu.
Beberapa kali obrolan, Muna mengaku asli dari Menggala, Tulang Bawang. Bapak dan ibunya lahir di sana. Ia sendiri sudah 14 tahun bekerja di Rajabasa. Sebelumnya, bertugas di Rutan Kalianda, Lampung Selatan, dan Rutan Kuta Agung, Tanggamus.
Selain Muna, ada beberapa orang sipir wanita yang menjaga blok wanita itu. Sedangkan petugas lelaki yang suka ngobrol dengan mereka antara lain Pak Rudi dan Pak Akuan yang memasuki persiapan pensiun. Juga Pak Indarwan, lelaki berkulit putih, kepala taguk, dan mata sipit asal dari Kisam, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Baya mengenal Indarwan, karena isterinya satu kelas saat di SMA. Ia juga teman sekampung ketika Baya masih di Kampung Palembang.
“Besok pagi kamu dan Hesti piket,” tegur Muna kepada Baya. “Jangan lupa membuang kaleng sampah ke belakang,” lanjutnya dengan mata keliaran. “Besok ada tamu meninjau kemari.” Baya hanya membalas dengan anggukan sambil menoleh ke arah Muna. Sipir itu berlalu dengan langkah kaki seperti pejabat daerah, menuju blok sel lain.
Malam itu, udara terasa cukup dingin masuk ke kamar sel. Hujan turun sejak sore. Baya belum bisa memejamkan mata. Setengah menggeletak tubuhnya disandarkan ke tembok kamar sel. Punggungnya disangga bantal dan selimut yang dilipat agar menambah ketebalan bantal tidurnya. Mata Baya menerawang ke langit kamar. Warnanya tidak lagi putih bersih. Di pojok-pojoknya ada sarang laba-laba menggantung mempertemukan sudut tembok kiri dan tembok kanan.
“Belum tidur?” tegur Hesti. “Besok ‘kan giliran kita piket. Jadi harus bangun lebih pagi, Mbak.” Hesti mengingatkan Baya sambil menelonjorkan badannya.
“Kamu duluan saja dik,” jawab Baya. “Saya masih mengenang cerita nenekmu tadi. Apakah beliau masih hidup?” tanya Baya memancing Hesti kembali bercerita.
“Ia meninggal dunia ketika aku masih di bangku SMP. Ia lebih dulu dari Kakek meninggalkan kami. Tetapi nenek sempat bercerita pengalamannya bergabung dengan para aktivis Gerwani. Ia juga bercerita penderitaannya ketika disekap dalam tanahan bawah tanah, disiksa, ditelanjangi, dan beberapa kali diperkosa. Cerita nenek, memberi banyak pelajaran dalam menghadapi kesulitan hidup, seperti aku alami sekarang ini.”
Saat bercerita sejarah dirinya, lanjut Hesti, sang nenek tidak pernah membayangkan, cucunya akan menjadi penghuni penjara. Tetapi kenyataan ini tidak lebih baik di luar sana. Sejak SMP sampai selesai kuliah dan bekerja, orang-orang masih suka melihat keluarga Hesti dengan latar belakang neneknya.
“Umpatan atau cacian mereka biasanya spontan muncul ketika saya melakukan kesalahan, atau perbuatan tidak mengenakkan mereka. Misalnya ada berita atau tulisanku di koran yang menyinggung mereka, maka mereka akan mencaci; dasar cucu Gerwani! Cucu PKI!”
Baya hanya terpaku. Ia berusaha mengerti cerita Hesti. Baru kali ini dalam hidupnya bertemu seseorang yang begitu peduli kisah-kisah masa lalu. Membahas dan mempersoalkannya kembali.
Baya sangat buta kisah pemberontakan PKI. Ketika bapaknya dijemput beberapa orang berseragam tentara di rumahnya. Ia tidak tahu kalau itu penculikan. Ya, ia tidak tahu apakah bapaknya terlibat PKI, yang kemudian menjadi partai terlarang masa pemerintahan Orde Baru. Semua kejadian hanya sepotong-sepotong didapat dari penjelasan ibunya.
Semasa di sekolah buku-buku sejarah tidak banyak mengupas lebih rinci pemicu munculnya gerakan PKI di Madiun 1948 atau penculikan “Dewan Jenderal” pada Gestapu 1965. Peristiwa yang harus dipertanggujawabkan aksi Orde Baru, Juga pembantaian sadis ratusan bahkan ribuan warga yang dicap PKI oleh kalangan muslim anti komunis. Sebagaimana terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Lampung dan Sumsel, serta berbagai daerah lainnya. Kelompok Soeharto diduga berada di balik aksi pembantaian tersebut, dengan memprovokasi para kyai dan muslim anti PKI.
“Saya baru paham setelah bapak diculik. Kemudian banyak tetangga kami kabur karena takut mengalami nasib serupa bapak. Ditahan dan disiksa secara keji tanpa proses hukum.”
Seusianya, saat aksi penculikan itu, Baya belum begitu paham apa penyebabnya. Jika bertemu orang PKI, mereka langsung disiksa dan dijebloskan ke penjara militer,” tambah Baya.
“Siapa yang memerintahkan mereka jadi sekejam itu?”
“Entahlah.”
“Diduga Soeharto!”
“Juga pembantaian massal lainnya?”
“Soeharto waktu itu menjadi tokoh di belakang aksi-aksi militer. Ia adalah satu dari sekian banyak petinggi tentara dan sipil penguasa negara yang dijadikan boneka plastik alias kaki tangan Amerika dan sekutunya, untuk menghancurkan kekuatan komunis di Indonesia. Termasuk kelompok fundamentalis islam seperti peristiwa Tanjungpriok dan Talangsari. Amerika menurunkan intelejen CIA jauh sebelum pecah Gestapu,” papar Hesti.
“PKI juga sempat disusupi Belanda. Istilahnya ‘PKI Van der Plas’. Tetapi, sekali lagi,” ujar Hesti. “Aku takut bercerita lebih jauh karena banyaknya potongan sejarah yang disembunyikan. Sudah tak ada batasan antara pengkhianat dan pahlawan.”
“Sudahlah Dik! Itu politik. Kita ini orang terpidana,” ujar Baya sembari meletakkan kembali kepalanya di atas bantal.
“Betul. Malam makin larut.”
“Apa kau tidak takut sejarah?”
“Tidak,” jawab Hesti.
“Juga PKI?”
“Ya,” jawabnya.
Baya hanya membalas dengan senyuman. Hesti menyusul merebahkan tubuh di samping Baya. Keduanya tidur bersama empat napi perempuan lainnya di kamar sel itu. Keempat rekan mereka lebih dulu tidur usai sholat Isa.
Para narapidana dan tahanan di Rajabasa tidak pernah menggelisahkan matahari dan jarum waktu. Mereka tidak peduli siang dan malam terus bergulir. Lalu menjadi satu kesatuan peristiwa yang tidak diingat atau dirasakan.
Penjara telah menyekap keinginan-keinginan. Kerinduan pulang, bahkan hasrat seksual. Maka, seringkali malam menyeringai, ketika tubuh sesama jenis berpelukan membunuh kedinginan.
Kondisi manusiawi telah menyatukan mereka di dalam kamar sel yang lembab; “kami ingin bebas!” katanya.

Tidak ada komentar: