Kamis, 27 November 2008

8

Perempuan itu kembali dikalahkan. Baya tak sanggup melawan matahari yang memanggang tubuh suaminya. Matanya takut menatap bagan tancap itu dari jendela yang kian terbuka lebar. Seolah hendak membeberkan kekerasan demi kekerasan di hadapan mereka.

Seperti biasa, Lastri berangkat kerja ketika Boni masih pulas tertidur. Hari itu Lastri akan menyetor uang ke bank di Tanjungkarang. Boni menyuruh Lastri minta ditemani Umar.
“Saya pergi dulu. Ini uang belanja, sisanya ambil buat kamu!” kata Lastri kepada Baya yang sedang menyapu ruang di samping serambi sekolah..
“Terima kasih, Mbak!” jawab Baya sambil memberesi cangkir teh di meja majikannya itu.
Sekitar pukul 11 siang Boni baru keluar dari kamar tidur. Begitu Boni bangun Baya buru-buru menyiapkan kopi dan kue-kue jualannya. Lantas bersiap pamit.
“Sebentar,” tegur Boni baru kembali dari kamar mandi. “Saya mau ngomong.” katanya sembari masuk ke kamar berganti pakaian.
Baya menunggu di ruang tengah. Matanya menatap pigura foto Lastri dan Boni, terpasang agak miring di tembok sebelah kanan, tangga kecil menuju bale-bale kayu. Baya merapikan pigura itu. Lalu naik ke balkon atas melalui tangga kecil.
Beberapa tahun lalu Baya sering melihat Lastri dan Boni bercengkerama akrab di atas bale-bale balkon, sembari menatap kapal dan perahu nelayan di Teluk Lampung. Entah kenapa bale ukiran Jepara itu sudah jarang disentuh mereka.
Menatapi bale kayu, Baya teringat kursi panjang di rumahnya. Tidak diduga, di atas kursi kayu tua itu, Ia dan Umar menemukan kepuasan lain bercinta. Penuh gelora, meski harus turun naik mengikuti belokan kursi yang keras dan kaku.
Awalnya suami isteri itu melakukannya karena keterbatasan rumah mereka hanya memiliki dua kamar tidur. Satu kamar ditempati Lina, dan satu kamar lagi Ia tempati bertiga dengan Umar dan Gofur. Tidak memungkinkan mereka bercinta di dalam kamar tidur secara leluasa. Karena satu kamar ditiduri Lina sendiri, dan satu kamar lagi ditiduri suami isteri ini bersama putranya Gofur.
Baya tertegun sesaat. Lalu mendekati bale kayu yang dilapisi busa tipis itu. Ia berdiri di muka jendela. Dari ketinggian ruangan santai itu, matanya menatap jauh ke laut. Dari jendela cukup lebar itu, ia melihat hamparan bagan-bagan ikan yang terlihat selebar meja kerja terletak tepat di bibir jendela itu. Di bagan itulah suaminya bekerja sejak pagi hingga menjelang Magrib atau sebaliknya. Kadangkala tidak pulang sama sekali, karena langsung menggantikan temannya yang sakit atau berhalangan kerja.
Di mata Baya, Umar pekerja keras yang bertanggungjawab kepada pekerjaannya. Karena itu pula ia sangat dipercaya oleh Boni dan Lastri.
Dari jendela rumah Boni itu, Baya melihat cahaya matahari semakin tegak di atas laut. Menggaringkan ikan-ikan asin di atas panggar atau penjemuran bambu, di samping rumah majikannya. Baya membayangkan panasnya laut yang menguliti tubuh suaminya. Baya tidak tahu apa yang dilakukan suaminya di atas bagan ikan itu, saat matahari memanggang perairan Teluk Lampung. Bertahun-tahun Umar mengikhlaskan tubuhnya dibakar dan dibekukan asin laut, semata untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan kedua anaknya. Kadang Baya tak tega melihat kelelahan suaminya. Tetapi, bagi mereka orang kecil, tidak ada pilihan lain kecuali bekerja keras untuk bertahan hidup.
Baya hanya bisa mengurangi beban suaminya dengan berjualan kue keliling. Dulunya, Baya sempat berdagang kain dan pakaian keliling dengan sistem kredit. Namun tidak lama. Usahanya kehabisan modal, karena banyak tunggakan kredit tak tertarik..
Baya kaget dari lamunannya, karena merasakan ada yang menyentuh pundaknya. Ia menghindar dan berbalik. “Maaf Pak, seharusnya bapak tidak melakukan ini,” tolak Baya halus. Tetapi Boni tidak menggeser tubuhnya di hadapan Baya. Ia terus merapatkan tubuhnya. Sementara Baya sudah habis langkah untuk mundur menjauhi Boni. Tubuhnya terpepet ke tembok samping jendela. Hanya kedua tangannya yang masih bisa bertahan melindungi tubuhnya dari cengkeraman Boni.
Laut di luar terlihat semakin panas dipanggang matahari. Baya tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tak memiliki keberanian untuk melawan. Matanya sempat menatap keluar jendela . Ia seakan hendak berteriak atau meloncat dari jendela yang terbuka lebar itu. Kemudian pergi ke laut menemui suaminya yang berkeringat lelah. Memeluk dan menjilati keringat asin di tubuh suaminya, sebagai permohonan perlindungan. Dan berhitung antara keringat dan harga diri di atas bagan yang tak pernah lelah diterpa ombak.
Laut di luar terlihat semakin terbakar, ketika tubuh Baya ditarik ke bale kayu itu. Hampir tanpa teriakan, hanya dengus nafas ketakutan. Berkejar-kejaran dengan suara penuh birahi. Kemudian mengerang. Menerjang-nerjang pagar papan dari bale kayu itu. Hanya beberapa saat. Lalu diam. Terpaku kaku. Luruh. Air matanya menetes bersamaan keringat yang terus mengalir. Panasnya melebihi laut yang terpanggang siang itu.
Perempuan itu kembali dikalahkan. Baya tak sanggup melawan matahari yang memanggang tubuh suaminya. Matanya takut menatap hamparan bagan tancap itu dari jendela yang kian terbuka lebar. Seolah hendak membeberkan kekerasan demi kekerasan di hadapan mereka.

Tidak ada komentar: