Sabtu, 29 November 2008

10

“Jangan khawatir, Pak Along. Sebentar lagi anak buahku akan menemui Rohan.
Kalau preman tengik itu macam-macam, kita tangkap! ” jawab si perwira polisi dari
Ujung telpon untuk meyakinkan Along.

“Minumlah air hangat ini,” ujar Ayung kepada lelaki yang masih tergeletak di ranjang kamar kontrakan itu. Ia lalu bangkit dan mengikuti saran Ayung. Sambil duduk pelan-pelan ia habiskan air hangat kuku dalam cangkir itu. Kondisinya terlihat mulai membaik. Matanya menengok ke kanan dan kiri kamar, tetapi masih sedikit kebingungan. Lelaki itu tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, sekujur tubuh terasa pegal dan sakit.
“Tadi malam Ko Along mabuk dan jatuh di karaoke,” kata Ayung. “Koko diantar Rohan dan Satpam karoke hingga sampai ke rumah. Mereka menemukan tempat ini setelah memeriksa KTP di dompet Ko Along,” jelasnya.
Begitu mendengar penjelasan Ayung, spontan sambil menahan nyeri di tangan dan kakinya, Along merogoh saku belakang celananya.
“Kemana dompet saya,” sentaknya menatap Ayung.
“Ada di Rohan. Tadi pagi ia menghubungi saya lewat telpon tetangga. Saya ke sini karena diberitahu Rohan.”
Along hanya terpaku diam. Ia tahu siapa Rohan. Uang kiriman Mei Hwa semuanya ada di dompet itu. Termasuk cek pembayaran obat suplemen yang akan dicairkannya dua hari lagi. Along lalu meraih telpon selularnya. Ia bergegas me-ngontak Saiful, pendekar silat dari perguruan Macan Loreng, yang selama ini diandalkannya setiap ada masalah.
“Pokoknya saya tahu semua uang dan cek giro dalam dompet itu aman!” tekan Along kepada Saiful. Along juga menelpon dua orang pejabat polisi dan tentara, kawan bisnis Mei Hwa di Lampung. Along meminta tolong mereka membantu menjinakkan Rohan, yang dikenal sebagai preman yang disegani di kawasan Sukaraja, Telukbetung Selatan.
“Jangan khawatir, Pak Along. Sebentar lagi anak buahku akan menemui Rohan. Kalau preman tengik itu macam-macam, kita tangkap! ” jawab si perwira polisi dari ujung telpon untuk meyakinkan Along.
“Sebaiknya, Ko Along istirahat dulu. Nanti sore saya temani mengurut ke engkong saya, salah seorang tabib di Gedong Air,” ujar Ayung.
“Masalah dompet biarlah Kang Saiful dan anak buahnya yang mengurus ke Rohan,” tambah Ayung sembari memberesi kamar Along yang berantakan.
“Yung, yang saya pikirkan bukan uang di dompet, tetapi cek yang bernilai puluhan juta hasil penjualan obat.”
“Soal lecet-lecet, terkilir, dan nyeri ini,” lanjut Along, “dapat disembuhkan dengan obat tradisional kita.”
Ayung tidak menanggapi ucapan Along. Ia tahu, nyeri yang dirasakan Along karena tangan kanan dan tulang betis kakinya terkilir. Engkongnya di Gedong Air memiliki keahlian menyembuhkan tulang yang terkilir atau patah.
Ayung baru tiga bulan bekerja dengan Along. Ia menjadi kernet sesekali merang-kap sopir mobil box Along. Setiap hari ia dan Along menyalurkan obat China ke pelosok kabupaten dan kota di Lampung. Bahkan sampai ke lintas tengah, Martapura yang berbatasan Way Kanan, Lampung. Sedangkan ke arah lintas barat mereka menditribusikan obat-obatannya dari Krui hingga daerah Kaur di perbatasan Bengkulu Selatan dengan Lampung Barat.
Mei Hwa juga sedang dipercaya untuk mengkondisikan berdirinya kantor cabang. Along sering diminta Mei Hwa mewakili bertemu dengan teman jaringan pemasarannya di Jambi. Juga kalau ada kegiatan prospek dengan para calon peserta bisnis sistim multi level marketing ini.
“Yung, cari tempat parkir yang nyaman. Kita istirahat dulu di pinggir sungai ini,” kata Along, usai memasok barang ke stokis di Jambi. Ayung sedikit meminggirkan laju mobilnya. Baru saja mereka melintasi rumah dinas Gubernur Jambi Abdul Sata, yang berada di muka seberang jalan sungai Batanghari.
“Nah di situ! Yang ado kedai-nyo!” tunjuk Diman kawan akrab Along di Jambi.
“Ado apo, Jo? Tumben, kepengen nyingok sungai?” tanya Diman kepada Along.
“Entahlah, aku spontan bae ingin melihat sungai Batanghari,” jawab Along sambil berjalan menuju salah satu bangku papan di salah satu warung minum.
“Teh botol dingin, Mbak!” sergahnya kepada pemilik warung.
“Apo yang biso kau ceritoke, Dim. Dari bantaran sungai yang sudah ditimbun beton ini?” tanya Along memancing percakapan Diman dengan sungai yang terlihat airnya keruh kecoklatan.
“Maksudmu?”
“Ya, kamu ‘kan wartawan. Pasti punyo cerito apo bae yang dilakukan pemda terhadap sungai yang kotor kecoklatan ini?”
Diman tidak manjawab. Ia hanya tersenyum-senyum. Ayung menghampiri mereka dan menyodorkan dua bungkus rokok untuk Along dan Diman.
“Sebetul-nyo ado yang menarik dan lucu, Long! Cubo kamu lihat ke ujung sano tuh!” kata Diman sambil tangannya menunjuk ke sebuah bangunan seperti pabrik yang berada di seberang sungai.
“Itu pabrik karet, Long. Ada puluhan pabrik karet di pesisir sungai Batanghari ini,” ujar Diman memulai cerita.
“Maksudmu limbah pabrik?” Along coba menebak.
“Soal limbah kagek dululah. Masalah yang lagi mencuat sekarang ini, puluhan pabrik karet yang menampung getah karet rakyat itu, akan digusur atas instruksi Gubernur Jambi, Abdul Sata.”
“Dua tahun lalu,” lanjut Diman, “Jambi memiliki program peremajaan karet bagi kebun karet yang getah-nyo tidak poduktif lagi. Peremajaan pohon karet ini disetujui masuk dana anggaran daerah atas kehendak Gubernur Abdul Sata.”
Suatu hari, lanjut Diman, Pak Abdul Sata berjalan-jalan ke Vietnam. Ia mampir di pesisir sungai Mekong. Sungai tersebut cukup bersih dan airnya jernih. Selain itu di sungai tersebut ditanam ribuan ikan patin jambal. Pak Gubernur terkagum-kagum. Ia berbisik dengan pejabat pemda lainnya yang ikut pelesiran itu.
“Di sungai kita sangat memungkinkan ditanam patin jambal, Pak,” ujar pejabat itu.
“Ya..betul. tapi ikan ini bisa hidup dan berkembang jika kondisi sungai bersih. Sebab patin jambal hidup di air jernih,” ujar Gubernur kepada yang lainnya. “Artinya kita harus dibersihkan dulu sungai kita! Baru kita tanam patin jambal,” ujar Abdul Sata bersemangat.
“Balek dari Vietnam, gubernur lalu melaporkan hasil kunjungannyo ke DPRD Jambi. Gagasan membuat program penanaman ikan “patin jambal” di Sungai Batanghari itu lalu disampekenyo ke wakil rakyat. Sebagian besak anggota dewan mendukung gagasan Pak Gubernur itu,” papar Diman.
Secara teknis, gubernur lalu menggulirkan program kali bersih atau disingkat Prokasi. Ketua Tim Prokasi ditunjuk seorang wartawan harian nasional Kampas yang bertugas di Jambi, Asrul Tohar. Asrul adalah salah satu wartawan di Jambi yang dekat dengan Gubernur Abdul Sata.
“Apo sudah jalan, Dim. Ngapo sungainya masih kotor?” tanya Along sembari menyedot teh botolnya.
“Itulah lucunya, Long! Pak Gubernur lupa, kalau ada program peremajaan karet. Sementara puluhan pabrik karet di pesisir sungai perintahnya harus di relokasi atau digusur! Karena berpotensi membuang limbah cairnya langsung ke sungai.”
Lalu ketua tim prokasi Asrul Tohar memanggil pemilik pabrik dan meminta stafnya agar menggusur pabrik yang tetap membandel. Seruan penggusuran pabrik karet itu disambut aksi unjuk rasa para buruh pabrik. Pak Gubernur Abdul Sata, yang kebetulan rumahnya di seberang jalan menghadap ke sungai Batanghari itu, mulai ragu. Obsesi penanaman patin jambal dan proyek Prokasi yang dananya dibiayai APBD itu, akhirnya mengambang.
Along tersenyum mendengar cerita Diman.
“Jadi gara-gara melihat sungai di Vietnam, Pak Gubernur kepengen nyontek, lalu lupa jika program patin jambal itu bertabrakan dengan program peremajaan karet, begitu kan?”
“Betul!”
“Jadi sekarang?”
“Mengambang alias dak jelas!” tegas Diman sambil tersenyum.
“Dari kondisi itu, cak mano sikap ketua tim Prokasi yang merangkap wartawan Kampas itu?”
“Ya..ikut tiarap. Tetapi tetap bae mengawal dari jauh!”
“Kok, istilahnya mengawal?”
“Maksudku, tetap bae dio ado di belakang Pak Gubernur!”
“O, cak itu! Program peremajaan karet dewek cak mano?” tanya Along.
“Idak jugo berhasil nian! Bahkan ado beberapo kabupaten gagal!” tegas Diman.
Along berpendapat, sebetulnya tidak ada masalah soal program Prokasi tersebut. Tetapi yang menjadi biang persoalan, Pak Gubernur tidak tahu kalau progarm tersebut berenturan dengan program karet.
“Dim, itu perkantoran siapo?” Along menoleh ke sebelah kanan dari warung.
“Yang mano? Yang dekat perahu motor lagi jalan itu?”
“Ya.”
“Bukan kantor. Itu pertokoan Ramayana.”
“Alangke jauh bangunan-nyo menjorok melewati bantaran sungai? Kau jingok garis lurus dari sini, Dim!”
“Nah! Long, kau jingok dewek gawean pemda di sini!” Diman kembali tersenyum.
“Ai..lah buto galo mato wong sini! Gawat nian!”
“Bukan buto, Long! Tapi icak-icak buto!” tegas Diman. “Padahal dak jauh dari situ, ado rumah dinas gubernur.”
Along spontan tertawa-tawa mendengar ucapan terakhir Diman. Begitu pun Ayung, yang sedari tadi hanya mendengar, tertawa terpingkal-pingkal mengimbangi majikan. Mata sipit keduanya terlihat semakin sempit.

Tidak ada komentar: