Orang hidup dalam dua pilihan di antara seks yang terbangun
dari kekalahan dan kemenangan. Lastri tidak melihat dirinya seperti malaikat.
Meski ia memiliki kesadaran untuk menjadi dirinya sendiri.
Rumah panggung tua di ujung gang itu, cukup sibuk menjelang subuh. Baya dan Umar, biasanya melepaskan kantuk dan dingin laut di atas kursi kayu yang lebar, cukup untuk bersantai atau tidur. Mereka bergumul membuang kebosanan hidup di antara meja dan kursi kayu yang kaki-kakinya mulai lelah. Lalu mandi dan membersihkan diri di atas sajadah.
Suami isteri ini hanya bisa menumpahkan kebutuhan seks subuh itu, saat kedua anaknya masih tertidur pulas di kamar tidur. Kamar itu berhadapan dengan ruang tamu merangkap ruang makan. Kursi kayu yang setia berdiri menyangga keduanya bercinta.
Dari seonggok kursi tua itu pula Baya dan Umar membangun imajinasi seks yang lain. Mereka turun naik berjelajah sampai ke kaki-kaki kursi. Persis sebuah teater yang tengah berkelahi dengan ribuan teks. Meninggalkan biografi kesadaran lama, dan membangun imajinasi baru.
Orang miskin ternyata tak butuh waktu lama untuk mencapai orgasme. Hanya dalam hitungan menit, Baya dan Umar membahagiakan diri mereka. Dan ini cinta. Mereka tidak mau terjebak dalam reproduksi kenikmatan. Bisa saja karena Baya adalah putri seorang sosialis yang membenci pasar dan industri. Meski orangtuanya keluarga mampu, tetepai sejak kecil Baya diajarkan hidup sederhana. Menghargai orang-orang miskin. Kendati kemudian, setelah berkeluarga, kondisi ekonomi Baya dan suaminya menjadi bagian dari keluarga yang tidak mampu.
Sebagai perempuan yang lahir dalam budaya timur, Baya tak memiliki kemampuan mengeja diksi-diksi kebebasan kaum liberal tentang pilihan seks seperti warna gaun tidur, syal, bra dan celana dalam dan stoking hitam, parfum, serta juntaian asesoris perhiasan yang melilit tangan dan leher perempuan negeri sana.
Mungkin obsesi biologis isteri buruh nelayan ini pada suatu waktu akan lebih sederhana. Sehingga selembar kain sarung pun dapat membangun imaji apa saja di hadapan suaminya. Apa lagi Umar tidak banyak menuntut. Baya tak bisa membisikkan bunga, menyusun bahasa pujian, atau mengejakan sebuah kata indah, sebelum menuju perhelatan di atas kursi tua itu.
Usai melakukan ritual subuh, Umar beranjak pergi dengan perahu kecil ke bagan tancap tempatnya bekerja. Tidak lama lagi masuk bulan purnama. Ia yakin purnama kali ini hasil tangkapan ikan lebih banyak dari sebelumnya.
Baya membereskan rumah dan mencuci pakaian, kemudian memasak kue dan gorengan yang akan dijualnya berkeliling pagi itu. Kesibukan rumah petak kecil ini menjelang subuh, sudah rutin dan tertandai tetangga sekitar rumahnya.
Ketika matahari muncul dari belakang rumahnya, Baya sudah keluar berkeliling menjajakan gorengan kue dan penganan sarapan pagi. Suaranya cukup merdu dibawa udara pagi yang berhembus dari perairan Teluk Lampung. Postur tubuh wanita ini masih enak dipandang meski sudah dua kali melahirkan.
Di antara gang sempit, rumah yang terlihat kumuh dan tua, Baya bagai bidadari pagi yang muncul dari cahaya fajar. Ia menapaki jalan papan diapit kanan kiri rumah nelayan yang tak rapi dan bau amis ikan.
“Kue! Nasi uduk..pisang goreng!”
Suara teriakan Baya menyusuri rumah-rumah di perkampungan nelayan. Warga sekitar Gudang lelang hingga ke Gudang Agen sudah hafal dengan suara itu. Sebagian pembeli belanja karena memang merasakan enaknya kue dan sarapan pagi buatan Baya. Sebagian lagi belanja karena ingin menikmati sosok Baya dengan bau sabun yang khas di tubuhnya. Mereka belanja sekaligus sambil menggodanya. Terkadang ada yang nekat memegang lengan perempuan berkulit putih bersih itu. Baya tidak marah. Ia hanya tersenyum, sambil menegur sopan.
Salah satu pelanggan kue Baya adalah Boni dan Lastri. Baya biasanya menghampiri rumah majikan suaminya itu agak siang setelah keliling sejumlah gang di kawasan Gudang Lelang, Ujungboom, sampai ke Gudang Agen, Telukbetung Barat. Boni biasa bangun siang. Sedangkan Lastri, ketika Baya datang, kadang masih di rumah kadang sudah pergi kerja.
Di rumah majikannya, selain menyiapkan kue jualannya, Baya sekaligus membantu Lastri merapikan rumah. Mencuci pakaian, memasak, dan apa saja yang bisa ia dikerjakan.
Lastri tidak sempat mengurus rumah karena waktunya banyak tersita untuk mengurus usaha Boni. Sebelum suaminya bangun, Lastri sering sudah berangkat kerja. Ia sengaja tidak mempekerjakan pembantu, karena kehadiran Baya sudah cukup meringankan urusan rumahnya. Alasan lain, Lastri dan Boni tidak mudah percaya dengan orang lain.
Rumah Boni terbilang mewah ukuran warga sekitarnya. Berada di ujung gang Baruna menghadap ke laut. Rumahnya agak terpisah dari rumah warga sekitar.
Arsitektur rumah Boni berciri khas rumah panggung sentuhan modern itu, berdiri di atas lahan sekitar setengah hektare di pagar tembok keliling.
Semasa mendiang orangtuanya, bentuk khas rumah panggung Lampung Pesisir atau Saibatin masih dipertahankan. Bapak Boni membeli rumah warisan itu dari seorang tokoh adat di Pakuon Ratu, Telukbetung.
Menurut cerita, dulunya rumah itu milik salah seorang punyimbang adat di Gudang Agen. Masyarakat Lampung Saibatin menyebut rumah adalah lamban.
Rumah panggung terbagi dua yakni, rumah kepala adat atau punyimbang adat, dan rumah masyarakat biasa. Rumah panggung yang ditempati Boni dikenal warga rumah kepala adat, dulu disebut Lamban Balak atau rumah besar. Sedangkan rumah tempat pertemuan keluarga disebut Nuwo Balak, dan sesat berupa aula tempat masyarakat adat berkumpul atau beracara.
Rumah beserta ragam hiasannya, bagi masyarakat Lampung, selain berfungsi tempat berteduh dan menambah keindahan, juga mengandung filosofi, nilai-nilai kehidupan, adat kebiasaan, pandangan hidup, norma, tatanan nilai, sekaligus pesan moral bagi para penghuni serta para kerabatnya. Dengan pemahaman demikian, arsitektur tradisional Lampung banyak menggambarkan kebudayaan masyarakat Lampung.
Seperti umumnya bangunan di kawasan hutan tropis, rumah tradisional Lampung banyak memanfaatkan produk hutan berupa kayu sebagai bahan baku. Ragam hiasnya juga berupa flora, fauna, dan alam sekitarnya. Karena kondisi alam, bangunan tradisional masyarakat Lampung umumnya berupa panggung untuk menghindari hewan liar serta beratap miring agar air hujan cepat meluncur ke sekitar bangunan.
Melihat arsitekturnya, rumah Boni dibangun sekitar tahun 1930-an, sehingga bentuk sangat menyolok dari rumah Lampung periode tahun 1900-an, yakni berbentuk segi empat dan beratap ijuk, sedikit jendela, dan tidak memiliki beranda. Rumah periode 1900-an disebut kekopni lamban atau pemugungan. Rumah semacam ini terdapat di Kenali dan Liwa, Kabupaten Lampung Barat.
Periode tahun 1930-an, atap ijuk mulai diganti seng dan genting. Harga lada yang tinggi membuat masyarakat Lampung mampu membuat rumah lebih besar. Bahkan mendatangkan genting atau seng dari luar Lampung. Tenaga tukang didatangkan dari Meranjat, Sumatera Selatan. Plafon rumah banyak berubah menjadi limas atau pamugung sayung. Bumbungan rumah limas pengaruh dari rumah panggung di Meranjat, Sumatera Selatan. Rumah semacam ini tersebar hampir di seluruh Lampung.
Meski telah direnovasi bagian bawahnya atau bah lamban menjadi semen beton, namun tipologi rumah panggung Boni berbentuk segi empat panjang pesagi atau mahanyukan masih terlihat bentuk asli yang sengaja dipertahankan. Hanya di bagian samping kiri agak ke depan, dibuat tambahan atap bertingkat, dengan dinding papan dan jendela ukuran cukup luas. Tambahan semi bertingkat itu dimaksudkan agar memberi keleluasaan pandangan dari balkon ruang tengah rumahnya bisa melihat panorama laut lebih luas.
Rumah Boni disebut bangkok karena melebar menghadap jalan. Di halaman samping kanan rumahnya ada tempat lapangan penjemuran dan gudang. Sedangkan di sebelah kanan halaman rumah dibangun kamar tidur tamu yang bersebelahan garasi mobil. Di garasi besar itu ada tiga mobil, satu mobil sedan Lastri dan dua mobil jip milik Boni.
Rumah Boni tidak jauh dari lokasi pantai yang telah diuruk menjadi areal reklamasi PT. Bumisegar milik pengusaha dari Palembang, Cek Din. Sejak proyek pengurukan pantai itu bermasalah, dan Cek Din meninggal dunia, bangunan gudang untuk menyimpan barang dan parkir alat berat seperti eskavator, greeder, dan fibro, di areal itu, sempat terlantar. Kegiatan reklamasi pantai, dilanjutkan perusahaan lain, seijin pemda kota. Penimbunan pesisir laut itu hampir mengubur seluruh pantai di Telukbetung.
Baya biasanya pulang ke rumah menjelang beduk Dzuhur. Ia meninggalkan rumah majikannya itu, tidak lama setelah Boni bangun tidur. Layaknya seorang pembantu dengan majikan, Baya menyiapkan kopi dan kue pukis dan lapis ketan yang disukai Boni. Kadangkala Baya merasa risih dengan pelayanan yang diberikannya kepada Boni. Ia merasa tidak pantas ada berdua dalam rumah itu tanpa Lastri, isteri majikannya.
Sulit bagi Baya untuk tidak memilah-milah antara ketidakpantasan dengan kekeluargaan. Apalagi Baya cukup memahami tabiat Boni yang suka usil dengan perempuan terutama isteri orang. Tetapi keberadaan Baya dan suaminya yang bekerja dengan Boni, menepiskan ketidakpantasan itu. Baya mau tidak mau mengubah hal-hal yang kurang wajar menjadi wajar-wajar saja. Selagi masih dalam batasan moral dan agama.
Beberapa kali Boni mencoba merayu bahkan menyentuh tubuh Baya. Tetapi sejauh ini Baya masih bisa menjaga diri dan memberikan pengertian secara halus kepada majikan suaminya itu. Ia tetap berlaku sopan untuk menjaga agar Boni tidak tersinggung. Biasanya Boni dapat menerima dan sadar apa yang dilakukannya.
“Maaf.”
“Saya mengerti, Pak,” jawab Baya sembari menjauh dari Boni.
“Kamu paham apa yang menjadi kegelisahanku. Tetapi, ya..sudahlah!”
“Maafkan saya, Pak,” sahut Baya.
Setiap pamit pulang, Boni memberi uang. Tetapi Baya selalu mencari alasan untuk menolak.
“Jangan ditolak, uang ini untuk Lina dan Gofur,” desak Boni.
Di benak Baya uang pemberian Boni sangat membantu kebutuhan keluarganya. Namun Baya tidak mau merusak rumah tangga Boni dan Lastri. Baya sangat menaruh hormat kepada Lastri. Apalagi Lastri sangat baik memperlakukan suami dan keluarganya.
Jika waktu senggang Lastri sering berkunjung ke rumahnya. Selalu memberi sesuatu. Membelikan baju atau peralatan sekolah kedua anaknya.
Baya jadi tidak enak atas kebaikan Lastri. Ia tidak tahu apakah sikap Lastri itu lebih kepada kompensasi karena belum dikarunia anak.
Lastri memperlakukan Lina dan Gofur seperti anaknya sendiri. Bila hari minggu, Lina dan Gofur kerapkali diajak main ke rumah mereka.
Setahu Baya, baik Boni dan Lastri tidak ada masalah secara medis sehingga mereka belum mendapatkan keturunan. Keduanya terlihat sehat. Bahkan Lastri pernah bercerita bahwa ia sempat hamil, namun mengalami keguguran saat kandungannya berusia dua bulan.
Penuturan Lastri bisa saja benar, namun bisa juga untuk menghibur diri sendiri, sambil menutupi kekurangannya.
Boni pernah kawin dengan perempuan lain di kampungnya, namun gagal mempunyai anak, lalu bercerai tanpa sebab yang jelas.
“Keluargaku menyarankan kami berobat alternatif, tapi Boni selalu keberatan. Ia tidak percaya kepada hal-hal mistik dan tak masuk akal,” kata Lastri suatu hari.
“Maaf Mbak, ada keinginan untuk ngadopsi anak?” tanya Baya hati-hati.
“Sudah aku sampaikan. Tetapi Boni tidak setuju, mungkin ia takut dikatakan mandul,” jelas Lastri sangat lepas.
Baya tak berani menanggapi lebih jauh, ia takut salah ucap. Ia hanya diam, namun Lastri juga diam. Beberapa saat keduanya seperti terpaku.
Wajah Lastri terlihat gusar. Ia lambungkan matanya ke panggar, langit-langit atu plafon rumah yang menyerupai resi. Suasana ruang tengah tempat biasa ibu-ibu kumpul arisan atau lapang lom mendadak hening. Baya kikuk, ia buang pandangan ke samping kanan ruang lapang alom. Ada dua kamar tidur atau kebik yang menjadi bagian antara dari ruang lapang lom itu dengan lapang luar ke arah serambi atau beranda depan atau tepas rumah panggung itu.
“Lelaki egois!” sentak Lastri.
“Mereka menganggap dirinya makhluk paling agung di muka bumi. Aku tidak tahu apakah Tuhan juga berkelamin laki-laki ?” gugat Lastri.
Baya hanya mendengarkan caci maki Lastri, sembari membersihkan kaki meja. Entah, kesepakatan apa yang dibuat orang-orang dahulu, ketika perempuan dilamar dalam usia belum mencapai pubertas.
Lastri mempertanyakan kembali alasan mendasar pembatasan ras, adat, agama, dan kewarganegaraan, jika pada akhirnya menjadi pembenaran negara untuk mengesahkan manusia berkelamin laki-laki berkuasa.
Lastri tiba-tiba berubah seperti perisai perempuan. Baya berusaha mengartikan maksud pembicaraan Lastri. Kendati belum tahu kemana arahnya.
Lastri melihat kehamilan merupakan bagian pengakuan tanggungjawab bersama laki-laki dan perempuan.
“Sudah 13 tahun aku disia-siakan. Aku berpikir, apakah masih ada laki-laki dalam rumah ini. Bertahun-tahun aku sendirian mengurus rumah dan usaha suami. Aku dipaksa memikul beban ganda. Pikiranku terkuras untuk mempertahankan rumah tangga ini. Tetapi, apa yang ku dapat? ”
“Sabar, Mbak. Ini ujian.”
Hanya itu yang dapat diucapkan Baya. Di balik sikap lembut dan perhatian, ternyata Lastri memiliki pandangan dan kesadaran yang kuat tentang kesetaraan hak-hak perempuan dan laki-laki. Mungkin pengalaman, jam terbang, serta pergaulan bisnisnya membuat ia lebih kritis dan mapan bersikap.
Lastri menginterogasi dirinya sendiri atas sentimen kelamin antarmanusia. Ia berpikir mampu mengintegrasikan beragam perbedaan lelaki dengan perempuan, dalam satu kesepakatan.
Orang hidup dalam dua pilihan di antara seks yang terbangun dari kekalahan dan kemenangan. Lastri tidak melihat dirinya seperti malaikat. Meski Ia memiliki kesadaran untuk menjadi dirinya sendiri.
Begitu banyak perempuan terkalahkan oleh setetes sperma yang dikeluarkan oleh lelaki berjiwa kotor dan menjijikkan. Tetapi cinta dan sebongkah kesetiaan purba, mendorong para perempuan masuk ke ruang gelap. Agama menjadi liberal. Mereka merangkak dan berharap ada yang menuntunnya sampai bertemu cahaya pemandu keluar dari berbagai persoalan. Bagi perempuan liberal, kebebasan dan poligami tidak ada kaitan dengan etika dan aturan perkawinan yang dibuat negara. .
Sebagai muslim dan perempuan Timur, Lastri membaca kebebasan adalah bentuk perlawanan terhadap akidah dan norma agama. Sehingga ia selalu kalah. Selalu patuh perintah suaminya, termasuk bercinta. Ia tak pernah berani menolak permintaan seks suaminya. Atau melarang suaminya berbuat apa saja. Lastri membaca kebebasan adalah bentuk pemberontakan. Dan ia tersiksa. Sekarat dalam bingkai anatomi sejarah dan tradisi budaya leluhurnya. Ia taklukkan progresifitas dirinya dengan kesetiaan.
“Entahlah...Mengapa aku menyukai Boni dengan segala kesalahan yang diperbuatnya,” ucap Lastri sembari merapikan kain taplak meja batu, tempat ia dan Baya bicara berhadap-hadapan.
“Ada kesewenangan di rumah ini,” suara Lastri kembali meninggi.
“Saya tetap yakin, Boni sangat sayang kepada Mbak Lastri,” pancing Baya.
“Karena itu ia menyiksaku!”
“Maksudnya?”
“Cinta, kasih sayang, serta ungkapan lainnya, adalah siasat Boni untuk menguasai dan menindas aku!”
“Mbak pernah dipukul atau diperlakukan kasar?”
Lastri menggeleng. “Tetapi kamu harus paham, kekerasan yang aku ributkan sejak tadi bukan kekerasan fisik. Tapi tekanan batin yang keterlaluan.”
“Mungkin, Pak Boni mengganggap Mbak terlalu banyak menuntut.”
“Apa?” Lastri agak kaget mendengar ucapan Baya itu.
“E..e, maaf. Maksud saya, Mbak dan Pak Boni butuh suasana baru.”
“Aku tidak mengerti maksudmu?”
“E, maksud saya, mungkin perlu jalan-jalan, berwisata atau mencari hiburan. Jangan terlalu disibukkan oleh pekerjaan,” kata Baya meredakan emosi Lastri.
“Apa yang kamu bilang sudah aku sampaikan dari dulu. Ia selalu mengelak dengan alasan macam-macam.”
Lastri terdiam. Ia tak sanggup menahan air matanya. Raut muka perempuan itu seperti mengungkapkan kekecewaan mendalam. Lebih sekedar 13 tahun penantian. Orang sulit berhitung waktu, ketika harapan sudah terkandaskan. Hati perempuan memang tak sekeras laki-laki. Barangkali itulah hakikat penandaan identitasnya. Ada keterbatasan lahiriah.
Sembari mengusapkan sapu tangan ke wajahnya yang sembab, Lastri bergegas ke kamar tidur, lalu keluar membawa tas dan kunci mobil.
“Siang ini aku ada janji,” ujarnya sembari meninggalkan uang belanja di atas meja.
Baya masih tertegun menatap Lastri pergi melalui geragal atau jerambah yang berfungsi sebagai penghubung antara rumah dan dapur atau pawon. Bentuknya seperti lorong atau koridor yang atapnya hampir sejajar dengan ruang dapur. Pelan-pelan Lastri menghilang dari pandangan Baya.
Baya masih menatap ujung geragal, sebagai suami orang Lampung pesisir. Baya paham bahwa rumah yang memiliki geragal adalah rumah penyimbang adat atau warga masyarakat yang terpandang. Baya kemudian menuju ke bagian belakang rumah merapikan dapur.
Rabu, 26 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar