Umar terhenyak melihat perubahan mendadak perilaku Lastri. Ia belum siap menyikapinya.
Umar berada di antara ketertindasan dan keinginan mereguk kenikmatan
dari situasi yang tengah berlangsung di hadapannya.
Lastri kembali terpaku di gazebo kecil Restoran Moroseneng. Kedua tangannya bertumpu di atas meja makan menopang dagu. Ekspresi wajah Lastri kosong. Umar tidak bereaksi. Ia sedang menimbang-nimbang kalimat apa yang akan terucap dari bibir perempuan itu. Kemudian jawaban apa yang akan disiapkannya.
Lastri lalu menoleh ke samping kiri menatap Umar. Matanya masih kosong. Raut wajahnya seakan memberitahukan sebuah penderitaan panjang. Kedua tangan itu masih menyangga dagunya. Ia tak bergeming sedikit pun menatap Umar. “Wajah itu tetap cantik meski dibingkai kesedihan,” bisik Umar ke batinnya. Ekspresi Lastri tetap saja kosong. Tanpa sepotong kata, atau sedikit perubahan suasana di wajahnya.
Umar kembali dijinakkan suasana. Ia mulai berani merapatkan tubuhnya ke samping Lastri. Bagai seorang bapak kepada anak, tangan kanan Umar mengelus lembut punggung Lastri. Tidak ada reaksi atau bahasa tubuh dari Lastri atas sentuhan lembut itu. Umar menjadi risih sendiri. Segera ia tarik tangannya dan menggeser tubuhnya yang telah merapat ke pinggang Lastri. Tetapi dengan sigapnya, tangan Lastri menahan tangan Umar. Ia menempelkan kembali tangan yang terlihat bergetar itu ke punggungnya, sembari merebahkan wajahnya ke dada Umar. Sudah hampir dua jam mereka di restoran itu.
“Sebentar lagi sore, kita harus pulang,” bisik Umar pelan ke telinga isteri Lastri. Lastri tidak menjawab. Ia begitu nyaman merebahkan wajahnya ke dada bidang buruh nelayan itu. Umar tak bisa apa-apa. Ia sengaja menempatkan dirinya sebagai buruh yang tentunya menurut apa perintah majikan. Hidungnya lalu ditempelkannya ke rambut Lastri. Diam-diam Umar mencuri kenikmatan lain dari aroma hairtonic di rambut majikannya.
Sementara Lastri kian menyurukkan mukanya ke dada Umar. Tangannya menggeletak di paha Umar yang tertutup pandang oleh meja makan restoran itu. Lastri seperti tak peduli kalau ada orang lain melihat mereka. Suasana itu seakan berkolerasi dengan posisi mereka yang terhalang tanaman pergola yang merayap dari bawah sampai ke atap gazebo. Mereka bisa lebih dulu melihat orang datang atau melintasi mereka.
“Mengapa kamu mengajak pulang?”
“Kita sudah terlalu lama di sini,” jawab Umar pendek saja.
“Memangnya kenapa? Kamu tidak betah berdua denganku?”
“Bukan begitu, Mbak. Lepas Magrib saya harus ke bagan. Sekarang ‘kan sedang purnama.”
“Aku yang mengatur kamu kerja, Mar!” tegas Lastri.
“Iiya..Mbak,” Umar sadar. Ia mencoba lepas dari dekapan Lastri. Tetapi sang majikan tetap menahannya.
“Kamu harus mengerti, siapa dirimu. Nasib keluargamu bukan di tangan Boni! tetapi ada di tanganku!” kata Lastri meninggi.
“Iya..Mbak.” Umar membiarkan dadanya menyangga wajah majikan.
“Artinya, kamu harus mendengarkan aku bukan Boni atau orang lain! Paham?”
“Pa..pa..paham, Mbak.”
“Bagus! Sekarang aku butuh kamu. Aku yang mengatur kapan kita harus pulang!”
“Ya, Mbak.”
Umar terhenyak melihat perubahan mendadak perilaku Lastri. Ia belum siap menyikapinya. Umar berada di antara ketertindasan dan keinginan mereguk kenikmatan dari situasi yang tengah berlangsung di hadapannya. Ia merasa kehilangan harga dirinya, tetapi ia mendapatkan kebanggaan lain di antara kebutuhan fisik dan psikis sang majikan.
Umar membiarkan dirinya seperti seekor keledai yang ditusuk hidungnya oleh sang majikan. Karena ia tak butuh lagi pertentangan kelas sebagai seorang buruh. Ia sakiti dirinya bahkan keluarganya, untuk mendapatkan kesejajaran kelas dengan sang penguasa dirinya, Lastri. “Tidak ada yang merugikan dan dirugikan,” bela Umar kepada dirinya. Maka ia biarkan tangan kecil halus itu berkeliaran di atas pahanya. Karena ia pun menikmatinya.
Beberapa saat setelah membayar ke kasir, Lastri menarik tangan Umar ke pinggangnya. Mereka meninggalkan restoran. Sore itu, kedua buruh dan majikan itu, seakan lupa arah jalan menuju pulang ke rumah.
Minggu, 30 November 2008
Sabtu, 29 November 2008
10
“Jangan khawatir, Pak Along. Sebentar lagi anak buahku akan menemui Rohan.
Kalau preman tengik itu macam-macam, kita tangkap! ” jawab si perwira polisi dari
Ujung telpon untuk meyakinkan Along.
“Minumlah air hangat ini,” ujar Ayung kepada lelaki yang masih tergeletak di ranjang kamar kontrakan itu. Ia lalu bangkit dan mengikuti saran Ayung. Sambil duduk pelan-pelan ia habiskan air hangat kuku dalam cangkir itu. Kondisinya terlihat mulai membaik. Matanya menengok ke kanan dan kiri kamar, tetapi masih sedikit kebingungan. Lelaki itu tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, sekujur tubuh terasa pegal dan sakit.
“Tadi malam Ko Along mabuk dan jatuh di karaoke,” kata Ayung. “Koko diantar Rohan dan Satpam karoke hingga sampai ke rumah. Mereka menemukan tempat ini setelah memeriksa KTP di dompet Ko Along,” jelasnya.
Begitu mendengar penjelasan Ayung, spontan sambil menahan nyeri di tangan dan kakinya, Along merogoh saku belakang celananya.
“Kemana dompet saya,” sentaknya menatap Ayung.
“Ada di Rohan. Tadi pagi ia menghubungi saya lewat telpon tetangga. Saya ke sini karena diberitahu Rohan.”
Along hanya terpaku diam. Ia tahu siapa Rohan. Uang kiriman Mei Hwa semuanya ada di dompet itu. Termasuk cek pembayaran obat suplemen yang akan dicairkannya dua hari lagi. Along lalu meraih telpon selularnya. Ia bergegas me-ngontak Saiful, pendekar silat dari perguruan Macan Loreng, yang selama ini diandalkannya setiap ada masalah.
“Pokoknya saya tahu semua uang dan cek giro dalam dompet itu aman!” tekan Along kepada Saiful. Along juga menelpon dua orang pejabat polisi dan tentara, kawan bisnis Mei Hwa di Lampung. Along meminta tolong mereka membantu menjinakkan Rohan, yang dikenal sebagai preman yang disegani di kawasan Sukaraja, Telukbetung Selatan.
“Jangan khawatir, Pak Along. Sebentar lagi anak buahku akan menemui Rohan. Kalau preman tengik itu macam-macam, kita tangkap! ” jawab si perwira polisi dari ujung telpon untuk meyakinkan Along.
“Sebaiknya, Ko Along istirahat dulu. Nanti sore saya temani mengurut ke engkong saya, salah seorang tabib di Gedong Air,” ujar Ayung.
“Masalah dompet biarlah Kang Saiful dan anak buahnya yang mengurus ke Rohan,” tambah Ayung sembari memberesi kamar Along yang berantakan.
“Yung, yang saya pikirkan bukan uang di dompet, tetapi cek yang bernilai puluhan juta hasil penjualan obat.”
“Soal lecet-lecet, terkilir, dan nyeri ini,” lanjut Along, “dapat disembuhkan dengan obat tradisional kita.”
Ayung tidak menanggapi ucapan Along. Ia tahu, nyeri yang dirasakan Along karena tangan kanan dan tulang betis kakinya terkilir. Engkongnya di Gedong Air memiliki keahlian menyembuhkan tulang yang terkilir atau patah.
Ayung baru tiga bulan bekerja dengan Along. Ia menjadi kernet sesekali merang-kap sopir mobil box Along. Setiap hari ia dan Along menyalurkan obat China ke pelosok kabupaten dan kota di Lampung. Bahkan sampai ke lintas tengah, Martapura yang berbatasan Way Kanan, Lampung. Sedangkan ke arah lintas barat mereka menditribusikan obat-obatannya dari Krui hingga daerah Kaur di perbatasan Bengkulu Selatan dengan Lampung Barat.
Mei Hwa juga sedang dipercaya untuk mengkondisikan berdirinya kantor cabang. Along sering diminta Mei Hwa mewakili bertemu dengan teman jaringan pemasarannya di Jambi. Juga kalau ada kegiatan prospek dengan para calon peserta bisnis sistim multi level marketing ini.
“Yung, cari tempat parkir yang nyaman. Kita istirahat dulu di pinggir sungai ini,” kata Along, usai memasok barang ke stokis di Jambi. Ayung sedikit meminggirkan laju mobilnya. Baru saja mereka melintasi rumah dinas Gubernur Jambi Abdul Sata, yang berada di muka seberang jalan sungai Batanghari.
“Nah di situ! Yang ado kedai-nyo!” tunjuk Diman kawan akrab Along di Jambi.
“Ado apo, Jo? Tumben, kepengen nyingok sungai?” tanya Diman kepada Along.
“Entahlah, aku spontan bae ingin melihat sungai Batanghari,” jawab Along sambil berjalan menuju salah satu bangku papan di salah satu warung minum.
“Teh botol dingin, Mbak!” sergahnya kepada pemilik warung.
“Apo yang biso kau ceritoke, Dim. Dari bantaran sungai yang sudah ditimbun beton ini?” tanya Along memancing percakapan Diman dengan sungai yang terlihat airnya keruh kecoklatan.
“Maksudmu?”
“Ya, kamu ‘kan wartawan. Pasti punyo cerito apo bae yang dilakukan pemda terhadap sungai yang kotor kecoklatan ini?”
Diman tidak manjawab. Ia hanya tersenyum-senyum. Ayung menghampiri mereka dan menyodorkan dua bungkus rokok untuk Along dan Diman.
“Sebetul-nyo ado yang menarik dan lucu, Long! Cubo kamu lihat ke ujung sano tuh!” kata Diman sambil tangannya menunjuk ke sebuah bangunan seperti pabrik yang berada di seberang sungai.
“Itu pabrik karet, Long. Ada puluhan pabrik karet di pesisir sungai Batanghari ini,” ujar Diman memulai cerita.
“Maksudmu limbah pabrik?” Along coba menebak.
“Soal limbah kagek dululah. Masalah yang lagi mencuat sekarang ini, puluhan pabrik karet yang menampung getah karet rakyat itu, akan digusur atas instruksi Gubernur Jambi, Abdul Sata.”
“Dua tahun lalu,” lanjut Diman, “Jambi memiliki program peremajaan karet bagi kebun karet yang getah-nyo tidak poduktif lagi. Peremajaan pohon karet ini disetujui masuk dana anggaran daerah atas kehendak Gubernur Abdul Sata.”
Suatu hari, lanjut Diman, Pak Abdul Sata berjalan-jalan ke Vietnam. Ia mampir di pesisir sungai Mekong. Sungai tersebut cukup bersih dan airnya jernih. Selain itu di sungai tersebut ditanam ribuan ikan patin jambal. Pak Gubernur terkagum-kagum. Ia berbisik dengan pejabat pemda lainnya yang ikut pelesiran itu.
“Di sungai kita sangat memungkinkan ditanam patin jambal, Pak,” ujar pejabat itu.
“Ya..betul. tapi ikan ini bisa hidup dan berkembang jika kondisi sungai bersih. Sebab patin jambal hidup di air jernih,” ujar Gubernur kepada yang lainnya. “Artinya kita harus dibersihkan dulu sungai kita! Baru kita tanam patin jambal,” ujar Abdul Sata bersemangat.
“Balek dari Vietnam, gubernur lalu melaporkan hasil kunjungannyo ke DPRD Jambi. Gagasan membuat program penanaman ikan “patin jambal” di Sungai Batanghari itu lalu disampekenyo ke wakil rakyat. Sebagian besak anggota dewan mendukung gagasan Pak Gubernur itu,” papar Diman.
Secara teknis, gubernur lalu menggulirkan program kali bersih atau disingkat Prokasi. Ketua Tim Prokasi ditunjuk seorang wartawan harian nasional Kampas yang bertugas di Jambi, Asrul Tohar. Asrul adalah salah satu wartawan di Jambi yang dekat dengan Gubernur Abdul Sata.
“Apo sudah jalan, Dim. Ngapo sungainya masih kotor?” tanya Along sembari menyedot teh botolnya.
“Itulah lucunya, Long! Pak Gubernur lupa, kalau ada program peremajaan karet. Sementara puluhan pabrik karet di pesisir sungai perintahnya harus di relokasi atau digusur! Karena berpotensi membuang limbah cairnya langsung ke sungai.”
Lalu ketua tim prokasi Asrul Tohar memanggil pemilik pabrik dan meminta stafnya agar menggusur pabrik yang tetap membandel. Seruan penggusuran pabrik karet itu disambut aksi unjuk rasa para buruh pabrik. Pak Gubernur Abdul Sata, yang kebetulan rumahnya di seberang jalan menghadap ke sungai Batanghari itu, mulai ragu. Obsesi penanaman patin jambal dan proyek Prokasi yang dananya dibiayai APBD itu, akhirnya mengambang.
Along tersenyum mendengar cerita Diman.
“Jadi gara-gara melihat sungai di Vietnam, Pak Gubernur kepengen nyontek, lalu lupa jika program patin jambal itu bertabrakan dengan program peremajaan karet, begitu kan?”
“Betul!”
“Jadi sekarang?”
“Mengambang alias dak jelas!” tegas Diman sambil tersenyum.
“Dari kondisi itu, cak mano sikap ketua tim Prokasi yang merangkap wartawan Kampas itu?”
“Ya..ikut tiarap. Tetapi tetap bae mengawal dari jauh!”
“Kok, istilahnya mengawal?”
“Maksudku, tetap bae dio ado di belakang Pak Gubernur!”
“O, cak itu! Program peremajaan karet dewek cak mano?” tanya Along.
“Idak jugo berhasil nian! Bahkan ado beberapo kabupaten gagal!” tegas Diman.
Along berpendapat, sebetulnya tidak ada masalah soal program Prokasi tersebut. Tetapi yang menjadi biang persoalan, Pak Gubernur tidak tahu kalau progarm tersebut berenturan dengan program karet.
“Dim, itu perkantoran siapo?” Along menoleh ke sebelah kanan dari warung.
“Yang mano? Yang dekat perahu motor lagi jalan itu?”
“Ya.”
“Bukan kantor. Itu pertokoan Ramayana.”
“Alangke jauh bangunan-nyo menjorok melewati bantaran sungai? Kau jingok garis lurus dari sini, Dim!”
“Nah! Long, kau jingok dewek gawean pemda di sini!” Diman kembali tersenyum.
“Ai..lah buto galo mato wong sini! Gawat nian!”
“Bukan buto, Long! Tapi icak-icak buto!” tegas Diman. “Padahal dak jauh dari situ, ado rumah dinas gubernur.”
Along spontan tertawa-tawa mendengar ucapan terakhir Diman. Begitu pun Ayung, yang sedari tadi hanya mendengar, tertawa terpingkal-pingkal mengimbangi majikan. Mata sipit keduanya terlihat semakin sempit.
Kalau preman tengik itu macam-macam, kita tangkap! ” jawab si perwira polisi dari
Ujung telpon untuk meyakinkan Along.
“Minumlah air hangat ini,” ujar Ayung kepada lelaki yang masih tergeletak di ranjang kamar kontrakan itu. Ia lalu bangkit dan mengikuti saran Ayung. Sambil duduk pelan-pelan ia habiskan air hangat kuku dalam cangkir itu. Kondisinya terlihat mulai membaik. Matanya menengok ke kanan dan kiri kamar, tetapi masih sedikit kebingungan. Lelaki itu tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, sekujur tubuh terasa pegal dan sakit.
“Tadi malam Ko Along mabuk dan jatuh di karaoke,” kata Ayung. “Koko diantar Rohan dan Satpam karoke hingga sampai ke rumah. Mereka menemukan tempat ini setelah memeriksa KTP di dompet Ko Along,” jelasnya.
Begitu mendengar penjelasan Ayung, spontan sambil menahan nyeri di tangan dan kakinya, Along merogoh saku belakang celananya.
“Kemana dompet saya,” sentaknya menatap Ayung.
“Ada di Rohan. Tadi pagi ia menghubungi saya lewat telpon tetangga. Saya ke sini karena diberitahu Rohan.”
Along hanya terpaku diam. Ia tahu siapa Rohan. Uang kiriman Mei Hwa semuanya ada di dompet itu. Termasuk cek pembayaran obat suplemen yang akan dicairkannya dua hari lagi. Along lalu meraih telpon selularnya. Ia bergegas me-ngontak Saiful, pendekar silat dari perguruan Macan Loreng, yang selama ini diandalkannya setiap ada masalah.
“Pokoknya saya tahu semua uang dan cek giro dalam dompet itu aman!” tekan Along kepada Saiful. Along juga menelpon dua orang pejabat polisi dan tentara, kawan bisnis Mei Hwa di Lampung. Along meminta tolong mereka membantu menjinakkan Rohan, yang dikenal sebagai preman yang disegani di kawasan Sukaraja, Telukbetung Selatan.
“Jangan khawatir, Pak Along. Sebentar lagi anak buahku akan menemui Rohan. Kalau preman tengik itu macam-macam, kita tangkap! ” jawab si perwira polisi dari ujung telpon untuk meyakinkan Along.
“Sebaiknya, Ko Along istirahat dulu. Nanti sore saya temani mengurut ke engkong saya, salah seorang tabib di Gedong Air,” ujar Ayung.
“Masalah dompet biarlah Kang Saiful dan anak buahnya yang mengurus ke Rohan,” tambah Ayung sembari memberesi kamar Along yang berantakan.
“Yung, yang saya pikirkan bukan uang di dompet, tetapi cek yang bernilai puluhan juta hasil penjualan obat.”
“Soal lecet-lecet, terkilir, dan nyeri ini,” lanjut Along, “dapat disembuhkan dengan obat tradisional kita.”
Ayung tidak menanggapi ucapan Along. Ia tahu, nyeri yang dirasakan Along karena tangan kanan dan tulang betis kakinya terkilir. Engkongnya di Gedong Air memiliki keahlian menyembuhkan tulang yang terkilir atau patah.
Ayung baru tiga bulan bekerja dengan Along. Ia menjadi kernet sesekali merang-kap sopir mobil box Along. Setiap hari ia dan Along menyalurkan obat China ke pelosok kabupaten dan kota di Lampung. Bahkan sampai ke lintas tengah, Martapura yang berbatasan Way Kanan, Lampung. Sedangkan ke arah lintas barat mereka menditribusikan obat-obatannya dari Krui hingga daerah Kaur di perbatasan Bengkulu Selatan dengan Lampung Barat.
Mei Hwa juga sedang dipercaya untuk mengkondisikan berdirinya kantor cabang. Along sering diminta Mei Hwa mewakili bertemu dengan teman jaringan pemasarannya di Jambi. Juga kalau ada kegiatan prospek dengan para calon peserta bisnis sistim multi level marketing ini.
“Yung, cari tempat parkir yang nyaman. Kita istirahat dulu di pinggir sungai ini,” kata Along, usai memasok barang ke stokis di Jambi. Ayung sedikit meminggirkan laju mobilnya. Baru saja mereka melintasi rumah dinas Gubernur Jambi Abdul Sata, yang berada di muka seberang jalan sungai Batanghari.
“Nah di situ! Yang ado kedai-nyo!” tunjuk Diman kawan akrab Along di Jambi.
“Ado apo, Jo? Tumben, kepengen nyingok sungai?” tanya Diman kepada Along.
“Entahlah, aku spontan bae ingin melihat sungai Batanghari,” jawab Along sambil berjalan menuju salah satu bangku papan di salah satu warung minum.
“Teh botol dingin, Mbak!” sergahnya kepada pemilik warung.
“Apo yang biso kau ceritoke, Dim. Dari bantaran sungai yang sudah ditimbun beton ini?” tanya Along memancing percakapan Diman dengan sungai yang terlihat airnya keruh kecoklatan.
“Maksudmu?”
“Ya, kamu ‘kan wartawan. Pasti punyo cerito apo bae yang dilakukan pemda terhadap sungai yang kotor kecoklatan ini?”
Diman tidak manjawab. Ia hanya tersenyum-senyum. Ayung menghampiri mereka dan menyodorkan dua bungkus rokok untuk Along dan Diman.
“Sebetul-nyo ado yang menarik dan lucu, Long! Cubo kamu lihat ke ujung sano tuh!” kata Diman sambil tangannya menunjuk ke sebuah bangunan seperti pabrik yang berada di seberang sungai.
“Itu pabrik karet, Long. Ada puluhan pabrik karet di pesisir sungai Batanghari ini,” ujar Diman memulai cerita.
“Maksudmu limbah pabrik?” Along coba menebak.
“Soal limbah kagek dululah. Masalah yang lagi mencuat sekarang ini, puluhan pabrik karet yang menampung getah karet rakyat itu, akan digusur atas instruksi Gubernur Jambi, Abdul Sata.”
“Dua tahun lalu,” lanjut Diman, “Jambi memiliki program peremajaan karet bagi kebun karet yang getah-nyo tidak poduktif lagi. Peremajaan pohon karet ini disetujui masuk dana anggaran daerah atas kehendak Gubernur Abdul Sata.”
Suatu hari, lanjut Diman, Pak Abdul Sata berjalan-jalan ke Vietnam. Ia mampir di pesisir sungai Mekong. Sungai tersebut cukup bersih dan airnya jernih. Selain itu di sungai tersebut ditanam ribuan ikan patin jambal. Pak Gubernur terkagum-kagum. Ia berbisik dengan pejabat pemda lainnya yang ikut pelesiran itu.
“Di sungai kita sangat memungkinkan ditanam patin jambal, Pak,” ujar pejabat itu.
“Ya..betul. tapi ikan ini bisa hidup dan berkembang jika kondisi sungai bersih. Sebab patin jambal hidup di air jernih,” ujar Gubernur kepada yang lainnya. “Artinya kita harus dibersihkan dulu sungai kita! Baru kita tanam patin jambal,” ujar Abdul Sata bersemangat.
“Balek dari Vietnam, gubernur lalu melaporkan hasil kunjungannyo ke DPRD Jambi. Gagasan membuat program penanaman ikan “patin jambal” di Sungai Batanghari itu lalu disampekenyo ke wakil rakyat. Sebagian besak anggota dewan mendukung gagasan Pak Gubernur itu,” papar Diman.
Secara teknis, gubernur lalu menggulirkan program kali bersih atau disingkat Prokasi. Ketua Tim Prokasi ditunjuk seorang wartawan harian nasional Kampas yang bertugas di Jambi, Asrul Tohar. Asrul adalah salah satu wartawan di Jambi yang dekat dengan Gubernur Abdul Sata.
“Apo sudah jalan, Dim. Ngapo sungainya masih kotor?” tanya Along sembari menyedot teh botolnya.
“Itulah lucunya, Long! Pak Gubernur lupa, kalau ada program peremajaan karet. Sementara puluhan pabrik karet di pesisir sungai perintahnya harus di relokasi atau digusur! Karena berpotensi membuang limbah cairnya langsung ke sungai.”
Lalu ketua tim prokasi Asrul Tohar memanggil pemilik pabrik dan meminta stafnya agar menggusur pabrik yang tetap membandel. Seruan penggusuran pabrik karet itu disambut aksi unjuk rasa para buruh pabrik. Pak Gubernur Abdul Sata, yang kebetulan rumahnya di seberang jalan menghadap ke sungai Batanghari itu, mulai ragu. Obsesi penanaman patin jambal dan proyek Prokasi yang dananya dibiayai APBD itu, akhirnya mengambang.
Along tersenyum mendengar cerita Diman.
“Jadi gara-gara melihat sungai di Vietnam, Pak Gubernur kepengen nyontek, lalu lupa jika program patin jambal itu bertabrakan dengan program peremajaan karet, begitu kan?”
“Betul!”
“Jadi sekarang?”
“Mengambang alias dak jelas!” tegas Diman sambil tersenyum.
“Dari kondisi itu, cak mano sikap ketua tim Prokasi yang merangkap wartawan Kampas itu?”
“Ya..ikut tiarap. Tetapi tetap bae mengawal dari jauh!”
“Kok, istilahnya mengawal?”
“Maksudku, tetap bae dio ado di belakang Pak Gubernur!”
“O, cak itu! Program peremajaan karet dewek cak mano?” tanya Along.
“Idak jugo berhasil nian! Bahkan ado beberapo kabupaten gagal!” tegas Diman.
Along berpendapat, sebetulnya tidak ada masalah soal program Prokasi tersebut. Tetapi yang menjadi biang persoalan, Pak Gubernur tidak tahu kalau progarm tersebut berenturan dengan program karet.
“Dim, itu perkantoran siapo?” Along menoleh ke sebelah kanan dari warung.
“Yang mano? Yang dekat perahu motor lagi jalan itu?”
“Ya.”
“Bukan kantor. Itu pertokoan Ramayana.”
“Alangke jauh bangunan-nyo menjorok melewati bantaran sungai? Kau jingok garis lurus dari sini, Dim!”
“Nah! Long, kau jingok dewek gawean pemda di sini!” Diman kembali tersenyum.
“Ai..lah buto galo mato wong sini! Gawat nian!”
“Bukan buto, Long! Tapi icak-icak buto!” tegas Diman. “Padahal dak jauh dari situ, ado rumah dinas gubernur.”
Along spontan tertawa-tawa mendengar ucapan terakhir Diman. Begitu pun Ayung, yang sedari tadi hanya mendengar, tertawa terpingkal-pingkal mengimbangi majikan. Mata sipit keduanya terlihat semakin sempit.
Jumat, 28 November 2008
9
Dalam kondisi mabuk, Along melihat bumi berubah seekor lembuh. Berdaging gemuk dan segar. Malam itu, Along ingin menyantapnya dengan kerakusan. Sembari minum Shonghie, Vigour, atau Anggur Tuak. Along ingin pelesiran menemui amoy-amoy moyangnya.
Air toilet di WC kamar kontrakan Along, malam itu, berubah coklat. Tidak ada kemarahan berarti ketika puluhan batang gaharu yang dibakar mengepung lu-bang toiletnya. Along berdiri dan meng-enakan pakaian pengantin. Dalam 30 de-tik, bak mandinya membesar, bergerak memenuhi ruang WC-nya. Along terdesak ke ujung pintu. Kakinya menendang ke depan dan ke belakang, ke semua penjuru. “Aku mabok!” pekiknya. Sambil berdiri, ia berak ke semua pojok kamarnya.
Perenungan apa yang ada di diri Along, malam itu. Ia mabok. Ia kuasai Lina. Ia jelajahi imajinasi seks remaja lugu itu. Ia tipu Feng. Ia hamburkan uang isterinya. Ia khianati Mei. Ia telantarkan Erik. Dan waktu, betul-betul tak terduga. Along terlempar keluar WC kamarnya, menuju lorong-lorong masa lalu. Menjadi brutal. Kuku-kukunya berubah tajam. Mencakar dan menyengat seperti kalajengking. Semua orang tiba-tiba menjadi mangsa. Lalu Along berteriak memanggil nenek moyangnya yang berdiri angkuh di atas kapal kebesarannya.
Mereka barusan melakukan ritual laut, dengan kepala kerbau yang mengapung di atas air.
“Telah kami jinakkan samudera!” pekiknya sombong.
Ruwatan laut tersebut menjadi ritual daratan. Along merasakan ada bersama moyangnya. Mereka berpesta anggur dan perempuan di atas dermaga.
“Telah kami jinakkan daratan!” teriaknya. Maka beratus-ratus abad sejarah selalu bisu. Berjuta-juta karung lada, cengkih, dan kopi, diangkut. Berjuta-juta tangisan membanjiri kebun-kebun tak bertuan. Mengingkari kesepakatan musim.
“Siapa merampok kebunku?”
“Sejarah dan kebodohanmu!”
“Aku mabok! Leluhurku petani yang mabok!”
“Kamu memang harus mabok.”
“Untuk apa?”
“Berkuasa!”
“Dengan apa?”
“Anggur dan perempuan.”
“Ooohh…nikmatnya. Aku haus. Aku butuh anggur. Aku butuh bidadari. Meranum cinta, kawin di ranjangku…”
“Kamu punya cinta?”
“Ya! Mereka tidur di ranjangku. Mereka merasakan cinta. Mereka bahagia. Mereka menganggap dirinya satu-satunya kekasihku.”
“Hebat!”
“Dengan cinta, semua bisa aku kuasai!”
“Hahaha…! Tak gampang membangun kekuasaan dari cinta. Kekuasaan harus dibangun dari genangan darah dan jeritan orang-orang disiksa.”
“Haahaahaa..! Mengerikan! Tapi semua orang bisa membunuh dan menyiksa orang lain. Dan semua orang punya keberanian melakukannya.”
“Kami takar kemampuamu. Kau cukup sekutu penguasa saja; turut menguasai negara.”
“Sulit! Di sini sangat bebas.”
“Kamu punya anggur dan perempuan. Kau menjadi kebun anggur bagi mereka!”
“Tapi saya bukan WNI tulen!”
“WNI atau keturunan sama saja. Butuh anggur dan perempuan. Butuh uang. Butuh kekuasaan!”
“Sulit! menempa mental seperti itu.”
“Semua terjadi secara alami. Tidak ada yang memulai dan mengakhiri. Menjadi orang kuat itu harus memiliki kekuasaan! Bukan tubuh yang berdandan!”
“Apakah kalian punya negara?”
“Kami berkuasa di samudera.” Suara itu melengking tinggi. Along melihat matanya seperti mata elang. Mengepak-ngepakkan sayap. Kukunya mencakar dan mencabik-cabik bumi.
Dalam kondisi mabuk, Along melihat bumi berubah seekor lembuh. Berdaging gemuk dan segar. Malam itu, Along ingin menyantapnya dengan kerakusan. Sembari minum Shonghie, Vigour, atau Anggur Tuak. Along ingin pelesiran menemui amoy-amoy moyangnya.
Beberapa saat kemudian, Along meninggalkan tempat itu. Ia menuju dermaga Sukaraja. Ia merasa dikawal ratusan perempuan dan ribuan galon anggur. Sementara WC kamarnya terus berbuncak. Along merasa ada di awang-awang. Tubuhnya seperti hampa oksigen. Melayang. Matanya berubah dua mata jangkrik perkasa berwarna hitam mengkilap. Kemudian ia terhenyak ke masa lalu. Kerinduan kampung halaman. Ada dendam dan kehendak berkuasa terbersit di benaknya, seperti mimpi orang-orang yang pernah dikalahkan. Along ingin perkasa.
Ia teringat cerita bapaknya di masa kecil; “Adu jangkrik”. Sebuah permainan rakyat dari daratan China Selatan dan China Tengah. Jangkrik itu dipertarungkan. Diadu keperkasaannya pada gelanggang pesta perayaan Zhongqiu saat pertengahan musim gugur pada tanggal 15, bulan 8 kalender China. Sang pemenang atau sang juara, dipersembahkan kepada kaisar. Diangkat harkatnya menjadi prajurit istana.
Along menatap bulan penuh. Ada guratan merah wajah bapaknya. Ada senyuman biru ibunya. Ia teringat amanat sang ibu dalam mite si pemanah matahari berjudul; “Chang E Pergi ke Bulan”. Sebuah cerita rakyat tentang dua sisi moral dan perilaku isteri dan suami yang bertolak belakang.
Mite China Kuno masa pemerintahan Raja Yao itu, bermula saat kemarau panjang. Raja Yao memerintahkan si pemanah ulung Hou Yi memanah sembilan matahari dan menyisahkan satu saja. Hou Yi berhasil. Raja memberinya banyak hadiah dan menganugerahkan kedudukan yang tinggi sebuah wilayah kekuasaan. Namun Hou Yi yang dianggap pahlawan itu berubah menjadi sombong dan kejam. Dengan pil ajaib Dewi Wang Mu, ia merasa bisa melakukan apa saja yang dimauinya.
Masih terngiang pesan moral dalam mite itu, bahwa ambisi berlebihan pasti menimbulkan kekerasan dan kebengisan yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Sementara Chang E sebaliknya. Ia merasa iba atas nasib rakyat akibat perilaku suaminya.
Chang E akhirnya nekat menelan lebih dahulu pil ajaib itu. Tubuhnya melayang ke angkasa. Terbang menuju bulan. Setiba di bulan Chang E terbatuk. Pil ajaib terlempar dari mulutnya dan berubah menjadi seekor kelinci putih. Chang E lalu ditemani kelinci putih, menetap selamanya dalam Istana Dingin di bulan. Sang “dewi bulan” itu hidup bahagia, tanpa si pemanah matahari.
Cukup banyak pesan moral dalam cerita rakyat China. Tetapi Along tak mau menggubrisnya. Ia merasa terlalu capek hidup dalam kekalahan. Sejak kecil hingga memiliki isteri dan seorang anak, Along tidak pernah merasa menang. Sekarang ia dalam cengkeraman Mei Hwa isterinya. Ia bekerja dan menrima upah dari usaha isterinya.
Along tiba di dermaga. Di langit bulan bersinar penuh dan malam sangat terang. Ia menengadahkan kepala memandang bintik-bintik hitam di bulan purnama itu. Kelihatan samar di permukaannya. Along bermimpi menjadi kelinci putih dalam mite China Kuno itu. Tetapi ia merasa seakan ada ribuan jangkrik membungkus tubuhnya. Along tak berdaya. Tatapan jangkrik itu turun naik ke langit dan bumi. Ia menggerak-gerakkan sungutnya di hadapan cahaya lampu badai kapal-kapal ikan yang berjajar sepanjang dermaga.
Along mengutuk kekalahan waktu. Cahaya lampu merkuri membentuk garis lurus sepadan pantai Teluk Lampung. Bagi Along, ritual malam sejauh Panjang hingga Telukbetung adalah potret kemaksiatan. Judi mesin, cekikikan perempuan malam, serta hingar bingar musik diskotik dan karaoke. Industri hiburan instan ini, memang mendatangkan uang. Di sana orang bisa bertransaksi kenikmatan, saling melayani berbagai ideologi, bisnis, politik, dan saling bertukar-pinjam tubuh-tubuh budaya.
“Aku mabuk!” teriak Along sendirian.
Di bawah purnama malam itu, Along menjadi bajingan sejati. Ia berlompatan di atas lantai kayu dermaga Sukaraja. Sambil bernyanyi lagu-lagu perjuangan dengan irama sesukanya. Angin laut bertiup kencang. Rambut gondorongnya tertiup angin, menampar wajahnya. Ia kancingkan rapat-rapat jaket, sekedar mengurangi kedinginan tubuhnya. Along teringat Lina. Teringat Mei Hwa. Teringat ratusan kemaluan perempuan berserakan di kamarnya. Malam itu Along ingin mendapatkan kebebasan. Mabok dan berkencan dengan perempuan hiburan malam.
Dengan tubuh sempoyongan Along berjalan menuju salah satu karaoke yang biasa dikunjunginya. Ia tidak bernyanyi, karena suaranya sudah serak menyanyikan “Padamu Negeri” sambil menenggak vigour di dermaga Sukaraja.
Along ke karaoke itu cuma ingin bercinta dan berciuman dengan perempuan di dalam kamar yang telah disediakan oleh pengelolanya. Kamar-kamar yang diistilahkan mereka short times itu berada di bagian belakang gedung karaoke.
“Selamat malam, Ko Along,” sapa Ayin pengelola karaoke itu.
“Malam...”
“Buka kamar, Ko?” tanya Ayin ramah.
“Ya, tapi kamar bisa, paling ujung menghadap laut,” jawab Along sambil cengar-cengir kikuk.
“Enggak nyanyi nih?” singgung Ayin membalas cengiran Along, sembari menuju meja resepsionis. “Chek in!,” perintahnya kepada pegawainya. Lalu perempuan itu meraih gagang telpon memanggil petugas kamar belakang.
“Saya sudah capek menyanyi.”
“O..gitu. Nyanyi dimana, Ko?”
“Di dermaga sana, tuh,” jawab Along sekenanya sambil mengacungkan tangannya ke arah atas pelafon lobby karaoke. Ayin hanya tersenyum memperhatikan kelakuan tamunya itu. Raut muka Along terlihat aneh. Matanya tinggal segaris terbuka. Perempuan setengah baya itu paham kalau Along sedang dipengaruhi alkohol.
Tidak beberapa lama petugas kamar belakang datang menjemput. Pandangan Along agak terang. Ia mengikuti petugas itu penuh semangat. Melalui gang sempit dan cahaya remang, antara kamar-kamar karaoke yang hingar bingar memusikalisasi tubuh orang-orang dalam gerakan House Music, Along melangkah dan menatap lurus ke ujung gang. Ia tak sabar ingin secepatnya sampai ke sana.
Bermodalkan sisa tenaga dan dorongan birahi, lelaki bertubuh jangkung itu mencoba menjaga keseimbangan tubuhnya. Sambil melangkah kedua tangannya direntang lebar menekan ke kanan kiri dinding kamar-kamar karaoke yang berjajar itu.
Dengan langkah sempoyongan dan kedua tangan seperti sayap burung, Along meninggalkan biografi kesadarannya. Ia mengkhayalkan dirinya laksana raja yang sebentar lagi dikerumuni puluhan selir-selir cantik. Ia tegapkan tubuh serta langkah kaki seperti seorang perwira tentara yang memimpin pasukan pergi berperang.
Sejak kecil Along sangat percaya kalau tentara itu simbol kegagahan dan keperkasaan. Ia sangat bangga jika punya kawan tentara. Seperti mendapatkan sesuatu bernilai pusaka. Along sering memamerkan perwira kenalannya kepada isteri dan keluarganya. Hingga menjadi mitos yang mencerminkan posisi sosialnya.
Tetapi langkah Along terlalu tegap. Hingga hanya beberapa kaki melangkah ia jatuh. Along berusaha mengangkat tubuhnya. Tangannya kembali berpegang ke kanan kiri dinding gang, tetapi tetap jatuh ke lantai. Ia menengok ujung gang yang semakin panjang dan jauh. Kakinya gemetar. Kepalanya terasa berputar. Ia bingung mau minta tolong tidak ada orang. Sementara petugas kamar sudah lebih dulu menghilang di ujung gang itu. Along ingin berteriak sekeras-keras, namun suaranya sudah serak akibat terlalu lama menyanyi “Padamu Negeri” sambil menenggak vigour buatan Lampung.
Air toilet di WC kamar kontrakan Along, malam itu, berubah coklat. Tidak ada kemarahan berarti ketika puluhan batang gaharu yang dibakar mengepung lu-bang toiletnya. Along berdiri dan meng-enakan pakaian pengantin. Dalam 30 de-tik, bak mandinya membesar, bergerak memenuhi ruang WC-nya. Along terdesak ke ujung pintu. Kakinya menendang ke depan dan ke belakang, ke semua penjuru. “Aku mabok!” pekiknya. Sambil berdiri, ia berak ke semua pojok kamarnya.
Perenungan apa yang ada di diri Along, malam itu. Ia mabok. Ia kuasai Lina. Ia jelajahi imajinasi seks remaja lugu itu. Ia tipu Feng. Ia hamburkan uang isterinya. Ia khianati Mei. Ia telantarkan Erik. Dan waktu, betul-betul tak terduga. Along terlempar keluar WC kamarnya, menuju lorong-lorong masa lalu. Menjadi brutal. Kuku-kukunya berubah tajam. Mencakar dan menyengat seperti kalajengking. Semua orang tiba-tiba menjadi mangsa. Lalu Along berteriak memanggil nenek moyangnya yang berdiri angkuh di atas kapal kebesarannya.
Mereka barusan melakukan ritual laut, dengan kepala kerbau yang mengapung di atas air.
“Telah kami jinakkan samudera!” pekiknya sombong.
Ruwatan laut tersebut menjadi ritual daratan. Along merasakan ada bersama moyangnya. Mereka berpesta anggur dan perempuan di atas dermaga.
“Telah kami jinakkan daratan!” teriaknya. Maka beratus-ratus abad sejarah selalu bisu. Berjuta-juta karung lada, cengkih, dan kopi, diangkut. Berjuta-juta tangisan membanjiri kebun-kebun tak bertuan. Mengingkari kesepakatan musim.
“Siapa merampok kebunku?”
“Sejarah dan kebodohanmu!”
“Aku mabok! Leluhurku petani yang mabok!”
“Kamu memang harus mabok.”
“Untuk apa?”
“Berkuasa!”
“Dengan apa?”
“Anggur dan perempuan.”
“Ooohh…nikmatnya. Aku haus. Aku butuh anggur. Aku butuh bidadari. Meranum cinta, kawin di ranjangku…”
“Kamu punya cinta?”
“Ya! Mereka tidur di ranjangku. Mereka merasakan cinta. Mereka bahagia. Mereka menganggap dirinya satu-satunya kekasihku.”
“Hebat!”
“Dengan cinta, semua bisa aku kuasai!”
“Hahaha…! Tak gampang membangun kekuasaan dari cinta. Kekuasaan harus dibangun dari genangan darah dan jeritan orang-orang disiksa.”
“Haahaahaa..! Mengerikan! Tapi semua orang bisa membunuh dan menyiksa orang lain. Dan semua orang punya keberanian melakukannya.”
“Kami takar kemampuamu. Kau cukup sekutu penguasa saja; turut menguasai negara.”
“Sulit! Di sini sangat bebas.”
“Kamu punya anggur dan perempuan. Kau menjadi kebun anggur bagi mereka!”
“Tapi saya bukan WNI tulen!”
“WNI atau keturunan sama saja. Butuh anggur dan perempuan. Butuh uang. Butuh kekuasaan!”
“Sulit! menempa mental seperti itu.”
“Semua terjadi secara alami. Tidak ada yang memulai dan mengakhiri. Menjadi orang kuat itu harus memiliki kekuasaan! Bukan tubuh yang berdandan!”
“Apakah kalian punya negara?”
“Kami berkuasa di samudera.” Suara itu melengking tinggi. Along melihat matanya seperti mata elang. Mengepak-ngepakkan sayap. Kukunya mencakar dan mencabik-cabik bumi.
Dalam kondisi mabuk, Along melihat bumi berubah seekor lembuh. Berdaging gemuk dan segar. Malam itu, Along ingin menyantapnya dengan kerakusan. Sembari minum Shonghie, Vigour, atau Anggur Tuak. Along ingin pelesiran menemui amoy-amoy moyangnya.
Beberapa saat kemudian, Along meninggalkan tempat itu. Ia menuju dermaga Sukaraja. Ia merasa dikawal ratusan perempuan dan ribuan galon anggur. Sementara WC kamarnya terus berbuncak. Along merasa ada di awang-awang. Tubuhnya seperti hampa oksigen. Melayang. Matanya berubah dua mata jangkrik perkasa berwarna hitam mengkilap. Kemudian ia terhenyak ke masa lalu. Kerinduan kampung halaman. Ada dendam dan kehendak berkuasa terbersit di benaknya, seperti mimpi orang-orang yang pernah dikalahkan. Along ingin perkasa.
Ia teringat cerita bapaknya di masa kecil; “Adu jangkrik”. Sebuah permainan rakyat dari daratan China Selatan dan China Tengah. Jangkrik itu dipertarungkan. Diadu keperkasaannya pada gelanggang pesta perayaan Zhongqiu saat pertengahan musim gugur pada tanggal 15, bulan 8 kalender China. Sang pemenang atau sang juara, dipersembahkan kepada kaisar. Diangkat harkatnya menjadi prajurit istana.
Along menatap bulan penuh. Ada guratan merah wajah bapaknya. Ada senyuman biru ibunya. Ia teringat amanat sang ibu dalam mite si pemanah matahari berjudul; “Chang E Pergi ke Bulan”. Sebuah cerita rakyat tentang dua sisi moral dan perilaku isteri dan suami yang bertolak belakang.
Mite China Kuno masa pemerintahan Raja Yao itu, bermula saat kemarau panjang. Raja Yao memerintahkan si pemanah ulung Hou Yi memanah sembilan matahari dan menyisahkan satu saja. Hou Yi berhasil. Raja memberinya banyak hadiah dan menganugerahkan kedudukan yang tinggi sebuah wilayah kekuasaan. Namun Hou Yi yang dianggap pahlawan itu berubah menjadi sombong dan kejam. Dengan pil ajaib Dewi Wang Mu, ia merasa bisa melakukan apa saja yang dimauinya.
Masih terngiang pesan moral dalam mite itu, bahwa ambisi berlebihan pasti menimbulkan kekerasan dan kebengisan yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Sementara Chang E sebaliknya. Ia merasa iba atas nasib rakyat akibat perilaku suaminya.
Chang E akhirnya nekat menelan lebih dahulu pil ajaib itu. Tubuhnya melayang ke angkasa. Terbang menuju bulan. Setiba di bulan Chang E terbatuk. Pil ajaib terlempar dari mulutnya dan berubah menjadi seekor kelinci putih. Chang E lalu ditemani kelinci putih, menetap selamanya dalam Istana Dingin di bulan. Sang “dewi bulan” itu hidup bahagia, tanpa si pemanah matahari.
Cukup banyak pesan moral dalam cerita rakyat China. Tetapi Along tak mau menggubrisnya. Ia merasa terlalu capek hidup dalam kekalahan. Sejak kecil hingga memiliki isteri dan seorang anak, Along tidak pernah merasa menang. Sekarang ia dalam cengkeraman Mei Hwa isterinya. Ia bekerja dan menrima upah dari usaha isterinya.
Along tiba di dermaga. Di langit bulan bersinar penuh dan malam sangat terang. Ia menengadahkan kepala memandang bintik-bintik hitam di bulan purnama itu. Kelihatan samar di permukaannya. Along bermimpi menjadi kelinci putih dalam mite China Kuno itu. Tetapi ia merasa seakan ada ribuan jangkrik membungkus tubuhnya. Along tak berdaya. Tatapan jangkrik itu turun naik ke langit dan bumi. Ia menggerak-gerakkan sungutnya di hadapan cahaya lampu badai kapal-kapal ikan yang berjajar sepanjang dermaga.
Along mengutuk kekalahan waktu. Cahaya lampu merkuri membentuk garis lurus sepadan pantai Teluk Lampung. Bagi Along, ritual malam sejauh Panjang hingga Telukbetung adalah potret kemaksiatan. Judi mesin, cekikikan perempuan malam, serta hingar bingar musik diskotik dan karaoke. Industri hiburan instan ini, memang mendatangkan uang. Di sana orang bisa bertransaksi kenikmatan, saling melayani berbagai ideologi, bisnis, politik, dan saling bertukar-pinjam tubuh-tubuh budaya.
“Aku mabuk!” teriak Along sendirian.
Di bawah purnama malam itu, Along menjadi bajingan sejati. Ia berlompatan di atas lantai kayu dermaga Sukaraja. Sambil bernyanyi lagu-lagu perjuangan dengan irama sesukanya. Angin laut bertiup kencang. Rambut gondorongnya tertiup angin, menampar wajahnya. Ia kancingkan rapat-rapat jaket, sekedar mengurangi kedinginan tubuhnya. Along teringat Lina. Teringat Mei Hwa. Teringat ratusan kemaluan perempuan berserakan di kamarnya. Malam itu Along ingin mendapatkan kebebasan. Mabok dan berkencan dengan perempuan hiburan malam.
Dengan tubuh sempoyongan Along berjalan menuju salah satu karaoke yang biasa dikunjunginya. Ia tidak bernyanyi, karena suaranya sudah serak menyanyikan “Padamu Negeri” sambil menenggak vigour di dermaga Sukaraja.
Along ke karaoke itu cuma ingin bercinta dan berciuman dengan perempuan di dalam kamar yang telah disediakan oleh pengelolanya. Kamar-kamar yang diistilahkan mereka short times itu berada di bagian belakang gedung karaoke.
“Selamat malam, Ko Along,” sapa Ayin pengelola karaoke itu.
“Malam...”
“Buka kamar, Ko?” tanya Ayin ramah.
“Ya, tapi kamar bisa, paling ujung menghadap laut,” jawab Along sambil cengar-cengir kikuk.
“Enggak nyanyi nih?” singgung Ayin membalas cengiran Along, sembari menuju meja resepsionis. “Chek in!,” perintahnya kepada pegawainya. Lalu perempuan itu meraih gagang telpon memanggil petugas kamar belakang.
“Saya sudah capek menyanyi.”
“O..gitu. Nyanyi dimana, Ko?”
“Di dermaga sana, tuh,” jawab Along sekenanya sambil mengacungkan tangannya ke arah atas pelafon lobby karaoke. Ayin hanya tersenyum memperhatikan kelakuan tamunya itu. Raut muka Along terlihat aneh. Matanya tinggal segaris terbuka. Perempuan setengah baya itu paham kalau Along sedang dipengaruhi alkohol.
Tidak beberapa lama petugas kamar belakang datang menjemput. Pandangan Along agak terang. Ia mengikuti petugas itu penuh semangat. Melalui gang sempit dan cahaya remang, antara kamar-kamar karaoke yang hingar bingar memusikalisasi tubuh orang-orang dalam gerakan House Music, Along melangkah dan menatap lurus ke ujung gang. Ia tak sabar ingin secepatnya sampai ke sana.
Bermodalkan sisa tenaga dan dorongan birahi, lelaki bertubuh jangkung itu mencoba menjaga keseimbangan tubuhnya. Sambil melangkah kedua tangannya direntang lebar menekan ke kanan kiri dinding kamar-kamar karaoke yang berjajar itu.
Dengan langkah sempoyongan dan kedua tangan seperti sayap burung, Along meninggalkan biografi kesadarannya. Ia mengkhayalkan dirinya laksana raja yang sebentar lagi dikerumuni puluhan selir-selir cantik. Ia tegapkan tubuh serta langkah kaki seperti seorang perwira tentara yang memimpin pasukan pergi berperang.
Sejak kecil Along sangat percaya kalau tentara itu simbol kegagahan dan keperkasaan. Ia sangat bangga jika punya kawan tentara. Seperti mendapatkan sesuatu bernilai pusaka. Along sering memamerkan perwira kenalannya kepada isteri dan keluarganya. Hingga menjadi mitos yang mencerminkan posisi sosialnya.
Tetapi langkah Along terlalu tegap. Hingga hanya beberapa kaki melangkah ia jatuh. Along berusaha mengangkat tubuhnya. Tangannya kembali berpegang ke kanan kiri dinding gang, tetapi tetap jatuh ke lantai. Ia menengok ujung gang yang semakin panjang dan jauh. Kakinya gemetar. Kepalanya terasa berputar. Ia bingung mau minta tolong tidak ada orang. Sementara petugas kamar sudah lebih dulu menghilang di ujung gang itu. Along ingin berteriak sekeras-keras, namun suaranya sudah serak akibat terlalu lama menyanyi “Padamu Negeri” sambil menenggak vigour buatan Lampung.
Kamis, 27 November 2008
8
Perempuan itu kembali dikalahkan. Baya tak sanggup melawan matahari yang memanggang tubuh suaminya. Matanya takut menatap bagan tancap itu dari jendela yang kian terbuka lebar. Seolah hendak membeberkan kekerasan demi kekerasan di hadapan mereka.
Seperti biasa, Lastri berangkat kerja ketika Boni masih pulas tertidur. Hari itu Lastri akan menyetor uang ke bank di Tanjungkarang. Boni menyuruh Lastri minta ditemani Umar.
“Saya pergi dulu. Ini uang belanja, sisanya ambil buat kamu!” kata Lastri kepada Baya yang sedang menyapu ruang di samping serambi sekolah..
“Terima kasih, Mbak!” jawab Baya sambil memberesi cangkir teh di meja majikannya itu.
Sekitar pukul 11 siang Boni baru keluar dari kamar tidur. Begitu Boni bangun Baya buru-buru menyiapkan kopi dan kue-kue jualannya. Lantas bersiap pamit.
“Sebentar,” tegur Boni baru kembali dari kamar mandi. “Saya mau ngomong.” katanya sembari masuk ke kamar berganti pakaian.
Baya menunggu di ruang tengah. Matanya menatap pigura foto Lastri dan Boni, terpasang agak miring di tembok sebelah kanan, tangga kecil menuju bale-bale kayu. Baya merapikan pigura itu. Lalu naik ke balkon atas melalui tangga kecil.
Beberapa tahun lalu Baya sering melihat Lastri dan Boni bercengkerama akrab di atas bale-bale balkon, sembari menatap kapal dan perahu nelayan di Teluk Lampung. Entah kenapa bale ukiran Jepara itu sudah jarang disentuh mereka.
Menatapi bale kayu, Baya teringat kursi panjang di rumahnya. Tidak diduga, di atas kursi kayu tua itu, Ia dan Umar menemukan kepuasan lain bercinta. Penuh gelora, meski harus turun naik mengikuti belokan kursi yang keras dan kaku.
Awalnya suami isteri itu melakukannya karena keterbatasan rumah mereka hanya memiliki dua kamar tidur. Satu kamar ditempati Lina, dan satu kamar lagi Ia tempati bertiga dengan Umar dan Gofur. Tidak memungkinkan mereka bercinta di dalam kamar tidur secara leluasa. Karena satu kamar ditiduri Lina sendiri, dan satu kamar lagi ditiduri suami isteri ini bersama putranya Gofur.
Baya tertegun sesaat. Lalu mendekati bale kayu yang dilapisi busa tipis itu. Ia berdiri di muka jendela. Dari ketinggian ruangan santai itu, matanya menatap jauh ke laut. Dari jendela cukup lebar itu, ia melihat hamparan bagan-bagan ikan yang terlihat selebar meja kerja terletak tepat di bibir jendela itu. Di bagan itulah suaminya bekerja sejak pagi hingga menjelang Magrib atau sebaliknya. Kadangkala tidak pulang sama sekali, karena langsung menggantikan temannya yang sakit atau berhalangan kerja.
Di mata Baya, Umar pekerja keras yang bertanggungjawab kepada pekerjaannya. Karena itu pula ia sangat dipercaya oleh Boni dan Lastri.
Dari jendela rumah Boni itu, Baya melihat cahaya matahari semakin tegak di atas laut. Menggaringkan ikan-ikan asin di atas panggar atau penjemuran bambu, di samping rumah majikannya. Baya membayangkan panasnya laut yang menguliti tubuh suaminya. Baya tidak tahu apa yang dilakukan suaminya di atas bagan ikan itu, saat matahari memanggang perairan Teluk Lampung. Bertahun-tahun Umar mengikhlaskan tubuhnya dibakar dan dibekukan asin laut, semata untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan kedua anaknya. Kadang Baya tak tega melihat kelelahan suaminya. Tetapi, bagi mereka orang kecil, tidak ada pilihan lain kecuali bekerja keras untuk bertahan hidup.
Baya hanya bisa mengurangi beban suaminya dengan berjualan kue keliling. Dulunya, Baya sempat berdagang kain dan pakaian keliling dengan sistem kredit. Namun tidak lama. Usahanya kehabisan modal, karena banyak tunggakan kredit tak tertarik..
Baya kaget dari lamunannya, karena merasakan ada yang menyentuh pundaknya. Ia menghindar dan berbalik. “Maaf Pak, seharusnya bapak tidak melakukan ini,” tolak Baya halus. Tetapi Boni tidak menggeser tubuhnya di hadapan Baya. Ia terus merapatkan tubuhnya. Sementara Baya sudah habis langkah untuk mundur menjauhi Boni. Tubuhnya terpepet ke tembok samping jendela. Hanya kedua tangannya yang masih bisa bertahan melindungi tubuhnya dari cengkeraman Boni.
Laut di luar terlihat semakin panas dipanggang matahari. Baya tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tak memiliki keberanian untuk melawan. Matanya sempat menatap keluar jendela . Ia seakan hendak berteriak atau meloncat dari jendela yang terbuka lebar itu. Kemudian pergi ke laut menemui suaminya yang berkeringat lelah. Memeluk dan menjilati keringat asin di tubuh suaminya, sebagai permohonan perlindungan. Dan berhitung antara keringat dan harga diri di atas bagan yang tak pernah lelah diterpa ombak.
Laut di luar terlihat semakin terbakar, ketika tubuh Baya ditarik ke bale kayu itu. Hampir tanpa teriakan, hanya dengus nafas ketakutan. Berkejar-kejaran dengan suara penuh birahi. Kemudian mengerang. Menerjang-nerjang pagar papan dari bale kayu itu. Hanya beberapa saat. Lalu diam. Terpaku kaku. Luruh. Air matanya menetes bersamaan keringat yang terus mengalir. Panasnya melebihi laut yang terpanggang siang itu.
Perempuan itu kembali dikalahkan. Baya tak sanggup melawan matahari yang memanggang tubuh suaminya. Matanya takut menatap hamparan bagan tancap itu dari jendela yang kian terbuka lebar. Seolah hendak membeberkan kekerasan demi kekerasan di hadapan mereka.
Seperti biasa, Lastri berangkat kerja ketika Boni masih pulas tertidur. Hari itu Lastri akan menyetor uang ke bank di Tanjungkarang. Boni menyuruh Lastri minta ditemani Umar.
“Saya pergi dulu. Ini uang belanja, sisanya ambil buat kamu!” kata Lastri kepada Baya yang sedang menyapu ruang di samping serambi sekolah..
“Terima kasih, Mbak!” jawab Baya sambil memberesi cangkir teh di meja majikannya itu.
Sekitar pukul 11 siang Boni baru keluar dari kamar tidur. Begitu Boni bangun Baya buru-buru menyiapkan kopi dan kue-kue jualannya. Lantas bersiap pamit.
“Sebentar,” tegur Boni baru kembali dari kamar mandi. “Saya mau ngomong.” katanya sembari masuk ke kamar berganti pakaian.
Baya menunggu di ruang tengah. Matanya menatap pigura foto Lastri dan Boni, terpasang agak miring di tembok sebelah kanan, tangga kecil menuju bale-bale kayu. Baya merapikan pigura itu. Lalu naik ke balkon atas melalui tangga kecil.
Beberapa tahun lalu Baya sering melihat Lastri dan Boni bercengkerama akrab di atas bale-bale balkon, sembari menatap kapal dan perahu nelayan di Teluk Lampung. Entah kenapa bale ukiran Jepara itu sudah jarang disentuh mereka.
Menatapi bale kayu, Baya teringat kursi panjang di rumahnya. Tidak diduga, di atas kursi kayu tua itu, Ia dan Umar menemukan kepuasan lain bercinta. Penuh gelora, meski harus turun naik mengikuti belokan kursi yang keras dan kaku.
Awalnya suami isteri itu melakukannya karena keterbatasan rumah mereka hanya memiliki dua kamar tidur. Satu kamar ditempati Lina, dan satu kamar lagi Ia tempati bertiga dengan Umar dan Gofur. Tidak memungkinkan mereka bercinta di dalam kamar tidur secara leluasa. Karena satu kamar ditiduri Lina sendiri, dan satu kamar lagi ditiduri suami isteri ini bersama putranya Gofur.
Baya tertegun sesaat. Lalu mendekati bale kayu yang dilapisi busa tipis itu. Ia berdiri di muka jendela. Dari ketinggian ruangan santai itu, matanya menatap jauh ke laut. Dari jendela cukup lebar itu, ia melihat hamparan bagan-bagan ikan yang terlihat selebar meja kerja terletak tepat di bibir jendela itu. Di bagan itulah suaminya bekerja sejak pagi hingga menjelang Magrib atau sebaliknya. Kadangkala tidak pulang sama sekali, karena langsung menggantikan temannya yang sakit atau berhalangan kerja.
Di mata Baya, Umar pekerja keras yang bertanggungjawab kepada pekerjaannya. Karena itu pula ia sangat dipercaya oleh Boni dan Lastri.
Dari jendela rumah Boni itu, Baya melihat cahaya matahari semakin tegak di atas laut. Menggaringkan ikan-ikan asin di atas panggar atau penjemuran bambu, di samping rumah majikannya. Baya membayangkan panasnya laut yang menguliti tubuh suaminya. Baya tidak tahu apa yang dilakukan suaminya di atas bagan ikan itu, saat matahari memanggang perairan Teluk Lampung. Bertahun-tahun Umar mengikhlaskan tubuhnya dibakar dan dibekukan asin laut, semata untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan kedua anaknya. Kadang Baya tak tega melihat kelelahan suaminya. Tetapi, bagi mereka orang kecil, tidak ada pilihan lain kecuali bekerja keras untuk bertahan hidup.
Baya hanya bisa mengurangi beban suaminya dengan berjualan kue keliling. Dulunya, Baya sempat berdagang kain dan pakaian keliling dengan sistem kredit. Namun tidak lama. Usahanya kehabisan modal, karena banyak tunggakan kredit tak tertarik..
Baya kaget dari lamunannya, karena merasakan ada yang menyentuh pundaknya. Ia menghindar dan berbalik. “Maaf Pak, seharusnya bapak tidak melakukan ini,” tolak Baya halus. Tetapi Boni tidak menggeser tubuhnya di hadapan Baya. Ia terus merapatkan tubuhnya. Sementara Baya sudah habis langkah untuk mundur menjauhi Boni. Tubuhnya terpepet ke tembok samping jendela. Hanya kedua tangannya yang masih bisa bertahan melindungi tubuhnya dari cengkeraman Boni.
Laut di luar terlihat semakin panas dipanggang matahari. Baya tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tak memiliki keberanian untuk melawan. Matanya sempat menatap keluar jendela . Ia seakan hendak berteriak atau meloncat dari jendela yang terbuka lebar itu. Kemudian pergi ke laut menemui suaminya yang berkeringat lelah. Memeluk dan menjilati keringat asin di tubuh suaminya, sebagai permohonan perlindungan. Dan berhitung antara keringat dan harga diri di atas bagan yang tak pernah lelah diterpa ombak.
Laut di luar terlihat semakin terbakar, ketika tubuh Baya ditarik ke bale kayu itu. Hampir tanpa teriakan, hanya dengus nafas ketakutan. Berkejar-kejaran dengan suara penuh birahi. Kemudian mengerang. Menerjang-nerjang pagar papan dari bale kayu itu. Hanya beberapa saat. Lalu diam. Terpaku kaku. Luruh. Air matanya menetes bersamaan keringat yang terus mengalir. Panasnya melebihi laut yang terpanggang siang itu.
Perempuan itu kembali dikalahkan. Baya tak sanggup melawan matahari yang memanggang tubuh suaminya. Matanya takut menatap hamparan bagan tancap itu dari jendela yang kian terbuka lebar. Seolah hendak membeberkan kekerasan demi kekerasan di hadapan mereka.
7
“Artinya, kalau sekarang korupsi merajalela, tidak perlu gusar. Karena korupsi itu pun
sebetulnya bagian proses pertobatan dari nenek moyang kita si bajak laut itu.
Korupsi itu saya pikir perilaku rampok yang lebih sopan dan bersahaja..hahahaa...”
UMAR tertegun menatap sisa beberapa pohon mangrove, ketika pulang dari bagan ikan milik Boni, sore itu. Perlahan-lahan pohon-pohon bakau di pesisir pantai itu lenyap, berubah menjadi hutan atau urukan tanah untuk perluasan lahan baru milik pengusaha sekitar pantai.
Menurut cerita orangtua Umar, kawasan hutan mangrove tumbuh berjajar di pesisir Teluk Lampung mulai dari Bakauheni hingga Kuala Penet. Kemudian dari Panjang, Telukbetung memanjang sepadan pantai ke Padang Cermin, Punduh Pidada, hingga ke daerah Kedondong dan ke kawasan perairan Kuta Agung.
Ke arah pesisir timur, dari Teladas, Rawajitu, pohon mangrove ini, tumbuh hingga ke Sungai Sembilang, Air Sugihan, dan Sungsang yang berada di muara Sungai Musi, Sumatera Selatan.
“Riwayat bakau tinggal kenangan,” ujar bapak Umar waktu itu.
Wajar saja, pikir Umar, nyamuk malaria sekarang menyebar ke rumah-rumah penduduk, karena hutan mangrove tempat hidupnya telah musnah.
Hutan mangrove juga berfungsi sebagai sabuk pengaman dari abrasi, hantaman gelombang atau bahaya tsunami. Umar membayangkan jika seluruh hutan mangrove di pantai Aceh masih utuh dan terjaga, dampak gelombang pasang tsunami tidak separah saat itu, karena masih tertahan sabuk mangrove.
Kendati tetap menelan korban jiwa dan meluluhlantakkan rumah dan bangunan di Aceh, tetapi tidak setragis memandang hamparan ratusan ribu mayat manusia akibat gelombang besar itu. Karena tidak ada lagi sabuk penahan pantai, gelombang laut yang diperkirakan naik di atas 10 meter itu, begitu saja masuk menyapu bersih seluruh kampung dan isi kota.
Mengingat kembali bencana tsunami Aceh dan Nias, Sumatera Utara, Umar merinding sendiri membayangkan keluarganya yang sekarang ini berumah di pesisir Teluk Lampung.
Ia melihat seluruh pesisir pantai sekitar Telukbetung sampai ke Padang Cermin, telah gundul tanpa hutan mangrove. Jika tsunami datang, pikir Umar, ia dan penduduk sekitar pesisirlah yang lebih dulu tersapu gelombang.
Umar sempat menikmati sisa-sisa mangrove semasa kecil. Ia sering dudukdi akar-akar pohon yang merayap sampai ke daratan. Pulang sekolah, ia dan kawan-kawannya bermain sambil mencari anak kepiting. Suasana itu mulai hilang ketika masuknya kegiatan usaha industri di kawasan pesisir Teluk Lampung.
Para pelaku industri memanfaatkan pinggiran laut sebagai tempat usahanya. Perhitungan mereka posisi dekat laut sangat strategis dan menguntungkan terutama dari sisi bongkar muat barang dan transportasi perdagangan antar pulau melalui laut. Mereka menimbun pantai lalu membangun dermaga. Sebagian lagi memanfaatkan lokasi sekitar pantai untuk memudahkan membuang limbah industrinya ke laut.
Sebelumnya, perusakan mangrove ini dituduhkan kepada petambak tradisional saja. Mereka membuka tambak melampaui garis sepadan pantai penyangga pengikisan pantai atau sabuk hijau tempat hidup mangrove. Garis sepadan pantai yang ditetapkan pihak kehutanan sepanjang 500 meter dari pantai.
Umar sering melamun di atas bagan ikan tempatnya bekerja, ketika pandangannya tertuju ke Pulau Pasaran dan pulau-pulau kecil lainnya di perairan Teluk Lampung. Seperti Pulau Tangkil, Pulau Condong, Pulau Legundi, Way Lunik, atau Pulau Sebuku dan Sebesi di dekat perairan gunung anak Krakatau, dan pulau-pulau lainnya.
Pulau Pasaran sejak dahulu menjadi wilayah pemukiman nelayan yang kebanyakan mengelola ikan asin. Pulau ini kini nyaris menjadi daerah daratan, akibat kegiatan penimbunan pantai di wilayah Telukbetung Selatan. Penimbunan sejak tahun 1995 itu hampir menyambungkan pulau Pasaran ke daratan. Dulu warga pulau itu sempat mau digusur dan direlokasi ke daerah lain, sekitar perairan Lempasing.
Rencananya pulau sentra ikan asin itu, akan diubah menjadi areal wisata dengan bangunan hotel berbintang lima. Warga nelayan menolak pindah karena mata pencariannya sebagai nelayan ikan asin sudah turun temurun. Entah karena penolakan, atau karena batalnya calon investor, sehingga kini rencana pemda kota mengembangkan Pulau Pasaran itu tidak terealisasi. Yang ada hanya pengurukan yang sebentar lagi merubah status pulau itu menjadi kampung daratan.
Umar tidak membenci industri. Ia juga bukan seorang rasialis, jika berpikir tentang Jawa, China, Bugis, Banten, Padang, dan pendatang lainnya yang masuk ke kampungnya. Tetapi ia menyesali kegagalannya menjaga sejarah kampung dan peradaban leluhur. Telukbetung berubah kampung asing yang sulit untuk dikenali kembali.
Umar melihat kerabatnya kumpul di Sesat Agung, mereka berubah rupa. Seperti topeng cetak, wajahnya sama semua. Sulit dikenali. Ia tidak tahu apakah Melayu itu China atau Jawa, atau saudara kembarnya. Yang ia tahu Melayu atau China, keduanya muncul dari lautan. Menjadi penguasa samudera. Merambah ke wilayah daratan hingga ke pegunungan.
“Melayu ada di air, melayu ada di darat. China-Melayu atau Melayu-China, sama saja,” Umar berbisik dalam hati.
Leluhur mereka mengajarkan menangkap ikan dan berdagang. Mereka tidak mengerti bercocok tanam. Mereka berkebun karena menolak ditaklukkan. Mereka lari ke gunung karena sungkan berperang.
“Apakah moyangku China?”
Sejarah asimilasi dan kenangan masa lalu, tidak begitu lengkap tergambar dalam cerita bapak dan kakeknya. Umar tahu ada kekalahan di balik itu. Ada banyak kisah kekerasan disembunyikan. Penandaan itu terbaca sampai hari ini.
Semakin terbaca, ketika ia menatap Pulau Pasaran dan lingkungan sekitar pesisir Teluk Lampung yang porak poranda dijarah masa lalu dan hari ini.
Tidak Cuma laut. Sungai-sungai pun tak luput dari pencemaran limbah. Puluhan spesies ikan musnah akibat racun limbah pabrik. Seperti pabrik tapioka di Kekah, Terbanggi Besar. Sepanjang sungai Way Pengubuan, sebelumnya terdapat lebih 50 spesies ikan. Tetapi bila diteliti kemungkinan hanya tinggal 20 persen lagi yang tersisa akibat pencemaran limbah pabrik.
Pemerintah sendiri yang memiliki Badan Pengendali Dampak Lingkungan tidak mampu melakukan aksi kritis dalam memantau instalasi limbah pabrik. Pemeriksaan rutin outlet atau saluran pembuangan akhir limbah nyaris hanya pekerjaan rutin untuk mencairkan uang jalan dan mendapakan uang sangu dari pengusaha pabrik yang dikunjungi.
Kondisi tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Di Terbanggi Besar pernah ditemukan warga dan LSM lingkungan, adanya pipa paralon siluman milik pabrik sumpit dan kertas budaya, membuang langsung limbahnya ke sungai. Tetapi tetap tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
“Entahlah, mengapa perilaku pemerintah seperti itu.” ungkap Umar dalam hati.
Dalam benak Umar, sering muncul pertanyaan, dari mana asal orang Indonesia itu?
Riwayat Indonesia sulit dibaca, apalagi dituliskan. Riwayat diceritakan kakek dan buyutnya, penuh dongeng kesaktian dan kejayaan yang bikin Umar terkagum-kagum.
Riwayat Majapahit hingga Sriwijaya, di buku sejarah sekolah, juga berisi cerita kedigjayaan. Sriwijaya yang disebutkan berpusat di Palembang itu, sebagai kerajaan yang dianggap telah memiliki tata pemerintahan, ilmu hukum, politik, dan kebudayaan, ternyata hanya menjadi riwayat raja-raja yang sukses menarik upeti dari hasil keringat petani dan rakyat jelatah. Atau penaklukkan untuk tujuan ekonomi. Mengeruk kekayaan kerajaan-kerajaan kecil. Budaya primordialisme dan budaya menjilat sudah tumbuh di masa itu.
“Daulat tuanku....!” demikian ceritanya. Dari pemerintahan Majapahit dan Sriwijaya, tidak ada kredo kerakyatan yang tercermin dari sistem pemerintahan yang bersifat “keraton sentris” itu.
“Orang Indonesia asli itu, adalah bajak laut!” ungkap Cakra.
Cakra adalah seorang seniman pelukis, kawan akrab Umar. Mereka tinggal berdekatan semasa masih tinggal di Gedong Pakuon, Telukbetung.
“Ah, itu julukan buatan Belanda. Apa dasarnya, Cak?” tanya Umar kepada seniman itu.
Cakra diam sesaat. Matanya ke langit. Mulutnya sedikit menganga, jari tangan mempermainkan rokok kretek. Ternyata ia sedang mengingat-ngingat cerita nenek moyangnya.
“Begini Mar! Menurut cerita, di jaman dahulu bangsa Indonesia asli didesak bangsa Tionghoa dan Hindu ke luar dari negeri asalnya yakni Hindia Belakang. Kemudian kabur ke Nusantara Indonesia. Karena terusir, orang Indonesia asli yang sebelumnya sudah punya budaya bertani atau bercocok tanam itu, menjelma menjadi bajak laut yang sangat buas!”
“Dari mana kau dapat cerita itu, Cak!” potong Umar. Ia keberatan nenek moyangnya dibilang bajak laut oleh si seniman kurus itu.
Cakra bangkit dari duduknya menuju lemari tuanya. “Dari ini,” kata Cakra menunjukkan buku lusuh yang ditariknya dari barisan buku di lemari kaca itu.
Cakra cukup bersemangat sembari membolak-balik halaman buku itu.
“Lalu si bajak laut, dengan vintas atau perahu kecilnya mengarungi kepulauan-kepulauan dan menaklukkan penghuninya. Penduduk India dan Oceania bertekuk lutut. Bahkan, Jengis Khan dan laskar perang Mongolia pun sanggup dipukul mundur, bajak laut yang terkenal waktu itu disebut Pakodato dari kerajaan Sungapura di Semenanjung Tanah Melayu,“ kata Cakra dengan Bangga.
Umar hanya tersenyum melihat kelakuan Cakra. Tapi, ia tetap serius menyimak kutipan cerita kawan akrabnya itu.
“Pada Tahun 500-an, Mar..” lanjut Cakra. “Pakodato mampu menggetarkan kerajaan Tiongkok dan Hindustan, dengan armada laut dan perlengkapan perangnya,” tukas Cakra.
“Menurut cerita selanjutnya, setelah di bawah pengaruh Hindu, nenek moyang kita itu naik kelas.” Cakra mengorek rokoknya kembali.
“Nah, kini terbayangkah di benakmu, Mar, bahwa para bajak laut itu adalah nenek moyang kita,” ujar si seniman sambil tertawa digumul asap rokoknya.
“Dari penampilan bentuk anatomi tubuh, kemudian raut muka, mata, hidung, rambut, warna kulit, nyaris tak ada bedanya dengan orang Tionghoa.”
“Artinya, Mar, kalau ada tindak tanduk kita meniru kelakuan perompak, termasuk koruptor yang berkembang biak sekarang ini, kau tidak perlu gusar! Karena korupsi itu pun sebetulnya bagian proses pertobatan dari warisan nenek moyang kita si bajak laut. Korupsi, saya pikir perilaku rampok yang lebih sopan dan bersahaja hahahaa..!”
Seniman itu tertawa terpingkal-pingkal seakan menertawakan dirinya dan nenek moyangnya.
“Neneknya bajak laut, cucunya bajak darat. Mantap ‘kan? hahahaha!” ujar Cakra sambil menekan perutnya menahan tawa.
Umar hanya tertawa kecil. Argumentasi Cakra ikut mengganggu pikirannya. Apakah mental menipu, merampas, dan mengambil hak orang lain itu, betul-betul perilaku budaya yang diwariskan nenek moyang.
“Persoalannya sederhana saja, Mar! Sampai kini belum ada seorang pun yang berani memproklamirkan nenek moyang orang Indonesia itu, perompak!” ujar Cakra. “Sehingga generasi sekarang harus merehabilitasinya dengan perbuatan antirampok, antimaling, antijudi, antikorupsi, antimaksiat, dan macam-macam ketidakpercayaan lainnya,” tambahnya.
Hanya Cakra, seorang seniman kerempeng yang hidup dari menjual lukisan, berani mengatakan nenek moyangnya seorang perompak, pikir Umar.
Terlepas benar atau salah, cerita Cakra, Umar merasakan benih-benih kejahatan itu ada dalam dirinya. Tetapi secara agama, ia paham bahwa perbuatan jahat itu dilarang.
Umar teringat buku milik Cakra, bercerita tentang Laksamana Cheng Ho. Utusan Kaisar Ming abad ke-15 itu menjelajah berbagai belahan dunia. Cheng Ho bersama ribuan tentaranya mendarat ke Indonesia dengan dua misi, perdamaian dan penaklukan.
Bisa saja, pikir Umar, Cheng Ho lebih dulu menaklukkan para perompak, kemudian mengenalkan agama kepada mereka. Sebagai pemeluk Islam, pikir Umar lagi, bisa pula ia dan nenek moyangnya keturunan perompak yang disadarkan Cheng Ho.
Umar jadi tak tahan, ikut tertawa-tawa bersama seniman kerempeng itu. Ia teringat masa lalu ketika mulai mengenalkan minuman beralkohol kepada Cakra.
“Begini saja, Cak. Biar tidak terlalu rumit kita berpikir. Mulai saat ini kita nyatakan diri kita sebagai cucu perompak! Alias cucu bajak laut! hahahaa….”
Keduanya berjabat tangan, bersepakat untuk identitas dan sejarah nenek moyang mereka.
Cakra menyilangkan telunjuknya di bibir, “Sstt..jangan lupa, Mar! Pake kata tobat di belakangnya!” kata Cakra. Keduanya kembali tertawa lepas.
sebetulnya bagian proses pertobatan dari nenek moyang kita si bajak laut itu.
Korupsi itu saya pikir perilaku rampok yang lebih sopan dan bersahaja..hahahaa...”
UMAR tertegun menatap sisa beberapa pohon mangrove, ketika pulang dari bagan ikan milik Boni, sore itu. Perlahan-lahan pohon-pohon bakau di pesisir pantai itu lenyap, berubah menjadi hutan atau urukan tanah untuk perluasan lahan baru milik pengusaha sekitar pantai.
Menurut cerita orangtua Umar, kawasan hutan mangrove tumbuh berjajar di pesisir Teluk Lampung mulai dari Bakauheni hingga Kuala Penet. Kemudian dari Panjang, Telukbetung memanjang sepadan pantai ke Padang Cermin, Punduh Pidada, hingga ke daerah Kedondong dan ke kawasan perairan Kuta Agung.
Ke arah pesisir timur, dari Teladas, Rawajitu, pohon mangrove ini, tumbuh hingga ke Sungai Sembilang, Air Sugihan, dan Sungsang yang berada di muara Sungai Musi, Sumatera Selatan.
“Riwayat bakau tinggal kenangan,” ujar bapak Umar waktu itu.
Wajar saja, pikir Umar, nyamuk malaria sekarang menyebar ke rumah-rumah penduduk, karena hutan mangrove tempat hidupnya telah musnah.
Hutan mangrove juga berfungsi sebagai sabuk pengaman dari abrasi, hantaman gelombang atau bahaya tsunami. Umar membayangkan jika seluruh hutan mangrove di pantai Aceh masih utuh dan terjaga, dampak gelombang pasang tsunami tidak separah saat itu, karena masih tertahan sabuk mangrove.
Kendati tetap menelan korban jiwa dan meluluhlantakkan rumah dan bangunan di Aceh, tetapi tidak setragis memandang hamparan ratusan ribu mayat manusia akibat gelombang besar itu. Karena tidak ada lagi sabuk penahan pantai, gelombang laut yang diperkirakan naik di atas 10 meter itu, begitu saja masuk menyapu bersih seluruh kampung dan isi kota.
Mengingat kembali bencana tsunami Aceh dan Nias, Sumatera Utara, Umar merinding sendiri membayangkan keluarganya yang sekarang ini berumah di pesisir Teluk Lampung.
Ia melihat seluruh pesisir pantai sekitar Telukbetung sampai ke Padang Cermin, telah gundul tanpa hutan mangrove. Jika tsunami datang, pikir Umar, ia dan penduduk sekitar pesisirlah yang lebih dulu tersapu gelombang.
Umar sempat menikmati sisa-sisa mangrove semasa kecil. Ia sering dudukdi akar-akar pohon yang merayap sampai ke daratan. Pulang sekolah, ia dan kawan-kawannya bermain sambil mencari anak kepiting. Suasana itu mulai hilang ketika masuknya kegiatan usaha industri di kawasan pesisir Teluk Lampung.
Para pelaku industri memanfaatkan pinggiran laut sebagai tempat usahanya. Perhitungan mereka posisi dekat laut sangat strategis dan menguntungkan terutama dari sisi bongkar muat barang dan transportasi perdagangan antar pulau melalui laut. Mereka menimbun pantai lalu membangun dermaga. Sebagian lagi memanfaatkan lokasi sekitar pantai untuk memudahkan membuang limbah industrinya ke laut.
Sebelumnya, perusakan mangrove ini dituduhkan kepada petambak tradisional saja. Mereka membuka tambak melampaui garis sepadan pantai penyangga pengikisan pantai atau sabuk hijau tempat hidup mangrove. Garis sepadan pantai yang ditetapkan pihak kehutanan sepanjang 500 meter dari pantai.
Umar sering melamun di atas bagan ikan tempatnya bekerja, ketika pandangannya tertuju ke Pulau Pasaran dan pulau-pulau kecil lainnya di perairan Teluk Lampung. Seperti Pulau Tangkil, Pulau Condong, Pulau Legundi, Way Lunik, atau Pulau Sebuku dan Sebesi di dekat perairan gunung anak Krakatau, dan pulau-pulau lainnya.
Pulau Pasaran sejak dahulu menjadi wilayah pemukiman nelayan yang kebanyakan mengelola ikan asin. Pulau ini kini nyaris menjadi daerah daratan, akibat kegiatan penimbunan pantai di wilayah Telukbetung Selatan. Penimbunan sejak tahun 1995 itu hampir menyambungkan pulau Pasaran ke daratan. Dulu warga pulau itu sempat mau digusur dan direlokasi ke daerah lain, sekitar perairan Lempasing.
Rencananya pulau sentra ikan asin itu, akan diubah menjadi areal wisata dengan bangunan hotel berbintang lima. Warga nelayan menolak pindah karena mata pencariannya sebagai nelayan ikan asin sudah turun temurun. Entah karena penolakan, atau karena batalnya calon investor, sehingga kini rencana pemda kota mengembangkan Pulau Pasaran itu tidak terealisasi. Yang ada hanya pengurukan yang sebentar lagi merubah status pulau itu menjadi kampung daratan.
Umar tidak membenci industri. Ia juga bukan seorang rasialis, jika berpikir tentang Jawa, China, Bugis, Banten, Padang, dan pendatang lainnya yang masuk ke kampungnya. Tetapi ia menyesali kegagalannya menjaga sejarah kampung dan peradaban leluhur. Telukbetung berubah kampung asing yang sulit untuk dikenali kembali.
Umar melihat kerabatnya kumpul di Sesat Agung, mereka berubah rupa. Seperti topeng cetak, wajahnya sama semua. Sulit dikenali. Ia tidak tahu apakah Melayu itu China atau Jawa, atau saudara kembarnya. Yang ia tahu Melayu atau China, keduanya muncul dari lautan. Menjadi penguasa samudera. Merambah ke wilayah daratan hingga ke pegunungan.
“Melayu ada di air, melayu ada di darat. China-Melayu atau Melayu-China, sama saja,” Umar berbisik dalam hati.
Leluhur mereka mengajarkan menangkap ikan dan berdagang. Mereka tidak mengerti bercocok tanam. Mereka berkebun karena menolak ditaklukkan. Mereka lari ke gunung karena sungkan berperang.
“Apakah moyangku China?”
Sejarah asimilasi dan kenangan masa lalu, tidak begitu lengkap tergambar dalam cerita bapak dan kakeknya. Umar tahu ada kekalahan di balik itu. Ada banyak kisah kekerasan disembunyikan. Penandaan itu terbaca sampai hari ini.
Semakin terbaca, ketika ia menatap Pulau Pasaran dan lingkungan sekitar pesisir Teluk Lampung yang porak poranda dijarah masa lalu dan hari ini.
Tidak Cuma laut. Sungai-sungai pun tak luput dari pencemaran limbah. Puluhan spesies ikan musnah akibat racun limbah pabrik. Seperti pabrik tapioka di Kekah, Terbanggi Besar. Sepanjang sungai Way Pengubuan, sebelumnya terdapat lebih 50 spesies ikan. Tetapi bila diteliti kemungkinan hanya tinggal 20 persen lagi yang tersisa akibat pencemaran limbah pabrik.
Pemerintah sendiri yang memiliki Badan Pengendali Dampak Lingkungan tidak mampu melakukan aksi kritis dalam memantau instalasi limbah pabrik. Pemeriksaan rutin outlet atau saluran pembuangan akhir limbah nyaris hanya pekerjaan rutin untuk mencairkan uang jalan dan mendapakan uang sangu dari pengusaha pabrik yang dikunjungi.
Kondisi tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Di Terbanggi Besar pernah ditemukan warga dan LSM lingkungan, adanya pipa paralon siluman milik pabrik sumpit dan kertas budaya, membuang langsung limbahnya ke sungai. Tetapi tetap tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
“Entahlah, mengapa perilaku pemerintah seperti itu.” ungkap Umar dalam hati.
Dalam benak Umar, sering muncul pertanyaan, dari mana asal orang Indonesia itu?
Riwayat Indonesia sulit dibaca, apalagi dituliskan. Riwayat diceritakan kakek dan buyutnya, penuh dongeng kesaktian dan kejayaan yang bikin Umar terkagum-kagum.
Riwayat Majapahit hingga Sriwijaya, di buku sejarah sekolah, juga berisi cerita kedigjayaan. Sriwijaya yang disebutkan berpusat di Palembang itu, sebagai kerajaan yang dianggap telah memiliki tata pemerintahan, ilmu hukum, politik, dan kebudayaan, ternyata hanya menjadi riwayat raja-raja yang sukses menarik upeti dari hasil keringat petani dan rakyat jelatah. Atau penaklukkan untuk tujuan ekonomi. Mengeruk kekayaan kerajaan-kerajaan kecil. Budaya primordialisme dan budaya menjilat sudah tumbuh di masa itu.
“Daulat tuanku....!” demikian ceritanya. Dari pemerintahan Majapahit dan Sriwijaya, tidak ada kredo kerakyatan yang tercermin dari sistem pemerintahan yang bersifat “keraton sentris” itu.
“Orang Indonesia asli itu, adalah bajak laut!” ungkap Cakra.
Cakra adalah seorang seniman pelukis, kawan akrab Umar. Mereka tinggal berdekatan semasa masih tinggal di Gedong Pakuon, Telukbetung.
“Ah, itu julukan buatan Belanda. Apa dasarnya, Cak?” tanya Umar kepada seniman itu.
Cakra diam sesaat. Matanya ke langit. Mulutnya sedikit menganga, jari tangan mempermainkan rokok kretek. Ternyata ia sedang mengingat-ngingat cerita nenek moyangnya.
“Begini Mar! Menurut cerita, di jaman dahulu bangsa Indonesia asli didesak bangsa Tionghoa dan Hindu ke luar dari negeri asalnya yakni Hindia Belakang. Kemudian kabur ke Nusantara Indonesia. Karena terusir, orang Indonesia asli yang sebelumnya sudah punya budaya bertani atau bercocok tanam itu, menjelma menjadi bajak laut yang sangat buas!”
“Dari mana kau dapat cerita itu, Cak!” potong Umar. Ia keberatan nenek moyangnya dibilang bajak laut oleh si seniman kurus itu.
Cakra bangkit dari duduknya menuju lemari tuanya. “Dari ini,” kata Cakra menunjukkan buku lusuh yang ditariknya dari barisan buku di lemari kaca itu.
Cakra cukup bersemangat sembari membolak-balik halaman buku itu.
“Lalu si bajak laut, dengan vintas atau perahu kecilnya mengarungi kepulauan-kepulauan dan menaklukkan penghuninya. Penduduk India dan Oceania bertekuk lutut. Bahkan, Jengis Khan dan laskar perang Mongolia pun sanggup dipukul mundur, bajak laut yang terkenal waktu itu disebut Pakodato dari kerajaan Sungapura di Semenanjung Tanah Melayu,“ kata Cakra dengan Bangga.
Umar hanya tersenyum melihat kelakuan Cakra. Tapi, ia tetap serius menyimak kutipan cerita kawan akrabnya itu.
“Pada Tahun 500-an, Mar..” lanjut Cakra. “Pakodato mampu menggetarkan kerajaan Tiongkok dan Hindustan, dengan armada laut dan perlengkapan perangnya,” tukas Cakra.
“Menurut cerita selanjutnya, setelah di bawah pengaruh Hindu, nenek moyang kita itu naik kelas.” Cakra mengorek rokoknya kembali.
“Nah, kini terbayangkah di benakmu, Mar, bahwa para bajak laut itu adalah nenek moyang kita,” ujar si seniman sambil tertawa digumul asap rokoknya.
“Dari penampilan bentuk anatomi tubuh, kemudian raut muka, mata, hidung, rambut, warna kulit, nyaris tak ada bedanya dengan orang Tionghoa.”
“Artinya, Mar, kalau ada tindak tanduk kita meniru kelakuan perompak, termasuk koruptor yang berkembang biak sekarang ini, kau tidak perlu gusar! Karena korupsi itu pun sebetulnya bagian proses pertobatan dari warisan nenek moyang kita si bajak laut. Korupsi, saya pikir perilaku rampok yang lebih sopan dan bersahaja hahahaa..!”
Seniman itu tertawa terpingkal-pingkal seakan menertawakan dirinya dan nenek moyangnya.
“Neneknya bajak laut, cucunya bajak darat. Mantap ‘kan? hahahaha!” ujar Cakra sambil menekan perutnya menahan tawa.
Umar hanya tertawa kecil. Argumentasi Cakra ikut mengganggu pikirannya. Apakah mental menipu, merampas, dan mengambil hak orang lain itu, betul-betul perilaku budaya yang diwariskan nenek moyang.
“Persoalannya sederhana saja, Mar! Sampai kini belum ada seorang pun yang berani memproklamirkan nenek moyang orang Indonesia itu, perompak!” ujar Cakra. “Sehingga generasi sekarang harus merehabilitasinya dengan perbuatan antirampok, antimaling, antijudi, antikorupsi, antimaksiat, dan macam-macam ketidakpercayaan lainnya,” tambahnya.
Hanya Cakra, seorang seniman kerempeng yang hidup dari menjual lukisan, berani mengatakan nenek moyangnya seorang perompak, pikir Umar.
Terlepas benar atau salah, cerita Cakra, Umar merasakan benih-benih kejahatan itu ada dalam dirinya. Tetapi secara agama, ia paham bahwa perbuatan jahat itu dilarang.
Umar teringat buku milik Cakra, bercerita tentang Laksamana Cheng Ho. Utusan Kaisar Ming abad ke-15 itu menjelajah berbagai belahan dunia. Cheng Ho bersama ribuan tentaranya mendarat ke Indonesia dengan dua misi, perdamaian dan penaklukan.
Bisa saja, pikir Umar, Cheng Ho lebih dulu menaklukkan para perompak, kemudian mengenalkan agama kepada mereka. Sebagai pemeluk Islam, pikir Umar lagi, bisa pula ia dan nenek moyangnya keturunan perompak yang disadarkan Cheng Ho.
Umar jadi tak tahan, ikut tertawa-tawa bersama seniman kerempeng itu. Ia teringat masa lalu ketika mulai mengenalkan minuman beralkohol kepada Cakra.
“Begini saja, Cak. Biar tidak terlalu rumit kita berpikir. Mulai saat ini kita nyatakan diri kita sebagai cucu perompak! Alias cucu bajak laut! hahahaa….”
Keduanya berjabat tangan, bersepakat untuk identitas dan sejarah nenek moyang mereka.
Cakra menyilangkan telunjuknya di bibir, “Sstt..jangan lupa, Mar! Pake kata tobat di belakangnya!” kata Cakra. Keduanya kembali tertawa lepas.
Rabu, 26 November 2008
6
Orang hidup dalam dua pilihan di antara seks yang terbangun
dari kekalahan dan kemenangan. Lastri tidak melihat dirinya seperti malaikat.
Meski ia memiliki kesadaran untuk menjadi dirinya sendiri.
Rumah panggung tua di ujung gang itu, cukup sibuk menjelang subuh. Baya dan Umar, biasanya melepaskan kantuk dan dingin laut di atas kursi kayu yang lebar, cukup untuk bersantai atau tidur. Mereka bergumul membuang kebosanan hidup di antara meja dan kursi kayu yang kaki-kakinya mulai lelah. Lalu mandi dan membersihkan diri di atas sajadah.
Suami isteri ini hanya bisa menumpahkan kebutuhan seks subuh itu, saat kedua anaknya masih tertidur pulas di kamar tidur. Kamar itu berhadapan dengan ruang tamu merangkap ruang makan. Kursi kayu yang setia berdiri menyangga keduanya bercinta.
Dari seonggok kursi tua itu pula Baya dan Umar membangun imajinasi seks yang lain. Mereka turun naik berjelajah sampai ke kaki-kaki kursi. Persis sebuah teater yang tengah berkelahi dengan ribuan teks. Meninggalkan biografi kesadaran lama, dan membangun imajinasi baru.
Orang miskin ternyata tak butuh waktu lama untuk mencapai orgasme. Hanya dalam hitungan menit, Baya dan Umar membahagiakan diri mereka. Dan ini cinta. Mereka tidak mau terjebak dalam reproduksi kenikmatan. Bisa saja karena Baya adalah putri seorang sosialis yang membenci pasar dan industri. Meski orangtuanya keluarga mampu, tetepai sejak kecil Baya diajarkan hidup sederhana. Menghargai orang-orang miskin. Kendati kemudian, setelah berkeluarga, kondisi ekonomi Baya dan suaminya menjadi bagian dari keluarga yang tidak mampu.
Sebagai perempuan yang lahir dalam budaya timur, Baya tak memiliki kemampuan mengeja diksi-diksi kebebasan kaum liberal tentang pilihan seks seperti warna gaun tidur, syal, bra dan celana dalam dan stoking hitam, parfum, serta juntaian asesoris perhiasan yang melilit tangan dan leher perempuan negeri sana.
Mungkin obsesi biologis isteri buruh nelayan ini pada suatu waktu akan lebih sederhana. Sehingga selembar kain sarung pun dapat membangun imaji apa saja di hadapan suaminya. Apa lagi Umar tidak banyak menuntut. Baya tak bisa membisikkan bunga, menyusun bahasa pujian, atau mengejakan sebuah kata indah, sebelum menuju perhelatan di atas kursi tua itu.
Usai melakukan ritual subuh, Umar beranjak pergi dengan perahu kecil ke bagan tancap tempatnya bekerja. Tidak lama lagi masuk bulan purnama. Ia yakin purnama kali ini hasil tangkapan ikan lebih banyak dari sebelumnya.
Baya membereskan rumah dan mencuci pakaian, kemudian memasak kue dan gorengan yang akan dijualnya berkeliling pagi itu. Kesibukan rumah petak kecil ini menjelang subuh, sudah rutin dan tertandai tetangga sekitar rumahnya.
Ketika matahari muncul dari belakang rumahnya, Baya sudah keluar berkeliling menjajakan gorengan kue dan penganan sarapan pagi. Suaranya cukup merdu dibawa udara pagi yang berhembus dari perairan Teluk Lampung. Postur tubuh wanita ini masih enak dipandang meski sudah dua kali melahirkan.
Di antara gang sempit, rumah yang terlihat kumuh dan tua, Baya bagai bidadari pagi yang muncul dari cahaya fajar. Ia menapaki jalan papan diapit kanan kiri rumah nelayan yang tak rapi dan bau amis ikan.
“Kue! Nasi uduk..pisang goreng!”
Suara teriakan Baya menyusuri rumah-rumah di perkampungan nelayan. Warga sekitar Gudang lelang hingga ke Gudang Agen sudah hafal dengan suara itu. Sebagian pembeli belanja karena memang merasakan enaknya kue dan sarapan pagi buatan Baya. Sebagian lagi belanja karena ingin menikmati sosok Baya dengan bau sabun yang khas di tubuhnya. Mereka belanja sekaligus sambil menggodanya. Terkadang ada yang nekat memegang lengan perempuan berkulit putih bersih itu. Baya tidak marah. Ia hanya tersenyum, sambil menegur sopan.
Salah satu pelanggan kue Baya adalah Boni dan Lastri. Baya biasanya menghampiri rumah majikan suaminya itu agak siang setelah keliling sejumlah gang di kawasan Gudang Lelang, Ujungboom, sampai ke Gudang Agen, Telukbetung Barat. Boni biasa bangun siang. Sedangkan Lastri, ketika Baya datang, kadang masih di rumah kadang sudah pergi kerja.
Di rumah majikannya, selain menyiapkan kue jualannya, Baya sekaligus membantu Lastri merapikan rumah. Mencuci pakaian, memasak, dan apa saja yang bisa ia dikerjakan.
Lastri tidak sempat mengurus rumah karena waktunya banyak tersita untuk mengurus usaha Boni. Sebelum suaminya bangun, Lastri sering sudah berangkat kerja. Ia sengaja tidak mempekerjakan pembantu, karena kehadiran Baya sudah cukup meringankan urusan rumahnya. Alasan lain, Lastri dan Boni tidak mudah percaya dengan orang lain.
Rumah Boni terbilang mewah ukuran warga sekitarnya. Berada di ujung gang Baruna menghadap ke laut. Rumahnya agak terpisah dari rumah warga sekitar.
Arsitektur rumah Boni berciri khas rumah panggung sentuhan modern itu, berdiri di atas lahan sekitar setengah hektare di pagar tembok keliling.
Semasa mendiang orangtuanya, bentuk khas rumah panggung Lampung Pesisir atau Saibatin masih dipertahankan. Bapak Boni membeli rumah warisan itu dari seorang tokoh adat di Pakuon Ratu, Telukbetung.
Menurut cerita, dulunya rumah itu milik salah seorang punyimbang adat di Gudang Agen. Masyarakat Lampung Saibatin menyebut rumah adalah lamban.
Rumah panggung terbagi dua yakni, rumah kepala adat atau punyimbang adat, dan rumah masyarakat biasa. Rumah panggung yang ditempati Boni dikenal warga rumah kepala adat, dulu disebut Lamban Balak atau rumah besar. Sedangkan rumah tempat pertemuan keluarga disebut Nuwo Balak, dan sesat berupa aula tempat masyarakat adat berkumpul atau beracara.
Rumah beserta ragam hiasannya, bagi masyarakat Lampung, selain berfungsi tempat berteduh dan menambah keindahan, juga mengandung filosofi, nilai-nilai kehidupan, adat kebiasaan, pandangan hidup, norma, tatanan nilai, sekaligus pesan moral bagi para penghuni serta para kerabatnya. Dengan pemahaman demikian, arsitektur tradisional Lampung banyak menggambarkan kebudayaan masyarakat Lampung.
Seperti umumnya bangunan di kawasan hutan tropis, rumah tradisional Lampung banyak memanfaatkan produk hutan berupa kayu sebagai bahan baku. Ragam hiasnya juga berupa flora, fauna, dan alam sekitarnya. Karena kondisi alam, bangunan tradisional masyarakat Lampung umumnya berupa panggung untuk menghindari hewan liar serta beratap miring agar air hujan cepat meluncur ke sekitar bangunan.
Melihat arsitekturnya, rumah Boni dibangun sekitar tahun 1930-an, sehingga bentuk sangat menyolok dari rumah Lampung periode tahun 1900-an, yakni berbentuk segi empat dan beratap ijuk, sedikit jendela, dan tidak memiliki beranda. Rumah periode 1900-an disebut kekopni lamban atau pemugungan. Rumah semacam ini terdapat di Kenali dan Liwa, Kabupaten Lampung Barat.
Periode tahun 1930-an, atap ijuk mulai diganti seng dan genting. Harga lada yang tinggi membuat masyarakat Lampung mampu membuat rumah lebih besar. Bahkan mendatangkan genting atau seng dari luar Lampung. Tenaga tukang didatangkan dari Meranjat, Sumatera Selatan. Plafon rumah banyak berubah menjadi limas atau pamugung sayung. Bumbungan rumah limas pengaruh dari rumah panggung di Meranjat, Sumatera Selatan. Rumah semacam ini tersebar hampir di seluruh Lampung.
Meski telah direnovasi bagian bawahnya atau bah lamban menjadi semen beton, namun tipologi rumah panggung Boni berbentuk segi empat panjang pesagi atau mahanyukan masih terlihat bentuk asli yang sengaja dipertahankan. Hanya di bagian samping kiri agak ke depan, dibuat tambahan atap bertingkat, dengan dinding papan dan jendela ukuran cukup luas. Tambahan semi bertingkat itu dimaksudkan agar memberi keleluasaan pandangan dari balkon ruang tengah rumahnya bisa melihat panorama laut lebih luas.
Rumah Boni disebut bangkok karena melebar menghadap jalan. Di halaman samping kanan rumahnya ada tempat lapangan penjemuran dan gudang. Sedangkan di sebelah kanan halaman rumah dibangun kamar tidur tamu yang bersebelahan garasi mobil. Di garasi besar itu ada tiga mobil, satu mobil sedan Lastri dan dua mobil jip milik Boni.
Rumah Boni tidak jauh dari lokasi pantai yang telah diuruk menjadi areal reklamasi PT. Bumisegar milik pengusaha dari Palembang, Cek Din. Sejak proyek pengurukan pantai itu bermasalah, dan Cek Din meninggal dunia, bangunan gudang untuk menyimpan barang dan parkir alat berat seperti eskavator, greeder, dan fibro, di areal itu, sempat terlantar. Kegiatan reklamasi pantai, dilanjutkan perusahaan lain, seijin pemda kota. Penimbunan pesisir laut itu hampir mengubur seluruh pantai di Telukbetung.
Baya biasanya pulang ke rumah menjelang beduk Dzuhur. Ia meninggalkan rumah majikannya itu, tidak lama setelah Boni bangun tidur. Layaknya seorang pembantu dengan majikan, Baya menyiapkan kopi dan kue pukis dan lapis ketan yang disukai Boni. Kadangkala Baya merasa risih dengan pelayanan yang diberikannya kepada Boni. Ia merasa tidak pantas ada berdua dalam rumah itu tanpa Lastri, isteri majikannya.
Sulit bagi Baya untuk tidak memilah-milah antara ketidakpantasan dengan kekeluargaan. Apalagi Baya cukup memahami tabiat Boni yang suka usil dengan perempuan terutama isteri orang. Tetapi keberadaan Baya dan suaminya yang bekerja dengan Boni, menepiskan ketidakpantasan itu. Baya mau tidak mau mengubah hal-hal yang kurang wajar menjadi wajar-wajar saja. Selagi masih dalam batasan moral dan agama.
Beberapa kali Boni mencoba merayu bahkan menyentuh tubuh Baya. Tetapi sejauh ini Baya masih bisa menjaga diri dan memberikan pengertian secara halus kepada majikan suaminya itu. Ia tetap berlaku sopan untuk menjaga agar Boni tidak tersinggung. Biasanya Boni dapat menerima dan sadar apa yang dilakukannya.
“Maaf.”
“Saya mengerti, Pak,” jawab Baya sembari menjauh dari Boni.
“Kamu paham apa yang menjadi kegelisahanku. Tetapi, ya..sudahlah!”
“Maafkan saya, Pak,” sahut Baya.
Setiap pamit pulang, Boni memberi uang. Tetapi Baya selalu mencari alasan untuk menolak.
“Jangan ditolak, uang ini untuk Lina dan Gofur,” desak Boni.
Di benak Baya uang pemberian Boni sangat membantu kebutuhan keluarganya. Namun Baya tidak mau merusak rumah tangga Boni dan Lastri. Baya sangat menaruh hormat kepada Lastri. Apalagi Lastri sangat baik memperlakukan suami dan keluarganya.
Jika waktu senggang Lastri sering berkunjung ke rumahnya. Selalu memberi sesuatu. Membelikan baju atau peralatan sekolah kedua anaknya.
Baya jadi tidak enak atas kebaikan Lastri. Ia tidak tahu apakah sikap Lastri itu lebih kepada kompensasi karena belum dikarunia anak.
Lastri memperlakukan Lina dan Gofur seperti anaknya sendiri. Bila hari minggu, Lina dan Gofur kerapkali diajak main ke rumah mereka.
Setahu Baya, baik Boni dan Lastri tidak ada masalah secara medis sehingga mereka belum mendapatkan keturunan. Keduanya terlihat sehat. Bahkan Lastri pernah bercerita bahwa ia sempat hamil, namun mengalami keguguran saat kandungannya berusia dua bulan.
Penuturan Lastri bisa saja benar, namun bisa juga untuk menghibur diri sendiri, sambil menutupi kekurangannya.
Boni pernah kawin dengan perempuan lain di kampungnya, namun gagal mempunyai anak, lalu bercerai tanpa sebab yang jelas.
“Keluargaku menyarankan kami berobat alternatif, tapi Boni selalu keberatan. Ia tidak percaya kepada hal-hal mistik dan tak masuk akal,” kata Lastri suatu hari.
“Maaf Mbak, ada keinginan untuk ngadopsi anak?” tanya Baya hati-hati.
“Sudah aku sampaikan. Tetapi Boni tidak setuju, mungkin ia takut dikatakan mandul,” jelas Lastri sangat lepas.
Baya tak berani menanggapi lebih jauh, ia takut salah ucap. Ia hanya diam, namun Lastri juga diam. Beberapa saat keduanya seperti terpaku.
Wajah Lastri terlihat gusar. Ia lambungkan matanya ke panggar, langit-langit atu plafon rumah yang menyerupai resi. Suasana ruang tengah tempat biasa ibu-ibu kumpul arisan atau lapang lom mendadak hening. Baya kikuk, ia buang pandangan ke samping kanan ruang lapang alom. Ada dua kamar tidur atau kebik yang menjadi bagian antara dari ruang lapang lom itu dengan lapang luar ke arah serambi atau beranda depan atau tepas rumah panggung itu.
“Lelaki egois!” sentak Lastri.
“Mereka menganggap dirinya makhluk paling agung di muka bumi. Aku tidak tahu apakah Tuhan juga berkelamin laki-laki ?” gugat Lastri.
Baya hanya mendengarkan caci maki Lastri, sembari membersihkan kaki meja. Entah, kesepakatan apa yang dibuat orang-orang dahulu, ketika perempuan dilamar dalam usia belum mencapai pubertas.
Lastri mempertanyakan kembali alasan mendasar pembatasan ras, adat, agama, dan kewarganegaraan, jika pada akhirnya menjadi pembenaran negara untuk mengesahkan manusia berkelamin laki-laki berkuasa.
Lastri tiba-tiba berubah seperti perisai perempuan. Baya berusaha mengartikan maksud pembicaraan Lastri. Kendati belum tahu kemana arahnya.
Lastri melihat kehamilan merupakan bagian pengakuan tanggungjawab bersama laki-laki dan perempuan.
“Sudah 13 tahun aku disia-siakan. Aku berpikir, apakah masih ada laki-laki dalam rumah ini. Bertahun-tahun aku sendirian mengurus rumah dan usaha suami. Aku dipaksa memikul beban ganda. Pikiranku terkuras untuk mempertahankan rumah tangga ini. Tetapi, apa yang ku dapat? ”
“Sabar, Mbak. Ini ujian.”
Hanya itu yang dapat diucapkan Baya. Di balik sikap lembut dan perhatian, ternyata Lastri memiliki pandangan dan kesadaran yang kuat tentang kesetaraan hak-hak perempuan dan laki-laki. Mungkin pengalaman, jam terbang, serta pergaulan bisnisnya membuat ia lebih kritis dan mapan bersikap.
Lastri menginterogasi dirinya sendiri atas sentimen kelamin antarmanusia. Ia berpikir mampu mengintegrasikan beragam perbedaan lelaki dengan perempuan, dalam satu kesepakatan.
Orang hidup dalam dua pilihan di antara seks yang terbangun dari kekalahan dan kemenangan. Lastri tidak melihat dirinya seperti malaikat. Meski Ia memiliki kesadaran untuk menjadi dirinya sendiri.
Begitu banyak perempuan terkalahkan oleh setetes sperma yang dikeluarkan oleh lelaki berjiwa kotor dan menjijikkan. Tetapi cinta dan sebongkah kesetiaan purba, mendorong para perempuan masuk ke ruang gelap. Agama menjadi liberal. Mereka merangkak dan berharap ada yang menuntunnya sampai bertemu cahaya pemandu keluar dari berbagai persoalan. Bagi perempuan liberal, kebebasan dan poligami tidak ada kaitan dengan etika dan aturan perkawinan yang dibuat negara. .
Sebagai muslim dan perempuan Timur, Lastri membaca kebebasan adalah bentuk perlawanan terhadap akidah dan norma agama. Sehingga ia selalu kalah. Selalu patuh perintah suaminya, termasuk bercinta. Ia tak pernah berani menolak permintaan seks suaminya. Atau melarang suaminya berbuat apa saja. Lastri membaca kebebasan adalah bentuk pemberontakan. Dan ia tersiksa. Sekarat dalam bingkai anatomi sejarah dan tradisi budaya leluhurnya. Ia taklukkan progresifitas dirinya dengan kesetiaan.
“Entahlah...Mengapa aku menyukai Boni dengan segala kesalahan yang diperbuatnya,” ucap Lastri sembari merapikan kain taplak meja batu, tempat ia dan Baya bicara berhadap-hadapan.
“Ada kesewenangan di rumah ini,” suara Lastri kembali meninggi.
“Saya tetap yakin, Boni sangat sayang kepada Mbak Lastri,” pancing Baya.
“Karena itu ia menyiksaku!”
“Maksudnya?”
“Cinta, kasih sayang, serta ungkapan lainnya, adalah siasat Boni untuk menguasai dan menindas aku!”
“Mbak pernah dipukul atau diperlakukan kasar?”
Lastri menggeleng. “Tetapi kamu harus paham, kekerasan yang aku ributkan sejak tadi bukan kekerasan fisik. Tapi tekanan batin yang keterlaluan.”
“Mungkin, Pak Boni mengganggap Mbak terlalu banyak menuntut.”
“Apa?” Lastri agak kaget mendengar ucapan Baya itu.
“E..e, maaf. Maksud saya, Mbak dan Pak Boni butuh suasana baru.”
“Aku tidak mengerti maksudmu?”
“E, maksud saya, mungkin perlu jalan-jalan, berwisata atau mencari hiburan. Jangan terlalu disibukkan oleh pekerjaan,” kata Baya meredakan emosi Lastri.
“Apa yang kamu bilang sudah aku sampaikan dari dulu. Ia selalu mengelak dengan alasan macam-macam.”
Lastri terdiam. Ia tak sanggup menahan air matanya. Raut muka perempuan itu seperti mengungkapkan kekecewaan mendalam. Lebih sekedar 13 tahun penantian. Orang sulit berhitung waktu, ketika harapan sudah terkandaskan. Hati perempuan memang tak sekeras laki-laki. Barangkali itulah hakikat penandaan identitasnya. Ada keterbatasan lahiriah.
Sembari mengusapkan sapu tangan ke wajahnya yang sembab, Lastri bergegas ke kamar tidur, lalu keluar membawa tas dan kunci mobil.
“Siang ini aku ada janji,” ujarnya sembari meninggalkan uang belanja di atas meja.
Baya masih tertegun menatap Lastri pergi melalui geragal atau jerambah yang berfungsi sebagai penghubung antara rumah dan dapur atau pawon. Bentuknya seperti lorong atau koridor yang atapnya hampir sejajar dengan ruang dapur. Pelan-pelan Lastri menghilang dari pandangan Baya.
Baya masih menatap ujung geragal, sebagai suami orang Lampung pesisir. Baya paham bahwa rumah yang memiliki geragal adalah rumah penyimbang adat atau warga masyarakat yang terpandang. Baya kemudian menuju ke bagian belakang rumah merapikan dapur.
dari kekalahan dan kemenangan. Lastri tidak melihat dirinya seperti malaikat.
Meski ia memiliki kesadaran untuk menjadi dirinya sendiri.
Rumah panggung tua di ujung gang itu, cukup sibuk menjelang subuh. Baya dan Umar, biasanya melepaskan kantuk dan dingin laut di atas kursi kayu yang lebar, cukup untuk bersantai atau tidur. Mereka bergumul membuang kebosanan hidup di antara meja dan kursi kayu yang kaki-kakinya mulai lelah. Lalu mandi dan membersihkan diri di atas sajadah.
Suami isteri ini hanya bisa menumpahkan kebutuhan seks subuh itu, saat kedua anaknya masih tertidur pulas di kamar tidur. Kamar itu berhadapan dengan ruang tamu merangkap ruang makan. Kursi kayu yang setia berdiri menyangga keduanya bercinta.
Dari seonggok kursi tua itu pula Baya dan Umar membangun imajinasi seks yang lain. Mereka turun naik berjelajah sampai ke kaki-kaki kursi. Persis sebuah teater yang tengah berkelahi dengan ribuan teks. Meninggalkan biografi kesadaran lama, dan membangun imajinasi baru.
Orang miskin ternyata tak butuh waktu lama untuk mencapai orgasme. Hanya dalam hitungan menit, Baya dan Umar membahagiakan diri mereka. Dan ini cinta. Mereka tidak mau terjebak dalam reproduksi kenikmatan. Bisa saja karena Baya adalah putri seorang sosialis yang membenci pasar dan industri. Meski orangtuanya keluarga mampu, tetepai sejak kecil Baya diajarkan hidup sederhana. Menghargai orang-orang miskin. Kendati kemudian, setelah berkeluarga, kondisi ekonomi Baya dan suaminya menjadi bagian dari keluarga yang tidak mampu.
Sebagai perempuan yang lahir dalam budaya timur, Baya tak memiliki kemampuan mengeja diksi-diksi kebebasan kaum liberal tentang pilihan seks seperti warna gaun tidur, syal, bra dan celana dalam dan stoking hitam, parfum, serta juntaian asesoris perhiasan yang melilit tangan dan leher perempuan negeri sana.
Mungkin obsesi biologis isteri buruh nelayan ini pada suatu waktu akan lebih sederhana. Sehingga selembar kain sarung pun dapat membangun imaji apa saja di hadapan suaminya. Apa lagi Umar tidak banyak menuntut. Baya tak bisa membisikkan bunga, menyusun bahasa pujian, atau mengejakan sebuah kata indah, sebelum menuju perhelatan di atas kursi tua itu.
Usai melakukan ritual subuh, Umar beranjak pergi dengan perahu kecil ke bagan tancap tempatnya bekerja. Tidak lama lagi masuk bulan purnama. Ia yakin purnama kali ini hasil tangkapan ikan lebih banyak dari sebelumnya.
Baya membereskan rumah dan mencuci pakaian, kemudian memasak kue dan gorengan yang akan dijualnya berkeliling pagi itu. Kesibukan rumah petak kecil ini menjelang subuh, sudah rutin dan tertandai tetangga sekitar rumahnya.
Ketika matahari muncul dari belakang rumahnya, Baya sudah keluar berkeliling menjajakan gorengan kue dan penganan sarapan pagi. Suaranya cukup merdu dibawa udara pagi yang berhembus dari perairan Teluk Lampung. Postur tubuh wanita ini masih enak dipandang meski sudah dua kali melahirkan.
Di antara gang sempit, rumah yang terlihat kumuh dan tua, Baya bagai bidadari pagi yang muncul dari cahaya fajar. Ia menapaki jalan papan diapit kanan kiri rumah nelayan yang tak rapi dan bau amis ikan.
“Kue! Nasi uduk..pisang goreng!”
Suara teriakan Baya menyusuri rumah-rumah di perkampungan nelayan. Warga sekitar Gudang lelang hingga ke Gudang Agen sudah hafal dengan suara itu. Sebagian pembeli belanja karena memang merasakan enaknya kue dan sarapan pagi buatan Baya. Sebagian lagi belanja karena ingin menikmati sosok Baya dengan bau sabun yang khas di tubuhnya. Mereka belanja sekaligus sambil menggodanya. Terkadang ada yang nekat memegang lengan perempuan berkulit putih bersih itu. Baya tidak marah. Ia hanya tersenyum, sambil menegur sopan.
Salah satu pelanggan kue Baya adalah Boni dan Lastri. Baya biasanya menghampiri rumah majikan suaminya itu agak siang setelah keliling sejumlah gang di kawasan Gudang Lelang, Ujungboom, sampai ke Gudang Agen, Telukbetung Barat. Boni biasa bangun siang. Sedangkan Lastri, ketika Baya datang, kadang masih di rumah kadang sudah pergi kerja.
Di rumah majikannya, selain menyiapkan kue jualannya, Baya sekaligus membantu Lastri merapikan rumah. Mencuci pakaian, memasak, dan apa saja yang bisa ia dikerjakan.
Lastri tidak sempat mengurus rumah karena waktunya banyak tersita untuk mengurus usaha Boni. Sebelum suaminya bangun, Lastri sering sudah berangkat kerja. Ia sengaja tidak mempekerjakan pembantu, karena kehadiran Baya sudah cukup meringankan urusan rumahnya. Alasan lain, Lastri dan Boni tidak mudah percaya dengan orang lain.
Rumah Boni terbilang mewah ukuran warga sekitarnya. Berada di ujung gang Baruna menghadap ke laut. Rumahnya agak terpisah dari rumah warga sekitar.
Arsitektur rumah Boni berciri khas rumah panggung sentuhan modern itu, berdiri di atas lahan sekitar setengah hektare di pagar tembok keliling.
Semasa mendiang orangtuanya, bentuk khas rumah panggung Lampung Pesisir atau Saibatin masih dipertahankan. Bapak Boni membeli rumah warisan itu dari seorang tokoh adat di Pakuon Ratu, Telukbetung.
Menurut cerita, dulunya rumah itu milik salah seorang punyimbang adat di Gudang Agen. Masyarakat Lampung Saibatin menyebut rumah adalah lamban.
Rumah panggung terbagi dua yakni, rumah kepala adat atau punyimbang adat, dan rumah masyarakat biasa. Rumah panggung yang ditempati Boni dikenal warga rumah kepala adat, dulu disebut Lamban Balak atau rumah besar. Sedangkan rumah tempat pertemuan keluarga disebut Nuwo Balak, dan sesat berupa aula tempat masyarakat adat berkumpul atau beracara.
Rumah beserta ragam hiasannya, bagi masyarakat Lampung, selain berfungsi tempat berteduh dan menambah keindahan, juga mengandung filosofi, nilai-nilai kehidupan, adat kebiasaan, pandangan hidup, norma, tatanan nilai, sekaligus pesan moral bagi para penghuni serta para kerabatnya. Dengan pemahaman demikian, arsitektur tradisional Lampung banyak menggambarkan kebudayaan masyarakat Lampung.
Seperti umumnya bangunan di kawasan hutan tropis, rumah tradisional Lampung banyak memanfaatkan produk hutan berupa kayu sebagai bahan baku. Ragam hiasnya juga berupa flora, fauna, dan alam sekitarnya. Karena kondisi alam, bangunan tradisional masyarakat Lampung umumnya berupa panggung untuk menghindari hewan liar serta beratap miring agar air hujan cepat meluncur ke sekitar bangunan.
Melihat arsitekturnya, rumah Boni dibangun sekitar tahun 1930-an, sehingga bentuk sangat menyolok dari rumah Lampung periode tahun 1900-an, yakni berbentuk segi empat dan beratap ijuk, sedikit jendela, dan tidak memiliki beranda. Rumah periode 1900-an disebut kekopni lamban atau pemugungan. Rumah semacam ini terdapat di Kenali dan Liwa, Kabupaten Lampung Barat.
Periode tahun 1930-an, atap ijuk mulai diganti seng dan genting. Harga lada yang tinggi membuat masyarakat Lampung mampu membuat rumah lebih besar. Bahkan mendatangkan genting atau seng dari luar Lampung. Tenaga tukang didatangkan dari Meranjat, Sumatera Selatan. Plafon rumah banyak berubah menjadi limas atau pamugung sayung. Bumbungan rumah limas pengaruh dari rumah panggung di Meranjat, Sumatera Selatan. Rumah semacam ini tersebar hampir di seluruh Lampung.
Meski telah direnovasi bagian bawahnya atau bah lamban menjadi semen beton, namun tipologi rumah panggung Boni berbentuk segi empat panjang pesagi atau mahanyukan masih terlihat bentuk asli yang sengaja dipertahankan. Hanya di bagian samping kiri agak ke depan, dibuat tambahan atap bertingkat, dengan dinding papan dan jendela ukuran cukup luas. Tambahan semi bertingkat itu dimaksudkan agar memberi keleluasaan pandangan dari balkon ruang tengah rumahnya bisa melihat panorama laut lebih luas.
Rumah Boni disebut bangkok karena melebar menghadap jalan. Di halaman samping kanan rumahnya ada tempat lapangan penjemuran dan gudang. Sedangkan di sebelah kanan halaman rumah dibangun kamar tidur tamu yang bersebelahan garasi mobil. Di garasi besar itu ada tiga mobil, satu mobil sedan Lastri dan dua mobil jip milik Boni.
Rumah Boni tidak jauh dari lokasi pantai yang telah diuruk menjadi areal reklamasi PT. Bumisegar milik pengusaha dari Palembang, Cek Din. Sejak proyek pengurukan pantai itu bermasalah, dan Cek Din meninggal dunia, bangunan gudang untuk menyimpan barang dan parkir alat berat seperti eskavator, greeder, dan fibro, di areal itu, sempat terlantar. Kegiatan reklamasi pantai, dilanjutkan perusahaan lain, seijin pemda kota. Penimbunan pesisir laut itu hampir mengubur seluruh pantai di Telukbetung.
Baya biasanya pulang ke rumah menjelang beduk Dzuhur. Ia meninggalkan rumah majikannya itu, tidak lama setelah Boni bangun tidur. Layaknya seorang pembantu dengan majikan, Baya menyiapkan kopi dan kue pukis dan lapis ketan yang disukai Boni. Kadangkala Baya merasa risih dengan pelayanan yang diberikannya kepada Boni. Ia merasa tidak pantas ada berdua dalam rumah itu tanpa Lastri, isteri majikannya.
Sulit bagi Baya untuk tidak memilah-milah antara ketidakpantasan dengan kekeluargaan. Apalagi Baya cukup memahami tabiat Boni yang suka usil dengan perempuan terutama isteri orang. Tetapi keberadaan Baya dan suaminya yang bekerja dengan Boni, menepiskan ketidakpantasan itu. Baya mau tidak mau mengubah hal-hal yang kurang wajar menjadi wajar-wajar saja. Selagi masih dalam batasan moral dan agama.
Beberapa kali Boni mencoba merayu bahkan menyentuh tubuh Baya. Tetapi sejauh ini Baya masih bisa menjaga diri dan memberikan pengertian secara halus kepada majikan suaminya itu. Ia tetap berlaku sopan untuk menjaga agar Boni tidak tersinggung. Biasanya Boni dapat menerima dan sadar apa yang dilakukannya.
“Maaf.”
“Saya mengerti, Pak,” jawab Baya sembari menjauh dari Boni.
“Kamu paham apa yang menjadi kegelisahanku. Tetapi, ya..sudahlah!”
“Maafkan saya, Pak,” sahut Baya.
Setiap pamit pulang, Boni memberi uang. Tetapi Baya selalu mencari alasan untuk menolak.
“Jangan ditolak, uang ini untuk Lina dan Gofur,” desak Boni.
Di benak Baya uang pemberian Boni sangat membantu kebutuhan keluarganya. Namun Baya tidak mau merusak rumah tangga Boni dan Lastri. Baya sangat menaruh hormat kepada Lastri. Apalagi Lastri sangat baik memperlakukan suami dan keluarganya.
Jika waktu senggang Lastri sering berkunjung ke rumahnya. Selalu memberi sesuatu. Membelikan baju atau peralatan sekolah kedua anaknya.
Baya jadi tidak enak atas kebaikan Lastri. Ia tidak tahu apakah sikap Lastri itu lebih kepada kompensasi karena belum dikarunia anak.
Lastri memperlakukan Lina dan Gofur seperti anaknya sendiri. Bila hari minggu, Lina dan Gofur kerapkali diajak main ke rumah mereka.
Setahu Baya, baik Boni dan Lastri tidak ada masalah secara medis sehingga mereka belum mendapatkan keturunan. Keduanya terlihat sehat. Bahkan Lastri pernah bercerita bahwa ia sempat hamil, namun mengalami keguguran saat kandungannya berusia dua bulan.
Penuturan Lastri bisa saja benar, namun bisa juga untuk menghibur diri sendiri, sambil menutupi kekurangannya.
Boni pernah kawin dengan perempuan lain di kampungnya, namun gagal mempunyai anak, lalu bercerai tanpa sebab yang jelas.
“Keluargaku menyarankan kami berobat alternatif, tapi Boni selalu keberatan. Ia tidak percaya kepada hal-hal mistik dan tak masuk akal,” kata Lastri suatu hari.
“Maaf Mbak, ada keinginan untuk ngadopsi anak?” tanya Baya hati-hati.
“Sudah aku sampaikan. Tetapi Boni tidak setuju, mungkin ia takut dikatakan mandul,” jelas Lastri sangat lepas.
Baya tak berani menanggapi lebih jauh, ia takut salah ucap. Ia hanya diam, namun Lastri juga diam. Beberapa saat keduanya seperti terpaku.
Wajah Lastri terlihat gusar. Ia lambungkan matanya ke panggar, langit-langit atu plafon rumah yang menyerupai resi. Suasana ruang tengah tempat biasa ibu-ibu kumpul arisan atau lapang lom mendadak hening. Baya kikuk, ia buang pandangan ke samping kanan ruang lapang alom. Ada dua kamar tidur atau kebik yang menjadi bagian antara dari ruang lapang lom itu dengan lapang luar ke arah serambi atau beranda depan atau tepas rumah panggung itu.
“Lelaki egois!” sentak Lastri.
“Mereka menganggap dirinya makhluk paling agung di muka bumi. Aku tidak tahu apakah Tuhan juga berkelamin laki-laki ?” gugat Lastri.
Baya hanya mendengarkan caci maki Lastri, sembari membersihkan kaki meja. Entah, kesepakatan apa yang dibuat orang-orang dahulu, ketika perempuan dilamar dalam usia belum mencapai pubertas.
Lastri mempertanyakan kembali alasan mendasar pembatasan ras, adat, agama, dan kewarganegaraan, jika pada akhirnya menjadi pembenaran negara untuk mengesahkan manusia berkelamin laki-laki berkuasa.
Lastri tiba-tiba berubah seperti perisai perempuan. Baya berusaha mengartikan maksud pembicaraan Lastri. Kendati belum tahu kemana arahnya.
Lastri melihat kehamilan merupakan bagian pengakuan tanggungjawab bersama laki-laki dan perempuan.
“Sudah 13 tahun aku disia-siakan. Aku berpikir, apakah masih ada laki-laki dalam rumah ini. Bertahun-tahun aku sendirian mengurus rumah dan usaha suami. Aku dipaksa memikul beban ganda. Pikiranku terkuras untuk mempertahankan rumah tangga ini. Tetapi, apa yang ku dapat? ”
“Sabar, Mbak. Ini ujian.”
Hanya itu yang dapat diucapkan Baya. Di balik sikap lembut dan perhatian, ternyata Lastri memiliki pandangan dan kesadaran yang kuat tentang kesetaraan hak-hak perempuan dan laki-laki. Mungkin pengalaman, jam terbang, serta pergaulan bisnisnya membuat ia lebih kritis dan mapan bersikap.
Lastri menginterogasi dirinya sendiri atas sentimen kelamin antarmanusia. Ia berpikir mampu mengintegrasikan beragam perbedaan lelaki dengan perempuan, dalam satu kesepakatan.
Orang hidup dalam dua pilihan di antara seks yang terbangun dari kekalahan dan kemenangan. Lastri tidak melihat dirinya seperti malaikat. Meski Ia memiliki kesadaran untuk menjadi dirinya sendiri.
Begitu banyak perempuan terkalahkan oleh setetes sperma yang dikeluarkan oleh lelaki berjiwa kotor dan menjijikkan. Tetapi cinta dan sebongkah kesetiaan purba, mendorong para perempuan masuk ke ruang gelap. Agama menjadi liberal. Mereka merangkak dan berharap ada yang menuntunnya sampai bertemu cahaya pemandu keluar dari berbagai persoalan. Bagi perempuan liberal, kebebasan dan poligami tidak ada kaitan dengan etika dan aturan perkawinan yang dibuat negara. .
Sebagai muslim dan perempuan Timur, Lastri membaca kebebasan adalah bentuk perlawanan terhadap akidah dan norma agama. Sehingga ia selalu kalah. Selalu patuh perintah suaminya, termasuk bercinta. Ia tak pernah berani menolak permintaan seks suaminya. Atau melarang suaminya berbuat apa saja. Lastri membaca kebebasan adalah bentuk pemberontakan. Dan ia tersiksa. Sekarat dalam bingkai anatomi sejarah dan tradisi budaya leluhurnya. Ia taklukkan progresifitas dirinya dengan kesetiaan.
“Entahlah...Mengapa aku menyukai Boni dengan segala kesalahan yang diperbuatnya,” ucap Lastri sembari merapikan kain taplak meja batu, tempat ia dan Baya bicara berhadap-hadapan.
“Ada kesewenangan di rumah ini,” suara Lastri kembali meninggi.
“Saya tetap yakin, Boni sangat sayang kepada Mbak Lastri,” pancing Baya.
“Karena itu ia menyiksaku!”
“Maksudnya?”
“Cinta, kasih sayang, serta ungkapan lainnya, adalah siasat Boni untuk menguasai dan menindas aku!”
“Mbak pernah dipukul atau diperlakukan kasar?”
Lastri menggeleng. “Tetapi kamu harus paham, kekerasan yang aku ributkan sejak tadi bukan kekerasan fisik. Tapi tekanan batin yang keterlaluan.”
“Mungkin, Pak Boni mengganggap Mbak terlalu banyak menuntut.”
“Apa?” Lastri agak kaget mendengar ucapan Baya itu.
“E..e, maaf. Maksud saya, Mbak dan Pak Boni butuh suasana baru.”
“Aku tidak mengerti maksudmu?”
“E, maksud saya, mungkin perlu jalan-jalan, berwisata atau mencari hiburan. Jangan terlalu disibukkan oleh pekerjaan,” kata Baya meredakan emosi Lastri.
“Apa yang kamu bilang sudah aku sampaikan dari dulu. Ia selalu mengelak dengan alasan macam-macam.”
Lastri terdiam. Ia tak sanggup menahan air matanya. Raut muka perempuan itu seperti mengungkapkan kekecewaan mendalam. Lebih sekedar 13 tahun penantian. Orang sulit berhitung waktu, ketika harapan sudah terkandaskan. Hati perempuan memang tak sekeras laki-laki. Barangkali itulah hakikat penandaan identitasnya. Ada keterbatasan lahiriah.
Sembari mengusapkan sapu tangan ke wajahnya yang sembab, Lastri bergegas ke kamar tidur, lalu keluar membawa tas dan kunci mobil.
“Siang ini aku ada janji,” ujarnya sembari meninggalkan uang belanja di atas meja.
Baya masih tertegun menatap Lastri pergi melalui geragal atau jerambah yang berfungsi sebagai penghubung antara rumah dan dapur atau pawon. Bentuknya seperti lorong atau koridor yang atapnya hampir sejajar dengan ruang dapur. Pelan-pelan Lastri menghilang dari pandangan Baya.
Baya masih menatap ujung geragal, sebagai suami orang Lampung pesisir. Baya paham bahwa rumah yang memiliki geragal adalah rumah penyimbang adat atau warga masyarakat yang terpandang. Baya kemudian menuju ke bagian belakang rumah merapikan dapur.
Selasa, 25 November 2008
5
Along sering diledeki anak pribumi dengan cercaan kasar; “..dasar Cino Botol!”, “Cino Kaleng!“,
“Cino Kebon!”, dan ucapan diskriminatif lainnya. Namun, karena sadar kondisi keluarganya yang memang miskin, Along hanya diam.
Mei Hwa tidak ikut Along pindah ke Lampung. Ia ditunjuk perusahaannya di Jakarta menjadi manajer pemasaran obat suplemen dari Tianjing, China, ke wilayah Sumatera Bagian Selatan. Kendali operasionalnya berada di Palembang. Alasan lain, anaknya Erik, memilih sekolah di Palembang.
Mei cukup menikmati pekerjaannya, karena ketika sekolah ia memang tertarik dengan dunia bioteknologi. Bagi Mei dunia bioteknologi memberi sumbangan besar bagi kesehatan manusia. Ia masih ingat “Prinsip Kesatuan” dalam teori Yin Yang. Semua sistem tubuh ter-integrasi dan tidak terpisahkan. Ketika satu bagian tubuh terdiagnosa penyakit, kita harus memperhatikan seluruh bagian tubuh agar tidak melukai tubuh yang lain.
Kepada konsumen, Mei selalu menyebarkan prinsip; lebih baik mencegah dari pada mengobati. Manusia butuh daya tahan, daya tawar, dan daya takluk, tehadap penyakit apa saja. Saat prospek penjelasan produk, kepada anggota jaringannya, Mei selalu bicara soal strategi pemasaran dengan ungkapan; “tubuh sehat, bisnis pun kuat!” Maka selain menjual Mei juga menyarankan anggotanya ikut mengonsumsi suplemen tradisional itu.
“Tubuh adalah nutrisi!” Demikian Mei mengawali pembicaraan ketika mengenalkan produk suplemen nutrisi. Ia mampu bercerita ilmiah layaknya seorang apoteker, untuk menjelaskan produk nutrisi seperti, bubuk instan Sumsum Komplek atau Ganggang Spiral.
“Manusia adalah makhluk berpikir!” Maka Mei menawarkan suplemen penguat otak. Ia cukup hapal dan terlatih bercerita legenda tentang pohon Ginkgobiloba, sebuah pohon yang berumur 2800 tahun dan sampai kini masih bertahan hidup di bumi China. Pohon yang memiliki daya tahan sangat kuat itu, sering disebut “fosil hidup”.
Pohon Ginkgo banyak dikaitkan dengan mitos keuletan kerja masyarakat China di masa lampau. Daun-daun Ginkgobiloba inilah yang kemudian dipercaya oleh leluhur China memiliki khasiat obat-obatan. Kemudian oleh industri China, daun-daun ginkgo itu dikembangkan. Diambil ekstraknya, lalu diolah menjadi obat suplemen otak yang namanya tetap diambil dari nama pohon Ginkgobiloba itu. Dari uji laboratorium peneliti di Perancis, Ginkgo dapat melindungi sel-sel otak, mempercepat sirkulasi darah, sehingga sel-sel otak dapat kecukupan oksigen dan glukosa.
Mei Hwa mulai memahami cerita leluhurnya bahwa semua obat punya sejarah. Ganoderma Lucidum misalnya, adalah sejenis obat kesehatan tradisional China yang sangat bermutu. Mei mengetahuinya dari kitab lama “Pen Zhao”, di dalam direktori obat China milik engkongnya. Salah satu isi kitab “Pen Zhao,” itu, menyebutkan bahwa lucidum sering dijuluki sebagai “obat dewa”.
Genoderma Lucidum dipercaya dapat membantu percepatan penyembuhan luka habis operasi, atau penderita kanker yang sedang menjalankan kemoterapi. Sehingga pasca kemoterapi tidak terjadi gejala muntah, kerontokan rambut, sakit, kekurangan sel darah putih, atau timbulnya racun di dalam tubuh. Selain juga dapat mengobati lemah syaraf, infeksi paru-paru, asma, dan alergi.
Demikian siasat “iklan kecap” yang digunakan Mei Hwa untuk meruntuhkan hati calon konsumen agar membeli dagangannya.
Karena sukses membangun jaringan, Mei bersama dua kawannya, Fahmi dan Pipit, dipercaya perusahaannya, mendirikan stokis atau agen di wilayah Sumatera Selatan. Usaha distribusi suplemen ini, sudah berjalan selama tiga tahun. Dengan omset penjualan rata-rata per bulan mencapai ratusan juta rupiah. Mei beberapa kali diundang berjalan-jalan ke Beijing, mengunjungi perusahan obat suplemen itu di Tianjing. Mei melihatdan belajar bahwa di antara industri besar, nilai-nilai kearifan lokal masih dipertahankan.
Sukses Mei, tidak semujur suaminya, Along. Along tidak memiliki latar belakang pendidikan cukup untuk mengelola bisnis seperti dilakukan isterinya. Along akhirnya dimodali Mei membuka jaringan dan mengurus distribusi suplemen obat China itu dari stokis atau agen di Palembang ke cabangnya di Lampung dan Jambi. Semua fasilitas penginapan, mobil box, dan belanja kebutuhannya cabang disiapkan Mei Hwa.
Along anak nomor lima dari 13 bersaudara. Bapaknya berasal dari China Bangka. Tahun 1970 pindah ke daerah Suak, Musi Banyuasin – sekarang sudah masuk wilayah administrasi Kota Palembang. Dari uang menjual rumah dan warung di Bangka, orang tua Along membeli lahan sekitar satu hektare. Mereka berubah dari profesi berdagang dan pengrajin, menjadi petani sayur-sayuran. Mereka belajar bercococok tanam. Along sendiri lahir ketika bapaknya sudah pindah ke Lebung Siarang.
Waktu usia delapan tahun, Along diajari bekerja. Pulang dari sekolah ia membantu kakak tertuanya mencari dan menampung botol-botol bekas dari rumah ke rumah. Botol-botol bekas itu dibersihkannya lalu dijual ke pengumpul di Jalan Kamil, PAL-6, untuk selanjutnya dikirim ke pabrik kecap atau pabrik limun di Puncak Sekuning.
Tamat sekolah dasar, Along tidak melanjutkan ke SMP. Bapaknya hanya mampu menyekolahkan paling tinggi sekolah dasar. Cukup sampai paham baca tulis, dan berhitung saja. Mereka bisa sekolah lebih tinggi dengan biaya sendiri, seperti dilakukan Aseng, kakak Along yang nomor dua. Aseng bisa bersekolah sampai ke SMP dengan mengumpulkan uang hasilnya bekerja malam di pabrik tahu milik Peng Lam, tidak jauh dari rumahnya. Sedangkan Along memang tak berminat melanjutkan sekolah.
Along tipe pekerja keras. Ia lebih rajin dan pandai bergaul dibanding saudara-saudaranya yang cenderung tertutup dengan warga pribumi sekitar kampung mereka. Warga pribumi di daerah itu kebanyakan dari Musi Banyuasin yang sukunya berasal dari Sekayu. Bahasa sehari-hari di wilayah itu selain bahasa Palembang, juga bahasa Sekayu. Bedanya Sekayu pakai “E” dan Palembang pakai “O” mengganti huruf vokal. Seperti siape dan siapo, kemane dan kemano. Along sendiri menguasai kedua bahasa tersebut.
Karena luwes dan pandai bersosialisasi, Along disukai anak-anak pribumi seusianya. Ia sering diajak bermain sepak bola. Kadangkala ikut bertanding ke Batas Kota, PAL-5, sampai ke lapangan bola sekitar Benteng Jepang, Ario Kemuning.
Memang waktu itu pembauran antara etnis China dengan etnis pribumi lebih banyak dimulai dari anak-anak, terutama dari sekolah. Tetapi tak jarang juga Along mendapat perlakuan kasar temannya di sekolah. Ia pernah babak belur dikeroyok. Buku dan alat tulisnya diambil. Ia juga sering diledeki dengan cercaan kasar; “..dasar Cino Botol”, “Cino Kaleng“, “Cino Kebon”, dan ucapan diskriminatif lainnya. Namun, karena sadar kondisi keluarganya yang memang miskin, Along hanya diam. Tidak membalas. Entah karena takut. Atau karena lingkungan telah mengondisikannya sebagai warga kelas dua.
Ketika usianya 15 tahun, Along mencari kerja. Awalnya ia menjadi tukang sapu di toko beras milik teman bapaknya di Pasar PAL-5, Batas Kota. Tidak lama dari situ ia diajak bekerja di toko gerabatan, Ameng. Karena jujur dan rajin, Along disukai pedagang dan pegawai terminal di Batas Kota itu. Hingga ahirnya ia berkenalan dengan agen beras Feng Xuan dan bekerja di situ.
Along cukup lama ikut majikannya, sampai dipercaya mengurus salah satu usaha Feng, agen minuman limun Saparila. Ia tidak hanya pandai menjaga kepercayaan majikan, tetapi pandai memberikan ketergantungan kepada Feng Xuan. Tanpa Along, urusan tidak selesai. Akhirnya dianggap bagian dari keluarga majikannya. Kadangkala Along dipercaya mengurus hal-hal pribadi keluarga Feng. Berawal dari sana ia kenal dengan putri Feng, Mei Hwa yang sekarang adalah isterinya.
Mei Hwa sendiri sebelum dipersunting Along, memang sudah punya hati. Di mata Mei, selain memiliki tubuh yang kuat, Along adalah tipe pekerja keras. Terpenting lagi, Along sangat dekat dengan keluarganya — hal itu menjadi pertimbangan utama dalam adat mereka yang berasal dari Hokian. Maka ketika Ayahnya mengutarakan kehendaknya menikahkan ia dengan Along, Mei menyambutnya. Sementara Along, menerima keinginan tuan Feng Xuan, selain sudah banyak menerima kebaikan Feng sekeluarga, juga pertimbangan harta dan kekayaan yang dimiliki Feng.
“Cino Kebon!”, dan ucapan diskriminatif lainnya. Namun, karena sadar kondisi keluarganya yang memang miskin, Along hanya diam.
Mei Hwa tidak ikut Along pindah ke Lampung. Ia ditunjuk perusahaannya di Jakarta menjadi manajer pemasaran obat suplemen dari Tianjing, China, ke wilayah Sumatera Bagian Selatan. Kendali operasionalnya berada di Palembang. Alasan lain, anaknya Erik, memilih sekolah di Palembang.
Mei cukup menikmati pekerjaannya, karena ketika sekolah ia memang tertarik dengan dunia bioteknologi. Bagi Mei dunia bioteknologi memberi sumbangan besar bagi kesehatan manusia. Ia masih ingat “Prinsip Kesatuan” dalam teori Yin Yang. Semua sistem tubuh ter-integrasi dan tidak terpisahkan. Ketika satu bagian tubuh terdiagnosa penyakit, kita harus memperhatikan seluruh bagian tubuh agar tidak melukai tubuh yang lain.
Kepada konsumen, Mei selalu menyebarkan prinsip; lebih baik mencegah dari pada mengobati. Manusia butuh daya tahan, daya tawar, dan daya takluk, tehadap penyakit apa saja. Saat prospek penjelasan produk, kepada anggota jaringannya, Mei selalu bicara soal strategi pemasaran dengan ungkapan; “tubuh sehat, bisnis pun kuat!” Maka selain menjual Mei juga menyarankan anggotanya ikut mengonsumsi suplemen tradisional itu.
“Tubuh adalah nutrisi!” Demikian Mei mengawali pembicaraan ketika mengenalkan produk suplemen nutrisi. Ia mampu bercerita ilmiah layaknya seorang apoteker, untuk menjelaskan produk nutrisi seperti, bubuk instan Sumsum Komplek atau Ganggang Spiral.
“Manusia adalah makhluk berpikir!” Maka Mei menawarkan suplemen penguat otak. Ia cukup hapal dan terlatih bercerita legenda tentang pohon Ginkgobiloba, sebuah pohon yang berumur 2800 tahun dan sampai kini masih bertahan hidup di bumi China. Pohon yang memiliki daya tahan sangat kuat itu, sering disebut “fosil hidup”.
Pohon Ginkgo banyak dikaitkan dengan mitos keuletan kerja masyarakat China di masa lampau. Daun-daun Ginkgobiloba inilah yang kemudian dipercaya oleh leluhur China memiliki khasiat obat-obatan. Kemudian oleh industri China, daun-daun ginkgo itu dikembangkan. Diambil ekstraknya, lalu diolah menjadi obat suplemen otak yang namanya tetap diambil dari nama pohon Ginkgobiloba itu. Dari uji laboratorium peneliti di Perancis, Ginkgo dapat melindungi sel-sel otak, mempercepat sirkulasi darah, sehingga sel-sel otak dapat kecukupan oksigen dan glukosa.
Mei Hwa mulai memahami cerita leluhurnya bahwa semua obat punya sejarah. Ganoderma Lucidum misalnya, adalah sejenis obat kesehatan tradisional China yang sangat bermutu. Mei mengetahuinya dari kitab lama “Pen Zhao”, di dalam direktori obat China milik engkongnya. Salah satu isi kitab “Pen Zhao,” itu, menyebutkan bahwa lucidum sering dijuluki sebagai “obat dewa”.
Genoderma Lucidum dipercaya dapat membantu percepatan penyembuhan luka habis operasi, atau penderita kanker yang sedang menjalankan kemoterapi. Sehingga pasca kemoterapi tidak terjadi gejala muntah, kerontokan rambut, sakit, kekurangan sel darah putih, atau timbulnya racun di dalam tubuh. Selain juga dapat mengobati lemah syaraf, infeksi paru-paru, asma, dan alergi.
Demikian siasat “iklan kecap” yang digunakan Mei Hwa untuk meruntuhkan hati calon konsumen agar membeli dagangannya.
Karena sukses membangun jaringan, Mei bersama dua kawannya, Fahmi dan Pipit, dipercaya perusahaannya, mendirikan stokis atau agen di wilayah Sumatera Selatan. Usaha distribusi suplemen ini, sudah berjalan selama tiga tahun. Dengan omset penjualan rata-rata per bulan mencapai ratusan juta rupiah. Mei beberapa kali diundang berjalan-jalan ke Beijing, mengunjungi perusahan obat suplemen itu di Tianjing. Mei melihatdan belajar bahwa di antara industri besar, nilai-nilai kearifan lokal masih dipertahankan.
Sukses Mei, tidak semujur suaminya, Along. Along tidak memiliki latar belakang pendidikan cukup untuk mengelola bisnis seperti dilakukan isterinya. Along akhirnya dimodali Mei membuka jaringan dan mengurus distribusi suplemen obat China itu dari stokis atau agen di Palembang ke cabangnya di Lampung dan Jambi. Semua fasilitas penginapan, mobil box, dan belanja kebutuhannya cabang disiapkan Mei Hwa.
Along anak nomor lima dari 13 bersaudara. Bapaknya berasal dari China Bangka. Tahun 1970 pindah ke daerah Suak, Musi Banyuasin – sekarang sudah masuk wilayah administrasi Kota Palembang. Dari uang menjual rumah dan warung di Bangka, orang tua Along membeli lahan sekitar satu hektare. Mereka berubah dari profesi berdagang dan pengrajin, menjadi petani sayur-sayuran. Mereka belajar bercococok tanam. Along sendiri lahir ketika bapaknya sudah pindah ke Lebung Siarang.
Waktu usia delapan tahun, Along diajari bekerja. Pulang dari sekolah ia membantu kakak tertuanya mencari dan menampung botol-botol bekas dari rumah ke rumah. Botol-botol bekas itu dibersihkannya lalu dijual ke pengumpul di Jalan Kamil, PAL-6, untuk selanjutnya dikirim ke pabrik kecap atau pabrik limun di Puncak Sekuning.
Tamat sekolah dasar, Along tidak melanjutkan ke SMP. Bapaknya hanya mampu menyekolahkan paling tinggi sekolah dasar. Cukup sampai paham baca tulis, dan berhitung saja. Mereka bisa sekolah lebih tinggi dengan biaya sendiri, seperti dilakukan Aseng, kakak Along yang nomor dua. Aseng bisa bersekolah sampai ke SMP dengan mengumpulkan uang hasilnya bekerja malam di pabrik tahu milik Peng Lam, tidak jauh dari rumahnya. Sedangkan Along memang tak berminat melanjutkan sekolah.
Along tipe pekerja keras. Ia lebih rajin dan pandai bergaul dibanding saudara-saudaranya yang cenderung tertutup dengan warga pribumi sekitar kampung mereka. Warga pribumi di daerah itu kebanyakan dari Musi Banyuasin yang sukunya berasal dari Sekayu. Bahasa sehari-hari di wilayah itu selain bahasa Palembang, juga bahasa Sekayu. Bedanya Sekayu pakai “E” dan Palembang pakai “O” mengganti huruf vokal. Seperti siape dan siapo, kemane dan kemano. Along sendiri menguasai kedua bahasa tersebut.
Karena luwes dan pandai bersosialisasi, Along disukai anak-anak pribumi seusianya. Ia sering diajak bermain sepak bola. Kadangkala ikut bertanding ke Batas Kota, PAL-5, sampai ke lapangan bola sekitar Benteng Jepang, Ario Kemuning.
Memang waktu itu pembauran antara etnis China dengan etnis pribumi lebih banyak dimulai dari anak-anak, terutama dari sekolah. Tetapi tak jarang juga Along mendapat perlakuan kasar temannya di sekolah. Ia pernah babak belur dikeroyok. Buku dan alat tulisnya diambil. Ia juga sering diledeki dengan cercaan kasar; “..dasar Cino Botol”, “Cino Kaleng“, “Cino Kebon”, dan ucapan diskriminatif lainnya. Namun, karena sadar kondisi keluarganya yang memang miskin, Along hanya diam. Tidak membalas. Entah karena takut. Atau karena lingkungan telah mengondisikannya sebagai warga kelas dua.
Ketika usianya 15 tahun, Along mencari kerja. Awalnya ia menjadi tukang sapu di toko beras milik teman bapaknya di Pasar PAL-5, Batas Kota. Tidak lama dari situ ia diajak bekerja di toko gerabatan, Ameng. Karena jujur dan rajin, Along disukai pedagang dan pegawai terminal di Batas Kota itu. Hingga ahirnya ia berkenalan dengan agen beras Feng Xuan dan bekerja di situ.
Along cukup lama ikut majikannya, sampai dipercaya mengurus salah satu usaha Feng, agen minuman limun Saparila. Ia tidak hanya pandai menjaga kepercayaan majikan, tetapi pandai memberikan ketergantungan kepada Feng Xuan. Tanpa Along, urusan tidak selesai. Akhirnya dianggap bagian dari keluarga majikannya. Kadangkala Along dipercaya mengurus hal-hal pribadi keluarga Feng. Berawal dari sana ia kenal dengan putri Feng, Mei Hwa yang sekarang adalah isterinya.
Mei Hwa sendiri sebelum dipersunting Along, memang sudah punya hati. Di mata Mei, selain memiliki tubuh yang kuat, Along adalah tipe pekerja keras. Terpenting lagi, Along sangat dekat dengan keluarganya — hal itu menjadi pertimbangan utama dalam adat mereka yang berasal dari Hokian. Maka ketika Ayahnya mengutarakan kehendaknya menikahkan ia dengan Along, Mei menyambutnya. Sementara Along, menerima keinginan tuan Feng Xuan, selain sudah banyak menerima kebaikan Feng sekeluarga, juga pertimbangan harta dan kekayaan yang dimiliki Feng.
Senin, 24 November 2008
4
Along sudah berkeluarga. Isteri dan putranya ada di Palembang.
Tinggal di perkampungan China-Palembang, kawasan Cindewelang. Along tidak mengerti
kehadiran Lina, gadis pesisir Gudanglelang itu, begitu cepat.
Along khawatir perselingkuhannya diketahui Mei Hwa isterinya.
Tidak ada kegelisahan atau penyesalan di raut muka Lina. Seharian ia benamkan dirinya dalam kamar kontrakan Along. Tubuh putih mulus itu tergeletak di ranjang tanpa sehelai kain menutupi tubuhnya. Seharian mereka bercinta tanpa batas.
“Ini bukan kejahatan,” bisik Lina.
Lina tidak menginginkan orang lain mengetuk pintu kamar itu. Ia ingin menikmati ruang dan waktu bersama lelaki, 15 tahun lebih tua darinya. Ia menolak nafas lain bersetubuh dalam rongga-rongga mulutnya. Lina berkata; aku telah meletakkan mimpi-mimpi indah di kamar sempit yang beringas ini.
Along menatap kembali tubuh polos yang asyik memeluk mimpi itu. Wajahnya plong tanpa beban. Pelan-pelan geng-gaman tangannya dilepas. Along takut remaja lugu ini terbangun dari mimpi. Along meninggalkan ranjang. Mengambil sebatang rokok dari meja di samping ranjang. Ia nyalakan korek api. Asap rokok mengepul bundar. Membentuk lingkaran kenangan purba.
Waktu seakan bersekutu kepada mereka. Menjelang senja keduanya berpisah. Sekali lagi, Lina beranggapan; ini bukan kejahatan!
Gadis remaja kelas tiga SMA itu hampir setiap minggu atau libur sekolah mengunjungi kamar kontrakan Along di belakang kelenteng tua Thay Hin Bio, Telukbetung. Entah erotisme apa yang dibangun Lina dalam kamar sempit beraroma pohon gaharu itu, sehingga ia ketagihan terus kembali ke sana. Sebaliknya, Along setiap bertemu, hanya menghitung agresi verbal di antara selangkang kaki mungil yang mengacung angkuh ke langit kamarnya. Mereka berlari dalam lorong sempit. Menjadi buas. Liar. Tetapi tidak ada nafsu saling menaklukkan.
Bersetubuh tanpa bersiasat ternyata lebih menggairahkan. Seks, cinta, dan kesetiaan, terukur sebagai persahabatan. Saling membaca dan saling mengerti. Lina lupa usianya ketika mulai mengeja dan menghitung satu demi satu bagian tubuh lelaki.
Ia belajar menyusun kata-kata cabul, menyebut kelamin, telanjang di muka cermin, dan melakukan perbuatan yang selama ini dianggap tidak wajar. Gadis belia itu, mulai paham bermain cinta. Kadangkala berteriak, menggigit, memukul-mukul. Seakan sedang mengekspresikan semiotika kebebasan.
Kehidupan sebagai sesuatu yang utuh tidaklah begitu penting. Sebuah tatapan, gerakan atau senyuman, sanggup menguncangkan dunia yang dimpikan mereka. Along dan Lina tidak bisa mengatakan saling menyintai, tetapi tidak pula saling menguasai. Mereka tidak butuh lembaga perkawinan. Mereka hidup serumah karena butuh bercinta.
Along telah mengajarkan sebuah kebebasan bagi Lina. Lelaki yang sehari-hari bekerja membawa mobil kanvas berisi obat-obatan suplemen China itu, bertemu Lina setahun lalu. Waktu itu mobil yang dikendarai Along menyenggol gadis itu. Lina dirawat beberapa hari di rumah sakit Bumi Waras. Selama perawatan, setiap hari Along mengunjungi bahkan ikut menunggu Lina hingga larut malam.
Seperti sinetron televisi, saat itulah bunga-bunga cinta mulai tumbuh di antara keduanya. Lina menganggap Along sebagai lelaki yang bertanggungjawab dan penuh perhatian. Sikap Along lebih didasari rasa kasihan. Terutama melihat kondisi ekonomi keluarga Lina. Pulang dari rumah sakit, Along tetap rajin mengunjungi Lina di Gudang Lelang.
Along sudah berkeluarga. Isteri dan putranya ada di Palembang. Tinggal di perkampungan China-Palembang, kawasan Cindewelang.
Along tidak mengerti kehadiran Lina begitu cepat. Ia pernah mencoba melupakan gadis kecil itu. Tetapi sulit sekali. Ketika lamunannya kembali kepada Mei Hwa dan anak mereka Erik, saat itu pula bayang Lina muncul. Along merasa berada di antara kecemasan dan kenikmatan. Ia takut hubungan dengan Lina diketahui Mei Hwa. Sementara ia tidak mau kehilangan Lina. Kedua perempuan itu memiliki kelebihan tersendiri bagi Along.
Minggu lalu, Mei menjenguk Along ke Bandar Lampung. Ia datang hanya untuk mengantarkan piama tidur pesanan Along di penjahit samping rumahnya. Tidak ada yang berubah sikap Mei kepada Along. Tiga bulan sebelumnya, mereka bertemu di Palembang. Selebihnya berhubungan melalui telepon.
Malam itu, Mei mengenakan gaun tidur berlukis mawar. Ia berdiri di paha ranjang, membelakangi jendela kamar. Mei menatap Along baru keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan piama tidur yang dibawakan Mei. Rambut gondrongnya masih basah.
Along sedikit kaget melihat kelakuan isterinya. Tubuh langsing yang terbilang tinggi untuk ukuran rata-rata perempuan Sumatera itu, terlihat menantang. Sorot mata yang sempit, terlihat tajam. Along berjalan memperpendek jarak mereka. Keduanya terpaku. Seperti sedang mengingat-ingat kembali kapan suasana itu pernah terjadi. “Matanya, masih terlalu kuat untuk dikalahkan,” bisik Along dalam hati.
Ia mengerti dalam situasi itu, Mei lebih agresif dan begitu berkuasa. Kadangkala Along tak habis pikir kenapa untuk hal-hal menyangkut perasaan, ia selalu menjadi kanak-kanak lugu. Padahal ratusan perempuan telah dijelajahinya.
“Aku melihat ada ibu, di matanya,” ungkap Along ke hati. Seperti Sophocles menyelesaikan karma melalui kisah persetubuhan Oedipus dengan Jocasta, yang tidak lain ibu kandungnya sendiri. “Karma adalah karma! Tetapi sudah tuntas semuanya!” ucap Oedipus sembari menusuk kedua matanya. Lelaki itu tentu sulit membaca makna karma drama klasik Yunani itu. Seperti kisah pertemuan Oedipus dan Jocasta yang tanpa didahului penjelasan sejarah diri mereka masing-masing. Sebagaimana ketika Along dengan begitu saja bertemu dan menyetubuhi Lina. Tanpa penjelasan lebih dulu sejarah masing-masing mereka.
Mei Hwa pelan-pelan melepaskan tali pengikat gaun tidur yang melingkar di pinggangnya. Along merapat tepat di hadapan Mei Hwa, seakan tak ingin berjarak. Tatapan Mei sangat menggoda.
Along sempat mencuri pandang ke cermin yang tergantung tepat di samping mereka berdiri. Cermin itu menjadi sebuah benda sentimental, seksi, dan penuh erotis. Cermin seluas tubuh itu adalah peninggalan kakek Along, yang masih terselamatkan saat terjadi kebakaran di kampungnya. Along dan Mei mengawali kencan erotisnya ketika malam pertama pernikahannya di cermin tersebut.
Entah kenapa, serentak mereka melihat dirinya ke cermin, lalu berbalik saling menatap. Ada kelucuan tertahan. Saat pertama kali bercinta, mereka saling mencuri pandang di cermin itu. Keduanya lalu berubah lincah dan berani. Mei menyadari keberanian perempuan terhadap lelaki diawali ketika membukakan gaunnya dan menghadapkan bra dengan belahan dada menyembul ke atas.
Mei dan Along tetap percaya, jika bercinta adalah pekerjaan estetik. Sangat pelan sekali Mei melepaskan satu-satu kancing piama suaminya. Ia ingin segera masuk ke lorong masa lalu. Menemui ribuan metafora yang tak sanggup dibahasakan dengan cinta. Bercak-bercak metafora itu kemudian berserakan kacau, carut-marut, brutal, membentuk potongan garis-garis ekspresif.
Mei menarik tubuh suaminya ke dinding tembok kamar, tepat di samping cermin. Setengah berdiri ia membungkuk membelakangi suaminya. Kedua tangannya diangkat ke atas menempel dinding tembok kamar. Sementara kepala dan badannya terus membungkuk mendongakkan pantatnya ke tubuh Along. Seolah ada upaya mengenali kembali artefak-artefak sejarah tubuh mereka secara ekstrim. Kemudian membiarkan tubuh telanjang itu melacak misterinya sendiri.
Mereka kembali bercinta dalam cermin. Along melihat cermin berubah benda sentimental tapi penuh erotik. Mereka mendaki menerobos atap langit. Sampai udara menghentak parunya. Mei berbisik puas. Ia remas telinga Along ke mulutnya; agar tidak menjadi metafor seks yang purba.
Hanya satu malam, Mei memiliki suaminya. Mereka menghabiskan waktu bercinta seharian. Sore hari, sebelum Along mengantar Mei Hwa pulang ke Palembang melalui Stasion Kereta Api Tanjungkarang, mereka mampir ke toko manisan yang tidak jauh dari Vihara Thay Hin Bio, Telukbetung. Di toko manisan Yen Yen, Mei membeli oleh-oleh makanan khas Lampung, antara lain keripik pisang dan keripik nangka kesukaan Erik.
Pukul 21, Kereta Api Limex Sriwijaya jurusan Tanjungkarang-Kertapati perlahan berangkat. Dari balik jendela Mei Hwa melambaikan tangan ke suaminya. Di benak perempuan itu masih menyimpan keinginan kembali ke Telukbetung dan bercinta seharian di kamar kontrakan suaminya.
Tinggal di perkampungan China-Palembang, kawasan Cindewelang. Along tidak mengerti
kehadiran Lina, gadis pesisir Gudanglelang itu, begitu cepat.
Along khawatir perselingkuhannya diketahui Mei Hwa isterinya.
Tidak ada kegelisahan atau penyesalan di raut muka Lina. Seharian ia benamkan dirinya dalam kamar kontrakan Along. Tubuh putih mulus itu tergeletak di ranjang tanpa sehelai kain menutupi tubuhnya. Seharian mereka bercinta tanpa batas.
“Ini bukan kejahatan,” bisik Lina.
Lina tidak menginginkan orang lain mengetuk pintu kamar itu. Ia ingin menikmati ruang dan waktu bersama lelaki, 15 tahun lebih tua darinya. Ia menolak nafas lain bersetubuh dalam rongga-rongga mulutnya. Lina berkata; aku telah meletakkan mimpi-mimpi indah di kamar sempit yang beringas ini.
Along menatap kembali tubuh polos yang asyik memeluk mimpi itu. Wajahnya plong tanpa beban. Pelan-pelan geng-gaman tangannya dilepas. Along takut remaja lugu ini terbangun dari mimpi. Along meninggalkan ranjang. Mengambil sebatang rokok dari meja di samping ranjang. Ia nyalakan korek api. Asap rokok mengepul bundar. Membentuk lingkaran kenangan purba.
Waktu seakan bersekutu kepada mereka. Menjelang senja keduanya berpisah. Sekali lagi, Lina beranggapan; ini bukan kejahatan!
Gadis remaja kelas tiga SMA itu hampir setiap minggu atau libur sekolah mengunjungi kamar kontrakan Along di belakang kelenteng tua Thay Hin Bio, Telukbetung. Entah erotisme apa yang dibangun Lina dalam kamar sempit beraroma pohon gaharu itu, sehingga ia ketagihan terus kembali ke sana. Sebaliknya, Along setiap bertemu, hanya menghitung agresi verbal di antara selangkang kaki mungil yang mengacung angkuh ke langit kamarnya. Mereka berlari dalam lorong sempit. Menjadi buas. Liar. Tetapi tidak ada nafsu saling menaklukkan.
Bersetubuh tanpa bersiasat ternyata lebih menggairahkan. Seks, cinta, dan kesetiaan, terukur sebagai persahabatan. Saling membaca dan saling mengerti. Lina lupa usianya ketika mulai mengeja dan menghitung satu demi satu bagian tubuh lelaki.
Ia belajar menyusun kata-kata cabul, menyebut kelamin, telanjang di muka cermin, dan melakukan perbuatan yang selama ini dianggap tidak wajar. Gadis belia itu, mulai paham bermain cinta. Kadangkala berteriak, menggigit, memukul-mukul. Seakan sedang mengekspresikan semiotika kebebasan.
Kehidupan sebagai sesuatu yang utuh tidaklah begitu penting. Sebuah tatapan, gerakan atau senyuman, sanggup menguncangkan dunia yang dimpikan mereka. Along dan Lina tidak bisa mengatakan saling menyintai, tetapi tidak pula saling menguasai. Mereka tidak butuh lembaga perkawinan. Mereka hidup serumah karena butuh bercinta.
Along telah mengajarkan sebuah kebebasan bagi Lina. Lelaki yang sehari-hari bekerja membawa mobil kanvas berisi obat-obatan suplemen China itu, bertemu Lina setahun lalu. Waktu itu mobil yang dikendarai Along menyenggol gadis itu. Lina dirawat beberapa hari di rumah sakit Bumi Waras. Selama perawatan, setiap hari Along mengunjungi bahkan ikut menunggu Lina hingga larut malam.
Seperti sinetron televisi, saat itulah bunga-bunga cinta mulai tumbuh di antara keduanya. Lina menganggap Along sebagai lelaki yang bertanggungjawab dan penuh perhatian. Sikap Along lebih didasari rasa kasihan. Terutama melihat kondisi ekonomi keluarga Lina. Pulang dari rumah sakit, Along tetap rajin mengunjungi Lina di Gudang Lelang.
Along sudah berkeluarga. Isteri dan putranya ada di Palembang. Tinggal di perkampungan China-Palembang, kawasan Cindewelang.
Along tidak mengerti kehadiran Lina begitu cepat. Ia pernah mencoba melupakan gadis kecil itu. Tetapi sulit sekali. Ketika lamunannya kembali kepada Mei Hwa dan anak mereka Erik, saat itu pula bayang Lina muncul. Along merasa berada di antara kecemasan dan kenikmatan. Ia takut hubungan dengan Lina diketahui Mei Hwa. Sementara ia tidak mau kehilangan Lina. Kedua perempuan itu memiliki kelebihan tersendiri bagi Along.
Minggu lalu, Mei menjenguk Along ke Bandar Lampung. Ia datang hanya untuk mengantarkan piama tidur pesanan Along di penjahit samping rumahnya. Tidak ada yang berubah sikap Mei kepada Along. Tiga bulan sebelumnya, mereka bertemu di Palembang. Selebihnya berhubungan melalui telepon.
Malam itu, Mei mengenakan gaun tidur berlukis mawar. Ia berdiri di paha ranjang, membelakangi jendela kamar. Mei menatap Along baru keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan piama tidur yang dibawakan Mei. Rambut gondrongnya masih basah.
Along sedikit kaget melihat kelakuan isterinya. Tubuh langsing yang terbilang tinggi untuk ukuran rata-rata perempuan Sumatera itu, terlihat menantang. Sorot mata yang sempit, terlihat tajam. Along berjalan memperpendek jarak mereka. Keduanya terpaku. Seperti sedang mengingat-ingat kembali kapan suasana itu pernah terjadi. “Matanya, masih terlalu kuat untuk dikalahkan,” bisik Along dalam hati.
Ia mengerti dalam situasi itu, Mei lebih agresif dan begitu berkuasa. Kadangkala Along tak habis pikir kenapa untuk hal-hal menyangkut perasaan, ia selalu menjadi kanak-kanak lugu. Padahal ratusan perempuan telah dijelajahinya.
“Aku melihat ada ibu, di matanya,” ungkap Along ke hati. Seperti Sophocles menyelesaikan karma melalui kisah persetubuhan Oedipus dengan Jocasta, yang tidak lain ibu kandungnya sendiri. “Karma adalah karma! Tetapi sudah tuntas semuanya!” ucap Oedipus sembari menusuk kedua matanya. Lelaki itu tentu sulit membaca makna karma drama klasik Yunani itu. Seperti kisah pertemuan Oedipus dan Jocasta yang tanpa didahului penjelasan sejarah diri mereka masing-masing. Sebagaimana ketika Along dengan begitu saja bertemu dan menyetubuhi Lina. Tanpa penjelasan lebih dulu sejarah masing-masing mereka.
Mei Hwa pelan-pelan melepaskan tali pengikat gaun tidur yang melingkar di pinggangnya. Along merapat tepat di hadapan Mei Hwa, seakan tak ingin berjarak. Tatapan Mei sangat menggoda.
Along sempat mencuri pandang ke cermin yang tergantung tepat di samping mereka berdiri. Cermin itu menjadi sebuah benda sentimental, seksi, dan penuh erotis. Cermin seluas tubuh itu adalah peninggalan kakek Along, yang masih terselamatkan saat terjadi kebakaran di kampungnya. Along dan Mei mengawali kencan erotisnya ketika malam pertama pernikahannya di cermin tersebut.
Entah kenapa, serentak mereka melihat dirinya ke cermin, lalu berbalik saling menatap. Ada kelucuan tertahan. Saat pertama kali bercinta, mereka saling mencuri pandang di cermin itu. Keduanya lalu berubah lincah dan berani. Mei menyadari keberanian perempuan terhadap lelaki diawali ketika membukakan gaunnya dan menghadapkan bra dengan belahan dada menyembul ke atas.
Mei dan Along tetap percaya, jika bercinta adalah pekerjaan estetik. Sangat pelan sekali Mei melepaskan satu-satu kancing piama suaminya. Ia ingin segera masuk ke lorong masa lalu. Menemui ribuan metafora yang tak sanggup dibahasakan dengan cinta. Bercak-bercak metafora itu kemudian berserakan kacau, carut-marut, brutal, membentuk potongan garis-garis ekspresif.
Mei menarik tubuh suaminya ke dinding tembok kamar, tepat di samping cermin. Setengah berdiri ia membungkuk membelakangi suaminya. Kedua tangannya diangkat ke atas menempel dinding tembok kamar. Sementara kepala dan badannya terus membungkuk mendongakkan pantatnya ke tubuh Along. Seolah ada upaya mengenali kembali artefak-artefak sejarah tubuh mereka secara ekstrim. Kemudian membiarkan tubuh telanjang itu melacak misterinya sendiri.
Mereka kembali bercinta dalam cermin. Along melihat cermin berubah benda sentimental tapi penuh erotik. Mereka mendaki menerobos atap langit. Sampai udara menghentak parunya. Mei berbisik puas. Ia remas telinga Along ke mulutnya; agar tidak menjadi metafor seks yang purba.
Hanya satu malam, Mei memiliki suaminya. Mereka menghabiskan waktu bercinta seharian. Sore hari, sebelum Along mengantar Mei Hwa pulang ke Palembang melalui Stasion Kereta Api Tanjungkarang, mereka mampir ke toko manisan yang tidak jauh dari Vihara Thay Hin Bio, Telukbetung. Di toko manisan Yen Yen, Mei membeli oleh-oleh makanan khas Lampung, antara lain keripik pisang dan keripik nangka kesukaan Erik.
Pukul 21, Kereta Api Limex Sriwijaya jurusan Tanjungkarang-Kertapati perlahan berangkat. Dari balik jendela Mei Hwa melambaikan tangan ke suaminya. Di benak perempuan itu masih menyimpan keinginan kembali ke Telukbetung dan bercinta seharian di kamar kontrakan suaminya.
Minggu, 23 November 2008
3
Tidak jelas latar belakang Samsul Bone dan orang-orang Bugis lainnya
sampai di Lampung. Mungkin saja ada garis keturunan moyangnya yang lahir
dari situasi konflik antara Bugis dengan Makasar, ratusan tahun lampau. Konflik tersebut
terus berlangsung hingga abad ke-19. Akibatnya banyak orang Bugis
bermigrasi terutama ke daerah pesisir.
Matahari sore menampar puluhan bagan ikan di Teluk Lampung. Dari puncak Tarahan terlihat bias merah meringkas sinarnya. Membentuk garis-garis cahaya di permukaan air laut. Kendati matahari mulai menyempit disekap perbukitan Tarahan, namun para nelayan terutama nelayan jaring pukat darat atau payang masih berbaris menarik jaring ikan. Mereka sejak pagi tadi berada di sisa pantai yang belum teruruk.
Dari dermaga Ujungboom, Gudang Lelang, kapal-kapal penangkap ikan, berjajar bersandar sekitar dermaga tua itu.
Beberapa perahu penumpang masih hilir mudik membawa orang dari Ujungboom ke Pulau Pasaran. Sementara di TPI atau Tempat Pelelangan Ikan, Gudang Lelang, kegiatan lelang ikan baru saja selesai. Beberapa pedagang terlihat memasukkan ikan hasil lelang ke dalam kotak plastik, dan gentong plastik berisi es balok. Lalu mengangkutnya ke mobil.
Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan itu sebagian besar dikirim ke Jakarta, Palembang. Selebihnya ke bakul pedagang pasar induk di sejumlah kota di Lampung. Berbagai jenis ikan besar tangkapan nelayan, antara lain ikan tuna, ikan kembung, tongkol dan ikan selar. Juga ikan teri nasi dan udang laut, kepiting rajungan, dan lobster .
“Saya jamin bebas formalin!”
“Ya. Tapi harga sekarang jatuh, Pak Boni. Sejak ramainya pemberitaan penggunaan pengawet formalin oleh nelayan...”
“Ahk, sudah..sudah! Pak Tikno jangan terpancing! Itu berita masih simpang siur!”
“Bukan saya, Pak Boni. Tapi masyarakat. Mereka percaya.”
“Ya sudah. Sekarang bagaimana?”
“Mau saya..ya harga minggu kemarin!”
“Jangan begitulah. Bahan bakar ‘kan baru naik, Pak!”
“Saya paham. Tapi harga minggu kemarin juga sudah naik.”
“Tambahlah sedikit, Pak.”
“Berat, Pak Boni. Saya ragu apakah dalam satu minggu ini isu formalin itu bisa redah. Lebih parah lagi, temuan terbanyak justeru dilakukan nelayan.”
“Bapak salah! Yang dimaksud berita itu bukan ikan basah, Pak! Tapi ikan asin!”
“Sudahlah..Saya malas berdebat. Jadi bagaimana? Dikasih enggak?”
“Ya sudah. Mar! Ajak yang lain. Naikkan gentong ikan ke mobil Pak Tikno!”
Dengan sigap Umar bersama beberapa buruh nelayan yang bekerja dengan Boni menaikkan empat gentong plastik berisi ikan ke mobil pick up Pak Tikno.
Sebelum bekerja dengan Boni, Umar ikut Aziz pembuat perahu katiran atau perahu jala ikan. Kemudian pindah ke pembuat bagan apung atau bagan jerigen, dan bagan perahu. Akhirnya ia bertemu Boni, ditawari bekerja di bagan tancap milik pengusaha asal Bugis itu. Boni punya 12 unit bagan tancap, dan enam bagan perahu.
Sudah empat tahun Umar bekerja dengan Boni. Ia digaji bulanan tetap, dan mendapat bonus sistem persentasi hasil tangkapan ikan di bagan tancap milik majikannya. Selain usaha bagan ikan, Boni memiliki tambak udang windu di daerah Lempasing. Tapi karena kondisi air laut tercemar, dan tidak memungkinkan lagi udang windu hidup, Boni dan para petambak di sekitar Lempasing, beralih ke budidaya udang putih, meski harganya jauh di bawah udang windu. Untuk size bagus, 24-28 ekor per kilogram, harga udang windu berkisar 80.000 hingga 90.000 Rupiah per kilogram. Sedangkan udang putih hanya sekitar 35.000 Rupiah per kilogram.
“Penurunannya jauh banget, Bon.”
“Ya..sebetulnya, tak seberapa sih,” kata Boni kepada Tarwin.
Tarwin kawan lama Boni sewaktu sekolah di Jawa. Ia sengaja bertandang untuk melihat usaha tambak Boni.
“Udang putih unggul di jumlah produksinya, Win.”
“Maksudmu?”
“Kalau udang windu, per petak tambak seperempat hektare, produksinya kurang lebih satu ton. Sementara udang putih bisa mencapai 10 ton per petak. Tinggal ditambah sedikit kedalaman tambak dan pakannya.”
Sejak tahun 2002 tidak hanya Boni, hampir semua petambak rakyat, juga tambak-tambak perusahaan besar seperti Bratasena di Lampung Tengah, dan Dipasena di Tulang Bawang sudah menanam udang putih. Hingga kini permintaan pasar ekspor udang putih dari Indonesia cukup bagus. Antara lain pembeli dari Jepang dan Amerika. Udang Boni sendiri dibeli pengusaha dari Jawa Barat.
Boni juga memiliki usaha pengolahan ikan asin laut di Pulau Pasaran dan TPI Lempasing. Sekitar dermaga Ujungboom, Boni punya depot es batu dan depot solar untuk melayani kebutuhan kapal nelayan. Setiap sore, Boni biasa nongkrong di dermaga mengawasi anak buahnya memasok es dan solar ke kapal nelayan yang hendak melaut.
Dari sekitar 120 orang buruh harian dan karyawan tetap yang bekerja kepada Boni, Umar lebih dipercaya bahkan sudah dianggap keluarga. Setiap minggu Umar ditugasi mengawal Lastri, isteri majikannya itu menyetor atau mengambil uang dari mitra dagangnya melalui Bank Danamon Telukbetung.
Sebelum berusaha di Lampung, Boni memiliki usaha pembenuran udang milik orang tuanya di Anyer, Banten. Kemudian membuka tempat pembenuran udang di Canti, Lampung Selatan. Setelah menikahi Lastri, gadis asal Indramayu, ia hijrah ke Telukbetung. Samsul Bone, bapaknya Boni, dikenal sebagai juragan Bugis yang sukses di Cungkeng, Telukbetung. Ia memiliki puluhan unit kapal tangkap ikan, serta usaha perikanan laut.
Tidak jelas latar belakang Samsul Bone dan orang-orang Bugis lainnya sampai di Lampung. Mungkin saja ada garis keturunan moyangnya yang lahir dari situasi konflik antara Bugis dengan Makasar, ratusan tahun lampau. Konflik tersebut terus berlangsung sampai abad ke-19. Akibatnya banyak orang Bugis bermigrasi terutama ke daerah pesisir.
Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui di daerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunai, dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan kemerdekaan. Kebahagian dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
Karena anak tunggal, Boni mewarisi semua usaha milik orang tuanya, Samsul Bone.
Boni bukanlah pengusaha yang ulet, seperti bapaknya. Ia tidak punya kemampuan mengelola usaha. Bahkan boros, suka judi, dan berfoya-foya.
Justeru Lastri yang pandai berbisnis. Sebelum dipercayakan kepada Lastri, sebagian usaha peninggalan orang tua Boni banyak bangkrut. Kapal penangkap ikan miliknya tinggal beberapa unit saja, karena dijual. Usaha Boni mulai bangkit sejak dikelola Lastri.
Tetapi di balik usaha yang sukses itu, hingga 13 tahun perkawinannya, Lastri dan Boni belum juga dikaruniai anak. Meski berbagai upaya baik secara medis maupun pengobatan alternatif, diikuti suami isteri ini, namun sang bayi belum juga datang.
Lastri saat dikawini Boni, baru berusia 16 tahun, 11 tahun lebih muda dari Boni. Walau masih di bawah umur, dan belum menyelesaikan sekolahnya, orang tua Lastri menerima lamaran keluarga Boni. Pertimbangannya karena kondisi ekonomi keluarga Boni yang terpandang. Lastri sempat satu tahun putus sekolah, kemudian meneruskan hingga lulus SMA.
Kendati belum dikaruniai anak, namun rumah tangga mereka masih tetap utuh. Kalau ada pertengkaran, Lastri lebih banyak mengalah dan menahan diri. Lastri cenderung tidak peduli apa yang dilakukan suaminya, seperti mengumpulkan kawan-kawannya di rumah, minum dan berjudi.
Lastri juga tidak terlalu pusing jika tetangga sering melaporkan perilaku suaminya yang sering merayu gadis bahkan isteri orang. Lastri tutup mata dan telinga, tak mau tahu. Ia takut jika ditanggapi akan memperburuk kondisi keluarganya.
Hanya Umar, lelaki yang sering menjadi sahabat Lastri bercurah hati. Biasanya Lastri menumpahkan kekesalannya ketika ditemani Umar mengambil uang ke bank di Tanjungkarang. Lastri tidak segan bercerita kepada Umar, karena sudah menganggap suami Baya itu keluarga sendiri. Selain itu, Umar cukup bersimpati mendengarkan keluhan Lastri.
Meski hanya mendengarkan saja, Umar sering kewalahan karena Lastri sering bercerita sambil menangis. Seperti hari itu, Lastri kembali bercurah hati. Sehabis dari bank, ia mengajak Umar makan ke Moroseneng. Lastri biasa makan di sana karena suka masakan ayam goreng kalasannya. Umar juga sering diajak Lastri karena tempatnya cukup memungkinkan bagi pengunjung restoran berlama-lama ngobrol, sembari menunggu makanan dipesan.
Rumah makan milik warga Tionghoa itu berbentuk pondok mirip gazebo yang sengaja terpisah satu sama lainnya, agar orang lebih lepas bicara hal-hal penting atau pribadi.
Lastri mengambil tempat paling pojok. Umar sedikit risih, karena Lastri memilih duduk bersebelahan di sampingnya. Mereka menghadap ke kolam kecil yang kering. Suasana rumah makan agak sepi. Hanya satu dua pondok berisi tamu. Mungkin karena lewat jam makan siang.
Usai makan, Lastri memesan juice melon, sementara Umar memesan kopi pahit. Hari itu Lastri tidak begitu banyak berkeluh kesah menumpahkan kekesalannya terhadap Boni. Ia hanya mengomeli suaminya karena sudah tiga malam selalu pulang pagi.
“Terserah! Aku tak peduli. Mau mabok. Judi. Main perempuan, masa bodoh! Aku capek, Mar!”
Umar tidak menanggapi Lastri. Ia menunggu kopi diantar pelayan. Umar tetap diam sembari mengepulkan asap rokok kreteknya ke udara. Wajahnya masih terlihat kikuk. Umar tahu diri kalau yang berbicara itu majikannya. Jadi tidak akan berkomentar sebelum diminta sang majikan.
“Aku bekerja habis-habisan mengurus usaha, ia enak-enaknya menghamburkan uang. Aku seperti sapi! Diperas tenaga diperas susunya!” keluh Lastri.
Umar berlaku sebagai pendengar. Matanya diarahkan ke kolam di depan pondok itu. Ia menekan puntung rokoknya ke asbak, lalu menghidupkan lagi rokok yang baru. Bersamaan itu, kopi yang sedari tadi ditunggunya, sudah tiba. Pelayan wanita itu mengantarnya bersama juice tomat, serta sepiring buah semangka dingin.
“Terima kasih, Mbak,” tegur Umar kepada pelayan. Umar langsung meraih cangkir kopi yang dipesan sambil meniup uap panasnya. Ia hirup sedikit kopi itu. Sementara Lastri melanjutkan umpatan kekesalannya.
“Perbuatan yang tidak bisa lagi aku maafkan, ia punya isteri simpanan. Mereka sudah satu tahun menikah diam-diam.”
Ucapan terakhir Lastri, membuat Umar kaget. Ia sangat paham perilaku Boni, suka menggoda gadis bahkan isteri orang. Ia juga tahu Boni senang melacur. Mabuk-mabukan. Berjudi sabung ayam. Tetapi baru kali ini Umar mendengar majikannya itu punya isteri muda.
Umar terpaksa memberanikan diri memotong perkataan Lastri.
“Dari mana kabar itu?”
“Dari temanku di Lebakbudi. Ia bertetangga dengan rumah dibeli Boni, untuk isteri mudanya itu. Dan, aku sudah cek langsung ke sana untuk membuktikan kebenarannya.”
“Perempuan itu tinggal sama siapa?”
“Adik perempuannya,” jawab Lastri.
Umar terlihat belum yakin. Tapi ia diam saja.
Lastri terdiam. Matanya memerah. Pelan-pelan air mata membasahi wajah putih pucat itu. Lastri mengambil tisu di meja. Ia berusaha menyeka air matanya. Lastri tidak mau menangis karena Boni.
Ia tidak ingin orang lain mengetahui penderitaannya. Lastri menahan tangis, seolah hendak mengatakan sudah terlalu lelah menangis dan terus menangis. Perempuan cantik dan ulet berusaha itu, ingin belajar tegar menghadapi masalahnya.
Umar tertunduk lesu. Ia bingung. Romantisme apa sedang berlangsung di hadapannya. Seorang perempuan cantik menangis. Wajahnya penuh goresan luka. Begitu memiriskan hati. Ada keinginan Umar melepaskan kepedihan itu, dengan kasih dan elusan lembut, sebagaimana roman-roman picisan.
Tetapi buruh tetaplah buruh. Umar tidak punya naluri romantisme orang-orang modern. Orang-orang perkotaan. Umar hidup di laut bukan dari keindahan seperti potongan puisi milik penyair atau persepsi kaum bangsawan. Tetapi dari keringat seorang buruh kasar yang selalu ditunggui isteri dan anaknya pulang. Mereka biasa ditempa alam sanggup berdamai dengan kelaparan dan kesulitan hidup.
Bagi buruh nelayan, laut bukanlah wisata atau petualangan estetik. Laut adalah keringat asin dan kerja keras di bawah sengatan matahari.
Umar diam menatap kolam di taman kecil itu. Kering tanpa air. Tanpa ikan. Lelaki itu belum terlatih menyikapi suasana dramatik seperti dalam roman-roman populer. Sebab perpisahan dan air mata perempuan, seringkali tak terduga datangnya. Umar sadar ia sedang berhadapan dengan majikan. Sejak Boni mempercayakan Lastri mengurus usahanya, gaji bulanan Umar didapat dari Lastri.
Kesadaran diri sebagai buruh menjadikan Umar dalam posisi selalu kalah. Terutama untuk hal-hal bersifat fisik dan materi. Ia patuh mengikuti kehendak majikannya karena kesadaran kelas sebagai buruh. Selebihnya, Umar hanya seorang pendengar yang dunguh, tak ubahnya seonggok kardus bisu tidak bernyawa. Sakit hati atau disakiti hati, bagi seorang buruh adalah wajar dan biasa saja. Kekerasan dan kenistaan sudah bagian irama hidupnya. Artinya, tetap saja tak sama dibanding kesadaran Lastri ketika menghadapi kekecewaan.
Umar memberanikan diri menatap wajah sang majikan yang merunduk ke meja makan. Wajah muram itu seakan mengajak Umar beranjak ke dunia yang jauh. Dunia tanpa kecemasan. Lastri berusaha dengan cara apa saja melupakan keletihan demi keletihan yang dialaminya.
Melihat wajah Lastri seperti melihat cermin menangkap ratusan wajah perempuan dalam kesunyian. Dan ketika tepi-tepi cermin meretak, ratusan wajah itu berubah menjadi pisau tajam siap melukai siapa pun yang menyentuhnya. Umar khawatir Lastri dan ratusan perempuan dalam cermin itu, sedang mengasah keberaniannya.
“Sabar, Mbak. Mudah-mudahan Pak Boni nanti sadar…” ucapan klise Umar persis seperti ungkapan Baya kepada Lastri saat berbincang di meja makan rumah Lastri, beberapa hari lalu.
Lastri mengangkat wajahnya. Ia tersenyum.
“Aku membatin, Mar,” katanya.
“Maksud, Mbak?”
“Apakah kondisi akan bertahan lama. Bagi aku, perceraian adalah yang terburuk sekaligus terbaik untuk mengakhiri kemelut ini,” tegas Lastri.
“Agama tidak menyetujui perceraian, Mbak.”
“Aku harus jujur dengan diri sendiri. Aku tidak mau jadi isteri yang menghiba dan tunduk di kaki suami!”
“Apa tidak ada cara lain, Mbak?”
“Sudah ku coba!”
“Rumah tangga Mbak Lastri dan Pak Boni sudah berjalan cukup lama. Sayang jika berakhir karena perempuan lain yang belum jelas juntrungannya itu.”
“Kamu bisa ngomong begitu, karena tidak merasakan sakit hati,” tegas Lastri menoleh ke Umar.
“Ya. Tapi saya yakin Pak Boni menikahi perempuan itu bukan atas dasar cinta?”
“Aku tidak mau berpikir ke sana. Mau cinta atau hanya senang-senang saja, masa bodoh!”
Umar tidak berani berdebat. Ia seperti dipaksa bersekutu dengan segala bentuk penderitaan perempuan. Ia dijinakkan oleh pikiran dan rasa ibanya sendiri. Umar merasa waktunya telah dikuasai dan dicurangi oleh suasana kesedihan yang dibangun Lastri. Seakan ia ikut diadili sebagai seorang suami. Sebuah toleransi yang kejam, pikirnya.
Umar adalah tipikal lelaki penyinta. Sejak kecil diajarkan ibunya untuk mengerti semua bentuk penderitaan. Ia sangat menghormati ibunya. Kadang ia berpikir apakah itu sentimen masa lalu. Sebagai bentuk kesadaran, ketika orientasi keturunan dihitung menurut garis sang bapak. Perlawanan terhadap budaya patri-lineal atau superioritas lelaki itu, diterapkannya dalam kehidupan keluarganya. Antara ia dengan Baya, Lina dan Gofur.
Umar mencoba menghindari bahasa-bahasa heroik yang mengagungkan sosok sang bapak. Ia ajarkan anak dan isterinya berdialog, berani menyampaikan argumentasi. Supaya mengerti kesetaraan. Mengerti keadilan. Menolak kekerasan dan hegemoni sang bapak dalam rumah tangga. Saling menghargai dan menghormati.
Umar menyadari sikap tersebut bertentangan dengan latar belakang budaya leluhurnya. Kehidupan warga Lampung Saibatin atau Peminggir sangat kuat dipengaruhi unsur-unsur Islam. Keberadaan anak laki-laki terutama anak tertua, memegang peranan penting. Jika sang bapak meninggal dunia, anak laki-laki tertua bertindak sebagai kepala keluarga atau disebut punyimbang. Ia berkewajiban mengurus adik-adik yang belum kawin. Ia juga mendapat kewenangan mengatur harta warisan orang tua.
Pola dialektika yang dikembangkan Umar di keluarganya sebetulnya sudah digunakan dalam tradisi warga Lampung, dengan apa yang disebut mewarih atau musyawarah. Mewarih dilakukan para tokoh adat apabila ada permasalahan yang harus diselesaikan.
Umar sangat memahami tata moral masyarakat Lampung dibangun dalam suatu sistem yang dikenal dengan piil pasenggiri, sebagai etos yang memberikan pedoman bagi prilaku dan bagi masyarakat untuk membangun karya-karyanya. Piil Pasenggiri pada hakikatnya merupakan nilai dasar yang intinya terletak pada keharusan untuk memiliki hati nurani yang positif, bermoral tinggi dan berjiwa besar, sehingga dapat hidup secara logis dan etis menurut pola prilaku yang diakui oleh masyarakat.
Kendati demikian, Umar menyadari pengertian piil pasenggiri tersebut terjadi banyak pembiasan dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini. Ada di antara saudaranya menapsirkan piil pasenggiri tersebut sebatas gengsi atau ego suku bahkan sampai kepada gejala superioritas pribadi atau kelompok. Hal tersebut kemungkinan karena terjadi pembiasan terhadap keutuhan dari unsur nilai dasar yang mencakup piil pasenggiri itu sendiri seperti, juluk adek atau gelar adat, nemui nyimah atau kerukunan dan silaturahmi, nengah nyapur atau suka bersahabat dan membaur, dan sakai-sambayan atau tolong menolong dan bergotong royong.
“Banyak nilai yang sudah bergeser,” ujar Karjo, teman kerja Umar di bagan.
“Betul, Jo. Sekarang ini soal piil pasenggiri saja jadi perdebatan. Ironisnya yang berdebat justeru tokoh-tokoh cendekia Lampung sendiri.”
“Mungkin akibat perkembangan jaman, Mar. Orang-orang merasa lebih pintar dari dirinya sendiri.”
“Semakin banyak orang cerdas berkumpul, harusnya semakin gampang menyelesaikan persoalan. Kondisi sama juga terjadi di beberapa daerah di pusat atau pun di daerah tak terselesaikan,”
“Bisa jadi, Mar. Tapi tata nilai atau adat istiadat leluhur dari suku mana pun sebetulnya tak kenal lekang oleh jaman. Karena ada nilai positif yang bisa jadi pedoman hidup kita bermasyarakat.”
“Sebetulnya setiap suku memiliki piil pasenggiri itu. Masyarakat Jawa pun punya tata nilai yang dijadikan penuntun hidup mereka sehari-hari.”
“Mungkin membias karena kita tidak mampu menyaring masuknya budaya dari barat sana, Jo.”
Karjo sebagai pendatang dari Wonosobo, Jawa Tengah itu, hanya tersenyum setuju dengan ucapan Umar. Namun yang disadarinya, di keluarganya sendiri meski pun isterinya berasal dari daerah yang sama, namun karakter khas Jawanya pun nyaris hilang karena sejak kecil sudah bergaul dengan orang dari berbagai suku di Lampung. Masa banding di Lampung semua suku di Indonesia.
sampai di Lampung. Mungkin saja ada garis keturunan moyangnya yang lahir
dari situasi konflik antara Bugis dengan Makasar, ratusan tahun lampau. Konflik tersebut
terus berlangsung hingga abad ke-19. Akibatnya banyak orang Bugis
bermigrasi terutama ke daerah pesisir.
Matahari sore menampar puluhan bagan ikan di Teluk Lampung. Dari puncak Tarahan terlihat bias merah meringkas sinarnya. Membentuk garis-garis cahaya di permukaan air laut. Kendati matahari mulai menyempit disekap perbukitan Tarahan, namun para nelayan terutama nelayan jaring pukat darat atau payang masih berbaris menarik jaring ikan. Mereka sejak pagi tadi berada di sisa pantai yang belum teruruk.
Dari dermaga Ujungboom, Gudang Lelang, kapal-kapal penangkap ikan, berjajar bersandar sekitar dermaga tua itu.
Beberapa perahu penumpang masih hilir mudik membawa orang dari Ujungboom ke Pulau Pasaran. Sementara di TPI atau Tempat Pelelangan Ikan, Gudang Lelang, kegiatan lelang ikan baru saja selesai. Beberapa pedagang terlihat memasukkan ikan hasil lelang ke dalam kotak plastik, dan gentong plastik berisi es balok. Lalu mengangkutnya ke mobil.
Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan itu sebagian besar dikirim ke Jakarta, Palembang. Selebihnya ke bakul pedagang pasar induk di sejumlah kota di Lampung. Berbagai jenis ikan besar tangkapan nelayan, antara lain ikan tuna, ikan kembung, tongkol dan ikan selar. Juga ikan teri nasi dan udang laut, kepiting rajungan, dan lobster .
“Saya jamin bebas formalin!”
“Ya. Tapi harga sekarang jatuh, Pak Boni. Sejak ramainya pemberitaan penggunaan pengawet formalin oleh nelayan...”
“Ahk, sudah..sudah! Pak Tikno jangan terpancing! Itu berita masih simpang siur!”
“Bukan saya, Pak Boni. Tapi masyarakat. Mereka percaya.”
“Ya sudah. Sekarang bagaimana?”
“Mau saya..ya harga minggu kemarin!”
“Jangan begitulah. Bahan bakar ‘kan baru naik, Pak!”
“Saya paham. Tapi harga minggu kemarin juga sudah naik.”
“Tambahlah sedikit, Pak.”
“Berat, Pak Boni. Saya ragu apakah dalam satu minggu ini isu formalin itu bisa redah. Lebih parah lagi, temuan terbanyak justeru dilakukan nelayan.”
“Bapak salah! Yang dimaksud berita itu bukan ikan basah, Pak! Tapi ikan asin!”
“Sudahlah..Saya malas berdebat. Jadi bagaimana? Dikasih enggak?”
“Ya sudah. Mar! Ajak yang lain. Naikkan gentong ikan ke mobil Pak Tikno!”
Dengan sigap Umar bersama beberapa buruh nelayan yang bekerja dengan Boni menaikkan empat gentong plastik berisi ikan ke mobil pick up Pak Tikno.
Sebelum bekerja dengan Boni, Umar ikut Aziz pembuat perahu katiran atau perahu jala ikan. Kemudian pindah ke pembuat bagan apung atau bagan jerigen, dan bagan perahu. Akhirnya ia bertemu Boni, ditawari bekerja di bagan tancap milik pengusaha asal Bugis itu. Boni punya 12 unit bagan tancap, dan enam bagan perahu.
Sudah empat tahun Umar bekerja dengan Boni. Ia digaji bulanan tetap, dan mendapat bonus sistem persentasi hasil tangkapan ikan di bagan tancap milik majikannya. Selain usaha bagan ikan, Boni memiliki tambak udang windu di daerah Lempasing. Tapi karena kondisi air laut tercemar, dan tidak memungkinkan lagi udang windu hidup, Boni dan para petambak di sekitar Lempasing, beralih ke budidaya udang putih, meski harganya jauh di bawah udang windu. Untuk size bagus, 24-28 ekor per kilogram, harga udang windu berkisar 80.000 hingga 90.000 Rupiah per kilogram. Sedangkan udang putih hanya sekitar 35.000 Rupiah per kilogram.
“Penurunannya jauh banget, Bon.”
“Ya..sebetulnya, tak seberapa sih,” kata Boni kepada Tarwin.
Tarwin kawan lama Boni sewaktu sekolah di Jawa. Ia sengaja bertandang untuk melihat usaha tambak Boni.
“Udang putih unggul di jumlah produksinya, Win.”
“Maksudmu?”
“Kalau udang windu, per petak tambak seperempat hektare, produksinya kurang lebih satu ton. Sementara udang putih bisa mencapai 10 ton per petak. Tinggal ditambah sedikit kedalaman tambak dan pakannya.”
Sejak tahun 2002 tidak hanya Boni, hampir semua petambak rakyat, juga tambak-tambak perusahaan besar seperti Bratasena di Lampung Tengah, dan Dipasena di Tulang Bawang sudah menanam udang putih. Hingga kini permintaan pasar ekspor udang putih dari Indonesia cukup bagus. Antara lain pembeli dari Jepang dan Amerika. Udang Boni sendiri dibeli pengusaha dari Jawa Barat.
Boni juga memiliki usaha pengolahan ikan asin laut di Pulau Pasaran dan TPI Lempasing. Sekitar dermaga Ujungboom, Boni punya depot es batu dan depot solar untuk melayani kebutuhan kapal nelayan. Setiap sore, Boni biasa nongkrong di dermaga mengawasi anak buahnya memasok es dan solar ke kapal nelayan yang hendak melaut.
Dari sekitar 120 orang buruh harian dan karyawan tetap yang bekerja kepada Boni, Umar lebih dipercaya bahkan sudah dianggap keluarga. Setiap minggu Umar ditugasi mengawal Lastri, isteri majikannya itu menyetor atau mengambil uang dari mitra dagangnya melalui Bank Danamon Telukbetung.
Sebelum berusaha di Lampung, Boni memiliki usaha pembenuran udang milik orang tuanya di Anyer, Banten. Kemudian membuka tempat pembenuran udang di Canti, Lampung Selatan. Setelah menikahi Lastri, gadis asal Indramayu, ia hijrah ke Telukbetung. Samsul Bone, bapaknya Boni, dikenal sebagai juragan Bugis yang sukses di Cungkeng, Telukbetung. Ia memiliki puluhan unit kapal tangkap ikan, serta usaha perikanan laut.
Tidak jelas latar belakang Samsul Bone dan orang-orang Bugis lainnya sampai di Lampung. Mungkin saja ada garis keturunan moyangnya yang lahir dari situasi konflik antara Bugis dengan Makasar, ratusan tahun lampau. Konflik tersebut terus berlangsung sampai abad ke-19. Akibatnya banyak orang Bugis bermigrasi terutama ke daerah pesisir.
Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui di daerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunai, dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan kemerdekaan. Kebahagian dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
Karena anak tunggal, Boni mewarisi semua usaha milik orang tuanya, Samsul Bone.
Boni bukanlah pengusaha yang ulet, seperti bapaknya. Ia tidak punya kemampuan mengelola usaha. Bahkan boros, suka judi, dan berfoya-foya.
Justeru Lastri yang pandai berbisnis. Sebelum dipercayakan kepada Lastri, sebagian usaha peninggalan orang tua Boni banyak bangkrut. Kapal penangkap ikan miliknya tinggal beberapa unit saja, karena dijual. Usaha Boni mulai bangkit sejak dikelola Lastri.
Tetapi di balik usaha yang sukses itu, hingga 13 tahun perkawinannya, Lastri dan Boni belum juga dikaruniai anak. Meski berbagai upaya baik secara medis maupun pengobatan alternatif, diikuti suami isteri ini, namun sang bayi belum juga datang.
Lastri saat dikawini Boni, baru berusia 16 tahun, 11 tahun lebih muda dari Boni. Walau masih di bawah umur, dan belum menyelesaikan sekolahnya, orang tua Lastri menerima lamaran keluarga Boni. Pertimbangannya karena kondisi ekonomi keluarga Boni yang terpandang. Lastri sempat satu tahun putus sekolah, kemudian meneruskan hingga lulus SMA.
Kendati belum dikaruniai anak, namun rumah tangga mereka masih tetap utuh. Kalau ada pertengkaran, Lastri lebih banyak mengalah dan menahan diri. Lastri cenderung tidak peduli apa yang dilakukan suaminya, seperti mengumpulkan kawan-kawannya di rumah, minum dan berjudi.
Lastri juga tidak terlalu pusing jika tetangga sering melaporkan perilaku suaminya yang sering merayu gadis bahkan isteri orang. Lastri tutup mata dan telinga, tak mau tahu. Ia takut jika ditanggapi akan memperburuk kondisi keluarganya.
Hanya Umar, lelaki yang sering menjadi sahabat Lastri bercurah hati. Biasanya Lastri menumpahkan kekesalannya ketika ditemani Umar mengambil uang ke bank di Tanjungkarang. Lastri tidak segan bercerita kepada Umar, karena sudah menganggap suami Baya itu keluarga sendiri. Selain itu, Umar cukup bersimpati mendengarkan keluhan Lastri.
Meski hanya mendengarkan saja, Umar sering kewalahan karena Lastri sering bercerita sambil menangis. Seperti hari itu, Lastri kembali bercurah hati. Sehabis dari bank, ia mengajak Umar makan ke Moroseneng. Lastri biasa makan di sana karena suka masakan ayam goreng kalasannya. Umar juga sering diajak Lastri karena tempatnya cukup memungkinkan bagi pengunjung restoran berlama-lama ngobrol, sembari menunggu makanan dipesan.
Rumah makan milik warga Tionghoa itu berbentuk pondok mirip gazebo yang sengaja terpisah satu sama lainnya, agar orang lebih lepas bicara hal-hal penting atau pribadi.
Lastri mengambil tempat paling pojok. Umar sedikit risih, karena Lastri memilih duduk bersebelahan di sampingnya. Mereka menghadap ke kolam kecil yang kering. Suasana rumah makan agak sepi. Hanya satu dua pondok berisi tamu. Mungkin karena lewat jam makan siang.
Usai makan, Lastri memesan juice melon, sementara Umar memesan kopi pahit. Hari itu Lastri tidak begitu banyak berkeluh kesah menumpahkan kekesalannya terhadap Boni. Ia hanya mengomeli suaminya karena sudah tiga malam selalu pulang pagi.
“Terserah! Aku tak peduli. Mau mabok. Judi. Main perempuan, masa bodoh! Aku capek, Mar!”
Umar tidak menanggapi Lastri. Ia menunggu kopi diantar pelayan. Umar tetap diam sembari mengepulkan asap rokok kreteknya ke udara. Wajahnya masih terlihat kikuk. Umar tahu diri kalau yang berbicara itu majikannya. Jadi tidak akan berkomentar sebelum diminta sang majikan.
“Aku bekerja habis-habisan mengurus usaha, ia enak-enaknya menghamburkan uang. Aku seperti sapi! Diperas tenaga diperas susunya!” keluh Lastri.
Umar berlaku sebagai pendengar. Matanya diarahkan ke kolam di depan pondok itu. Ia menekan puntung rokoknya ke asbak, lalu menghidupkan lagi rokok yang baru. Bersamaan itu, kopi yang sedari tadi ditunggunya, sudah tiba. Pelayan wanita itu mengantarnya bersama juice tomat, serta sepiring buah semangka dingin.
“Terima kasih, Mbak,” tegur Umar kepada pelayan. Umar langsung meraih cangkir kopi yang dipesan sambil meniup uap panasnya. Ia hirup sedikit kopi itu. Sementara Lastri melanjutkan umpatan kekesalannya.
“Perbuatan yang tidak bisa lagi aku maafkan, ia punya isteri simpanan. Mereka sudah satu tahun menikah diam-diam.”
Ucapan terakhir Lastri, membuat Umar kaget. Ia sangat paham perilaku Boni, suka menggoda gadis bahkan isteri orang. Ia juga tahu Boni senang melacur. Mabuk-mabukan. Berjudi sabung ayam. Tetapi baru kali ini Umar mendengar majikannya itu punya isteri muda.
Umar terpaksa memberanikan diri memotong perkataan Lastri.
“Dari mana kabar itu?”
“Dari temanku di Lebakbudi. Ia bertetangga dengan rumah dibeli Boni, untuk isteri mudanya itu. Dan, aku sudah cek langsung ke sana untuk membuktikan kebenarannya.”
“Perempuan itu tinggal sama siapa?”
“Adik perempuannya,” jawab Lastri.
Umar terlihat belum yakin. Tapi ia diam saja.
Lastri terdiam. Matanya memerah. Pelan-pelan air mata membasahi wajah putih pucat itu. Lastri mengambil tisu di meja. Ia berusaha menyeka air matanya. Lastri tidak mau menangis karena Boni.
Ia tidak ingin orang lain mengetahui penderitaannya. Lastri menahan tangis, seolah hendak mengatakan sudah terlalu lelah menangis dan terus menangis. Perempuan cantik dan ulet berusaha itu, ingin belajar tegar menghadapi masalahnya.
Umar tertunduk lesu. Ia bingung. Romantisme apa sedang berlangsung di hadapannya. Seorang perempuan cantik menangis. Wajahnya penuh goresan luka. Begitu memiriskan hati. Ada keinginan Umar melepaskan kepedihan itu, dengan kasih dan elusan lembut, sebagaimana roman-roman picisan.
Tetapi buruh tetaplah buruh. Umar tidak punya naluri romantisme orang-orang modern. Orang-orang perkotaan. Umar hidup di laut bukan dari keindahan seperti potongan puisi milik penyair atau persepsi kaum bangsawan. Tetapi dari keringat seorang buruh kasar yang selalu ditunggui isteri dan anaknya pulang. Mereka biasa ditempa alam sanggup berdamai dengan kelaparan dan kesulitan hidup.
Bagi buruh nelayan, laut bukanlah wisata atau petualangan estetik. Laut adalah keringat asin dan kerja keras di bawah sengatan matahari.
Umar diam menatap kolam di taman kecil itu. Kering tanpa air. Tanpa ikan. Lelaki itu belum terlatih menyikapi suasana dramatik seperti dalam roman-roman populer. Sebab perpisahan dan air mata perempuan, seringkali tak terduga datangnya. Umar sadar ia sedang berhadapan dengan majikan. Sejak Boni mempercayakan Lastri mengurus usahanya, gaji bulanan Umar didapat dari Lastri.
Kesadaran diri sebagai buruh menjadikan Umar dalam posisi selalu kalah. Terutama untuk hal-hal bersifat fisik dan materi. Ia patuh mengikuti kehendak majikannya karena kesadaran kelas sebagai buruh. Selebihnya, Umar hanya seorang pendengar yang dunguh, tak ubahnya seonggok kardus bisu tidak bernyawa. Sakit hati atau disakiti hati, bagi seorang buruh adalah wajar dan biasa saja. Kekerasan dan kenistaan sudah bagian irama hidupnya. Artinya, tetap saja tak sama dibanding kesadaran Lastri ketika menghadapi kekecewaan.
Umar memberanikan diri menatap wajah sang majikan yang merunduk ke meja makan. Wajah muram itu seakan mengajak Umar beranjak ke dunia yang jauh. Dunia tanpa kecemasan. Lastri berusaha dengan cara apa saja melupakan keletihan demi keletihan yang dialaminya.
Melihat wajah Lastri seperti melihat cermin menangkap ratusan wajah perempuan dalam kesunyian. Dan ketika tepi-tepi cermin meretak, ratusan wajah itu berubah menjadi pisau tajam siap melukai siapa pun yang menyentuhnya. Umar khawatir Lastri dan ratusan perempuan dalam cermin itu, sedang mengasah keberaniannya.
“Sabar, Mbak. Mudah-mudahan Pak Boni nanti sadar…” ucapan klise Umar persis seperti ungkapan Baya kepada Lastri saat berbincang di meja makan rumah Lastri, beberapa hari lalu.
Lastri mengangkat wajahnya. Ia tersenyum.
“Aku membatin, Mar,” katanya.
“Maksud, Mbak?”
“Apakah kondisi akan bertahan lama. Bagi aku, perceraian adalah yang terburuk sekaligus terbaik untuk mengakhiri kemelut ini,” tegas Lastri.
“Agama tidak menyetujui perceraian, Mbak.”
“Aku harus jujur dengan diri sendiri. Aku tidak mau jadi isteri yang menghiba dan tunduk di kaki suami!”
“Apa tidak ada cara lain, Mbak?”
“Sudah ku coba!”
“Rumah tangga Mbak Lastri dan Pak Boni sudah berjalan cukup lama. Sayang jika berakhir karena perempuan lain yang belum jelas juntrungannya itu.”
“Kamu bisa ngomong begitu, karena tidak merasakan sakit hati,” tegas Lastri menoleh ke Umar.
“Ya. Tapi saya yakin Pak Boni menikahi perempuan itu bukan atas dasar cinta?”
“Aku tidak mau berpikir ke sana. Mau cinta atau hanya senang-senang saja, masa bodoh!”
Umar tidak berani berdebat. Ia seperti dipaksa bersekutu dengan segala bentuk penderitaan perempuan. Ia dijinakkan oleh pikiran dan rasa ibanya sendiri. Umar merasa waktunya telah dikuasai dan dicurangi oleh suasana kesedihan yang dibangun Lastri. Seakan ia ikut diadili sebagai seorang suami. Sebuah toleransi yang kejam, pikirnya.
Umar adalah tipikal lelaki penyinta. Sejak kecil diajarkan ibunya untuk mengerti semua bentuk penderitaan. Ia sangat menghormati ibunya. Kadang ia berpikir apakah itu sentimen masa lalu. Sebagai bentuk kesadaran, ketika orientasi keturunan dihitung menurut garis sang bapak. Perlawanan terhadap budaya patri-lineal atau superioritas lelaki itu, diterapkannya dalam kehidupan keluarganya. Antara ia dengan Baya, Lina dan Gofur.
Umar mencoba menghindari bahasa-bahasa heroik yang mengagungkan sosok sang bapak. Ia ajarkan anak dan isterinya berdialog, berani menyampaikan argumentasi. Supaya mengerti kesetaraan. Mengerti keadilan. Menolak kekerasan dan hegemoni sang bapak dalam rumah tangga. Saling menghargai dan menghormati.
Umar menyadari sikap tersebut bertentangan dengan latar belakang budaya leluhurnya. Kehidupan warga Lampung Saibatin atau Peminggir sangat kuat dipengaruhi unsur-unsur Islam. Keberadaan anak laki-laki terutama anak tertua, memegang peranan penting. Jika sang bapak meninggal dunia, anak laki-laki tertua bertindak sebagai kepala keluarga atau disebut punyimbang. Ia berkewajiban mengurus adik-adik yang belum kawin. Ia juga mendapat kewenangan mengatur harta warisan orang tua.
Pola dialektika yang dikembangkan Umar di keluarganya sebetulnya sudah digunakan dalam tradisi warga Lampung, dengan apa yang disebut mewarih atau musyawarah. Mewarih dilakukan para tokoh adat apabila ada permasalahan yang harus diselesaikan.
Umar sangat memahami tata moral masyarakat Lampung dibangun dalam suatu sistem yang dikenal dengan piil pasenggiri, sebagai etos yang memberikan pedoman bagi prilaku dan bagi masyarakat untuk membangun karya-karyanya. Piil Pasenggiri pada hakikatnya merupakan nilai dasar yang intinya terletak pada keharusan untuk memiliki hati nurani yang positif, bermoral tinggi dan berjiwa besar, sehingga dapat hidup secara logis dan etis menurut pola prilaku yang diakui oleh masyarakat.
Kendati demikian, Umar menyadari pengertian piil pasenggiri tersebut terjadi banyak pembiasan dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini. Ada di antara saudaranya menapsirkan piil pasenggiri tersebut sebatas gengsi atau ego suku bahkan sampai kepada gejala superioritas pribadi atau kelompok. Hal tersebut kemungkinan karena terjadi pembiasan terhadap keutuhan dari unsur nilai dasar yang mencakup piil pasenggiri itu sendiri seperti, juluk adek atau gelar adat, nemui nyimah atau kerukunan dan silaturahmi, nengah nyapur atau suka bersahabat dan membaur, dan sakai-sambayan atau tolong menolong dan bergotong royong.
“Banyak nilai yang sudah bergeser,” ujar Karjo, teman kerja Umar di bagan.
“Betul, Jo. Sekarang ini soal piil pasenggiri saja jadi perdebatan. Ironisnya yang berdebat justeru tokoh-tokoh cendekia Lampung sendiri.”
“Mungkin akibat perkembangan jaman, Mar. Orang-orang merasa lebih pintar dari dirinya sendiri.”
“Semakin banyak orang cerdas berkumpul, harusnya semakin gampang menyelesaikan persoalan. Kondisi sama juga terjadi di beberapa daerah di pusat atau pun di daerah tak terselesaikan,”
“Bisa jadi, Mar. Tapi tata nilai atau adat istiadat leluhur dari suku mana pun sebetulnya tak kenal lekang oleh jaman. Karena ada nilai positif yang bisa jadi pedoman hidup kita bermasyarakat.”
“Sebetulnya setiap suku memiliki piil pasenggiri itu. Masyarakat Jawa pun punya tata nilai yang dijadikan penuntun hidup mereka sehari-hari.”
“Mungkin membias karena kita tidak mampu menyaring masuknya budaya dari barat sana, Jo.”
Karjo sebagai pendatang dari Wonosobo, Jawa Tengah itu, hanya tersenyum setuju dengan ucapan Umar. Namun yang disadarinya, di keluarganya sendiri meski pun isterinya berasal dari daerah yang sama, namun karakter khas Jawanya pun nyaris hilang karena sejak kecil sudah bergaul dengan orang dari berbagai suku di Lampung. Masa banding di Lampung semua suku di Indonesia.
Sabtu, 22 November 2008
2
Mendengar akan diserang, seluruh jamaah bersiaga, dengan anak panah.
Begitu rombongan Kasdim datang, mereka langsung menyambutnya dengan anak panah.
Danramil Soetiman tewas.
Siapa memiliki keberanian berhitung serta mengukur waktu dari sel penjara yang lembab itu? Baya dan napi wanita lainnya, tidak pernah peduli perputaran masa yang membingkai persoalan mereka hari ini atau esok. Mereka bukan tahanan politik yang setiap hari bersolek dan merias dirinya menjadi pahlawan.
Baya tidak ubahnya kecoa busuk yang tidak memiliki harga untuk dijual ke masyarakat. Tidak ada telepon dan surat yang mendatanginya. Tidak ada kiriman apel dan jeruk segar. Tidak ada koran dan televisi. Tidak ada rokok dibagikan ke para sipir dan petugas jaga. Apa lagi menyogok kepala keamanan atau pemimpin penjara, agar bisa jalan-jalan keluar penjara dan tidur pulang ke rumah. Baya bukan tahanan berkelas, seperti koruptor atau politisi, yang setiap waktu bisa pulang meninggalkan kamar selnya.
Meski berijazah SMA dan lulus ke perguruan tinggi negeri, Ibu dua anak ini, hanyalah isteri buruh nelayan di Gudang Agen, Telukbetung. Baya bekerja serabutan. Kadangkala jual kain, jual tikar pandan, upahan cuci pakaian tetangga, dan membuat kue sekaligus menjualkannya keliling kampung. Sebelum menikah, Baya sempat bekerja di perusahaan distributor perabot rumah tangga. Ia juga pernah menjadi staf dokumentasi dan pustaka di sebuah lembaga non pemerintah yang mengelola dana luar negeri.
Baya tidak memahami sejarah hitam-putih sebuah penjara. Semula anggapannya, penjara adalah sesuatu yang menakutkan. Tetapi, sejak mendiami kamar sel penjara, ketakutan dan kecemasan itu berubah menjadi keberanian. Baya dipenjara 10 tahun karena membunuh. Perempuan itu menyatakan sikap di pengadilan, bahwa membunuh adalah sebuah kemenangan.
“...dan aku tegaskan kepada kalian! Apa yang aku lakukan adalah perlawananku melawan kekejaman kalian. Sekali pun harus membunuh untuk bertahan hidup!” demikian kutipan pernyataan Baya dalam pledoy yang dibacakan pengacaranya.
Baya begitu lega dengan kalimat demi kalimat dalam amar putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang yang dibacakan pada sidang terakhirnya. Hal-hal yang memberatkan, ujar hakim, aksi membunuh tersebut dilakukannya dengan penuh kesadaran dan terencana lebih dahulu. Vonis berat sang hakim disambutnya dengan senyum. Ia rasakan suara palu pengadilan terdengar merdu di telinganya.
Baya membunuh dengan senyuman. Tidak ada air mata. Tidak ada penyesalan. Perempuan itu begitu siapnya menghadapi hukuman. Sekali pun dieksekusi ke tiang gantungan atau lapangan tembak. Ia seperti baru saja menyelesaikan potongan akhir serenade klasik “Requim” dari partitur peradilan kita. Meletakkan sejarah dirinya di kamar sel yang dingin. Membisukan mimpi dan reguleritas hidup. Seperti riwayat kebisuan sang bapak, Haji Hazairin, yang hilang tak berjejak — setelah lebih dulu diculik dan dibuang ke kamp tahanan orang PKI di Pulau Kemaro, Sungai Musi, Palembang.
“Saya dalam kondisi sehat dan sadar ketika melakukan itu...” kata Baya kepada majelis hakim -- beberapa saat sebelum amar keputusan sidang dibacakan.
“Apakah Anda menyesal?”
“Kenapa Anda tanyakan itu?” balas Baya.
“Saudara terdakwa, saya ulangi. Apakah Anda menyesal melakukan perbuatan terkutuk itu?” ulang hakim.
“Tidak!”
“Kenapa?” tanya hakim geram.
“Apa yang saya lakukan adalah yang terbaik bagi saya, juga keluarga saya.”
Baya menolak banding. Ia menerima vonis 10 tahun penjara yang diputuskan majelis hakim.
Pengacara Baya, Alamsyah, hanya tertunduk mendengar keputusan itu. Padahal, menurut Alamsyah, apa yang dilakukan Baya adalah tindakan membela kehormatan dirinya dan keluarganya. Beberapa hari sebelum vonis dibacakan, Alamsyah sempat dihubungi salah seorang anggota majelis hakim. Tetapi Alamsyah tidak bisa berbuat banyak. Ia paham kondisi ekonomi kliennya. Meski pun sidang putusan itu sempat ditunda hakim sampai dua kali masa persidangan.
Baya sendiri sebetulnya adalah korban. Tetapi Alamsyah merasa lega, karena putusan hakim tersebut lebih ringan dari ancaman jaksa Ritonga yang menuntut hukuman penjara seumur hidup.
“Ayo Tidur!”
Teriakan sipir Muna yang melintasi lorong Blok D-3, memecahkan lamunan Baya. Para napi dan tahanan wanita di kamar sel bangkit, sembari merapikan pakaian mereka yang tersingkap.
Usia Baya belum terlalu tua. Ia lahir di Palembang, Tahun 1961. Meski sudah satu tahun menghuni kamar sel Rajabasa, tetapi Baya masih terlihat segar. Tubuhnya terbilang tinggi untuk ukuran perempuan kebanyakan, sekitar 1,67 Meter. Raut muka lonjong. Rambutnya berombak hitam. Tubuhnya terbalut kulit putih, masih terlihat kencang kendati sudah beranak dua. Wajar saja Baya mendapat perhatian agak lebih dari sipir dan petugas penjara ketimbang napi wanita lainnya.
Haji Hazairin, bapak Baya, berasal dari Pangkalan Balai, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sementara ibunya dari Pagaralam, Lahat. Wajah Baya cenderung ke ibunya. Mirip wajah orang Tionghoa.
Sebelum diculik usai Gestapu 1965, Haji Hazairin memiliki kebun karet yang cukup luas. Di rumah, Hazairin bersama isterinya membuka toko klontong. Ia juga menampung hasil bumi petani, seperti padi, jagung, dan singkong.
Haji Hazairin diculik dan diisolasi ke Pulau Kemaro, karena dituduh terlibat kegiatan PKI, Partai Komunis Indonesia. Dua tahun di pengasingan Pulau Kemaro, Hazairin dikabarkan meninggal dunia.
Waktu itu Baya berusia empat tahun. Hingga sekarang ia tidak tahu keberadaan mayat bapaknya. Apakah dimakamkan, atau dibuang ke sungai. Karena di pulau yang dijadikan pembuangan orang yang dituduh aktivis PKI tersebut, tidak ditemukan kuburannya.
Haji Hazairin bukanlah ekstrimis atau kelompok kiri, seperti Amir Sjarifuddin, Tan Malaka, Musso, Aidit. Ia juga bukan kelompok Sjahrir dan Hatta dengan politik reaksionernya. Menurut cerita ibu Baya, Hazairin dikenal muslim yang taat dan berpengaruh di masyarakat. Ia biasa diminta bicara di hadapan orang banyak. Hazairin juga aktif dengan kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia tidak pernah bicara politik atau gerakan, tetapi banyak bicara soal nasib manusia bernama buruh dan petani.
Hazairin sangat membenci penjajah. Ia mengutuk kaum imprealis atau neokolim, termasuk kelompok reaksioner Indonesia yang waktu itu, berkompromi dengan negara kolonial seperti Belanda dan Inggris.
“Ini salah satu dosa besar kita terhadap anak cucu kelak,.” ujar Hazairin kala itu.
Baya membandingkan penderitaannya di penjara. Belum seberapa dengan kesengsaraan bapaknya saat ditahan dan disiksa tentara masa itu. Menurut cerita, Haji Hazairin mengalami nasib seperti Amir Sjarifuddin tokoh PSI, dan kawan-kawan. Hazairin dan aktivis PKI lainnya diduga dibantai di tahanan Pulau Kemaro, lalu mayatnya ditenggelamkan ke Sungai Musi.
Cerita dari mulut ke mulut itu membuat miris keluarga Hazairin. Baya selalu menangis jika teringat cerita soal bapaknya. Ia mengutuk para pelaku politik masa itu, yang tidak bermoral dan beretika politik. Membunuh menjadi pilihan politik untuk terus berkuasa. Komunis adalah ideologi, bukan partai politik.
Tindakan balas dendam dan penumpasan PKI yang dilakukan militer dan kelompok anti-komunis waktu itu, menurut Baya, adalah tindakan yang tidak berprikemanusiaan. “PKI adalah partai politik, komunis adalah ideologi.” Kalimat yang sering diucapkan bapaknya itu, kembali diulang-ulang Baya. Hazairin mengaku bahwa ia pengagum Marhen dan Soekarno, tetapi bukan umat PNI atau PKI! Sampai kini Baya tidak tahu apa maksud kalimat yang disebutkan bapaknya itu.
“Kita punya kisah yang sama,” tanggap Hesti mendengar cerita Baya.
Hesti sudah tiga bulan menghuni sel Rajabasa. Ia dipenjara karena menulis artikel di korannya tentang jaringan penyelundup mobil-mobil mewah di pelabuhan peti kemas Panjang. Penyelundupan itu dilakukan secara sistematis oleh jaringan yang melibatkan pengusaha, oknum pejabat Bea Cukai, seorang pejabat daerah, serta beberapa oknum aparat kepolisian di pusat.
Dari hasil investigasinya itu, Hesti memaparkan secara rinci jaringan serta modus penyelundupan mobil mewah di pelabuhan bongkar muat itu. Modus penyelundupan antara lain mengubah keterangan dokumen barang dalam kontainer yang disegel label Bea Cukai, dengan menyebutkan kiriman jenis barang, general cargo. Pada daftar barang tidak menjelaskan secara detail atau spesifik. Dokumen perjalanannya diubah dari dokumen impor menjadi angkutan antarpulau atau inter-insuler.
Sedangkan keterangan daftar manives barang yang dikirim dari Singapura itu hanya tertulis onderdil otomotif. Praktek penyelundupan mobil yang merugikan negara miliaran rupiah, diduga hingga kini terus berlangsung.
Karena tidak dapat menunjukkan bukti akurat tentang mobil-mobil selundupan dari Singapura itu, serta sikapnya melindungi jatidiri narasumbernya, Hesti diseret ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Berkas perkara yang diajukan ke majelis hakim tidak menggunakan Undang-Undang Pers, tetapi KUHP. Jaksa mendakwanya, pasal pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong.
Hesti akhirnya divonis 14 bulan penjara. Ia juga dipecat oleh pemilik koran. Tetapi tidak lama Hesti dipenjara, koran harian itu tutup karena konflik antarpemilik saham. Beberapa waktu kemudian terbit lagi dengan manajemen baru. Namun sebagian besar sahamnya telah dibeli seorang pengusaha di Jakarta, konon dekat dengan lingkaran penguasa pusat.
“Nenekku juga pernah ditahan bertahun-tahun tanpa pengadilan. Ia anggota Gerwani. Ia baru dilepaskan setelah pamanku meminta bantuan seorang perwira tinggi saudara istrinya,” ungkap Hesti.
Baya terkesima mendengar pengakuan Hesti. Selama tinggal satu kamar sel gadis muda ini tidak banyak bicara. Jika Baya bercerita dengan kawan-kawan tahanan lain, Hesti hanya menjadi pendengar saja. Tanpa berkomentar atau ikut berpendapat. Baru sekarang Hesti membuka jati dirinya, wartawati sebuah harian.
Baya baru paham kenapa sejak Hesti masuk ke sel itu, sikap para sipir dan petugas agak berubah. Mereka terlihat hati-hati bicara dengan para penghuni kamar sel. Padahal selama ini, sangat terbuka dan ceplas-ceplos, bahkan sering bicara di luar konteks antara sipir dan tahanan.
“Kejadian mengerikan itu tidak hanya di Palembang atau Sumatera,” Hesti kembali bercerita. “Peristiwa pembunuhan massal aktivis PKI terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa dan Bali. Kesaksian mantan korban, tahun 1965-1966, di Wonosobo, Jawa Tengah, ditemukan kuburan berisi korban pembunuhan massal oleh kelompok anti-komunis,” jelas Hesti.
Setelah kuburan besar digali, papar Hesti, ditemukan bukti-bukti seperti cincin kawin, gigi palsu, dan barang-barang lain. Beberapa korban teridentifikasi secara forensik. Namun ironisnya, ketika kerangka korban hendak dipindahkan ke tanah kelahirannya di Temanggung, warga spontan menolak. Mereka membentang spanduk lebar-lebar: “Tidak ada tempat bagi PKI!”
Hesti begitu fasih bercerita menirukan narasumber dan referensi buku-buku bacaannya. Daya ingat anak muda ini cukup baik, pikir Baya. Di mata Baya, Hesti adalah anak yang cerdas.
“Kekerasan militer Soeharto, tidak juga ditujukan ke kelompok komunis yang dianggapnya atheis, tetapi juga kelompok Islam,” ujar Hesti.
Seperti peristiwa Tanjungpriok. Pembantaian jamaah Islam di Lampung, yang dimulai dari memprovokasi militer kepada santri sejumlah pondok pesantren di Lampung Tengah. Mereka dihasut untuk menyerbu pengajian imam Warsidi di Cihedeung, Dukuh Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Tengah, 7 Februari 1989.
Kasus pembantaian warga sipil atau disebut “Tragedi Talangsari” itu, bermula ketika Danramil 41121 Way Jepara, Kapten Soetiman menerima sepucuk surat dari Camat Zulkifli Maliki. Isinya; di Dusun Cihedeung ada yang melakukan kegiatan mencurigakan dengan kedok pengajian.
Laporan dari Kepala Dusun Cihideung, Sukidi, itu kemudian dijadikan oleh Soetiman untuk memanggil tokoh pengajian itu yang bernama Anwar. Soetiman meminta agar Anwar selambat-lambatnya 1 Februari 1989 menghadap. Tapi Anwar menolak. Ia justru malah meminta agar Danramil yang datang ke tempatnya.
Merasa ditolak, giliran Camat Zulkifli memanggil Anwar. Tapi juga tidak diindahkan. Anwar malah memanggil Muspika agar datang ke tempatnya. Kemudian pada 5 Februari 1989, sekitar enam pemuda desa Cihideung yang sedang ronda disergap oleh tentara. Saat itu pihak aparat berhasil menyita 61 pucuk anak panah dan ketapel kayu.
Sehari setelah itu, Kasdim 0411 Lampung Tengah, Mayor E.O Sinaga, mengajak Soetiman, Zulkifli dan Kakansospol Letkol Hariman S. dan beberapa staf CPM ke Cihideung untuk memenuhi undangan Anwar. Tetapi, sebelum kehadiran mereka, dihembuskan ke jamaah pengajian, bahwa mereka akan diserang.
Mendengar akan diserang, seluruh jamaah bersiaga, dengan anak panah. Begitu rombongan Kasdim datang, mereka langsung menyambutnya dengan anak panah. Danramil Soetiman tewas.
Situasi panas. Entah kelompok dari mana dikabarkan menyerang Pos Polisi yang menjaga hutan lindung di Gunung Balak. Dua polisi terluka. Kepala Desa Sidorejo, Lampung Timur, Santoso Arifin dibunuh.
Malam harinya sebuah mini bus angkutan desa di jalan Sri Bawono disergap gerombolan. Sopir angkutan desa itu dibunuh dan kernet dilukai. Pratu Budi Waluyo yang kebetulan berada di lokasi itu juga tewas.
Kasus berantai yang mungkin spontanitas atau sengaja dikondisikan kelompok tertentu itu, menjadi awal petaka besar.
Pada 7 Februari 1989, usai sholat subuh, tiba-tiba terdengan serentetan tembakan. Lalu api menjilat ke bangsal tempat jamaah Wardisi menginap. Suara tembakan itu disambut dengan takbir, ’’Allahu akbar....!’’, berbaur tangis dan jerit histeris.
Serangan fajar tersebut berasal dari empat peleton tentara dan 40 anggota Brimob dipimpin langsung Komandan Korem 043 Garuda Hitam, saat itu, Kolonel A.M. Hendropriyono.
Setelah usai suara tembakan, jumlah korban versi tentara menyebutkan hanya 27 orang. Data Komite Smalam, korban tewas mencapai 246 orang, belum termasuk yang hilang. Dari keseluruhan korban itu, 127 diantaranya anak-anak dan perempuan.
“Berapa pun yang tewas, bagi kami itu tetap tragedi kemanusiaan yang tidak bisa didiamkan,’’ tandas Fikri Yasin, Koordinator Komite Smalam, sebuah LSM yang gigih memperjuangkan nasib korban pembantaian itu.
“Saya masih ingat malam itu, saya dan ibu-ibu serta anak-anak berlindung dalam gubuk. Lalu gubuk itu dibakar! Saya berhasil kabur. Tetapi entahlah bagaimana nasib ibu-ibu dan anak-anak di gubuk itu,” papar seorang korban peristiwa ini dalam acara testimoni.
Kasus pembantaian oleh militer Soeharto itu, sempat menimbulkan kontroversi ketika sebagian korban menandatangani islah atau damai. Belakangan mereka mencabut kesepakatan islah. Namun belum ada keinginan pemerintah pasca Soeharto untuk mengusut peristiwa keji tersebut.
Versi lain mengatakan, peristiwa yang dinamai oleh TNI, “GPK” atau Gerakan Pengacau Keamanan itu, meletus setelah tentara merasa gerah dengan gerakan Warsidi di pesantrennya yang berkembang pesat dan hidup secara eksklusif. Merasa wilayahnya terganggu oleh kegiatan mereka, Danrem Hendro pun berulah dan membuat keributan yang berakhir dengan pembantaian jamaah yang sekedar bisa hidup lebih Islami itu.
“Begitu banyak kejahatan Soeharto dan kelompoknya yang tak terselesaikan secara hukum,” keluh Hesti.
Baya teringat masa lalu, bagaimana penderitaan ibu dan saudaranya. Meski pun bapaknya diculik dan meninggal tanpa kuburan, tetapi usai Gestapu, mereka tetap dihujat dan diasingkan.
Pihak keluarga bapak dan ibunya ikut dicap sebagai keluarga PKI. Provokasi militer Orde Baru dan Soeharto, berhasil membangun anggapan di masyarakat bahwa PKI adalah sesuatu yang menakutkan, sadistis, kafir, ateis, dan menjijikkan. Maka rakyat pun termakan propaganda Orde Baru itu. Mereka mulai antipati dan menjauhi keluarga PKI. Ruang sosialnya dipersempit. Kemana pergi diawasi. Mereka yang dicurigai langsung ditangkap, menjadi tahanan politik. Diseret ke Sel bawah tanah tanpa pengadilan.
Tidak kuat menghadapi caci-maki serta cemoohan sebagai anak PKI, Baya akhirnya dipindahkan ibunya ke Lampung. Ia tinggal bersama pamannya, Hasanudin, di Kampung Palembang, Telukbetung.
Kampung yang dihuni sebagian besar perantau dan pedagang dari Sumatera Selatan itu, dijuluki “Kampung Islam”. Karena di kampung itu berdiri masjid tua, Al Anwar, dibangun Tahun 1888. Sewaktu Baya tiba di Lampung, tahun 1962, masjid tua itu belum lama dipugar.
Lulus SMA, Baya ikut tes masuk perguruan tinggi. Ia diterima di Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Ia memilih jurusan sosiologi. Sejak SMA Baya sudah tertarik dengan persoalan sosial. Barangkali ada titisan bapaknya. Atau karena banyak membaca buku-buku tentang sosial peninggalan Haji Hazairin. Namun kesempatan kuliah di universitas negeri itu terpaksa ia tinggalkan karena ibunya tidak mampu membiayai.
Baya sempat bekerja serabutan dan paruh waktu. Kemudian diterima kerja di bagian dokumentasi dan pustaka sebuah lembaga non pemerintah, yang mengelola dana luar negeri untuk program pemberdayaan perempuan. Dua tahun bekerja, yayasan itu bubar. Kemudian ia menikah dengan Umar, putra Lampung Pesisir, Saibatin, yang tinggal di Gedong Pakuwon. Baya mengenal lelaki itu karena sering diajak berkunjung oleh pamannya ke rumah Haji Husin.
Umar adalah anak bungsu Haji Husin, teman berdagang pamannya. Haji Husin dikenal pedagang berhasil di Gedong Pakuwon.
Sayang, selang enam bulan pernikahan mereka, Haji Husin meninggal dunia karena sakit. Empat tahun setelah itu, menyusul ibu Umar juga meninggal dunia.
Sepeninggal kedua mertua Baya, semua harta peninggalannya diperebutkan empat orang kakak-kakak suaminya. Umar dan seorang kakak perempuannya mengalah. Mereka hanya menerima sisa-sisa perebutan warisan dari kakaknya.
“Kenapa belum tidur?” tegur sipir Muna. Baya tidak menjawab. Baya hanya memandang sesaat wajah wanita yang bertubuh pendek dan berotot itu. Baya menuju bale papan untuk bergabung dengan lima temannya yang melanjutkan kembali tidurnya. Sementara Muna masih berdiri di depan kamar sel.
Sejak Baya ditahan hingga berstatus terpidana, Muna cukup perhatian. Sering memberi makanan atau buah-buahan ke kamar selnya. Baya dan kawan-kawan tidak mengerti apa maksud wanita bertubuh agak kekar yang sedikit lebih tua itu.
Beberapa kali obrolan, Muna mengaku asli dari Menggala, Tulang Bawang. Bapak dan ibunya lahir di sana. Ia sendiri sudah 14 tahun bekerja di Rajabasa. Sebelumnya, bertugas di Rutan Kalianda, Lampung Selatan, dan Rutan Kuta Agung, Tanggamus.
Selain Muna, ada beberapa orang sipir wanita yang menjaga blok wanita itu. Sedangkan petugas lelaki yang suka ngobrol dengan mereka antara lain Pak Rudi dan Pak Akuan yang memasuki persiapan pensiun. Juga Pak Indarwan, lelaki berkulit putih, kepala taguk, dan mata sipit asal dari Kisam, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Baya mengenal Indarwan, karena isterinya satu kelas saat di SMA. Ia juga teman sekampung ketika Baya masih di Kampung Palembang.
“Besok pagi kamu dan Hesti piket,” tegur Muna kepada Baya. “Jangan lupa membuang kaleng sampah ke belakang,” lanjutnya dengan mata keliaran. “Besok ada tamu meninjau kemari.” Baya hanya membalas dengan anggukan sambil menoleh ke arah Muna. Sipir itu berlalu dengan langkah kaki seperti pejabat daerah, menuju blok sel lain.
Malam itu, udara terasa cukup dingin masuk ke kamar sel. Hujan turun sejak sore. Baya belum bisa memejamkan mata. Setengah menggeletak tubuhnya disandarkan ke tembok kamar sel. Punggungnya disangga bantal dan selimut yang dilipat agar menambah ketebalan bantal tidurnya. Mata Baya menerawang ke langit kamar. Warnanya tidak lagi putih bersih. Di pojok-pojoknya ada sarang laba-laba menggantung mempertemukan sudut tembok kiri dan tembok kanan.
“Belum tidur?” tegur Hesti. “Besok ‘kan giliran kita piket. Jadi harus bangun lebih pagi, Mbak.” Hesti mengingatkan Baya sambil menelonjorkan badannya.
“Kamu duluan saja dik,” jawab Baya. “Saya masih mengenang cerita nenekmu tadi. Apakah beliau masih hidup?” tanya Baya memancing Hesti kembali bercerita.
“Ia meninggal dunia ketika aku masih di bangku SMP. Ia lebih dulu dari Kakek meninggalkan kami. Tetapi nenek sempat bercerita pengalamannya bergabung dengan para aktivis Gerwani. Ia juga bercerita penderitaannya ketika disekap dalam tanahan bawah tanah, disiksa, ditelanjangi, dan beberapa kali diperkosa. Cerita nenek, memberi banyak pelajaran dalam menghadapi kesulitan hidup, seperti aku alami sekarang ini.”
Saat bercerita sejarah dirinya, lanjut Hesti, sang nenek tidak pernah membayangkan, cucunya akan menjadi penghuni penjara. Tetapi kenyataan ini tidak lebih baik di luar sana. Sejak SMP sampai selesai kuliah dan bekerja, orang-orang masih suka melihat keluarga Hesti dengan latar belakang neneknya.
“Umpatan atau cacian mereka biasanya spontan muncul ketika saya melakukan kesalahan, atau perbuatan tidak mengenakkan mereka. Misalnya ada berita atau tulisanku di koran yang menyinggung mereka, maka mereka akan mencaci; dasar cucu Gerwani! Cucu PKI!”
Baya hanya terpaku. Ia berusaha mengerti cerita Hesti. Baru kali ini dalam hidupnya bertemu seseorang yang begitu peduli kisah-kisah masa lalu. Membahas dan mempersoalkannya kembali.
Baya sangat buta kisah pemberontakan PKI. Ketika bapaknya dijemput beberapa orang berseragam tentara di rumahnya. Ia tidak tahu kalau itu penculikan. Ya, ia tidak tahu apakah bapaknya terlibat PKI, yang kemudian menjadi partai terlarang masa pemerintahan Orde Baru. Semua kejadian hanya sepotong-sepotong didapat dari penjelasan ibunya.
Semasa di sekolah buku-buku sejarah tidak banyak mengupas lebih rinci pemicu munculnya gerakan PKI di Madiun 1948 atau penculikan “Dewan Jenderal” pada Gestapu 1965. Peristiwa yang harus dipertanggujawabkan aksi Orde Baru, Juga pembantaian sadis ratusan bahkan ribuan warga yang dicap PKI oleh kalangan muslim anti komunis. Sebagaimana terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Lampung dan Sumsel, serta berbagai daerah lainnya. Kelompok Soeharto diduga berada di balik aksi pembantaian tersebut, dengan memprovokasi para kyai dan muslim anti PKI.
“Saya baru paham setelah bapak diculik. Kemudian banyak tetangga kami kabur karena takut mengalami nasib serupa bapak. Ditahan dan disiksa secara keji tanpa proses hukum.”
Seusianya, saat aksi penculikan itu, Baya belum begitu paham apa penyebabnya. Jika bertemu orang PKI, mereka langsung disiksa dan dijebloskan ke penjara militer,” tambah Baya.
“Siapa yang memerintahkan mereka jadi sekejam itu?”
“Entahlah.”
“Diduga Soeharto!”
“Juga pembantaian massal lainnya?”
“Soeharto waktu itu menjadi tokoh di belakang aksi-aksi militer. Ia adalah satu dari sekian banyak petinggi tentara dan sipil penguasa negara yang dijadikan boneka plastik alias kaki tangan Amerika dan sekutunya, untuk menghancurkan kekuatan komunis di Indonesia. Termasuk kelompok fundamentalis islam seperti peristiwa Tanjungpriok dan Talangsari. Amerika menurunkan intelejen CIA jauh sebelum pecah Gestapu,” papar Hesti.
“PKI juga sempat disusupi Belanda. Istilahnya ‘PKI Van der Plas’. Tetapi, sekali lagi,” ujar Hesti. “Aku takut bercerita lebih jauh karena banyaknya potongan sejarah yang disembunyikan. Sudah tak ada batasan antara pengkhianat dan pahlawan.”
“Sudahlah Dik! Itu politik. Kita ini orang terpidana,” ujar Baya sembari meletakkan kembali kepalanya di atas bantal.
“Betul. Malam makin larut.”
“Apa kau tidak takut sejarah?”
“Tidak,” jawab Hesti.
“Juga PKI?”
“Ya,” jawabnya.
Baya hanya membalas dengan senyuman. Hesti menyusul merebahkan tubuh di samping Baya. Keduanya tidur bersama empat napi perempuan lainnya di kamar sel itu. Keempat rekan mereka lebih dulu tidur usai sholat Isa.
Para narapidana dan tahanan di Rajabasa tidak pernah menggelisahkan matahari dan jarum waktu. Mereka tidak peduli siang dan malam terus bergulir. Lalu menjadi satu kesatuan peristiwa yang tidak diingat atau dirasakan.
Penjara telah menyekap keinginan-keinginan. Kerinduan pulang, bahkan hasrat seksual. Maka, seringkali malam menyeringai, ketika tubuh sesama jenis berpelukan membunuh kedinginan.
Kondisi manusiawi telah menyatukan mereka di dalam kamar sel yang lembab; “kami ingin bebas!” katanya.
Begitu rombongan Kasdim datang, mereka langsung menyambutnya dengan anak panah.
Danramil Soetiman tewas.
Siapa memiliki keberanian berhitung serta mengukur waktu dari sel penjara yang lembab itu? Baya dan napi wanita lainnya, tidak pernah peduli perputaran masa yang membingkai persoalan mereka hari ini atau esok. Mereka bukan tahanan politik yang setiap hari bersolek dan merias dirinya menjadi pahlawan.
Baya tidak ubahnya kecoa busuk yang tidak memiliki harga untuk dijual ke masyarakat. Tidak ada telepon dan surat yang mendatanginya. Tidak ada kiriman apel dan jeruk segar. Tidak ada koran dan televisi. Tidak ada rokok dibagikan ke para sipir dan petugas jaga. Apa lagi menyogok kepala keamanan atau pemimpin penjara, agar bisa jalan-jalan keluar penjara dan tidur pulang ke rumah. Baya bukan tahanan berkelas, seperti koruptor atau politisi, yang setiap waktu bisa pulang meninggalkan kamar selnya.
Meski berijazah SMA dan lulus ke perguruan tinggi negeri, Ibu dua anak ini, hanyalah isteri buruh nelayan di Gudang Agen, Telukbetung. Baya bekerja serabutan. Kadangkala jual kain, jual tikar pandan, upahan cuci pakaian tetangga, dan membuat kue sekaligus menjualkannya keliling kampung. Sebelum menikah, Baya sempat bekerja di perusahaan distributor perabot rumah tangga. Ia juga pernah menjadi staf dokumentasi dan pustaka di sebuah lembaga non pemerintah yang mengelola dana luar negeri.
Baya tidak memahami sejarah hitam-putih sebuah penjara. Semula anggapannya, penjara adalah sesuatu yang menakutkan. Tetapi, sejak mendiami kamar sel penjara, ketakutan dan kecemasan itu berubah menjadi keberanian. Baya dipenjara 10 tahun karena membunuh. Perempuan itu menyatakan sikap di pengadilan, bahwa membunuh adalah sebuah kemenangan.
“...dan aku tegaskan kepada kalian! Apa yang aku lakukan adalah perlawananku melawan kekejaman kalian. Sekali pun harus membunuh untuk bertahan hidup!” demikian kutipan pernyataan Baya dalam pledoy yang dibacakan pengacaranya.
Baya begitu lega dengan kalimat demi kalimat dalam amar putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang yang dibacakan pada sidang terakhirnya. Hal-hal yang memberatkan, ujar hakim, aksi membunuh tersebut dilakukannya dengan penuh kesadaran dan terencana lebih dahulu. Vonis berat sang hakim disambutnya dengan senyum. Ia rasakan suara palu pengadilan terdengar merdu di telinganya.
Baya membunuh dengan senyuman. Tidak ada air mata. Tidak ada penyesalan. Perempuan itu begitu siapnya menghadapi hukuman. Sekali pun dieksekusi ke tiang gantungan atau lapangan tembak. Ia seperti baru saja menyelesaikan potongan akhir serenade klasik “Requim” dari partitur peradilan kita. Meletakkan sejarah dirinya di kamar sel yang dingin. Membisukan mimpi dan reguleritas hidup. Seperti riwayat kebisuan sang bapak, Haji Hazairin, yang hilang tak berjejak — setelah lebih dulu diculik dan dibuang ke kamp tahanan orang PKI di Pulau Kemaro, Sungai Musi, Palembang.
“Saya dalam kondisi sehat dan sadar ketika melakukan itu...” kata Baya kepada majelis hakim -- beberapa saat sebelum amar keputusan sidang dibacakan.
“Apakah Anda menyesal?”
“Kenapa Anda tanyakan itu?” balas Baya.
“Saudara terdakwa, saya ulangi. Apakah Anda menyesal melakukan perbuatan terkutuk itu?” ulang hakim.
“Tidak!”
“Kenapa?” tanya hakim geram.
“Apa yang saya lakukan adalah yang terbaik bagi saya, juga keluarga saya.”
Baya menolak banding. Ia menerima vonis 10 tahun penjara yang diputuskan majelis hakim.
Pengacara Baya, Alamsyah, hanya tertunduk mendengar keputusan itu. Padahal, menurut Alamsyah, apa yang dilakukan Baya adalah tindakan membela kehormatan dirinya dan keluarganya. Beberapa hari sebelum vonis dibacakan, Alamsyah sempat dihubungi salah seorang anggota majelis hakim. Tetapi Alamsyah tidak bisa berbuat banyak. Ia paham kondisi ekonomi kliennya. Meski pun sidang putusan itu sempat ditunda hakim sampai dua kali masa persidangan.
Baya sendiri sebetulnya adalah korban. Tetapi Alamsyah merasa lega, karena putusan hakim tersebut lebih ringan dari ancaman jaksa Ritonga yang menuntut hukuman penjara seumur hidup.
“Ayo Tidur!”
Teriakan sipir Muna yang melintasi lorong Blok D-3, memecahkan lamunan Baya. Para napi dan tahanan wanita di kamar sel bangkit, sembari merapikan pakaian mereka yang tersingkap.
Usia Baya belum terlalu tua. Ia lahir di Palembang, Tahun 1961. Meski sudah satu tahun menghuni kamar sel Rajabasa, tetapi Baya masih terlihat segar. Tubuhnya terbilang tinggi untuk ukuran perempuan kebanyakan, sekitar 1,67 Meter. Raut muka lonjong. Rambutnya berombak hitam. Tubuhnya terbalut kulit putih, masih terlihat kencang kendati sudah beranak dua. Wajar saja Baya mendapat perhatian agak lebih dari sipir dan petugas penjara ketimbang napi wanita lainnya.
Haji Hazairin, bapak Baya, berasal dari Pangkalan Balai, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sementara ibunya dari Pagaralam, Lahat. Wajah Baya cenderung ke ibunya. Mirip wajah orang Tionghoa.
Sebelum diculik usai Gestapu 1965, Haji Hazairin memiliki kebun karet yang cukup luas. Di rumah, Hazairin bersama isterinya membuka toko klontong. Ia juga menampung hasil bumi petani, seperti padi, jagung, dan singkong.
Haji Hazairin diculik dan diisolasi ke Pulau Kemaro, karena dituduh terlibat kegiatan PKI, Partai Komunis Indonesia. Dua tahun di pengasingan Pulau Kemaro, Hazairin dikabarkan meninggal dunia.
Waktu itu Baya berusia empat tahun. Hingga sekarang ia tidak tahu keberadaan mayat bapaknya. Apakah dimakamkan, atau dibuang ke sungai. Karena di pulau yang dijadikan pembuangan orang yang dituduh aktivis PKI tersebut, tidak ditemukan kuburannya.
Haji Hazairin bukanlah ekstrimis atau kelompok kiri, seperti Amir Sjarifuddin, Tan Malaka, Musso, Aidit. Ia juga bukan kelompok Sjahrir dan Hatta dengan politik reaksionernya. Menurut cerita ibu Baya, Hazairin dikenal muslim yang taat dan berpengaruh di masyarakat. Ia biasa diminta bicara di hadapan orang banyak. Hazairin juga aktif dengan kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia tidak pernah bicara politik atau gerakan, tetapi banyak bicara soal nasib manusia bernama buruh dan petani.
Hazairin sangat membenci penjajah. Ia mengutuk kaum imprealis atau neokolim, termasuk kelompok reaksioner Indonesia yang waktu itu, berkompromi dengan negara kolonial seperti Belanda dan Inggris.
“Ini salah satu dosa besar kita terhadap anak cucu kelak,.” ujar Hazairin kala itu.
Baya membandingkan penderitaannya di penjara. Belum seberapa dengan kesengsaraan bapaknya saat ditahan dan disiksa tentara masa itu. Menurut cerita, Haji Hazairin mengalami nasib seperti Amir Sjarifuddin tokoh PSI, dan kawan-kawan. Hazairin dan aktivis PKI lainnya diduga dibantai di tahanan Pulau Kemaro, lalu mayatnya ditenggelamkan ke Sungai Musi.
Cerita dari mulut ke mulut itu membuat miris keluarga Hazairin. Baya selalu menangis jika teringat cerita soal bapaknya. Ia mengutuk para pelaku politik masa itu, yang tidak bermoral dan beretika politik. Membunuh menjadi pilihan politik untuk terus berkuasa. Komunis adalah ideologi, bukan partai politik.
Tindakan balas dendam dan penumpasan PKI yang dilakukan militer dan kelompok anti-komunis waktu itu, menurut Baya, adalah tindakan yang tidak berprikemanusiaan. “PKI adalah partai politik, komunis adalah ideologi.” Kalimat yang sering diucapkan bapaknya itu, kembali diulang-ulang Baya. Hazairin mengaku bahwa ia pengagum Marhen dan Soekarno, tetapi bukan umat PNI atau PKI! Sampai kini Baya tidak tahu apa maksud kalimat yang disebutkan bapaknya itu.
“Kita punya kisah yang sama,” tanggap Hesti mendengar cerita Baya.
Hesti sudah tiga bulan menghuni sel Rajabasa. Ia dipenjara karena menulis artikel di korannya tentang jaringan penyelundup mobil-mobil mewah di pelabuhan peti kemas Panjang. Penyelundupan itu dilakukan secara sistematis oleh jaringan yang melibatkan pengusaha, oknum pejabat Bea Cukai, seorang pejabat daerah, serta beberapa oknum aparat kepolisian di pusat.
Dari hasil investigasinya itu, Hesti memaparkan secara rinci jaringan serta modus penyelundupan mobil mewah di pelabuhan bongkar muat itu. Modus penyelundupan antara lain mengubah keterangan dokumen barang dalam kontainer yang disegel label Bea Cukai, dengan menyebutkan kiriman jenis barang, general cargo. Pada daftar barang tidak menjelaskan secara detail atau spesifik. Dokumen perjalanannya diubah dari dokumen impor menjadi angkutan antarpulau atau inter-insuler.
Sedangkan keterangan daftar manives barang yang dikirim dari Singapura itu hanya tertulis onderdil otomotif. Praktek penyelundupan mobil yang merugikan negara miliaran rupiah, diduga hingga kini terus berlangsung.
Karena tidak dapat menunjukkan bukti akurat tentang mobil-mobil selundupan dari Singapura itu, serta sikapnya melindungi jatidiri narasumbernya, Hesti diseret ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Berkas perkara yang diajukan ke majelis hakim tidak menggunakan Undang-Undang Pers, tetapi KUHP. Jaksa mendakwanya, pasal pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong.
Hesti akhirnya divonis 14 bulan penjara. Ia juga dipecat oleh pemilik koran. Tetapi tidak lama Hesti dipenjara, koran harian itu tutup karena konflik antarpemilik saham. Beberapa waktu kemudian terbit lagi dengan manajemen baru. Namun sebagian besar sahamnya telah dibeli seorang pengusaha di Jakarta, konon dekat dengan lingkaran penguasa pusat.
“Nenekku juga pernah ditahan bertahun-tahun tanpa pengadilan. Ia anggota Gerwani. Ia baru dilepaskan setelah pamanku meminta bantuan seorang perwira tinggi saudara istrinya,” ungkap Hesti.
Baya terkesima mendengar pengakuan Hesti. Selama tinggal satu kamar sel gadis muda ini tidak banyak bicara. Jika Baya bercerita dengan kawan-kawan tahanan lain, Hesti hanya menjadi pendengar saja. Tanpa berkomentar atau ikut berpendapat. Baru sekarang Hesti membuka jati dirinya, wartawati sebuah harian.
Baya baru paham kenapa sejak Hesti masuk ke sel itu, sikap para sipir dan petugas agak berubah. Mereka terlihat hati-hati bicara dengan para penghuni kamar sel. Padahal selama ini, sangat terbuka dan ceplas-ceplos, bahkan sering bicara di luar konteks antara sipir dan tahanan.
“Kejadian mengerikan itu tidak hanya di Palembang atau Sumatera,” Hesti kembali bercerita. “Peristiwa pembunuhan massal aktivis PKI terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa dan Bali. Kesaksian mantan korban, tahun 1965-1966, di Wonosobo, Jawa Tengah, ditemukan kuburan berisi korban pembunuhan massal oleh kelompok anti-komunis,” jelas Hesti.
Setelah kuburan besar digali, papar Hesti, ditemukan bukti-bukti seperti cincin kawin, gigi palsu, dan barang-barang lain. Beberapa korban teridentifikasi secara forensik. Namun ironisnya, ketika kerangka korban hendak dipindahkan ke tanah kelahirannya di Temanggung, warga spontan menolak. Mereka membentang spanduk lebar-lebar: “Tidak ada tempat bagi PKI!”
Hesti begitu fasih bercerita menirukan narasumber dan referensi buku-buku bacaannya. Daya ingat anak muda ini cukup baik, pikir Baya. Di mata Baya, Hesti adalah anak yang cerdas.
“Kekerasan militer Soeharto, tidak juga ditujukan ke kelompok komunis yang dianggapnya atheis, tetapi juga kelompok Islam,” ujar Hesti.
Seperti peristiwa Tanjungpriok. Pembantaian jamaah Islam di Lampung, yang dimulai dari memprovokasi militer kepada santri sejumlah pondok pesantren di Lampung Tengah. Mereka dihasut untuk menyerbu pengajian imam Warsidi di Cihedeung, Dukuh Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Tengah, 7 Februari 1989.
Kasus pembantaian warga sipil atau disebut “Tragedi Talangsari” itu, bermula ketika Danramil 41121 Way Jepara, Kapten Soetiman menerima sepucuk surat dari Camat Zulkifli Maliki. Isinya; di Dusun Cihedeung ada yang melakukan kegiatan mencurigakan dengan kedok pengajian.
Laporan dari Kepala Dusun Cihideung, Sukidi, itu kemudian dijadikan oleh Soetiman untuk memanggil tokoh pengajian itu yang bernama Anwar. Soetiman meminta agar Anwar selambat-lambatnya 1 Februari 1989 menghadap. Tapi Anwar menolak. Ia justru malah meminta agar Danramil yang datang ke tempatnya.
Merasa ditolak, giliran Camat Zulkifli memanggil Anwar. Tapi juga tidak diindahkan. Anwar malah memanggil Muspika agar datang ke tempatnya. Kemudian pada 5 Februari 1989, sekitar enam pemuda desa Cihideung yang sedang ronda disergap oleh tentara. Saat itu pihak aparat berhasil menyita 61 pucuk anak panah dan ketapel kayu.
Sehari setelah itu, Kasdim 0411 Lampung Tengah, Mayor E.O Sinaga, mengajak Soetiman, Zulkifli dan Kakansospol Letkol Hariman S. dan beberapa staf CPM ke Cihideung untuk memenuhi undangan Anwar. Tetapi, sebelum kehadiran mereka, dihembuskan ke jamaah pengajian, bahwa mereka akan diserang.
Mendengar akan diserang, seluruh jamaah bersiaga, dengan anak panah. Begitu rombongan Kasdim datang, mereka langsung menyambutnya dengan anak panah. Danramil Soetiman tewas.
Situasi panas. Entah kelompok dari mana dikabarkan menyerang Pos Polisi yang menjaga hutan lindung di Gunung Balak. Dua polisi terluka. Kepala Desa Sidorejo, Lampung Timur, Santoso Arifin dibunuh.
Malam harinya sebuah mini bus angkutan desa di jalan Sri Bawono disergap gerombolan. Sopir angkutan desa itu dibunuh dan kernet dilukai. Pratu Budi Waluyo yang kebetulan berada di lokasi itu juga tewas.
Kasus berantai yang mungkin spontanitas atau sengaja dikondisikan kelompok tertentu itu, menjadi awal petaka besar.
Pada 7 Februari 1989, usai sholat subuh, tiba-tiba terdengan serentetan tembakan. Lalu api menjilat ke bangsal tempat jamaah Wardisi menginap. Suara tembakan itu disambut dengan takbir, ’’Allahu akbar....!’’, berbaur tangis dan jerit histeris.
Serangan fajar tersebut berasal dari empat peleton tentara dan 40 anggota Brimob dipimpin langsung Komandan Korem 043 Garuda Hitam, saat itu, Kolonel A.M. Hendropriyono.
Setelah usai suara tembakan, jumlah korban versi tentara menyebutkan hanya 27 orang. Data Komite Smalam, korban tewas mencapai 246 orang, belum termasuk yang hilang. Dari keseluruhan korban itu, 127 diantaranya anak-anak dan perempuan.
“Berapa pun yang tewas, bagi kami itu tetap tragedi kemanusiaan yang tidak bisa didiamkan,’’ tandas Fikri Yasin, Koordinator Komite Smalam, sebuah LSM yang gigih memperjuangkan nasib korban pembantaian itu.
“Saya masih ingat malam itu, saya dan ibu-ibu serta anak-anak berlindung dalam gubuk. Lalu gubuk itu dibakar! Saya berhasil kabur. Tetapi entahlah bagaimana nasib ibu-ibu dan anak-anak di gubuk itu,” papar seorang korban peristiwa ini dalam acara testimoni.
Kasus pembantaian oleh militer Soeharto itu, sempat menimbulkan kontroversi ketika sebagian korban menandatangani islah atau damai. Belakangan mereka mencabut kesepakatan islah. Namun belum ada keinginan pemerintah pasca Soeharto untuk mengusut peristiwa keji tersebut.
Versi lain mengatakan, peristiwa yang dinamai oleh TNI, “GPK” atau Gerakan Pengacau Keamanan itu, meletus setelah tentara merasa gerah dengan gerakan Warsidi di pesantrennya yang berkembang pesat dan hidup secara eksklusif. Merasa wilayahnya terganggu oleh kegiatan mereka, Danrem Hendro pun berulah dan membuat keributan yang berakhir dengan pembantaian jamaah yang sekedar bisa hidup lebih Islami itu.
“Begitu banyak kejahatan Soeharto dan kelompoknya yang tak terselesaikan secara hukum,” keluh Hesti.
Baya teringat masa lalu, bagaimana penderitaan ibu dan saudaranya. Meski pun bapaknya diculik dan meninggal tanpa kuburan, tetapi usai Gestapu, mereka tetap dihujat dan diasingkan.
Pihak keluarga bapak dan ibunya ikut dicap sebagai keluarga PKI. Provokasi militer Orde Baru dan Soeharto, berhasil membangun anggapan di masyarakat bahwa PKI adalah sesuatu yang menakutkan, sadistis, kafir, ateis, dan menjijikkan. Maka rakyat pun termakan propaganda Orde Baru itu. Mereka mulai antipati dan menjauhi keluarga PKI. Ruang sosialnya dipersempit. Kemana pergi diawasi. Mereka yang dicurigai langsung ditangkap, menjadi tahanan politik. Diseret ke Sel bawah tanah tanpa pengadilan.
Tidak kuat menghadapi caci-maki serta cemoohan sebagai anak PKI, Baya akhirnya dipindahkan ibunya ke Lampung. Ia tinggal bersama pamannya, Hasanudin, di Kampung Palembang, Telukbetung.
Kampung yang dihuni sebagian besar perantau dan pedagang dari Sumatera Selatan itu, dijuluki “Kampung Islam”. Karena di kampung itu berdiri masjid tua, Al Anwar, dibangun Tahun 1888. Sewaktu Baya tiba di Lampung, tahun 1962, masjid tua itu belum lama dipugar.
Lulus SMA, Baya ikut tes masuk perguruan tinggi. Ia diterima di Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Ia memilih jurusan sosiologi. Sejak SMA Baya sudah tertarik dengan persoalan sosial. Barangkali ada titisan bapaknya. Atau karena banyak membaca buku-buku tentang sosial peninggalan Haji Hazairin. Namun kesempatan kuliah di universitas negeri itu terpaksa ia tinggalkan karena ibunya tidak mampu membiayai.
Baya sempat bekerja serabutan dan paruh waktu. Kemudian diterima kerja di bagian dokumentasi dan pustaka sebuah lembaga non pemerintah, yang mengelola dana luar negeri untuk program pemberdayaan perempuan. Dua tahun bekerja, yayasan itu bubar. Kemudian ia menikah dengan Umar, putra Lampung Pesisir, Saibatin, yang tinggal di Gedong Pakuwon. Baya mengenal lelaki itu karena sering diajak berkunjung oleh pamannya ke rumah Haji Husin.
Umar adalah anak bungsu Haji Husin, teman berdagang pamannya. Haji Husin dikenal pedagang berhasil di Gedong Pakuwon.
Sayang, selang enam bulan pernikahan mereka, Haji Husin meninggal dunia karena sakit. Empat tahun setelah itu, menyusul ibu Umar juga meninggal dunia.
Sepeninggal kedua mertua Baya, semua harta peninggalannya diperebutkan empat orang kakak-kakak suaminya. Umar dan seorang kakak perempuannya mengalah. Mereka hanya menerima sisa-sisa perebutan warisan dari kakaknya.
“Kenapa belum tidur?” tegur sipir Muna. Baya tidak menjawab. Baya hanya memandang sesaat wajah wanita yang bertubuh pendek dan berotot itu. Baya menuju bale papan untuk bergabung dengan lima temannya yang melanjutkan kembali tidurnya. Sementara Muna masih berdiri di depan kamar sel.
Sejak Baya ditahan hingga berstatus terpidana, Muna cukup perhatian. Sering memberi makanan atau buah-buahan ke kamar selnya. Baya dan kawan-kawan tidak mengerti apa maksud wanita bertubuh agak kekar yang sedikit lebih tua itu.
Beberapa kali obrolan, Muna mengaku asli dari Menggala, Tulang Bawang. Bapak dan ibunya lahir di sana. Ia sendiri sudah 14 tahun bekerja di Rajabasa. Sebelumnya, bertugas di Rutan Kalianda, Lampung Selatan, dan Rutan Kuta Agung, Tanggamus.
Selain Muna, ada beberapa orang sipir wanita yang menjaga blok wanita itu. Sedangkan petugas lelaki yang suka ngobrol dengan mereka antara lain Pak Rudi dan Pak Akuan yang memasuki persiapan pensiun. Juga Pak Indarwan, lelaki berkulit putih, kepala taguk, dan mata sipit asal dari Kisam, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Baya mengenal Indarwan, karena isterinya satu kelas saat di SMA. Ia juga teman sekampung ketika Baya masih di Kampung Palembang.
“Besok pagi kamu dan Hesti piket,” tegur Muna kepada Baya. “Jangan lupa membuang kaleng sampah ke belakang,” lanjutnya dengan mata keliaran. “Besok ada tamu meninjau kemari.” Baya hanya membalas dengan anggukan sambil menoleh ke arah Muna. Sipir itu berlalu dengan langkah kaki seperti pejabat daerah, menuju blok sel lain.
Malam itu, udara terasa cukup dingin masuk ke kamar sel. Hujan turun sejak sore. Baya belum bisa memejamkan mata. Setengah menggeletak tubuhnya disandarkan ke tembok kamar sel. Punggungnya disangga bantal dan selimut yang dilipat agar menambah ketebalan bantal tidurnya. Mata Baya menerawang ke langit kamar. Warnanya tidak lagi putih bersih. Di pojok-pojoknya ada sarang laba-laba menggantung mempertemukan sudut tembok kiri dan tembok kanan.
“Belum tidur?” tegur Hesti. “Besok ‘kan giliran kita piket. Jadi harus bangun lebih pagi, Mbak.” Hesti mengingatkan Baya sambil menelonjorkan badannya.
“Kamu duluan saja dik,” jawab Baya. “Saya masih mengenang cerita nenekmu tadi. Apakah beliau masih hidup?” tanya Baya memancing Hesti kembali bercerita.
“Ia meninggal dunia ketika aku masih di bangku SMP. Ia lebih dulu dari Kakek meninggalkan kami. Tetapi nenek sempat bercerita pengalamannya bergabung dengan para aktivis Gerwani. Ia juga bercerita penderitaannya ketika disekap dalam tanahan bawah tanah, disiksa, ditelanjangi, dan beberapa kali diperkosa. Cerita nenek, memberi banyak pelajaran dalam menghadapi kesulitan hidup, seperti aku alami sekarang ini.”
Saat bercerita sejarah dirinya, lanjut Hesti, sang nenek tidak pernah membayangkan, cucunya akan menjadi penghuni penjara. Tetapi kenyataan ini tidak lebih baik di luar sana. Sejak SMP sampai selesai kuliah dan bekerja, orang-orang masih suka melihat keluarga Hesti dengan latar belakang neneknya.
“Umpatan atau cacian mereka biasanya spontan muncul ketika saya melakukan kesalahan, atau perbuatan tidak mengenakkan mereka. Misalnya ada berita atau tulisanku di koran yang menyinggung mereka, maka mereka akan mencaci; dasar cucu Gerwani! Cucu PKI!”
Baya hanya terpaku. Ia berusaha mengerti cerita Hesti. Baru kali ini dalam hidupnya bertemu seseorang yang begitu peduli kisah-kisah masa lalu. Membahas dan mempersoalkannya kembali.
Baya sangat buta kisah pemberontakan PKI. Ketika bapaknya dijemput beberapa orang berseragam tentara di rumahnya. Ia tidak tahu kalau itu penculikan. Ya, ia tidak tahu apakah bapaknya terlibat PKI, yang kemudian menjadi partai terlarang masa pemerintahan Orde Baru. Semua kejadian hanya sepotong-sepotong didapat dari penjelasan ibunya.
Semasa di sekolah buku-buku sejarah tidak banyak mengupas lebih rinci pemicu munculnya gerakan PKI di Madiun 1948 atau penculikan “Dewan Jenderal” pada Gestapu 1965. Peristiwa yang harus dipertanggujawabkan aksi Orde Baru, Juga pembantaian sadis ratusan bahkan ribuan warga yang dicap PKI oleh kalangan muslim anti komunis. Sebagaimana terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Lampung dan Sumsel, serta berbagai daerah lainnya. Kelompok Soeharto diduga berada di balik aksi pembantaian tersebut, dengan memprovokasi para kyai dan muslim anti PKI.
“Saya baru paham setelah bapak diculik. Kemudian banyak tetangga kami kabur karena takut mengalami nasib serupa bapak. Ditahan dan disiksa secara keji tanpa proses hukum.”
Seusianya, saat aksi penculikan itu, Baya belum begitu paham apa penyebabnya. Jika bertemu orang PKI, mereka langsung disiksa dan dijebloskan ke penjara militer,” tambah Baya.
“Siapa yang memerintahkan mereka jadi sekejam itu?”
“Entahlah.”
“Diduga Soeharto!”
“Juga pembantaian massal lainnya?”
“Soeharto waktu itu menjadi tokoh di belakang aksi-aksi militer. Ia adalah satu dari sekian banyak petinggi tentara dan sipil penguasa negara yang dijadikan boneka plastik alias kaki tangan Amerika dan sekutunya, untuk menghancurkan kekuatan komunis di Indonesia. Termasuk kelompok fundamentalis islam seperti peristiwa Tanjungpriok dan Talangsari. Amerika menurunkan intelejen CIA jauh sebelum pecah Gestapu,” papar Hesti.
“PKI juga sempat disusupi Belanda. Istilahnya ‘PKI Van der Plas’. Tetapi, sekali lagi,” ujar Hesti. “Aku takut bercerita lebih jauh karena banyaknya potongan sejarah yang disembunyikan. Sudah tak ada batasan antara pengkhianat dan pahlawan.”
“Sudahlah Dik! Itu politik. Kita ini orang terpidana,” ujar Baya sembari meletakkan kembali kepalanya di atas bantal.
“Betul. Malam makin larut.”
“Apa kau tidak takut sejarah?”
“Tidak,” jawab Hesti.
“Juga PKI?”
“Ya,” jawabnya.
Baya hanya membalas dengan senyuman. Hesti menyusul merebahkan tubuh di samping Baya. Keduanya tidur bersama empat napi perempuan lainnya di kamar sel itu. Keempat rekan mereka lebih dulu tidur usai sholat Isa.
Para narapidana dan tahanan di Rajabasa tidak pernah menggelisahkan matahari dan jarum waktu. Mereka tidak peduli siang dan malam terus bergulir. Lalu menjadi satu kesatuan peristiwa yang tidak diingat atau dirasakan.
Penjara telah menyekap keinginan-keinginan. Kerinduan pulang, bahkan hasrat seksual. Maka, seringkali malam menyeringai, ketika tubuh sesama jenis berpelukan membunuh kedinginan.
Kondisi manusiawi telah menyatukan mereka di dalam kamar sel yang lembab; “kami ingin bebas!” katanya.
Langganan:
Postingan (Atom)