Senin, 24 November 2008

4

Along sudah berkeluarga. Isteri dan putranya ada di Palembang.
Tinggal di perkampungan China-Palembang, kawasan Cindewelang. Along tidak mengerti
kehadiran Lina, gadis pesisir Gudanglelang itu, begitu cepat.
Along khawatir perselingkuhannya diketahui Mei Hwa isterinya.

Tidak ada kegelisahan atau penyesalan di raut muka Lina. Seharian ia benamkan dirinya dalam kamar kontrakan Along. Tubuh putih mulus itu tergeletak di ranjang tanpa sehelai kain menutupi tubuhnya. Seharian mereka bercinta tanpa batas.
“Ini bukan kejahatan,” bisik Lina.
Lina tidak menginginkan orang lain mengetuk pintu kamar itu. Ia ingin menikmati ruang dan waktu bersama lelaki, 15 tahun lebih tua darinya. Ia menolak nafas lain bersetubuh dalam rongga-rongga mulutnya. Lina berkata; aku telah meletakkan mimpi-mimpi indah di kamar sempit yang beringas ini.
Along menatap kembali tubuh polos yang asyik memeluk mimpi itu. Wajahnya plong tanpa beban. Pelan-pelan geng-gaman tangannya dilepas. Along takut remaja lugu ini terbangun dari mimpi. Along meninggalkan ranjang. Mengambil sebatang rokok dari meja di samping ranjang. Ia nyalakan korek api. Asap rokok mengepul bundar. Membentuk lingkaran kenangan purba.
Waktu seakan bersekutu kepada mereka. Menjelang senja keduanya berpisah. Sekali lagi, Lina beranggapan; ini bukan kejahatan!
Gadis remaja kelas tiga SMA itu hampir setiap minggu atau libur sekolah mengunjungi kamar kontrakan Along di belakang kelenteng tua Thay Hin Bio, Telukbetung. Entah erotisme apa yang dibangun Lina dalam kamar sempit beraroma pohon gaharu itu, sehingga ia ketagihan terus kembali ke sana. Sebaliknya, Along setiap bertemu, hanya menghitung agresi verbal di antara selangkang kaki mungil yang mengacung angkuh ke langit kamarnya. Mereka berlari dalam lorong sempit. Menjadi buas. Liar. Tetapi tidak ada nafsu saling menaklukkan.
Bersetubuh tanpa bersiasat ternyata lebih menggairahkan. Seks, cinta, dan kesetiaan, terukur sebagai persahabatan. Saling membaca dan saling mengerti. Lina lupa usianya ketika mulai mengeja dan menghitung satu demi satu bagian tubuh lelaki.
Ia belajar menyusun kata-kata cabul, menyebut kelamin, telanjang di muka cermin, dan melakukan perbuatan yang selama ini dianggap tidak wajar. Gadis belia itu, mulai paham bermain cinta. Kadangkala berteriak, menggigit, memukul-mukul. Seakan sedang mengekspresikan semiotika kebebasan.
Kehidupan sebagai sesuatu yang utuh tidaklah begitu penting. Sebuah tatapan, gerakan atau senyuman, sanggup menguncangkan dunia yang dimpikan mereka. Along dan Lina tidak bisa mengatakan saling menyintai, tetapi tidak pula saling menguasai. Mereka tidak butuh lembaga perkawinan. Mereka hidup serumah karena butuh bercinta.
Along telah mengajarkan sebuah kebebasan bagi Lina. Lelaki yang sehari-hari bekerja membawa mobil kanvas berisi obat-obatan suplemen China itu, bertemu Lina setahun lalu. Waktu itu mobil yang dikendarai Along menyenggol gadis itu. Lina dirawat beberapa hari di rumah sakit Bumi Waras. Selama perawatan, setiap hari Along mengunjungi bahkan ikut menunggu Lina hingga larut malam.
Seperti sinetron televisi, saat itulah bunga-bunga cinta mulai tumbuh di antara keduanya. Lina menganggap Along sebagai lelaki yang bertanggungjawab dan penuh perhatian. Sikap Along lebih didasari rasa kasihan. Terutama melihat kondisi ekonomi keluarga Lina. Pulang dari rumah sakit, Along tetap rajin mengunjungi Lina di Gudang Lelang.
Along sudah berkeluarga. Isteri dan putranya ada di Palembang. Tinggal di perkampungan China-Palembang, kawasan Cindewelang.
Along tidak mengerti kehadiran Lina begitu cepat. Ia pernah mencoba melupakan gadis kecil itu. Tetapi sulit sekali. Ketika lamunannya kembali kepada Mei Hwa dan anak mereka Erik, saat itu pula bayang Lina muncul. Along merasa berada di antara kecemasan dan kenikmatan. Ia takut hubungan dengan Lina diketahui Mei Hwa. Sementara ia tidak mau kehilangan Lina. Kedua perempuan itu memiliki kelebihan tersendiri bagi Along.
Minggu lalu, Mei menjenguk Along ke Bandar Lampung. Ia datang hanya untuk mengantarkan piama tidur pesanan Along di penjahit samping rumahnya. Tidak ada yang berubah sikap Mei kepada Along. Tiga bulan sebelumnya, mereka bertemu di Palembang. Selebihnya berhubungan melalui telepon.
Malam itu, Mei mengenakan gaun tidur berlukis mawar. Ia berdiri di paha ranjang, membelakangi jendela kamar. Mei menatap Along baru keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan piama tidur yang dibawakan Mei. Rambut gondrongnya masih basah.
Along sedikit kaget melihat kelakuan isterinya. Tubuh langsing yang terbilang tinggi untuk ukuran rata-rata perempuan Sumatera itu, terlihat menantang. Sorot mata yang sempit, terlihat tajam. Along berjalan memperpendek jarak mereka. Keduanya terpaku. Seperti sedang mengingat-ingat kembali kapan suasana itu pernah terjadi. “Matanya, masih terlalu kuat untuk dikalahkan,” bisik Along dalam hati.
Ia mengerti dalam situasi itu, Mei lebih agresif dan begitu berkuasa. Kadangkala Along tak habis pikir kenapa untuk hal-hal menyangkut perasaan, ia selalu menjadi kanak-kanak lugu. Padahal ratusan perempuan telah dijelajahinya.
“Aku melihat ada ibu, di matanya,” ungkap Along ke hati. Seperti Sophocles menyelesaikan karma melalui kisah persetubuhan Oedipus dengan Jocasta, yang tidak lain ibu kandungnya sendiri. “Karma adalah karma! Tetapi sudah tuntas semuanya!” ucap Oedipus sembari menusuk kedua matanya. Lelaki itu tentu sulit membaca makna karma drama klasik Yunani itu. Seperti kisah pertemuan Oedipus dan Jocasta yang tanpa didahului penjelasan sejarah diri mereka masing-masing. Sebagaimana ketika Along dengan begitu saja bertemu dan menyetubuhi Lina. Tanpa penjelasan lebih dulu sejarah masing-masing mereka.
Mei Hwa pelan-pelan melepaskan tali pengikat gaun tidur yang melingkar di pinggangnya. Along merapat tepat di hadapan Mei Hwa, seakan tak ingin berjarak. Tatapan Mei sangat menggoda.
Along sempat mencuri pandang ke cermin yang tergantung tepat di samping mereka berdiri. Cermin itu menjadi sebuah benda sentimental, seksi, dan penuh erotis. Cermin seluas tubuh itu adalah peninggalan kakek Along, yang masih terselamatkan saat terjadi kebakaran di kampungnya. Along dan Mei mengawali kencan erotisnya ketika malam pertama pernikahannya di cermin tersebut.
Entah kenapa, serentak mereka melihat dirinya ke cermin, lalu berbalik saling menatap. Ada kelucuan tertahan. Saat pertama kali bercinta, mereka saling mencuri pandang di cermin itu. Keduanya lalu berubah lincah dan berani. Mei menyadari keberanian perempuan terhadap lelaki diawali ketika membukakan gaunnya dan menghadapkan bra dengan belahan dada menyembul ke atas.
Mei dan Along tetap percaya, jika bercinta adalah pekerjaan estetik. Sangat pelan sekali Mei melepaskan satu-satu kancing piama suaminya. Ia ingin segera masuk ke lorong masa lalu. Menemui ribuan metafora yang tak sanggup dibahasakan dengan cinta. Bercak-bercak metafora itu kemudian berserakan kacau, carut-marut, brutal, membentuk potongan garis-garis ekspresif.
Mei menarik tubuh suaminya ke dinding tembok kamar, tepat di samping cermin. Setengah berdiri ia membungkuk membelakangi suaminya. Kedua tangannya diangkat ke atas menempel dinding tembok kamar. Sementara kepala dan badannya terus membungkuk mendongakkan pantatnya ke tubuh Along. Seolah ada upaya mengenali kembali artefak-artefak sejarah tubuh mereka secara ekstrim. Kemudian membiarkan tubuh telanjang itu melacak misterinya sendiri.
Mereka kembali bercinta dalam cermin. Along melihat cermin berubah benda sentimental tapi penuh erotik. Mereka mendaki menerobos atap langit. Sampai udara menghentak parunya. Mei berbisik puas. Ia remas telinga Along ke mulutnya; agar tidak menjadi metafor seks yang purba.
Hanya satu malam, Mei memiliki suaminya. Mereka menghabiskan waktu bercinta seharian. Sore hari, sebelum Along mengantar Mei Hwa pulang ke Palembang melalui Stasion Kereta Api Tanjungkarang, mereka mampir ke toko manisan yang tidak jauh dari Vihara Thay Hin Bio, Telukbetung. Di toko manisan Yen Yen, Mei membeli oleh-oleh makanan khas Lampung, antara lain keripik pisang dan keripik nangka kesukaan Erik.
Pukul 21, Kereta Api Limex Sriwijaya jurusan Tanjungkarang-Kertapati perlahan berangkat. Dari balik jendela Mei Hwa melambaikan tangan ke suaminya. Di benak perempuan itu masih menyimpan keinginan kembali ke Telukbetung dan bercinta seharian di kamar kontrakan suaminya.

Tidak ada komentar: